Month: July 2016

Permohonan Koreksi Berita dan Pemuatan Klarifikasi Pemberitaan Humprey Ejike

Jakarta, 30 Juli 2016

Kepada Yth.

Pemimpin Redaksi

Kantor Berita Antara, Kompas.com, Republika, Metro TV, Okezone, Rimanews, Tribunnews, Detik.com

di-Tempat

Perihal: Permohonan Koreksi Berita dan Pemuatan Klarifikasi

Dengan Hormat,

Terkait adanya berita di media-media yang saudara pimpin dengan judul:

  1. Jejak Humprey Ejike yang dihukum mati (antara lain kami temukan melalui tautan berikut: http://www.antaranews.com/berita/575683/jejak-humprey-ejike-yang-dieksekusi-mati)
  2. Akhir Perjalanan Humprey Ejike, WN Nigeria yang Dihukum Mati (antara lain kami temukan melalui tautan berikut: http://nasional.kompas.com/read/2016/07/29/05380121/akhir.perjalanan.humprey.ejike.wn.nigeria.yang.dieksekusi.mati)
  3. Jejak Humphrey Ejike Sebelum Dieksekusi (antara lain kami temukan melalui tautan berikut: http://news.metrotvnews.com/read/2016/07/29/561780/jejak-humphrey-ejike-sebelum-dieksekusi)
  4. Perjalanan Humprey Ejike, WN Nigeria yang Dieksekusi Mati Tadi Malam (antara lain kami temukan melalui tautan berikut: http://www.tribunnews.com/nasional/2016/07/29/perjalanan-humprey-ejike-wn-nigeria-yang-dieksekusi-mati-tadi-malam)
  5. Akhir Perjalanan Bandar Narkoba Humprey Ejike (antara lain kami temukan melalui tautan berikut: http://rimanews.com/nasional/peristiwa/read/20160729/295203/Akhir-Perjalanan-Bandar-Narkoba-Humprey-Ejike)
  6. Jejak Humprey Warga Nigeria yang Dieksekusi Mati bersama Freddy Budiman (antara lain kami temukan melalui tautan berikut: http://news.okezone.com/read/2016/07/29/337/1449649/jejak-humprey-warga-nigeria-yang-dieksekusi-mati-bersama-freddy-budiman)
  7. Jejak Humprey Ejike Sebelum Dieksekusi Mati (antara lain kami temukan melalui tautan berikut: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/07/29/ob1kp9317-jejak-humprey-ejike-sebelum-dieksekusi-mati)
  8. Begini Jejak 4 Terpidana yang dieksekusi Mati di Nusakambangan (antara lain kami temukan melalui tautan berikut: https://news.detik.com/berita/3264022/begini-jejak-4-terpidana-yang-dieksekusi-mati-di-nusakambangan)

kami selaku kuasa hukum Humprey Ejike Elewake menerangkan bahwa terdapat isi berita yang keliru.

Berita-berita di atas memuat informasi keliru yang subtansinya sama, antara lain:

  1. Berita keliru: Ejike ditangkap di depok, tidak seorang diri (diberitakan pada semua media di atas, kecuali detik.com)

“Ejike ditangkap di Depok, Jawa Barat pada 2003 karena kedapatan memiliki 1,7 kilogram heroin. Dirinya tidak seorang diri, bersama rekannya yang dikenal dengan nama Doktor atau Koko.”

Kami menyatakan berita tersebut tidak benar. Yang benar adalah sebagai berikut:

 Humprey Ejike alias Jeff alias Doktor, ditetapkan sebagai tersangka pada tahun 2003 setelah ditemukan 1,7 kilogram heroin di restorannya. Saat digeledah Polisi, Humprey sedang berada di Bekasi lalu setelah diberitahukan Polisi maka ia kembali ke restorannya untuk menyaksikan penggeledahan. Humprey membantah memiliki dan menjualbelikan heroin karena kamar tempat ditemukan heroin ditempati oleh karyawannya bernama Ifany yang hingga kini belum tertangkap. Humprey ditetapkan sebagai tersangka tunggal dalam perkara ini.

