Month: December 2015

Pengumuman: Kami Akan Kembali Pada 11 Januari

Pengumuman!

Bahwa sejak hari Kamis ini, 24 Desember 2015, sampai Jumat, 1 Januari 2016, kantor libur dalam rangka akhir tahun.

Sedangkan dari Senin, 4 Januari 2016, hingga Jumat, 8 Januari 2016, seluruh staf LBH Masyarakat akan berada di luar kota dalam rangka rapat rencana strategis lembaga.

Kantor akan kembali aktif seperti biasa mulai hari Senin, 11 Januari 2016.

 

Tidak lupa, kami ucapkan:

Selamat Memperingati Hari Maulid Nabi Muhammad SAW bagi teman-teman Muslimin dan Muslimah,
dan Selamat Merayakan Natal bagi teman-teman yang beragama Nasrani.

Semoga damai dapat benar-benar nyata di bumi Indonesia!

Rilis Pers: LBH Masyarakat Mengecam Keras Usulan Budi Waseso agar Pengedar Narkotika Dijadikan Sasaran Tembak TNI

LBH Masyarakat mengecam dengan keras pernyataan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisaris Jenderal Budi Waseso, yang mengusulkan para pengedar narkotika dilibatkan dalam latihan perang TNI sebagai sasaran tembak[i]. LBH Masyarakat mendukung penuh upaya BNN memberantas peredaran gelap narkotika tetapi upaya-upaya tersebut harus di dalam koridor hukum dan sejalan dengan prinsip hak asasi manusia.

Pernyataan kontroversial semacam ini bukanlah yang pertama kali diujarkan oleh Budi Waseso setelah ia menjabat sebagai Kepala BNN pada tahun 2015 ini. Ia pernah menyatakan agar bandar narkotika menelan barang bukti[ii] dan agar pengedar dijejali narkotika hingga mati overdosis[iii]; menyatakan akan menenggelamkan kapal penyelundup narkotika bersama dengan para penyelundup itu sendiri[iv][v]; menyatakan bahwa 60 persen kejahatan di Indonesia karena kejahatan narkotika[vi] (hanya berdasarkan fakta bahwa 62 persen penghuni Lapas karena terjerat UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang secara tidak adil telah menyeret masyarakat yang menggunakan dan menguasai narkotika dalam jumlah kecil ke dalam penjara); menyatakan akan menghapus rehabilitasi karena hanya menghabiskan anggaran negara[vii][viii]; mengusulkan metode rehabilitasi berbasis alam yang menempatkan orang yang ketergantungan narkotika di hutan atau pulau terpencil[ix]; serta yang paling menghebohkan adalah rencana penjara khusus kejahatan narkotika yang akan dijaga oleh buaya, piranha, dan juga harimau[x], yang sayangnya mendapatkan dukungan dari beberapa orang di parlemen[xi].

“LBH Masyarakat mengecam dan menyayangkan pernyataan-pernyataan semacam ini. Menjadikan pengedar narkotika sebagai sasaran tembak TNI, bukan hanya bentuk pelanggaran hak asasi manusia seperti hak untuk hidup, tetapi juga bentuk penghukuman yang biadab,” ujar Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat. “Pernyataan-pernyataan tersebut tidak lebih dari ungkapan sensasional, mengada-ada, dan tidak memiliki bukti ilmiah yang sahih,” tambahnya.

“Indonesia telah meratifikasi hampir seluruh konvensi HAM internasional. Oleh karena itu, sudah seharusnya Indonesia terikat dan tunduk pada ketentuan hukum HAM internasional. Dengan demikian ketika kita hendak menghukum pelaku kejahatan tetap ada batas-batas yang harus kita patuhi dengan tetap menghormati hak asasi manusia. Di samping itu, Indonesia perlu menyadari bahwa kebijakan narkotika di level internasional mulai mengalami pergeseran ke arah yang meninggalkan pendekatan yang punitif dan mulai menerapkan kebijakan yang humanis yang sungguh-sungguh melindungi warga negaranya dari dampak buruk peredaran gelap narkotika,” Ricky menambahkan.

“Pernyataan-pernyataan keras Budi Waseso tersebut justru menebar rasa takut dan meperkeruh iklim kebijakan narkotika Indonesia, sehingga pengguna narkotika enggan dan khawatir ketika mengakses layanan kesehatan. Hal ini tentu kontraproduktif dengan tujuan BNN dan akan menambah panjang masalah kesehatan yang ditimbulkan oleh peredaran gelap narkotika,” ujar Ricky.

LBH Masyarakat mendesak Presiden Joko Widodo untuk menegur Budi Waseso, sebagai Kepala BNN, agar lebih fokus pada pembenahan kebijakan narkotika dan lebih merangkul pengguna narkotika dengan tidak menyampaikan pernyataan-pernyataan yang kontroversial dan tidak berdasar.

***

[i] Budi Waseso Mau Pakai Bandar Narkoba di Latihan Perang TNI, http://nasional.tempo.co/read/news/2015/12/18/063729019/budi-waseso-mau-pakai-bandar-narkoba-di-latihan-perang-tni

[ii] Kesal, Budi Waseso Ingin Bandar Narkoba Telan Barang Bukti, http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/05/063716060/kesal-budi-waseso-ingin-bandar-narkoba-telan-barang-bukti

[iii] Buwas Ingin Pengedar Dijejali Narkoba, Overdosis lalu Mati, http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/06/063716573/buwas-ingin-pengedar-dijejali-narkoba-overdosis-lalu-mati

[iv] Saingi Susi, Buwas: Kapal dan Orangnya Kami Tenggelamkan, http://metro.tempo.co/read/news/2015/09/09/064699142/saingi-susi-buwas-kapal-dan-orangnya-kami-tenggelamkan

[v] Budi Waseso: Mafia Narkoba Ditenggelamkan Saja, http://nasional.tempo.co/read/news/2015/09/18/063701778/budi-waseso-mafia-narkoba-ditenggelamkan-saja

[vi] BNN: 60 Persen Kejahatan di Indonesia karena Narkotik, http://nasional.tempo.co/read/news/2015/12/15/063727832/bnn-60-persen-kejahatan-di-indonesia-karena-narkotik

