Month: January 2016

Policy Brief: Fenomena Ganja Sintetis

Status ganja yang ilegal di Indonesia membuat fenomena ganja sintetis menyeruak. BNN mendorong agar zat yang terkandung di dalam ganja sintetis dimasukkan ke dalam lampiran UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat memandang bahwa negara harus hati-hati menyikapi fenomena ini. LBH Masyarakat mendorong pemerintah untuk segera mendekriminalisasi konsumsi dan kepemilikan ganja untuk konsumsi pribadi dalam jumlah tertentu. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat dari dampak buruk zat yang terkandung di dalam ganja sintetis serta menghentikan fenomena overcriminalization yang menghabiskan anggaran negara.

Versi lengkap policy brief ini bisa diunduh melalui tautan berikut: 280116_Policy Brief Fenomena Ganja Sintetis_LBH Masyarakat

Foto: HS

Policy Brief: Kebijakan Minuman Beralkohol

Peraturan Menteri Perdagangan 06/M-DAG/PER/1/2015 telah melarang penjualan minuman keras di mini market. Kini, beberapa kalangan masyarakat mendorong untuk adanya ketentuan yang mengkriminalkan kegiatan memproduksi, menjual dan membeli, mengedarkan, meminum serta menyimpan minuman beralkohol. LBH Masyarakat berpandangan bahwa pelarangan penjualan minuman beralkohol di mini market, dan kriminalisasi jual-beli, peredaran dan konsumsi minuman beralkohol, memiliki dimensi pelanggaran hak asasi manusia dan justru meningkatkan risiko kesehatan kepada masyarakat.

Versi lengkap policy brief ini bisa diunduh melalui tautan berikut: 280116_Policy Brief Kebijakan Minuman Beralkohol_LBH Masyarakat

 

Foto: RG

Rilis Pers – LBH Masyarakat: Pemerintah Indonesia Darurat Intoleransi!

Jakarta, 24 Januari 2016

LBH Masyarakat mengecam keras pernyataan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, M. Nasir, mengenai pelarangan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT) untuk masuk ke dalam lingkungan kampus.[i] LBH Masyarakat memandang bahwa pernyataan-pernyataan semacam ini menunjukkan sikap pemerintah yang semakin intoleran terhadap kaum minoritas di Indonesia.

Beberapa bulan belakangan nampak sikap pemerintah yang tidak ramah terhadap pecandu narkotika, adanya pengusiran paksa terhadap penganut Gafatar, dan kini komentar tak berdasar muncul dari seorang menteri riset terhadap teman-teman LGBT. “Pemerintah saat ini gemar sekali mengambil aksi melarang, memerangi, dan menyatakan keadaan darurat tentang sesuatu. Saya rasa justru tepat untuk mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia sedang dilanda darurat intoleransi,” ujar Yohan Misero, Analis Kebijakan HAM di LBH Masyarakat.

“Pernyataan M. Nasir sesungguhnya mengandung beberapa kelemahan. Pertama, untuk konteksnya sendiri. M. Nasir sedang membicarakan tentang SGRC UI, yang sejatinya adalah kelompok studi. Jadi, pernyataannya melarang kelompok LGBT adalah inkontekstual karena SGRC UI bukanlah komunitas LGBT. Justru seharusnya ia mendukung keberadaan SGRC UI untuk melakukan kajian dan penelitian karena itulah mandat kementeriannya. Kedua, SGRC UI tidak sedang mempromosikan sesuatu. Sebaliknya, SGRC UI sedang membuka ruang bagi teman-teman LGBT yang ingin mencurahkan perasaannya karena tertindas, menjadi korban bullying, dan berbagai masalah lainnya hanya karena identitas jender dan orientasi seksualnya. Pernyataan M. Nasir justru melanggengkan stigma dan diskriminasi, menyebarkan ketakutan yang tidak berdasar, dan berisiko meningkatkan kekerasan terhadap teman-teman LGBT, terutama di lingkungan perguruan tinggi. Sebuah lingkungan yang harusnya dijaga baik-baik oleh M. Nasir,” tambah Yohan.

