Bapak Luhut Panjaitan,
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
Jl. Merdeka Barat No. 15,
Jakarta Pusat 10110
Indonesia
18 Januari 2016
Bapak Menteri Yang Terhormat,
Pihak berwenang harus mengakhiri eksekusi dan menghapuskan hukuman mati
Kami dari organisasi-organisasi di bawah menulis kepada Anda tentang masalah penerapan hukuman mati di Indonesia. Saat ini telah setahun sejak Pemerintah Anda melanjutkan eksekusi mati di Indonesia pada 18 Januari 2015 – setelah empat tahun tanpa eksekusi – meskipun ada banyak protes keras dari organisasi-organisasi hak asasi manusia dan komunitas internasional.
Organisasi-organisasi kami perihatin meskipun pernyataan Anda pada November 2015 bahwa Pemerintah Indonesia akan menangguhkan segala eksekusi mati dalam waktu dekat ke depan[1], Jaksa Agung telah mengumumkan[2] belakangan ini bahwa eksekusi mati lanjutan akan dilaksanakan pada 2016. Sebagaimana terus adanya keperihatinan serius akan pelanggaran HAM lainnya dan peradilan yang adil akan penerapan hukuman mati di Indonesia, kami meminta Anda untuk melakukan intervensi segera untuk merespon masalah-masalah ini. Secara khusus, kami mendesak Anda untuk memastikan semua vonis mati dievaluasi oleh sebuah badan yang independen dan imparsial, dengan pandangan mengubah vonis mati tersebut.
Temuan-temuan riset oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)[3] dan riset independen lainnya yang dilakukan oleh Amnesty International[4], ICJR (Institute for Criminal Justice Reform)[5], dan organisasi-organisasi HAM lainnya, menyoroti kelemahan sistemik dari system peradilan di Indonesia dan pelanggaran terhadap peradilan yang adil dan jaminan perlindungan internasional lainnya yang harus dipatuhi di semua kasus-kasus hukuman mati[6]:
- Para tersangka dan terdakwa di kasus-kasus yang diteliti tidak memiliki akses terhadap pembela hukum dari penangkapan dan proses hukum lainnya di masa persidangan dan banding; mereka menjadi korban perlakuan buruk selama di tahanan polisi untuk membuat mereka “mengaku” atas kejahatan yang dituduh kepada mereka atau menandatangani berita acara pemeriksaan di polisi.
- Para terpidana mati tersebut dibawa ke muka persidangan pertama kalinya berbulan-bulan setelah penangkapan.
- Di beberapa kasus menyangkut warga negara asing, khususnya mereka yang divonis untuk kasus narkotika, pihak berwenang gagal mengidentifikasi atau memverifikasi secara benar identitas terpidana mati dan memberi tahu perwakilan negara-negara yang relevan saat penangkapannya. Pihak berwenang juga gagal menyediakan penterjemahan kepada terpidana mati tersebut yang tidak mengerti Bahasa Indonesia, baik bagi warga negara asing maupun warga negara Indonesia.
- Hukuman mati terus digunakan secara ekstensif terhadap kejahatan-kejahatan terkait narkotika, meskipun kajahatan tersebut tidak memenuhi ambang batas “kejahatan-kejahatan paling serius”, sebagai kategori kejahatan yang mana hukuman mati bisa diterapkan saat penangguhan penghapusannya di bawah Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) di mana Indonesia merupakan negara pihaknya.
Tambahan lagi, meski penghapusan yang jelas di bawah hukum internasional tentang penggunaan hukuman mati terhadap orang berumur di bawah 18 tahun atau orang yang memiliki gangguan mental atau intelektual, keluhan yang kredibel yang diajukan oleh para terpidana mati akan usia dan kondisi mental mereka tidak secara memadai diselidiki oleh pihak berwenang dan menghasilkan penggunaan hukum mati yang tidak absah, dan paling tidak pada satu kasus eksekusi mati. Meskipun hukum di Indonesia mewajibkan semua kelahiran untuk didaftarkan, pada praktiknya banyak orang tidak melakukannya, membuat penentuan usia seseorang menjadi masalah. Hal ini, ditambah dengan minimnya bantuan hukum, meningkatkan resiko di mana orang-orang berusia di bawah 18 tahun ketika kejahatannya dilakukan, akan mendapat vonis mati. Para terdakwa dan terpidana mati juga tidak secara rutin dan independen diperiksa, sehingga bisa menyebabkan gangguan mental tidak terdiagnosa dan tidak mendapat perawatan yang mereka butuhkan.