[vii] Budi Waseso: Saya Tidak Antirehabilitasi Narkoba, http://nasional.tempo.co/read/news/2015/09/15/063700913/budi-waseso-saya-tidak-antirehabilitasi-narkoba 

[viii] Budi Waseso Blakblakan Rencana Hapus Rehabilitasi Narkoba, http://metro.tempo.co/read/news/2015/09/09/064699131/budi-waseso-blakblakan-rencana-hapus-rehabilitasi-narkoba

[ix] Begini Budi Waseso Bikin Konsep Rehabilitasi Pecandu Narkoba, http://metro.tempo.co/read/news/2015/09/30/064705105/begini-budi-waseso-bikin-konsep-rehabilitasi-pecandu-narkoba

[x] Buaya, Piranha, dan Harimau untuk Penjara Narkoba, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151222_indonesia_budi_waseso

[xi] Jenderal Buwas Cari Buaya Buas untuk Jaga Penjara Narkoba, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151129135200-12-94724/jenderal-buwas-cari-buaya-buas-untuk-jaga-penjara-narkoba/

Siaran Pers LBH Masyarakat: Hentikan Eksekusi, Segera Terapkan Moratorium Hukuman Mati!

LBH Masyarakat mengecam keras eksekusi mati yang kembali dilakukan oleh Kejaksaan Agung RI terhadap terpidana mati kasus narkotika Muhammad Abdul Hafeez, warga negara Pakistan, pada hari Minggu, 17 November 2013 dini hari.

Eksekusi ini adalah eksekusi kelima yang dilakukan oleh Indonesia sepanjang tahun 2013. Sebelumnya Indonesia telah mengeksekusi Adami Wilson, warga negara Malawi, pada bulan Maret 2013; dan Ibrahim, Jurit, dan Suryadi, kesemuanya warga negara Indonesia, pada bulan Mei 2013. Dengan eksekusi ini Presiden Susilo Bambang Yudhyono menempatkan dirinya sebagai rejim pemerintahan yang telah mengeksekusi sebanyak 21 orang sejak ia berkuasa – terbanyak setelah era Reformasi.

Mencermati pola eksekusi mati di Indonesia sejak 1998 yang marak dilakukan menjelang atau sekitar tahun pemilihan umum, dapat dikatakan bahwa penggunaan eksekusi mati di Indonesia tidak lebih dari sekedar alat politik untuk memberi kesan seolah-olah pemerintah telah dan mampu bertindak tegas terhadap pelaku kejahatan yang dibenci oleh masyarakat seperti misalnya narkotika. Padahal, data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa angka kejahatan kasus narkotika sejak 2008 sampai 2011 justru terus meningkat. Artinya, dalil pemerintah bahwa hukuman mati dan eksekusi dilakukan untuk memberikan efek jera adalah argumen yang tidak berdasar. Selain itu, eksekusi justru menjadi topeng untuk menutupi kegagalan pemerintah menurunkan angka kejahatan.

Tabel 1. Pengungkapan kasus narkotika oleh Kepolisian Republik Indonesia

TahunJumlah Kasus Narkotika
200810.008
200911.140
201017.897
201119.128

Sumber: website BNN yang diperoleh dari Direktorat Narkotika Polri

Tabel 2. Pengungkapan kasus narkotika oleh BNN

TahunJumlah Kasus Narkotika
2009 (Sep-Des)5
201063
201178

Sumber: website BNN

Sehubungan dengan rencana eksekusi terhadap terpidana mati lainnya, LBH Masyarakat mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar segera menerapkan moratorium hukuman mati dan Kejaksaan Agung RI agar segera menghentikan rencana eksekusi terhadap terpidana mati lainnya dan dengan alasan sebagai berikut:

Pertama, tindakan Indonesia yang melakukan eksekusi di dalam negeri adalah kontraproduktif dan tidak bermanfaat bagi upaya diplomasi dan penyelamatan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati dan eksekusi di luar negeri.

Kedua, hukuman mati dan eksekusi telah terbukti gagal memberikan efek jera. Tinggi rendahnya kejahatan tidak semata bergantung kepada berat ringannya hukuman, tetapi faktor lain seperti lingkungan sosial, latar belakang ekonomi, dan lain sebagainya. Mengatakan bahwa tingkat kejahatan akan turun dan pelaku kejahatan terjerakan hanya karena hukuman mati dijatuhkan adalah pernyataan yang lemah dan cenderung menafikan faktor lainnya.

Ketiga, sistem peradilan Indonesia marak dengan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, dan diwarnai dengan praktik-praktik korupsi. Penjatuhan hukuman mati dan pelaksanaan eksekusi dengan sistem peradilan yang seperti itu sangatlah rentan memakan korban yang tidak bersalah. Praktiknya, eksekusi mati adalah bentuk penghukuman yang tidak dapat ditarik kembali. Dengan demikian, apabila di kemudian hari ditemukan kesalahan penghukuman, nyawa terpidana mati yang telah dihilangkan tidak dapat dikembalikan oleh negara.

Keempat, Komite HAM PBB (badan HAM PBB yang memantau impelementasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) telah memberikan rekomendasi kepada Indonesia di bulan Juli 2013 agar Indonesia menerapkan kembali moratorium eksekusi mati. Komite HAM PBB meminta agar Indonesia dapat menjalankan rekomendasi tersebut sesegera mungkin tidak lebih dari jangka waktu satu tahun sejak Juli 2013. Eksekusi yang dilakukan oleh Indonesia adalah bentuk pengingkaran terhadap komitmen hukum internasional yang telah dibuat oleh Indonesia.

Indonesia harus segera menghentikan rencana eksekusi mati berikutnya dan memikirkan ulang sistem pemidanaannya yang seperti telalu menyandarkan hukuman mati untuk menurunkan angka kejahatan di masyarakat.

 

Jakarta, 18 November 2013

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

 

Ricky Gunawan, S.H., M.A.
Direktur

 

Contact person:
Ricky Gunawan
+6281210677657

Menyikapi Eksekusi Mati Terbaru yang Dilakukan oleh Kejaksaan

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Menghapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) mengecam keras eksekusi mati yang dilakukan oleh Kejaksaan terhadap Adami Wilson, warga negara Nigeria terpidana mati kasus narkotika, Kamis, 14 Maret 2013, malam. Eksekusi ini adalah yang pertama dilakukan sejak November 2008.