“Ketiga, sebagai mantan rektor, M. Nasir seharusnya paham betul kompleksnya situasi perguruan tinggi. Dalam sebuah lingkungan perguruan tinggi terdapat banyak orang dari bermacam-macam suku, daerah asal, latar belakang sosial-ekonomi, dan termasuk, tentu saja, orientasi seksual. Keberagaman identitas jender dan orientasi seksual adalah sebuah keniscayaan – sesuatu yang tak terhindarkan. M. Nasir, sebagai seorang pejabat publik seharusnya menjaga pluralitas ini, karena hanya dengan demikian lingkungan akademik akan tetap kreatif, berpikiran terbuka dan melahirkan inovasi untuk kemajuan umat manusia. Keempat, pernyataan M. Nasir bahwa LGBT tidak sesuai dengan nilai dan kesusilaan bangsa Indonesia adalah pernyataan yang ahistoris dan abai pada riset. Sebab, ragam identitas jender dan orientasi seksual dapat ditemukan di sejarah beberapa suku bangsa di Indonesia,” Yohan menjelaskan.

LBH Masyarakat mendesak pada semua penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, untuk tidak memperkeruh suasana dengan komentar-komentar yang tidak berdasar dan homophobic terhadap teman-teman LGBT. Khusus kepada Menristek, M. Nasir, LBH Masyarakat mendorong sebaiknya beliau lebih fokus pada upaya peningkatan kualitas riset dan pendidikan tinggi Indonesia.

Sebagai penutup, Yohan menyampaikan, “LBH Masyarakat juga tidak lupa untuk mengingatkan Universitas Indonesia agar bersikap inklusif dan toleran. Realitanya, terdapat banyak sekali organisasi atau, setidak-tidaknya, komunitas di kampus UI yang menggunakan nama/logo UI tanpa seizin rektorat. Terhadap keberadaan mereka, UI tidak mengeluarkan peringatan yang sama seperti halnya kepada SGRC UI. Artinya, bisa dibaca bahwa ada kepanikan di rektorat dalam menyikapi hal ini. Lebih jauh lagi, UI seharusnya membantu SGRC UI menjadi organisasi yang terdaftar di rektorat. Apalagi mengingat peran SGRC UI yang aktif mengadakan kajian dan diskusi ilmiah yang mana selaras dengan tridharma perguruan tinggi. Walau demikian kami menyerahkan kembali kepada pengurus SGRC UI sebagai empunya organisasi.”

LBH Masyarakat berharap Universitas Indonesia dapat tetap menjadi pilar perubahan, sebagaimana sejarah menceritakannya, dan mendukung teman-teman SGRC UI untuk mengadakan diskusi-diskusi akademik dan melindungi mereka dari ancaman kekerasan pihak-pihak yang intoleran, termasuk dari internal UI sendiri.

 

Narahubung:

Yohan David Misero   +62 856 9754 5166

***

[i] Lihat misalnya: http://www.antaranews.com/berita/541624/kampus-mestinya-tidak-dimasuki-lgbt-kata-menristek, http://www.merdeka.com/peristiwa/dianggap-jadi-ancaman-moral-lgbt-dilarang-menristek-masuk-kampus.html, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/01/23/o1ethv354-menristek-dikti-lgbt-tak-boleh-masuk-kampus

Volunteering Oppurtunity

If you feel passionately about law, politics, and human rights, especially the abolition of the death penalty, Reprieve would like to hear from you.

Reprieve is a small legal action charity that provides free legal and investigative support to some of the world’s most vulnerable people. With headquarters in London, and local staff plus partners based in countries around the world, Reprieve specializes in assisting those facing the death penalty around the world through the provision of support to the local legal team and advice to the international community regarding appropriate interventions.

We are looking for a Volunteer who would like to be involved for 20 hours per week until June 2016 and will be working closely with one of our fellows based in Jakarta. This is an exciting opportunity for you to get involved in the fight of death penalty abolition in Indonesia and gain valuable experience in legal research and knowledge in law and human rights.

We are looking for law student who could meet these requirements:
– Good writing skills in Bahasa Indonesia and English;
– A demonstrated commitment to human rights particularly the abolition of the death penalty;
– Good knowledge of Microsoft Word and Excel;
– Has taken subjects of the Indonesian criminal procedure law;
– Proven ability to work independently with a high-level of self-motivation.