  1. Berita keliru: Humprey terlibat kembali dalam peredaran narkoba dan ditangkap BNN pada November 2012 (substansinya terdapat di semua berita di media-media di atas)

Berita tersebut diantaranya ditulis sebagai berikut:

Namun ia tidak kapok juga, meski sudah ditahan, melakukan kembali aksi mengedarkan barang haram dan ditangkap oleh BNN pada November 2012.

Kami menyatakan berita tersebut tidak benar. Yang benar adalah sebagai berikut:

Humprey tidak pernah terlibat peredaran narkoba dari balik sel pada tahun 2012. Humprey tidak pernah diproses hukum untuk perkara lain, baik sebagai tersangka maupun saksi, selain satu-satunya perkara tahun 2003 dimana Humprey divonis mati. Bahwa benar sempat ada dua orang tersangka yang ditangkap di Depok tahun 2012 yang menyebut nama Humprey, namun setelah ditelusuri ternyata Humprey tidak terkait sama sekali dengan perkara tersebut.

Untuk memperjelas latar belakang bantahan kami di atas, kami sampaikan kronologi singkat terkait latar belakang kasus Humprey Ejike Elewake alias Jeff alias Doktor sebagai berikut:

Humprey dikenal sebagai orang yang religius, ia aktif di gereja-gereja untuk memberi pelayanan. Hingga akhir hayatnya Humprey rajin memberikan pelayanan doa bagi para narapidana di LP Nusakambangan. Humprey datang ke Jakarta untuk berusaha dan sempat berusaha di bidang tekstil hingga akhirnya mengelola restoran Afrika di Tanah Abang.

Pada tanggal 2 Agustus 2003, Polisi menggeledah Restoran Rekon yang dikelola Humprey Ejike di Tanah Abang. Saat itu Humprey sedang berada di Bekasi sedang bergabung dengan persekutuan doa di sana dan sedang melayani umat. Lalu Humprey diberitahukan bahwa restorannya sedang digeledah polisi, Humprey sempat berbicara dengan polisi melalui Telephone dan mempersilakan untuk dilakukan penggeledahan. Namun Polisi memintanya untuk hadir, dan Humprey bersedia lalu meminta Polisi menunggu, ia segera meluncur ke Tanah Abang.

Setibanya di Restoran, Polisi hendak memeriksa kamar yang biasa ditempati karyawannya Ifanyi, lalu dibuka kuncinya dan Polisi menemukan kaos kaki berisi heroin di bawah tempat tidur. Ketika Polisi menanyakan kepada Humprey dimana ia membeli heroin tersebut, Humprey menjawab: “kalau saya mengetahui bahwa di restoran ini ada narkotika dan sudah ada polisi yang menunggu saya untuk menggeladah, untuk apa saya kembali ke restoran secara sukarela?!”

Lalu kemudian Polisi membawa Humprey, diperiksa hingga akhirnya dibawa ke pengadilan dan divonis mati.

Selama pemeriksaan Humprey mendapatkan siksaan. Ketika persidangan Humprey tidak dijelaskan secara utuh oleh penerjemah yang ditunjuk untuk mendampinginya.  Meskipun Humprey membantah dan tidak ada bukti lain yang menunjukkan Humprey pernah berjualan atau mengedarkan narkotika namun pengadilan menggangap dengan jumlah 1,7 kg yang ditemukan di salah satu kamar di restoran miliknya dan  karena Humprey adalah orang Nigeria pengadilan mempertimbangkan bahwa “orang-orang kulit hitam yang berasal dari Nigeria sering menjadi pengawasan pihak Kepolisian, karena ada dugaan mereka sering melakukan transaksi penjualan jenis narkotika…” Humprey juga membantah kamar tempat ditemukan narkoba adalah kamarnya, karena ia sendiri sebenarnya tinggal di Apartemen Rajawali Kemayoran, sementara kamar di restoran tersebut sehari-hari ditempati karyawannya Ifanyi. Humprey hanya sesekali tidur di kamar tersebut apabila kemalaman. Namun bantahan ini juga tidak diterima majelis hakim bahwa dalam surat dakwaan tempat tinggal terdakwa disebut oleh Jaksa di Restoran tersebut. Akhirnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Humprey bersalah memiliki dan mengedarkan narkoba dengan pertimbangan hukum di atas, dan memvonis mati. Banding dan kasasi yang dilakukan Humprey tidak mengubah putusan tersebut.