Hukuman mati adalah pelanggaran hak untuk hidup yang telah dijamin di dalam Konstitusi Pasal 28A juncto Pasal 28I yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup dan hak tersebut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Jaminan konstitusional tersebut juga sejalan dengan kewajiban hukum internasional Indonesia yang telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik pada tahun 2005. Hukuman mati adalah juga bentuk penghukuman yang tidak manusiawi, tidak memiliki efek jera dan pelanggaran terhadap martabat manusia.

Koalisi HATI menilai bahwa eksekusi terhadap Adami Wilson adalah sebuah langkah mundur bagi kebijakan hak asasi manusia Indonesia dan justru menciderai komitmen politik yang telah dibuat oleh Indonesia ketika Sidang Umum PBB Desember 2012 kemarin yang memilih untuk abstain dalam hal resolusi moratorium hukuman mati. Voting abstain tersebut adalah pergeseran positif setelah di resolusi-resolusi sebelumnya Indonesia memilih untuk menolak. Eksekusi mati tersebut juga sebenarnya kontraproduktif terhadap upaya yang dilakukan oleh Indonesia untuk memperjuangkan warga negara Indonesia (WNI) yang terancam hukuman mati di luar negeri. Dengan dilakukannya eksekusi mati ini, Indonesia tidak lagi memiliki legitimasi moral dan politik untuk meminta pemerintah negara lain agar tidak mengeksekusi mati WNI.

Eksekusi terhadap Adami Wilson ini sangatlah mengkhawatirkan sebab, seperti telah diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung Republik Indonesia berencana untuk melakukan eksekusi mati terhadap sembilan terpidana mati lainnya. Dengan dimulainya eksekusi ini, eksekusi mati terhadap kesembilan orang tersebut sangat berisiko tinggi akan terjadi. Koalisi HATI mendesak Kejaksaan Agung untuk menunda eksekusi mati tersebut dan segera menerapkan moratorium eksekusi mati terhadap seluruh terpidana mati di Indonesia. Moratorium bukan hanya penting untuk menghentikan eksekusi mati tetapi juga akan mengembalikan Indonesia ke jalur yang yang telah dirintisnya untuk menuju penghapusan hukuman mati sepenuhnya. Hal ini juga selaras dengan tren global dimana tidak lebih dari 20 negara, dari sekitar 200 negara di dunia, yang melakukan eksekusi mati di tahun 2011.

Koalisi HATI memandang bahwa setiap pelaku kejahatan yang serius harus mendapatkan penghukuman yang berat. Namun, penghukuman tersebut tidaklah boleh sampai mencabut nyawa manusia. Praktik hukuman mati justru tidak lebih sebagai upaya melanggengkan balas dendam. Ketika kita mengutuk tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana mati karena telah merenggut hidup banyak orang, melalui hukuman mati kita justru sedang mempraktikkan hal yang sama dengan apa yang kita kecam tersebut. Mempromosikan hukuman mati sebagai alasan keadilan tidak jauh berbeda dengan mendorong agar kita semua menggunakan alasan dendam untuk memperoleh keadilan. Upaya memperoleh keadilan dengan motivasi balas dendam tersebut sudah tidak lagi sesuai dengan peradaban manusia sekarang ini. Penghukuman justru harus dilakukan secara bermartabat dengan tetap menghargai nyawa manusia. Filosofi pemidanaan modern mensyaratkan kita untuk menerapkan keadilan restoratif, bukan retributif, yakni memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki keadaan agar dapat menjalani kehidupan di masyarakat lebih baik lagi. Sekarang saatnya Indonesia menghentikan eksekusi mati yang baru dimulai kembali dan bergerak mengarah pada penghapusan hukuman mati.

 

Jakarta, 16 Maret 2013
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Menghapus Hukuman Mati
KontraS – LBH Masyarakat – Imparsial

Kemandirian Ibu Memperjuangkan Hak Anak: Pelajaran dari Jembatan Besi

Hari Ibu yang jatuh setiap tahunnya pada tanggal 22 Desember adalah sebuah hari yang didedikasikan khusus terhadap ibu sebagai bentuk apresiasi karena peranannya yang besar dan krusial di dalam keluarga dan masyarakat. Ibu memegang peranan penting dalam keluarga karena ia berkontribusi bagi pembentukan karakter anak yang dilahirkan dan dibesarkan, bersama sang ayah. Peran penting yang pada akhirnya akan berkontribusi juga pada pembentukan karakter masyarakat.

Peringatan Hari Ibu biasanya selalu diisi dengan acara-acara konvensional yang sesungguhnya merayakan peran tradisionil seorang ibu. Acara seperti misalnya lomba memasak, lomba memakai kebaya dan lain semacamnya kerap diselenggarakan. Namun sesungguhnya, peringatan Hari Ibu dapat lebih sesuai perkembangan zaman dan tidak konservatif. Pada tahun ini, peringatan Hari Ibu menemukan kontekstualisasinya di masa sekarang dengan dibungkus dalam semangat perjuangan pemenuhan hak anak. Tepat di Hari Ibu, 22 Desember 2010, ratusan ibu-ibu warga Jembatan Besi dan sekitarnya akan mengajukan permohonan penetapan Akta Kelahiran untuk 15 (lima belas) dari 158 (seratus lima puluh delapan) anak ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat. Rencananya, setiap minggunya permohonan untuk 15 (lima belas) anak akan diajukan ke PN Jakarta Barat.