If this sounds like you, please get in touch with Raynov Tumorang Pamintori by sending your recent CV and an application letter explaining why you are the ideal candidate to raynov@reprieve.org.uk on 3 February 2016 at the latest.

Open Letter: Indonesia’s Authorities Must End Executions and Abolish The Death Penalty

Mr. Luhut Panjaitan,
Coordinating Minister for Politics, Law and Security Affairs
Coordinating Ministry for Politics, Law and Security Affairs
Jl. Merdeka Barat No. 15,
Jakarta Pusat 10110
Indonesia

 

18 January 2016

Dear Minister,

Indonesia’s authorities must end executions and abolish the death penalty

We are writing to you on the issue of the application of the death penalty in Indonesia. It has been a year since your administration resumed executions in Indonesia on 18 January 2015, after a four year hiatus, despite strong protests from human rights organizations and the international community.

Our organizations are concerned despite your public announcement in November 2015 that Indonesia government would suspend any executions in near future[1] the Attorney General has recently announced[2] that further executions will be carried out in 2016. As there continues to be serious concerns about violations of fair trial and other human rights in the use of the death penalty in Indonesia we ask for your immediate intervention to address these issues. In particular, we urge you to ensure all death sentences are reviewed by an independent and impartial body, with a view to their commutation.

Research findings by the National Commission on Human Rights (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komnas HAM)[3] and additional independent research carried out by Amnesty International,[4] ICJR (Institute for Criminal Justice Reform)[5], and other human rights organizations, point to systemic flaws in the administration of justice in Indonesia and violation of fair trial and other international safeguards that must be strictly observed in all death penalty cases[6]:

  • Defendants in the cases under analysis did not have access to legal counsel from the time of arrest and at different stages of their trial and appeals; they were subjected to ill-treatment while in police custody to make them “confess” to their alleged crimes or sign police investigation reports.
  • Prisoners were brought before a judge for the first time when their trials began, months after their arrest.
  • In several cases involving foreign nationals, particularly those convicted of drug-related offences, the authorities failed to correctly identify or verify the identity of the prisoner and notify relevant country representations of the arrest. The authorities also failed to provide translation and interpretation to those prisoners who could not understand Bahasa, whether they were foreigners or Indonesian nationals.
  • The death penalty continued to be used extensively for drug-related offences, even though these offences do not meet the threshold of the “most serious crimes”, the only category of crimes for which the death penalty can be imposed under the International Covenant on Civil and Political Rights, to which Indonesia is a state party, pending its abolition.

In addition, despite the clear prohibition under international law concerning the use of the death penalty against persons who were below 18 years of age or have a mental or intellectual disability, credible claims put forward by prisoners in relation to their age and mental illness were not adequately investigated by the authorities and have resulted in the unlawful imposition of the death penalty and, in at least one case, execution. While Indonesian law requires that all births be registered, in practice many people do not undergo this process, making the determination of one’s age particularly challenging. This, coupled with a lack of legal assistance, increases the risk that persons who were below 18 when the crime was committed are exposed to the death penalty. Additionally, defendants and prisoners are not regularly and independently assessed, which can result in mental disabilities remaining undiagnosed and prisoners not being afforded the care and treatment they might need.

Research findings also show that in some cases prisoners did not receive legal assistance when appealing against their conviction or sentence, or did not even submit an appeal application because they were not informed by their lawyers of their right to do so. Furthermore, the execution of some death row prisoners went ahead even though the Indonesian courts had accepted to hear their appeals. The announcement by President Joko Widodo in December 2014 and February 2015 that he would not grant clemency to any individuals convicted of and sentenced to death for drug-related crimes and information relating to some clemency rejections cast doubts on the meaningful exercise of the President’s constitutional power to grant clemency and the country’s compliance with the ICCPR.

As of today, 140 countries are abolitionist in law or practice. Three more countries – Fiji, Madagascar and Suriname- became abolitionist for all crimes in 2015 alone and the Parliament of Mongolia adopted a new Criminal Code at the end of last year, removing the death penalty as possible form of punishment under the laws of the country. The resumption of executions in Indonesia have not only set the country against its international obligations, but also against the global trend towards abolition of the ultimate cruel, inhuman and degrading punishment.