Temuan-temuan riset juga menunjukan bahwa di beberapa kasus terpidana mati tidak mendapat bantuan hukum saat mereka banding terhadap putusan awalnya, atau bahkan mereka tidak mengajukan banding karena mereka tidak diberi tahu oleh pembela hukumnya. Lebih jauh, eksekusi mati terhadapa beberapa terpidana terus berlanjut meskipun pengadilan-pengadilan Indonesia telah menerima untuk memeriksa keluhan mereka. Pernyataan Presiden Joko Widodo pada Desember 2014 dan Februari 2015 bahwa Beliau tidak akan memberikan grasi kepada terpidana mati mana pun terkait kasus narkotika, dan informasi terkait beberapa penolakan grasi membuat ragu apakah kewenangan konstitusional presiden untuk memberikan grasi dijalankan secara bermakna dan kepatuhan Indonesia terhadap ICCPR.
Hingga hari ini, 140 negara telah menghapus hukuman mati dalam sistem hukumnya atau secara praktik. Tiga negara lagi – Fiji, Madagaskar, dan Suriname – menjadi negara abolisionis untuk semua kejahatan pada 2015 saja dan Parlemen Mongolia mengadopsi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru pada akhir tahun lalu, menyingkirkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk penghukuman di negeri tersebut. Penerapan kembali eksekusi mati di Indonesia tidak hanya membuat negeri ini melanggar kewajiban HAM internasionalnya, tetapi juga bertentangan dengan kecenderungan global menuju penghapusan bentuk hukuman yang paling kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.
Organisasi-organisasi kami menegaskan kembali seruan kami kepada Pemerintah Indonesia untuk menerapkan suatu moratorium eksekusi mati sebagai langkah pertama menuju penghapusan hukuman mati. Sambil menunggu penghapusan penuh, kami mendesak Anda untuk segera membentuk badan yang independen dan imparsial, atau memberikan mandate kepada institusi yang tersedia, untuk mengevaluasi semua kasus di mana orang-orang divonis mati, dengan pandangan mengubah vonis mati tersebut, atau pada kasus-kasus di mana proses hukum secara serius cacat, diberikan persidangan ulang yang secara penuh sesuai dengan standar-standar peradilan adil internasional yang tidak menggunakan hukuman mati.
Surat ini ditandatangai oleh organisasi-organisasi berikut:
Amnesty International
Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat)
HRWG (Human Rights Working Group)
ICJR (Institute for Criminal Justice Reform)
Imparsial (the Indonesian Human Rights Monitor)
KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
LBH Masyarakarat
Migrant Care
PKNI (Persaudaraan Korban Napza Indonesia)
YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)
[1] BBC, “Indonesia announces temporary halt to executions”, 19 November 2015, tersedia di http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-34867235.
[2] Jakarta Post, “More drug convicts to be executed next year”, 23 December 2015, tersedia di http://www.thejakartapost.com/news/2015/12/23/more-drug-convicts-be-executed-next-year.html#sthash.roUDe3yX.dpuf.
[3] Komnas HAM memiliki dua laporan pada 2010 dan 2011. Laporan 2011 didasari oleh serangkaian misi yang dilakukan antara September dan Desember 2011 terhadap 17 lembaga pemasyarakatan di 13 provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Timur), di mana 56 terpidana mati diwawancarai. Laporan 2010 didasari pada misi pemantauan ke 10 lembaga pemasyarakatan di lima provinsi dan wawancara terhadap 41 terpidana mati antara September dan Oktober 2010.
[4] Amnesty International, “Flawed Justice-Unfair trials and death penalty in Indonesia” (ASA 21/2434/2015), October 2015, tersedia di https://www.amnesty.org/en/documents/asa21/2434/2015/en/.
[5] Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Overview on Death Penalty in Indonesia, 2015, available at: http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2015/06/Overview-on-Death-Penalty-in-Indonesia.pdf.
[6] Di antara standar-standar tersebut adalah, UN Safeguards guaranteeing protection of the rights of those facing the death penalty, disetujui oleh Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB 1984/50 tertanggal 25 Mei 1984.