Langkah ini mungkin mudah bagi mereka yang berpunya, tapi tidak bagi mereka yang buta hukum dan berasal dari kalangan ekonomi lemah. Dengan minimnya pengetahuan seputar proses memperoleh Akta Kelahiran, jaring-jaring birokrasi yang rumit siap menjerat mereka dan pungutan liar senantiasa menghantui setiap gerak langkah mereka. Namun, kelompok ibu-ibu ini dapat membuktikan bahwa mereka berhasil melakukan gerakan bantuan hukum secara mandiri dalam memperjuangkan hak anak mereka mendapatkan Akte Kelahiran. Diawali dengan pemberian informasi hukum seputar Akte Kelahiran yang dilakukan oleh LBH Masyarakat, kemudian ibu-ibu secara kolektif mengorganisir diri, melakukan segala upaya untuk mengumpulkan persyaratan yang dibutuhkan, berhadapan dengan aparat pemerintah dengan segala kompleksitas birokrasinya, hingga akhirnya tiba di tahap pengajuan permohonan penetapan Akte Kelahiran di Pengadilan Negeri. Fase ini adalah satu titik sebelum persinggahan perjuangan terakhir mereka. Berbekal penetapan dari Pengadilan Negeri yang akan diserahkan kembali ke Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Jakarta Barat, Akte Kelahiran anak mereka akhirnya akan diterbitkan.

LBH Masyarakat memandang bahwa apa yang telah dilakukan oleh ibu-ibu ini dapat menjadi cerita inspiratif dan pelajaran bagi ibu-ibu lainnya di manapun di Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam gerakan bantuan hukum secara mandiri guna memperjuangkan pemenuhan hak anak mereka. Sudah saatnya ibu dapat menunjukkan bahwa mereka bukan hanya ibu rumah tangga biasa dalam pengertian tradisional yang hanya diam di rumah dan membesarkan anak. Di kehidupan modern ini, ibu-ibu dapat memperlihatkan kepada masyarakat luas bahwa mereka mampu menjadi motor pergerakan masyarakat dalam perjuangan hak asasi, terutama hak anak.

Dalam kesempatan ini, LBH Masyarakat juga mengapresiasi kesiapan Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Jakarta Barat dan PN Jakarta Barat yang mendukung kelancaran proses permohonan penetapan Akte Kelahiran ini. Tindakan positif Suku Dinas Kependudukan Jakarta Barat dan PN Jakarta Barat tentu dapat menjadi contoh yang baik bagi institusi pemerintahan lainnya sehubungan dengan pemenuhan hak warga untuk mendapatkan Akte Kelahiran. Institusi pemerintahan memang sejatinya harus melayani masyarakat, bukannya mengabaikan hak mereka. Pada akhirnya, LBH Masyarakat percaya bahwa keberhasilan perjuangan para ibu sampai sejauh ini adalah bukti konkrit bahwa masyarakat dapat berdaya dalam advokasi perjuangan hak, dan bukannya takluk di hadapan ketidakberdayaan sistem untuk menjamin pemenuhan hak warga.

 

Jakarta, 22 Desember 2010

Hormat kami,

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

 

Ricky Gunawan

Direktur Program

Grandy Nadeak

Peneliti Hukum

Contact persons:
Ricky Gunawan
+62 812 10 677 657

Grandy Nadeak
+62 812 88 2634 86

Rilis Pers LBH Masyarakat terhadap Vonis Pengadilan Tinggi Jakarta yang Menghukum Mati Baekhuni alias Babe

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) menolak vonis Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap Baekhuni alias Babe dalam kasus mutilasi. Hukuman mati adalah bentuk pelanggaran terhadap hak untuk hidup, sebagaimana dijamin dalam Konstitusi dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Hak yang melekat secara inheren pada diri setiap manusia dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun juga. Kehidupan seorang manusia tidak diberikan oleh negara, dan oleh karenanya negara tidak memiliki hak apapun untuk mencabutnya. Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling fundamental dari seluruh hak asasi manusia. Hak untuk hidup berlaku bagi semua manusia yang berkelakukan baik, dan juga bagi manusia yang melakukan kejahatan, tanpa terkecuali.

Hukuman mati juga merupakan bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Kejam karena hukuman tersebut sampai-sampai mencabut nyawa manusia. Jika kita mengatakan pembunuhan berencana itu kejam, berarti mempersiapkan regu tembak untuk menghabisi nyawa seseorang dalam hal ini Babe adalah juga kejam.  Hukuman mati juga tidak manusiawi karena ia mengingkari hakikat kemanusiaan yakni kehidupan. Ia juga merendahkan martabat manusia karena memperlakukan manusia sebagai obyek yang harus dieliminasi oleh negara. Melihat karakternya yang eliminatif, hukuman mati tidak dapat ditarik kembali (irrevocable). Bukan tidak mungkin nyawa tidak bersalah melayang mengingat sistem pemidanaan dijalankan oleh manusia dan menjadikannya rentan karena kesalahan.

LBH Masyarakat memandang bahwa bukanlah kekejaman hukuman yang dapat menimbulkan efek jera; melainkan adanya kepastian hukum bahwa pelaku tindak pidana pasti dihukum setelah sebelumnya melalui proses peradilan yang jujur dan transparan. Seberat apapun kejahatan yang telah dilakukan, hukuman yang dijatuhkan tidaklah boleh sampai mencabut nyawa, karena hukuman mati justru menegasikan fungsi penologis sebuah lembaga pemasyarakatan. Alternatif pidana terberat yang bisa diterapkan adalah pidana penjara seumur hidup tanpa remisi (life sentence without parole). Hukuman seumur hidup akan memberikan lebih banyak kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki keadaan, sesuai dengan filosofi pemidanaan modern yakni restoratif bukan retributif.

LBH Masyarakat menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh Babe adalah kejahatan yang kejam dan tidak dapat diterima akal sehat. Namun, atas kejahatan yang telah dilakukan oleh Babe seharusnya tidak dibalas dengan tindakan yang mencabut nyawanya. Penolakan LBH Masyarakat atas vonis hukuman mati terhadap Babe hendaknya tidak dilihat sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap keluarga korban. Penolakan terhadap hukuman mati tersebut bukanlah berarti mengesampingkan rasa kehilangan para korban yang ditinggalkan. Rasa kehilangan orang yang dicintai tentu dapat dipahami, namun, haruskah nyawa yang hilang dibalas dengan menghilangkan nyawa pelaku? Ketika kita mengutuk keras tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku, mengapa kemudian kita juga melakukan hal yang sama dengan pelaku yakni membunuh?