Our organizations reiterate our calls on the government of Indonesia to establish a moratorium on executions as a first step towards abolition of the death penalty. Pending full abolition, we urge you to immediately establish an independent and impartial body, or mandate an existing one, to review all cases where people have been sentenced to death, with a view to commuting the death sentences or, in cases where the procedures were seriously flawed, offer a retrial that fully complies with international fair trial standards and which does not resort to the death penalty.

 

This letter is co-signed by the following organizations:

Amnesty International
Elsam (Institute for Policy Research and Advocacy)
HRWG (Human Rights Working Group)
ICJR (Institute for Criminal Justice Reform)
Imparsial (the Indonesian Human Rights Monitor)
KontraS (the Commission for the Disappeared and Victims of Violence)
LBH Masyarakarat (Community Legal Aid Institute)
Migrant Care
PKNI (Indonesian Drug User Network)
YLBHI (Indonesia Legal Aid Foundation)

 

[1] BBC, “Indonesia announces temporary halt to executions”, 19 November 2015, available at http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-34867235.

[2] Jakarta Post, “More drug convicts to be executed next year”, 23 December 2015, available at http://www.thejakartapost.com/news/2015/12/23/more-drug-convicts-be-executed-next-year.html#sthash.roUDe3yX.dpuf.

[3] Komnas HAM issued two reports in 2010 and 2011. The 2011 report was based on a research mission conducted between September and December 2011 into 17 prisons in 13 provinces (North Sumatra, West Sumatra, Riau, Jambi, South Sumatra, Banten, Jakarta, West Java, Central Java, East Java, West Kalimantan, Bali and East Nusa Tenggara), during which 56 death row prisoners were interviewed. The 2010 report was based on a monitoring mission to 10 prisons in five provinces and on interviews with 41 death row inmates between September and October 2010.

[4] Amnesty International, “Flawed Justice-Unfair trials and death penalty in Indonesia” (ASA 21/2434/2015), October 2015, available at https://www.amnesty.org/en/documents/asa21/2434/2015/en/.

[5] Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Overview on Death Penalty in Indonesia, 2015, available at: http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2015/06/Overview-on-Death-Penalty-in-Indonesia.pdf.

[6] Among other standards, the UN Safeguards guaranteeing protection of the rights of those facing the death penalty, Approved by Economic and Social Council resolution 1984/50 of 25 May 1984.

Surat Terbuka: Akhiri Eksekusi dan Hapus Hukuman Mati

Bapak Luhut Panjaitan,
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
Jl. Merdeka Barat No. 15,
Jakarta Pusat 10110
Indonesia
 

18 Januari 2016

Bapak Menteri Yang Terhormat,

Pihak berwenang harus mengakhiri eksekusi dan menghapuskan hukuman mati

Kami dari organisasi-organisasi di bawah menulis kepada Anda tentang masalah penerapan hukuman mati di Indonesia. Saat ini telah setahun sejak Pemerintah Anda melanjutkan eksekusi mati di Indonesia pada 18 Januari 2015 – setelah empat tahun tanpa eksekusi – meskipun ada banyak protes keras dari organisasi-organisasi hak asasi manusia dan komunitas internasional.

Organisasi-organisasi kami perihatin meskipun pernyataan Anda pada November 2015 bahwa Pemerintah Indonesia akan menangguhkan segala eksekusi mati dalam waktu dekat ke depan[1], Jaksa Agung telah mengumumkan[2] belakangan ini bahwa eksekusi mati lanjutan akan dilaksanakan pada 2016. Sebagaimana terus adanya keperihatinan serius akan pelanggaran HAM lainnya dan peradilan yang adil akan penerapan hukuman mati di Indonesia, kami meminta Anda untuk melakukan intervensi segera untuk merespon masalah-masalah ini. Secara khusus, kami mendesak Anda untuk memastikan semua vonis mati dievaluasi oleh sebuah badan yang independen dan imparsial, dengan pandangan mengubah vonis mati tersebut.