Saat di LP Cipinang, Oktober 2004, Humprey bertemu dengan Kelly mantan partner usaha restorannya yang sedang sekarat minta didoakan. Kelly dipenjara untuk kasus lain. Kelly mengaku di hadapan 7 orang saksi bahwa heroin itu bukan milik Humprey melainkan miliknya yang ia titipkan ke Ifanyi. Lalu sebulan kemudian Kelly meninggal dunia.

Humprey sempat ajukan Peninjauan Kembali (PK) berbekal keterangan tertulis dari 7 orang yang menyaksikan pengakuan Kelly. Namun oleh Mahkamah Agung pada tahun 2007 keterangan tersebut tidak dianggap sebagai bukti yang kuat sehingga PK ditolak.

LBH Masyarakat mendampingi Humprey sebagai kuasa hukum sejak tahun 2009. Pada tahun 2012, BNN sempat merelease informasi bahwa nama Humprey disebut oleh 2 orang tersangka yang tertangkap dalam kasus narkoba di Depok LBH Masyarakat menelusuri informasi tersebut dan menemui tersangka yang dimaksud yang saat itu ditahan di LP Bogor. Berdasarkan keterangan yang dihimpun tidak benar bahwa Humprey terlibat dalam kasus baru tersebut. Faktanya, Humprey tidak pernah menjalani proses hukum apapun dalam kasus tahun 2012 tersebut. Humprey tidak pernah dipanggil sebagai saksi baik dalam perkara kedua tersangka tersebut maupun perkara-perkara apapun lainnya. Humprey juga tidak mengetahui dan mengenal kedua tersangka yang katanya menyebut nama Humprey namun telah dibantah oleh kedua tersangka tersebut.

Pada 25 Juli 2016 LBH Masyarakat mendaftarkan permohonan grasi atas nama Humprey ke PN Jakarta Pusat. Namun meskipun sedang mengajukan grasi Humprey tetap dieksekusi pada hari Jumat dini hari tanggal 29 Juli 2016.

Meskipun almarhum klien kami, Humprey Ejike Elewake telah meninggal dunia, kami tetap memiliki tanggung jawab untu menunjukkan kepada publik apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa terdapat seseorang yang mengalami proses peradilan yang tidak fair dan akhirnya dieksekusi mati harus menjadi pelajaran berharga bagi pelaksanaan hukum di negeri ini.

Kami berharap pimpinan redaksi yang terhormat dapat mengkoreksi berita yang keliru yang sebelumnya telah terlanjur diberitakan dan memuat klarifikasi kami beserta penjelasan latar belakang secukupnya untuk meluruskan pemberitaan keliru yang telah tersebar luas. Hal ini mengingat berita-berita tersebut di atas juga telah disebarkan oleh publik melalui internet sehingga tidak mungkin kami melakukan klarifikasi satu persatu.

Kami hanya mampu menelusuri berita yang dimuat secara online namun belum dapat menelusuri berita yang dimuat secara cetak. Untuk itu mohon kerjasamanya apabila terdapat berita keliru seperti substansi di atas Pimpinan redaksi yang terhormat berkenan untuk mengkoreksinya juga.

Demikian permohonan dan klarifikasi dari kami. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Hormat Kami,

Kuasa Hukum

Almarhum Humprey Ejike Elewake

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

  

 

Taufik Basari, S.H., S.Hum, LL.M                                     Ricky Gunawan, S.H., M.A.