LBH Masyarakat menilai bahwa mendorong keadilan restoratif yakni memulihkan keadaan korban dan bukannya melestarikan keadilan retributif yang didasarkan pada balas dendam jauh lebih penting. Mempromosikan hukuman mati sebagai alasan keadilan berarti mendorong kita menggunakan alasan dendam untuk memperoleh keadilan. Padahal, keadilan bukanlah berarti mengambil apa yang telah diambil oleh pelaku kejahatan. Keadilan bukan bicara mengenai melakukan hal yang sama dengan apa yang si pelaku telah lakukan terhadap korban.

 

Jakarta, 22 Desember 2010

Hormat kami,

 

Ricky Gunawan
Direktur Program

 

Contact person:
Ricky Gunawan
0812 10 677 657

Menagih Kembali Komitmen Politik HAM SBY: Pernyataan Sikap LBH Masyarakat dalam rangka Hari HAM Internasional 2010

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat), sehubungan dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional 10 Desember, kembali menagih komitmen politik kemanusiaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Politik HAM adalah politik yang meletakkan kemanusiaan sebagai nilai keutamaan (virtue) dalam setiap pengambilan keputusan. LBH Masyarakat memandang bahwa pemenuhan HAM akan terlaksana apabila penegakan hukum berjalan rasional dan dengan dilandasi oleh komitmen politik yang kuat. Namun sayangnya, sepanjang 2010, penegakan hukum di Indonesia kian suram dan komitmen politik semakin memudar (lack of political will). Sederet peristiwa sepanjang tahun ini menunjukkan wajah dan watak politik HAM SBY yang kian jauh dari janji pemenuhan HAM, mengingkari keadilan dan melecehkan penegakan hukum.

Salah satu contoh yang mencerminkan rendahnya komitmen politik HAM SBY adalah pemilihan Timur Pradopo sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Pemilihan tersebut menambah deret potret buram pengisian jabatan publik yang melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas. Tidak transparan karena SBY tidak menjelaskan kepada publik alasan di baliknya pemilihan Timur Pradopo sebagai Kapolri, padahal publik berhak tahu dasar pilihan politik SBY tersebut – mengingat Kapolri adalah jabatan publik. Promosi pangkat dan jabatan Timur Pradopo dalam hitungan jam memperkuat kecurigaan publik bahwa pemilihannya lebih bernuansa politis daripada kepentingan untuk pemajuan HAM. Pilihan tersebut jelas juga tidak akuntabel karena rekam jejak Timur Pradopo yang diduga kuat bertanggung jawab dalam kasus Trisakti 1998 dan serangkaian ketidakberhasilan Timur Pradopo menyelesaikan kasus-kasus yang menyita perhatian publik seperti penyerangan kantor TEMPO, penganiayaan terhadap Tama S. Langkun, aktivis ICW, maupun yang paling terakhir adalah kasus Ampera. Dengan tetap memilih Timur Pradopo sebagai Kapolri justru menunjukkan ketidakpekaan SBY terhadap persoalan penegakan hukum dan pemenuhan HAM. Jabatan Kapolri hendaknya tidak boleh diisi oleh figur yang memiliki catatan buruk di kedua hal tersebut. Tidaklah mengherankan apabila kemudian penegakan hukum dan perlindungan HAM dalam beberapa bulan terakhir semakin cepat berjalan mundur, mengingat Polri dipimpin oleh figur yang integritasnya rendah.

LBH Masyarakat mencatat setidaknya terdapat 2 (dua) hal mendasar yang mendesak untuk dibenahi oleh SBY guna mengkonkritkan politik HAM-nya:

  1. Menghapus kultur impunitas. Video kekerasan Papua menyita perhatian kita di pertengahan menjelang akhir 2010. Kesan bahwa praktik kekerasan melekat erat pada insitusi militer (dan juga kepolisian) menjadi kenyataan dengan munculnya video tersebut. LBH Masyarakat memandang bahwa kekerasan tersebut terjadi karena masih kuatnya kultur impunitas di Indonesia sehingga aparat negara masih bisa leluasa melakukan kekerasan dan lolos dari penghukuman, atau mendapat hukuman yang ringan dan tidak menjerakan. Belum lagi realisasi komitmen SBY untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu juga tidak berbanding lurus dengan apa yang pernah dijanjikan. Padahal SBY dapat memerintahkan Kejaksaan untuk menindaklanjuti hasil temuan Komnas HAM untuk beberapa kasus yang telah diselidiki oleh Komnas HAM. Kegagalan SBY menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu kian mempertebal iklim impunitas. SBY harus mampu menghapus kultur impunitas dengan cara mengefektifkan penegakan hukum dan pemulihan hak bagi korban, termasuk di dalamnya dengan menjamin ketidakberulangan kejahatan HAM.
  2. Mempercepat reformasi institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) secara menyeluruh. Polri adalah salah satu institusi Negara yang kerjanya kerap bersinggungan dengan perlindungan HAM. Ironisnya, bukannya melindungi dan mengayomi warga, Polri justru terkesan melindungi dan mengayomi pelaku kekerasan seperti misalnya Front Pembela Islam (FPI). LBH Masyarakat mengidentifikasi 3 (tiga) persoalan pokok HAM yang berhubungan dengan buruknya kinerja Polri tahun ini:
    1. Absennya kepekaan Polri terhadap keadilan. Tahun 2010 kita masih menjumpai beberapa kasus tindak pidana minor yang pelakunya diproses oleh Kepolisian atas nama prosedural. Padahal, secara substansial tindakan Polri yang memproses pelaku adalah berlebihan dan tidak sensitif. Institusi Polri seharusnya dapat menilai apakah kasus-kasus tersebut layak dibawa ke pengadilan dan pelakunya mendapat penghukuman. Over-kapasitas Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sesungguhnya tidak terlepas dari tindakan Kepolisian yang dengan mudah dan tidak mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat menahan dan menginvestigasi seseorang. Sehingga, salah satu kontribusi utama untuk pengurangan kapasitas Rutan dan Lapas adalah mendorong Kepolisian untuk lebih peka terhadap nilai-nilai keadilan agar tidak secara mudah menjerat seseorang, dan bukannya membangun gedung Rutan dan Lapas baru.
    2. Penyiksaan, kekerasan dan penggunaan senjata api yang eksesif dan disproporsional. Kasus-kasus seperti Aan dan yang paling akhir penembakan mahasiswa Universitas Bung Karno membuktikan bahwa Polri masih sering menggunakan kekerasan sebagai cara bekerjanya. Pendidikan HAM bagi Polri dan Peraturan Kapolri tentang Implementasi HAM dalam kerja Polri nomor 8 tahun 2009 seakan menjadi investasi yang mubazir karena belum memberi hasil yang positif.
    3. Absennya dan diamnya Polri dalam upaya perlindungan HAM. Di beberapa kasus seperti misalnya HKBP Ciketing, termasuk serangan terhadap kelompok Ahmadiyah dan komunitas LGBT di beberapa daerah di Indonesia oleh FPI mengafirmasi kekhawatiran publik bahwa di bawah kepemimpinan Timur Pradopo yang pernah menyatakan akan merangkul FPI, Polri akan impoten ketika berhadapan dengan kelompok ekstremis, bigot dan vigilante seperti FPI. Kegagalan demi kegagalan Polri dalam menindak tegas FPI dan kelompok sejenis memberi sinyal kuat seakan Negara merawat FPI dan mengamini tindak kekerasan yang mereka lakukan. Serangan terhadap kelompok Ahmadiyah yang terus menerus berulang juga menjadi bukti bahwa komitmen politik HAM SBY terhadap kebebasan beragama sebagaimana diamanatkan Konstitusi, nihil. Baik serangan terhadap Ahmadiyah berdasarkan tafsir sempit agama maupun kekerasan terhadap komunitas LGBT atas nama moralitas, adalah pertanda kuat bahwa yang berlaku di Indonesia adalah hukum agama dan moral, bukannya hukum Negara.