Temuan-temuan riset oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)[3] dan riset independen lainnya yang dilakukan oleh Amnesty International[4], ICJR (Institute for Criminal Justice Reform)[5], dan organisasi-organisasi HAM lainnya, menyoroti kelemahan sistemik dari system peradilan di Indonesia dan pelanggaran terhadap peradilan yang adil dan jaminan perlindungan internasional lainnya yang harus dipatuhi di semua kasus-kasus hukuman mati[6]:

  • Para tersangka dan terdakwa di kasus-kasus yang diteliti tidak memiliki akses terhadap pembela hukum dari penangkapan dan proses hukum lainnya di masa persidangan dan banding; mereka menjadi korban perlakuan buruk selama di tahanan polisi untuk membuat mereka “mengaku” atas kejahatan yang dituduh kepada mereka atau menandatangani berita acara pemeriksaan di polisi.
  • Para terpidana mati tersebut dibawa ke muka persidangan pertama kalinya berbulan-bulan setelah penangkapan.
  • Di beberapa kasus menyangkut warga negara asing, khususnya mereka yang divonis untuk kasus narkotika, pihak berwenang gagal mengidentifikasi atau memverifikasi secara benar identitas terpidana mati dan memberi tahu perwakilan negara-negara yang relevan saat penangkapannya. Pihak berwenang juga gagal menyediakan penterjemahan kepada terpidana mati tersebut yang tidak mengerti Bahasa Indonesia, baik bagi warga negara asing maupun warga negara Indonesia.
  • Hukuman mati terus digunakan secara ekstensif terhadap kejahatan-kejahatan terkait narkotika, meskipun kajahatan tersebut tidak memenuhi ambang batas “kejahatan-kejahatan paling serius”, sebagai kategori kejahatan yang mana hukuman mati bisa diterapkan saat penangguhan penghapusannya di bawah Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) di mana Indonesia merupakan negara pihaknya.

Tambahan lagi, meski penghapusan yang jelas di bawah hukum internasional tentang penggunaan hukuman mati terhadap orang berumur di bawah 18 tahun atau orang yang memiliki gangguan mental atau intelektual, keluhan yang kredibel yang diajukan oleh para terpidana mati akan usia dan kondisi mental mereka tidak secara memadai diselidiki oleh pihak berwenang dan menghasilkan penggunaan hukum mati yang tidak absah, dan paling tidak pada satu kasus eksekusi mati. Meskipun hukum di Indonesia mewajibkan semua kelahiran untuk didaftarkan, pada praktiknya banyak orang tidak melakukannya, membuat penentuan usia seseorang menjadi masalah. Hal ini, ditambah dengan minimnya bantuan hukum, meningkatkan resiko di mana orang-orang berusia di bawah 18 tahun ketika kejahatannya dilakukan, akan mendapat vonis mati. Para terdakwa dan terpidana mati juga tidak secara rutin dan independen diperiksa, sehingga bisa menyebabkan gangguan mental tidak terdiagnosa dan tidak mendapat perawatan yang mereka butuhkan.

Temuan-temuan riset juga menunjukan bahwa di beberapa kasus terpidana mati tidak mendapat bantuan hukum saat mereka banding terhadap putusan awalnya, atau bahkan mereka tidak mengajukan banding karena mereka tidak diberi tahu oleh pembela hukumnya. Lebih jauh, eksekusi mati terhadapa beberapa terpidana terus berlanjut meskipun pengadilan-pengadilan Indonesia telah menerima untuk memeriksa keluhan mereka. Pernyataan Presiden Joko Widodo pada Desember 2014 dan Februari 2015 bahwa Beliau tidak akan memberikan grasi kepada terpidana mati mana pun terkait kasus narkotika, dan informasi terkait beberapa penolakan grasi membuat ragu apakah kewenangan konstitusional presiden untuk memberikan grasi dijalankan secara bermakna dan kepatuhan Indonesia terhadap ICCPR.

Hingga hari ini, 140 negara telah menghapus hukuman mati dalam sistem hukumnya atau secara praktik. Tiga negara lagi – Fiji, Madagaskar, dan Suriname – menjadi negara abolisionis untuk semua kejahatan pada 2015 saja dan Parlemen Mongolia mengadopsi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru pada akhir tahun lalu, menyingkirkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk penghukuman di negeri tersebut. Penerapan kembali eksekusi mati di Indonesia tidak hanya membuat negeri ini melanggar kewajiban HAM internasionalnya, tetapi juga bertentangan dengan kecenderungan global menuju penghapusan bentuk hukuman yang paling kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.