 

 

Rilis Pers – Eksekusi Mati Tahap III Politis dan Jelas Ilegal

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam keras eksekusi mati terhadap empat orang terpidana mati yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung, 29 Juli 2016, dinihari.

Terhadap eksekusi mati tersebut, LBH Masyarakat memandang:

Pertama, notifikasi eksekusi diterima oleh para terpidana mati, termasuk klien kami yang dieksekusi Humprey Jefferson, pada hari Selasa, 26 Juli 2016, sore hari. Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati menyatakan bahwa “tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana tersebut.” Eksekusi seharusnya terjadi paling cepat hari Jumat, 29 Juli 2016, malam hari. Dengan demikian, eksekusi dini hari tadi adalah eksekusi yang tidak sah dan melanggar hukum.

Kedua, pemilihan empat dari empat belas terpidana mati yang dieksekusi dini hari tadi menunjukkan kesewenangan dalam kebijakan dan praktik hukuman mati Indonesia. Tidak ada dasar kriteria yang jelas dalam menentukan mengapa akhirnya empat orang tersebut yang dieksekusi ketika ada 14 orang yang menjalani masa isolasi. Lebih jauh lagi, eksekusi tersebut menunjukkan bahwa eksekusi mati selalu politis dan hanya melayani kepentingan politik tertentu. Eksekusi mati dini hari tadi tidak lebih dari sebuah opera sabun yang ditampilkan begitu dramatis di mana publik tidak mampu menerka alur ceritanya dan dikejutkan dengan akhir drama tersebut.

Ketiga, penyelenggaraan eksekusi mati yang penuh ketertutupan sejak awal hingga akhir justru menunjukkan bahwa pemerintah sepertinya menyadari bahwa pelaksanaan eksekusi yang mereka lakukan penuh kecacatan dan dilakukan dengan tidak hati-hati.

Cilacap, 29 Juli 2016

Press Release – Humprey Jefferson\’s Execution is Illegal!

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat strongly protest the decision to execute death row imate, Humprey Ejike/Humprey Jefferson, on the third round of execution in the near time future.

LBH Masyarakat has lodged a clemency request on behalf of Humprey Jefferson on Monday, 25 Jully 2016 through Central Jakarta District Court with registration number: 01/grasi/2016. Article 3 of the Law Number 22 Year 2002 regarding Clemency stated that “clemency request does not postpone the implementation of court judgement, except for death sentence.” From this article, it is clear that in the situation where a clemency request has been lodged and there is no decision on it yet, the execution of death sentence against Humprey Jefferson is illegal, and therefore could not be carried out.

Humprey Jefferson has suffered from unfair trials on his case.

First, his case is fabricated, and the person who set him up, Kelly, has admitted this. Before he died, Kelly admitted that he set up Humprey, and he asked for Humprey forgiveness. This moment was witnessed by seven people, and their testimonies has been submitted to the Supreme Court as part of evidence for judicial review. However, these testimonies were ignored by the Supreme Court because, according to them, it has no legal power

Second, the Central Jakarta District Court’s judgement that sentenced Humprey to death contains a racist consideration. As stated on the judgement, one of the considerations in sentencing Humprey to death is that “bearing in mind thath […] black people coming from Nigeria are often become police surveillance target.” Albeit the fact that many Nigerians are under police surveillance for illicit drug trafficking, it does not mean that all Nigerians are involved in illicit drug trafficking.

The decision to execute Humprey Jefferson in the near time despite the unfair trials that he had suffered and the fact thath he is still waiting for his clemency to be decided is a violation of law. It shows that the Attorney General’s Office does not obey the rule of law. It is important to note that if one of the justice pillars does not respect the law, what kind of law enforcement that will be developed?

LBH Masyarakat urges the Attorney General’s Office and the Indonesian President, Joko Widodo, to halt the execution plan and urgently evaluate the policy and practice of death sentance in Indonesia

Cilacap, 26 July 2016

Contact Person: Ricky Gunawan   (+628121067765)

Press Release – Humprey Jefferson\’s Execution is Illegal!