Untuk menjamin keberlanjutan reformasi kepolisian, maka pembaruan institusi Polri yang kini tengah berjalan harus dievaluasi secara komprehensif untuk mengetahui letak jurang disparitas antara kerangka konseptual dan praktik. Setelah mengkajinya secara menyeluruh, konsep reformasi Kepolisian kemudian harus dirancang-bangun kembali dan dipercepat serta diefektifkan agar dapat meningkatkan kinerja Polri. Hal ini penting dilakukan mengingat tingkat kepercayaan publik terhadap Polri semakin meluruh.

LBH Masyarakat menyayangkan di tahun pertama periode kedua pemerintahan SBY, justru pelanggaran HAM kian vulgar terjadi dan Negara berulang kali melakukan pembiaran atas pelanggaran yang telah terjadi. Padahal SBY, yang tidak akan terpilih lagi sebagai Presiden RI untuk periode berikutnya, seharusnya dapat meninggalkan legacy yang kuat dalam hal pemenuhan HAM. Di tahun 2010, perselingkuhan antara Negara dengan korporasi pelaku pelanggaran HAM dan kelompok ekstremis terus melahirkan serial kejahatan HAM baik di ranah sipil-politik, maupun ekonomi-sosial-budaya. Rendahnya komitmen politik yang berujung pada lemahnya penghukuman terhadap pelaku kejahatan HAM adalah faktor determinan yang berdampak pada reproduksi pelanggaran HAM secara berkelanjutan. Oleh sebab itu LBH Masyarakat mendesak Presiden SBY untuk menunjukkan kepemimpinan yang kuat guna mewujudkan pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. SBY harus membuktikan bahwa Negara tidak boleh dan memang tidak kalah dengan pelaku kejahatan HAM.

 

Jakarta, 9 Desember 2010

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

 

Ricky Gunawan
Direktur Program

Negara Harus Segera Melakukan Moratorium Hukuman Mati

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) mendesak Kejaksaan Agung untuk melakukan moratorium hukuman mati terhadap enam terpidana mati yang putusan pengadilannya sudah berkekuatan hukum tetap. Lebih jauh lagi, LBH Masyarakat mendesak Kejaksaan Agung untuk melakukan moratorium hukuman mati terhadap semua terpidana mati.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya bahwa Kejaksaan Agung akan melakukan eksekusi hukuman mati terhadap enam terpidana mati. Adapun keenam terpidana mati yang siap dieksekusi tersebut yaitu: Meirika Franola (perkara narkotika), Gunawan Santosa alias Acin (perkara narkotika), Bahar bin Matsar (perkara pembunuhan), Jurit bin Abdullah (perkara pembunuhan), Ibrahim bin Ujang (perkara pembunuhan) dan Suryadi Swhabuana (perkara pembunuhan). Pelaksanaan hukuman mati hanya akan memperpanjang rantai pembalasan dan melegalisasi pembunuhan atas nama keadilan.

Konstitusi Indonesia Pasal 28A juncto Pasal 28I menyebutkan dengan tegas bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup dan hak tersebut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Oleh karenanya, hukuman mati adalah bentuk pelanggaran fundamental terhadap hak untuk hidup yang merupakan hak yang inheren melekat pada diri setiap manusia yang tidak hanya diakui dalam Konstitusi Indonesia tetapi juga beragam aturan hukum internasional.

LBH Masyarakat memandang bahwa hukuman mati merupakan bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia karena:

  1. Hukuman tersebut sampai mencabut nyawa manusia, dan proses hukum untuk menentukan dibatalkan atau dilaksanakannya hukuman mati tersebut menempatkan terpidana dalam suasana ketidakpastian sehingga menambah kekejaman dari sebuah hukuman mati (death row phenomenon).
  2. Hukuman mati adalah bentuk pengingkaran kemanusiaan yang hakikatnya adalah kehidupan.
  3. Hukuman mati menghapus segala harkat dan martabat yang dimiliki terpidana, dan ia diperlakukan sebagai obyek yang harus dieliminasi oleh negara.

LBH Masyarakat percaya bahwa setiap kejahatan berat harus dihukum berat. Namun hukuman terberat tidak boleh sampai merenggut hidup seseorang. Pidana terberat yang dapat dijadikan sebagai alternatif solusi pemidanaan adalah penjara seumur hidup tanpa remisi (life imprisonment without parole). Hukuman seumur hidup lebih layak sebagai hukuman terberat yang lebih banyak memberikan kesempatan bagi banyak pihak untuk memperbaiki keadaan, sesuai dengan filosofi pemidanaan modern yakni restoratif bukan retributif.