Organisasi-organisasi kami menegaskan kembali seruan kami kepada Pemerintah Indonesia untuk menerapkan suatu moratorium eksekusi mati sebagai langkah pertama menuju penghapusan hukuman mati. Sambil menunggu penghapusan penuh, kami mendesak Anda untuk segera membentuk badan yang independen dan imparsial, atau memberikan mandate kepada institusi yang tersedia, untuk mengevaluasi semua kasus di mana orang-orang divonis mati, dengan pandangan mengubah vonis mati tersebut, atau pada kasus-kasus di mana proses hukum secara serius cacat, diberikan persidangan ulang yang secara penuh sesuai dengan standar-standar peradilan adil internasional yang tidak menggunakan hukuman mati.

 

Surat ini ditandatangai oleh organisasi-organisasi berikut:

Amnesty International
Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat)
HRWG (Human Rights Working Group)
ICJR (Institute for Criminal Justice Reform)
Imparsial (the Indonesian Human Rights Monitor)
KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
LBH Masyarakarat
Migrant Care
PKNI (Persaudaraan Korban Napza Indonesia)
YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)

 

[1] BBC, “Indonesia announces temporary halt to executions”, 19 November 2015, tersedia di http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-34867235.

[2] Jakarta Post, “More drug convicts to be executed next year”, 23 December 2015, tersedia di http://www.thejakartapost.com/news/2015/12/23/more-drug-convicts-be-executed-next-year.html#sthash.roUDe3yX.dpuf.

[3] Komnas HAM memiliki dua laporan pada 2010 dan 2011. Laporan 2011 didasari oleh serangkaian misi yang dilakukan antara September dan Desember 2011 terhadap 17 lembaga pemasyarakatan di 13 provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Timur), di mana 56 terpidana mati diwawancarai. Laporan 2010 didasari pada misi pemantauan ke 10 lembaga pemasyarakatan di lima provinsi dan wawancara terhadap 41 terpidana mati antara September dan Oktober 2010.

[4] Amnesty International, “Flawed Justice-Unfair trials and death penalty in Indonesia” (ASA 21/2434/2015), October 2015, tersedia di https://www.amnesty.org/en/documents/asa21/2434/2015/en/.

[5] Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Overview on Death Penalty in Indonesia, 2015, available at: http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2015/06/Overview-on-Death-Penalty-in-Indonesia.pdf.

[6] Di antara standar-standar tersebut adalah, UN Safeguards guaranteeing protection of the rights of those facing the death penalty, disetujui oleh Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB 1984/50 tertanggal 25 Mei 1984.

Rilis Pers – Hentikan Pembahasan Draft Perppu Kebiri: Hukuman Kebiri Bukanlah Solusi Untuk Mengatasi Kejahatan Seksual

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam rencana pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang akan segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. LBH Masyarakat berbagi keprihatinan yang sama dengan pemerintah mengenai maraknya kejahatan seksual terhadap anak. Pelaku kejahatan seksual terhadap anak harus mendapatkan hukuman yang berat. Namun, hukuman kebiri adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia, sebab hukuman kebiri adalah penghukuman yang merendahkan martabat manusia. Di samping itu, inisiatif pemerintah tersebut tidaklah lebih sebagai langkah yang over-reaktif dan bentuk cuci tangan kegagalan pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap anak.

Alasan pemerintah menerapkan hukuman kebiri untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan calon pelaku justru perlu dikritisi. Sebab, faktor-faktor terjadinya kejahatan seksual bukanlah karena dorongan seksual semata, melainkan adanya peluang terjadinya kejahatan, pengalaman traumatik pelaku ketika kanak-kanak dan belum terpulihkan, dan masih banyak lagi. Apabila bentuk hukuman kebirinya adalah kebiri fisik, yang menjadi pertanyaan adalah bagian tubuh pelaku manakah yang akan dikebiri? Mengingat kekerasan seksual tidaklah terbatas pada penetrasi penis ke anal atau vagina saja, dan kekerasan seksual bisa dilakukan dengan benda tertentu. Bagaimana juga dengan pelaku kejahatan yang perempuan? Lantas, apabila bentuk hukuman kebirinya adalah kebiri kimiawi, penelitian ilmiah di banyak negara menunjukkan bahwa penerima hukuman kebiri masih bisa memulihkan kembali hormon testosteronnya dan melakukan kembali kejahatan seksual. Artinya, hukuman kebiri patut dipertanyakan efektivitasnya karena sekalipun pelaku kejahatan sudah dikebiri, mereka masih bisa mengulangi kejahatannya kembali – selama akar persoalan belum terjawab.