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat strongly protest the decision to execute death row imate, Humprey Ejike/Humprey Jefferson, on the third round of execution in the near time future.

LBH Masyarakat has lodged a clemency request on behalf of Humprey Jefferson on Monday, 25 Jully 2016 through Central Jakarta District Court with registration number: 01/grasi/2016. Article 3 of the Law Number 22 Year 2002 regarding Clemency stated that “clemency request does not postpone the implementation of court judgement, except for death sentence.” From this article, it is clear that in the situation where a clemency request has been lodged and there is no decision on it yet, the execution of death sentence against Humprey Jefferson is illegal, and therefore could not be carried out.

Humprey Jefferson has suffered from unfair trials on his case.

First, his case is fabricated, and the person who set him up, Kelly, has admitted this. Before he died, Kelly admitted that he set up Humprey, and he asked for Humprey forgiveness. This moment was witnessed by seven people, and their testimonies has been submitted to the Supreme Court as part of evidence for judicial review. However, these testimonies were ignored by the Supreme Court because, according to them, it has no legal power

Second, the Central Jakarta District Court’s judgement that sentenced Humprey to death contains a racist consideration. As stated on the judgement, one of the considerations in sentencing Humprey to death is that “bearing in mind thath […] black people coming from Nigeria are often become police surveillance target.” Albeit the fact that many Nigerians are under police surveillance for illicit drug trafficking, it does not mean that all Nigerians are involved in illicit drug trafficking.

The decision to execute Humprey Jefferson in the near time despite the unfair trials that he had suffered and the fact thath he is still waiting for his clemency to be decided is a violation of law. It shows that the Attorney General’s Office does not obey the rule of law. It is important to note that if one of the justice pillars does not respect the law, what kind of law enforcement that will be developed?

LBH Masyarakat urges the Attorney General’s Office and the Indonesian President, Joko Widodo, to halt the execution plan and urgently evaluate the policy and practice of death sentance in Indonesia

Cilacap, 26 July 2016

Contact Person: Ricky Gunawan   (+628121067765)

Press Release – Humprey Jefferson\’s Execution is Illegal!

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat strongly protest the decision to execute death row imate, Humprey Ejike/Humprey Jefferson, on the third round of execution in the near time future.

LBH Masyarakat has lodged a clemency request on behalf of Humprey Jefferson on Monday, 25 Jully 2016 through Central Jakarta District Court with registration number: 01/grasi/2016. Article 3 of the Law Number 22 Year 2002 regarding Clemency stated that “clemency request does not postpone the implementation of court judgement, except for death sentence.” From this article, it is clear that in the situation where a clemency request has been lodged and there is no decision on it yet, the execution of death sentence against Humprey Jefferson is illegal, and therefore could not be carried out.

Humprey Jefferson has suffered from unfair trials on his case.

First, his case is fabricated, and the person who set him up, Kelly, has admitted this. Before he died, Kelly admitted that he set up Humprey, and he asked for Humprey forgiveness. This moment was witnessed by seven people, and their testimonies has been submitted to the Supreme Court as part of evidence for judicial review. However, these testimonies were ignored by the Supreme Court because, according to them, it has no legal power

Second, the Central Jakarta District Court’s judgement that sentenced Humprey to death contains a racist consideration. As stated on the judgement, one of the considerations in sentencing Humprey to death is that “bearing in mind thath […] black people coming from Nigeria are often become police surveillance target.” Albeit the fact that many Nigerians are under police surveillance for illicit drug trafficking, it does not mean that all Nigerians are involved in illicit drug trafficking.

The decision to execute Humprey Jefferson in the near time despite the unfair trials that he had suffered and the fact thath he is still waiting for his clemency to be decided is a violation of law. It shows that the Attorney General’s Office does not obey the rule of law. It is important to note that if one of the justice pillars does not respect the law, what kind of law enforcement that will be developed?