LBH Masyarakat juga menegaskan kembali bahwa penerapan hukuman mati sebagai efek jera adalah alasan klasik yang sudah usang dan tidak pernah terbukti penjeraannya. Data dan fakta yang ada menunjukkan bahwa hukuman mati tidak banyak memberikan kontribusi dalam mengurangi angka kejahatan karena sesungguhnya terdapat banyak faktor yang memberikan kontribusi atas tinggi rendahnya kejahatan. Bukan seberapa kejam hukumanlah yang dapat menimbulkan efek jera; melainkan adanya kepastian hukum bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana pasti dihukum setelah sebelumnya melalui proses peradilan yang jujur dan transparan.

LBH Masyarakat melihat bahwa pelaksanaan hukuman mati hanya akan melanggengkan lingkar balas dendam (cycle of vengeance). Ketika kita mengutuk keras kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, mengapa kemudian kita juga melakukan hal yang sama dengan pelaku yakni membunuh? Mempromosikan hukuman mati sebagai alasan keadilan berarti mendorong agar kita semua selalu mempergunakan alasan dendam untuk memperoleh keadilan.

Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling fundamental, melekat dan berlaku bagi semua manusia, tanpa terkecuali. Hak untuk hidup berlaku bagi semua manusia yang berkelakukan baik, termasuk juga bagi manusia yang melakukan kejahatan.

 

Jakarta, 28 Januari 2010

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

 

Ricky Gunawan
Direktur Program

Menyangkal Tangis: Dari Kemiskinan, Narkotika, Prostitusi sampai HIV

Telah menjadi dogma di kalangan pemerhati hak perempuan bahwa budaya patriarki yang kuat akan melahirkan relasi kuasa yang timpang antara lelaki dan perempuan. “Dalam lingkungan yang dihegemoni oleh lelaki, perempuan begitu rentan mendapat perlakuan diskriminatif dan terlanggar haknya. Pemenuhan hak perempuan akhirnya sulit tercapai mengingat lelaki akan mengekang perempuan untuk menjalani fungsi tradisionil jendernya yaitu menjadi ibu rumah tangga. Dalam hal seorang perempuan juga membawa identitas lain yang kontroversial di mata mayoritas masyarakat, perempuan tersebut akan mengalami diskriminasi berlapis,” tegas Ricky Gunawan, Direktur Program LBH Masyarakat. Hal tersebut diungkapkan oleh Ricky di acara pemutaran film pendek dokumenter berjudul Menyangkal Tangis: Dari Kemiskinan, Narkotika, Prostitusi, sampai HIV, hari Jumat, 13 Agustus 2010 di Pusat Kebudayaan Italia, Jakarta. Acara tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) bekerjasama dengan Asian Human Rights Commission (AHRC)/Asian Legal Resource Center (ALRC) dan Women’s International Shared (WISE) Project.

Lebih lanjut Ricky mengungkapkan bahwa seorang perempuan pemakai narkotika akan mengalami stigma dan penolakan dari keluarga, sementara lelaki pemakai narkotika akan dimaklumi oleh keluarga sebagai kenakalan khas lelaki. Seorang perempuan pekerja seks akan dipandang manusia rendahan, tidak beragama – menafikan kenyataan bahwa eksistensi mereka tidak terlepas dari lelaki hidung belang pemburu seks. Seorang lelaki yang transjender – memilih jender perempuan sebagai jalan hidup – akan diusir dari keluarga. Seorang perempuan yang transjender – memilih jender lelaki – juga akan mengalami pemaksaan identitas sebagai tetap “perempuan”. Dan, seorang perempuan dengan HIV positif akan mendapat citra sebagai perempuan yang “gemar seks bebas” dan amoral.

Berangkat dari situasi tersebut di ataslah pelatihan pembuatan film sebagai perangkat advokasi bagi perempuan pemakai narkotika, pekerja seks, waria dan perempuan dengan HIV positif diselenggarakan. LBH Masyarakat, AHRC/ALRC dan WISE hendak meletakkan konteks persoalan di atas dalam kerangka advokasi hak asasi manusia dengan menggunakan medium video. WISE sendiri adalah sebuah program yang diinisiasi oleh AHRC/ALRC dan mengambil skala Asia sebagai wilayah kerjanya. WISE telah melakukan pelatihan bagi perempuan tertindas dan hidup dalam kemiskinan di Pakistan. Setelah Indonesia, WISE akan melanjutkan kegiatan ini ke Thailand dan Sri Lanka. “WISE bertujuan untuk memberi pelatihan bagi perempuan untuk produksi video dan penggunaan internet sebagai media komunikasi dan mendorong mereka untuk melanjutkan kegiatan serupa sekalipun program telah usai,” ungkap Danielle Spencer, Koordinator Program WISE.

Danielle mengutip survey global Bank Dunia tahun 1999 terhadap 60.000 orang yang berpenghasilan kurang dari satu dollar sehari (kurang lebih sepuluh ribu rupiah). Ketika ditanyakan apa yang dapat memberikan dampak perubahan yang signifikan terhadap hidup mereka, sebagai jawaban nomor satu, bahkan di atas kebutuhan pangan dan tempat tinggal adalah akses untuk menyuarakan aspirasi mereka. “Di titik inilah WISE meletakkan konteksnya untuk membuka celah advokasi bagi mereka yang suaranya tidak pernah terdengar,” tambahnya.

Di Indonesia, sepuluh perempuan yang berasal dari latar belakang mantan pemakai narkotika, pekerja seks, waria dan perempuan dengan HIV positif dikumpulkan untuk mengikuti pelatihan intensif selama 9 (sembilan) hari mulai dari Senin, 2 Agustus 2010 sampai Kamis, 12 Agustus 2010. Kesepuluh perempuan ini belum pernah menggunakan video-kamera dan perangkat pembuatan film lainnya. Selama pelatihan para perempuan tersebut diminta untuk menyuarakan aspirasi, kepentingan dan pandangan mereka mengenai problematika menjadi seorang perempuan di Indonesia pada umumnya dan Jakarta pada khususnya, dalam medium sebuah film berdasarkan pengalaman dan perspektif mereka, dengan memperhatikan segala persoalan kontekstual sosial, ekonomi dan budaya. Film ini, sederhananya, adalah interpretasi para perempuan tersebut terhadap persoalan yang muncul di hadapan mereka. Film ini pada akhirnya diharapkan dapat menjadi salah satu perangkat advokasi dan kampanye hak asasi manusia yang dapat mereka dan komunitas mereka manfaatkan. Film tersebut diberi judul, Menyangkal Tangis: Dari Kemiskinan, Narkotika, Prostitusi, dan HIV.