Pemberian hukuman kebiri sesungguhnya juga berpotensi membuat hakim mengurangi atau bahkan meniadakan hukuman penjara kepada para pelaku kejahatan seksual terhadap anak karena menganggap hukuman bagi pelaku kekerasan seksual sudah terwakili oleh hukuman kebiri. Hal ini menyebabkan fungsi resosialisasi yang semestinya dilakukan lembaga pemasyarakatan pelaku kekerasan seksual tidak berjalan. Selain itu, sekalipun terlihat tegas, hukuman kebiri adalah hukuman yang justru didasarkan pada semangat balas dendam dan kebencian, dan bukannya pada filosofi pemidanaan modern yang hendak membantu pelaku kejahatan dapat terintegrasi kembali ke masyarakat.

LBH Masyarakat memahami bahwa hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual masih lemah di Indonesia. Oleh karena itulah, hukuman yang sudah ada dan penegakannya-lah yang harus dibenahi, bukannya menerapkan hukuman baru yang kurang didasarkan pada bukti ilmiah dan mengingkari hak asasi manusia. Mengingat kompleksnya persoalan kejahatan seksual terhadap anak, maka solusi untuk mengatasi maraknya kejahatan tersebut haruslah menyeluruh, sistemik dan berjangka-panjang. Tidak ada solusi instan dan mudah untuk mengatasi persoalan serius ini. Aparat penegak hukum harus lebih peka dan progresif ketika menangani kasus kejahatan seksual terhadap anak. Keluarga dan institusi pendidikan harus lebih proaktif dan mengenalkan anak-anak cara-cara mendeteksi akan terjadinya kejahatan seksual. Pemulihan psikologi/psikiatri harus tersedia bukan hanya bagi anak korban kejahatan seksual tetapi juga pelaku. Hukuman kebiri hanyalah jalan pintas yang memuaskan banyak pihak tetapi mengabaikan akar persoalan sesungguhnya.

Jakarta, 13 Januari 2016

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

Ricky Gunawan, S.H., M.A

Albert Wirya, S.Sos.

DirekturPeneliti

***

CP: Albert Wirya (081932060682)

Rilis Pers: LBH Masyarakat Mengecam Niat Pemerintah Indonesia untuk Melanjutkan Eksekusi Mati

 

LBH Masyarakat mengecam keras niat pemerintah Indonesia untuk melanjutkan eksekusi[i] bagi terpidana mati. Niat ini disampaikan oleh Luhut Binsar Panjaitan, Menkopolhukam, dan Budi Waseso, Kepala BNN, secara terpisah pada Selasa, 12 Januari 2016. LBH Masyarakat mendukung penuh usaha pemerintah untuk menciptakan rasa aman bagi publik dan mengentaskan peredaran gelap narkotika selama hal tersebut dilakukan dengan cara-cara yang memperhatikan aspek hak asasi manusia.

Baik Luhut maupun Buwas, dalam pernyataan-pernyataannya menyinggung tentang proses eksekusi yang tidak perlu diribut-ributkan seperti sinetron.[ii] Kecaman yang datang dari dalam maupun luar negeri atas eksekusi mati 14 orang pada 2015 lalu rupanya tidak mengurungkan niat pemerintah untuk melanjutkan eksekusi. Pada pernyataannya, Luhut Panjaitan menyatakan bahwa eksekusi akan dilaksanakan setelah kondisi ekonomi membaik. “Sungguh menyedihkan melihat posisi pemerintah terhadap hukuman mati saat ini. Kita dapat membaca pernyataan Luhut tersebut dari beberapa sudut pandang. Pertama, eksekusi mati ternyata memang memakan banyak anggaran negara sehingga ikut memengaruhi ekonomi. Sayangnya, meski eksekusi mati ini cukup berpengaruh pada situasi ekonomi, namun tidak berpengaruh pada situasi peredaran gelap narkotika. Hal ini terbukti pada prestasi BNN dan Kepolisian sendiri yang berhasil menghentikan beberapa upaya penyelundupan narkotika ke dalam negeri, yang justru menunjukan bahwa eksekusi mati tidak memberikan ketakutan pada mafia besar peredaran gelap narkotika. Kita membutuhkan pendekatan yang lebih inovatif untuk menyelesaikan masalah ini, bukannya upaya brutal seperti eksekusi mati,” ujar Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat.