LBH Masyarakat urges the Attorney General’s Office and the Indonesian President, Joko Widodo, to halt the execution plan and urgently evaluate the policy and practice of death sentance in Indonesia

Cilacap, 26 July 2016

Contact Person: Ricky Gunawan   (+628121067765)

Rilis Pers – Pelaksanaan Eksekusi Tahap III Juli 2016: Jaksa Agung Melanggar Hukum dan HAM!

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan LBH Masyarakat mengecam rencana pemerintah Indonesia yang tetap akan melakukan eksekusi Mati tahap III dini hari ini (29/07). Pasca notifikasi diberlakukannya notifikasi 3×24 jam pada hari Selasa, 26 Juli 2016 maka rencana pelaksaan eksekusi mati dini hari telah melanggar batas waktu dari yang seharusnya masih dimiliki oleh para terpidana mati untuk menunggu upaya hukumnya yakni Grasi diputus oleh Presiden, apakah diterima atau ditolak. Namun Jaksa Agung justru mempercepat pelaksanaan eksekusi mati.

Tindakan terburu-buru Jaksa Agung untuk mengeksekusi para terpidana mati tersebut menimbulkan tanda tanya besar. Berdasarkan hasil proses pemantauan dan pendampingan yang dilakukan terhadap keluarga korban terpidana mati Tahap III ini, kami mencatat terdapat adanya aturan-aturan hukum dan HAM yang dilanggar oleh Jaksa Agung, diantaranya:

Pertama, Hingga malam ini Kejaksaan Agung belum mengumumkan secara resmi nama-nama terpidana mati yang akan dieksekusi pada Tahap III ini. Meski Kejaksaan Agung sudah menyampaikan notifikasi 3×24 jam pelaksaan eksekusi mati oleh pihak Kejaksaan Agung kepada pihak Kedutaan, namun tidak ada nama-nama terpidana mati yang disebutkan saat notifikasi disampaikan secara terang dan resmi;

Kedua, Jika pelaksanaan eksekusi benar dilaksanakan malam ini, maka Jaksa Agung telah melakukan pelanggaran hukum mengingat Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer mensyaratkan adanya notifikasi 3×24 jam untuk memberitahukan pelaksanaan eksekusi tersebut kepada para terpidana mati.

Ketiga, Beberapa terpidana mati yang potensial akan dieksekusi mati malam ini telah mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden RI Joko Widodo, diantaranya Zulfikar Ali (WN Pakistan), Agus Hadi, Pujo Lestari, Merry Utami (WN Indonesia) dan Humprey Jefferson (WN Nigeria). Mengacu pada Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 Jo. Pasal 5 Tahun 2010 tentang Grasi dinyatakan bahwa “Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana mati yang mengajukan permohonan grasi tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana”. Dengan demikian seharusnya Jaksa Agung tidak melakukan rencana eksekusi mati terhadap terpidana mati yang masih belum selesai proses hukumnya.

Keempat, kondisi kesehatan Zulfikar Ali yang kian memburuk baik dengan dan tanpa eksekusi mati, tanpa penanganan medis yang memadai adalah bukti bahwa negara bersalah membiarkan dan menggunakan instrumen koersifnya untuk memaksakan suatu tindakan yang dilarang hukum!

Dari lapangan kami juga menemukan beberapa kejanggalan lain yang masih belum bisa disampaikan, karena terkait dengan keselamatan dari para terpidana mati, namun akan kami sampaikan dalam tempo cepat.

Pengingkaran-pengingkaran di atas adalah bukti bahwa Jaksa Agung HM. Prasetyo yang masih dipertahankan oleh Presiden RI dalam berbagai skema reshuffle terbukti potensial melakukan tindakan melanggar hukum Indonesia. Gelar pasukan TNI dan Polri, ambulans, dokter, menjadikan Nusa Kambangan sebagai obyek tontonan juga adalah tindakan tidak terpuji.