 

Jakarta, 13 Agustus 2010

 

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat)
Asian Human Rights Commission (AHRC)/Asian Legal Resource Center (ALRC)
Women’s International Shared (WISE) Project

 

Tentang LBH Masyarakat:
Organisasi non-pemerintah nirlaba yang memfokuskan program kerja utamanya pada: penyediaan layanan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat miskin dan terpinggirkan; pemberdayaan hukum masyarakat di tingkat akar rumput melalui pendidikan hukum dan HAM; advokasi kebijakan; dan kampanye HAM di tingkat nasional dan internasional.

Contact person:
Ricky Gunawan
Direktur Program
rgunawan@lbhmasyarakat.org
+62 812 10 677 657

Tentang AHRC:
Organisasi non-pemerintah regional yang melakukan pemantauan dan lobi-lobi untuk isu HAM di Asia. AHRC berdiri pada tahun 1984.

Tentang ALRC:

Organisasi non-pemerintah regional yang memegang status konsultasi untuk Sidang Ekonomi dan Sosial PBB. ALRC bertujuan untuk memperkuat dan mendorong langkah positif dalam hal persoalan hukum dan HAM di tingkat nasional di negara-negara Asia.

Tentang WISE:

Sebuah program yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan tertindas dan terpinggirkan agar mampu menyuarakan aspirasi dan pandangan mereka mengenai persoalan yang mereka alami. Pemberdayaan tersebut dilakukan dengan cara memberikan pelatihan pembuatan film dan penggunaan teknologi internet sebagai alat advokasi.

Contact person:
Danielle Spencer
Koordinator Program
danielle.spencer@ahrc.asia
http://www.wisevoicesthroughvideo.org

Pemakai Narkotika Membutuhkan Rehabilitasi, Bukan Penjara

Rabu 29 Juli 2009, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara nomor 798/Pid.B/2009/PN Jkt.Pst, dengan ketua H. Makmun Masduki, SH, MH menjatuhkan vonis rehabilitasi kepada seorang pecandu narkotika yang mengalami ketergantungan. Dalam pertimbangan putusannya, hakim menyatakan bahwa banyak narapidana narkotika yang dari sisi kesehatan adalah orang sakit yang butuh terapi kesehatan. Selanjutnya penjara bukanlah tempat yang tepat untuk para pecandu narkotika yang mengalami ketergantungan. Oleh karena itu hakim memerintahkan terdakwa untuk menjalani rehabilitasi di RSKO Cibubur terlebih dahulu.

Pertimbangan putusan ini disampaikan dalam perkara atas nama Wulan Rahayu Nur Setiawan. Wulan adalah pecandu yang tertangkap tangan sedang menguasai narkotika untuk kebutuhan sekali pakai ketika baru saja membeli dari seorang bandar di daerah Salemba Tengah (sampai saat ini bandar belum tertangkap). Selama persidangan, Wulan dan Tim Penasehat Hukumnya mengakui semua yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Namun Wulan menambahkan kalau dirinya adalah pecandu yang mengalami ketergantungan sehingga wajib untuk menjalani rehabilitasi dan diperhitungkan sebagai masa tahanan. Dakwaan Jaksa yang hanya mendakwa dirinya sebagai pemilik narkotika dipandang tidak tepat, Jaksa seharusnya mendakwa Wulan sebagai pemakai yang mengalami ketergantungan.

Majelis Hakim dalam putusan selanya, memerintahkan kepada Penasihat Hukum dan Terdakwa untuk membuktikan bahwa Wulan adalah pecandu yang mengalami ketergantungan. Selama persidangan, juga sempat diperiksa orang tua Wulan Rahayu yang menceritakan bahwa karena narkotika ia telah kehilangan anak sulung dan menantunya. Saat ini hanya tinggal Wulan dan seorang cucu yang merupakan anak Wulan. Wulan benar-benar mengalami ketergantungan narkotika.

Atas dasar itu semua, Majelis Hakim berani untuk melakukan terobosan dengan menggunakan Pasal 47 UU Narkotika yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk menghukum seorang pecandu narkotika menjalani rehabilitasi. Kewenangan sebagaimana telah diafirmasi dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA RI) No 7 tahun 2009. Dalam amar putusannya, Majelis Hakim tidak hanya menjatuhkan pidana selama 1 tahun 8 bulan penjara (yang dipotong masa tahanan), tapi juga memerintahkan terdakwa untuk menjalani rehabilitasi terlebih dahulu di RSKO Cibubur selama 6 (enam) bulan yang akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana.

Pertimbangan Majelis Hakim yang memandang pecandu sebagai orang sakit yang butuh terapi kesehatan serta penjara bukan tempat yang pas bagi pecandu adalah sebuah pertimbangan yang layak diapresiasi dan dipertimbangkan oleh seluruh hakim di Indonesia. Dengan pertimbangan ini, majelis hakim justru akan mendukung program penanggulan narkotika di negara ini. Memenjarakan pecandu semata, tanpa memberi kesempatan untuk rehabilitasi sama saja dengan mengabaikan Hak Asasi Manusia. Sekarang, giliran kejakaan khususnya Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat untuk segera melaksanakan putusan tersebut. Dengan segera melaksanakan putusan ini, Jaksa berarti mendukung upaya penyembuhan dan pemulihan harkat dan martabat pecandu sebagai manusia.

Demikian media release ini dibuat, untuk keperluan konfirmasi dan eksplorasi lebih lanjut dapat menghubungi Ajeng Larasati di nomor 0818.0615.3345 atau 021.830.5450.

Skip to content