“Kedua, ekonomi akan lebih baik jika semakin banyak investasi masuk ke dalam negeri. Permasalahannya, eksekusi mati telah terbukti dapat memperburuk hubungan diplomatik dua negara apabila ada warga negara asing yang dieksekusi. Hal ini dapat kita lihat dengan tegangnya hubungan Indonesia dan Australia serta Indonesia dan Brazil setelah eksekusi tahun lalu. Oleh karena itu, kami memandang bahwa jika perbaikan ekonomi menjadi kepentingan pemerintah, moratorium hukuman mati bisa jadi salah satu solusi yang patut dipertimbangkan. Karena dengan demikian, bisa meredakan ketegangan-ketegangan yang telah terjadi sebelumnya dan tidak menambah masalah diplomatik baru,” Ricky menambahkan.

Terhadap pernyataan Luhut mengenai eksekusi 20-40 terpidana mati sekaligus[iii], Ricky mengkritisi, “Jika hal tersebut betul-betul dilaksanakan, pemerintah hanya akan mencoreng wajah situasi hak asasi manusia di Indonesia lebih parah. Indonesia, dalam cara yang tidak elok, akan disejajarkan dengan negara-negara seperti Iran dan Arab Saudi yang juga punya catatan amat buruk untuk urusan eksekusi mati – padahal Indonesia selalu membanggakan dirinya berada di jajaran kelompok negara berkembang dan demokratis yang menghormati hak asasi manusia. Apa yang terjadi di negara-negara tersebut juga menunjukkan bahwa tingginya eksekusi mati juga tidak menurunkan tindak kejahatan.”

Dalam pernyataannya di Banyuwangi, Budi Waseso menyatakan bahwa eksekusi mati juga patut dilakukan mengingat masih ada terpidana mati yang melakukan peredaran gelap dari dalam penjara dan oleh karena itu perlu juga dipertimbangkan untuk membangun lembaga pemasyarakatan khusus narkotika. “Ini adalah logika sesat yang selalu diulang-ulang untuk menjustifikasi eksekusi mati. Sangat jelas bahwa dalam kasus adanya peredaran gelap narkotika dari dalam penjara membuktikan bahwa yang harus dievaluasi adalah petugas dan petinggi lembaga pemasyarakatan – yang bahkan di banyak kasus para petugas lapas pun terlibat. Membangun lembaga pemasyarakatan khusus narkotika pun tidak akan bermanfaat apabila lingkungan lapas masih korup,” Ricky mengingatkan.

“Lebih dari itu,” tambah Ricky, “eksekusi mati, bagaimana pun caranya, adalah bentuk penghukuman yang kejam, tidak beradab, dan ketinggalan jaman. Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik pada tahun 2005. Kovenan ini jelas-jelas mendorong negara-negara pihak, termasuk Indonesia, untuk tidak lagi menerapkan hukuman mati, maka sudah sepatutnya Indonesia mengikuti ketentuan itu. Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang masih menjalankan hukuman mati di saat negara-negara lain telah bergerak ke arah penghukuman yang lebih humanis, serta efektif. Penerapan hukuman mati terbukti tidak efektif, rentan terjadi kesalahan yang tidak bisa diperbaiki, mahal, dan dapat memperburuk hubungan diplomatik dengan negara sahabat.”

CP: Yohan Misero (085697545166)

***

[i] http://nasional.tempo.co/read/news/2016/01/12/063735093/pemerintah-akan-lanjutkan-eksekusi-hukuman-mati

[ii] http://regional.kompas.com/read/2016/01/12/06363981/Kepala.BNN.Eksekusi.Napi.Narkoba.Tak.Usah.Bertele-tele.seperti.Sinetron

[iii] http://nasional.news.viva.co.id/news/read/722053-menko-luhut-minta-soal-eksekusi-mati-tak-perlu-diumbar

Skip to content