Nusa Kambangan,

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat)

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Rilis Pers – EKSEKUSI MERRI UTAMI DOSA PEMERINTAH

LBH Masyarakat mengecam keras rencana eksekusi  Merri Utami. Bukan hanya karena nyawa setiap manusia itu berharga, pembunuhan yang akan dilaksanakan terhadap Merri Utami juga penuh dengan kesalahan.

Pertama, LBH Masyarakat selaku kuasa hukum telah mendaftarkan grasi atas nama Merri Utami ke Pengadilan Negeri Tangerang pada Selasa, 26 Juli 2016. Dengan tetap memasukkan Merri ke dalam rencana eksekusi, Pemerintah Indonesia tidak hanya melanggar hak seseorang terpidana melainkan juga telah melakukan pembangkangan terhadap konstitusi dan hukum internasional. Pasal 6 dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa seseorang yang dihukum mati harus memiliki hak untuk mengajukan permohonan maaf atau komutasi atas hukumannya. Sistem hukum Indonesia memfasilitasi hak dalam Konvensi ini dengan kesempatan terpidana mengajukan grasi kepada presiden. Selama presiden belum memutuskan untuk menerima atau menolak grasi, sesuai pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, pelaksanaan eksekusi tidak dapat dilaksanakan dan dibenarkan secara hukum.

Kedua, Pemerintah menutup mata pada kerentanan perempuan yang menjadi kurir narkotika. Kasus Mary Jane seharusnya cukup memberikan pelajaran bahwa perempuan dan buruh migran sangat rentan dieksploitasi oleh jaringan peredaran narkotika. Kemiskinan yang membuat perempuan-perempuan memilih menjadi buruh migran, pergi ke sebuah negeri yang tidak pernah mereka jejaki sebelumnya, membuka peluang yang sangat besar bagi sindikat gelap untuk mengeksploitasi mereka.

Ketiga, kasus Merri penuh dengan pelanggaran hukum dan penyiksaan. Selama proses penyidikan Merri mendapatkan kekerasan fisik, berupa pemukulan hingga ia mengalami gangguan penglihatan. Ia pun mendapatkan pelecehan seksual dan ancaman akan diperkosa oleh oknum penegak hukum. Merri juga tidak mendapatkan bantuan hukum yang memadai selama proses penyidikan sampai proses persidangan. Penyiksaan baik fisik maupun seksual ini menjadi indikasi bahwa pemerintah tidak dapat menjamin tegaknya rule of law.

Berdasarkan tiga poin di atas, LBH Masyarakat selaku kuasa hukum Merri Utami, mendesak pemerintah untuk:

  1. Menghapus nama Merri Utami dari daftar terpidana yang akan dieksekusi mati;
  2. Menghormati upaya hukum yang ditempuh oleh Merri Utami; dan
  3. Memasukkan pertimbangan-pertimbangan kerentanan perempuan dalam menanggulangi kasus narkotika yang melibatkan kurir narkotika perempuan.

 

Jakarta, 26 Juli 2016

Arinta Dea – Analis Jender LBH Masyarakat

Rilis Pers – EKSEKUSI HUMPREY JEFFERSON TIDAK SAH

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat memprotes keras penetapan Humprey Ejike/Humprey Jefferson sebagai terpidana mati yang akan dieksekusi dalam gelombang III dalam waktu dekat.

LBH Masyarakat telah mendaftarkan permohonan grasi atas nama Humprey Jefferson pada hari Senin, 25 Juli 2016 melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan registrasi nomor: 01/grasi/2016. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi “permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.” Makna pasal ini cukup jelas, bahwa dengan didaftarkannya grasi dan selama putusan grasi belum keluar, pelaksanaan eksekusi mati terhadap Humprey Jefferson tidak dapat dilakukan dan dibenarkan secara hukum.

Humprey Jefferson sendiri mengalami banyak pelanggaran fair trial (hak atas pelanggaran yang jujur).

Pertama, kasusnya direkayasa, dan individu yang menjebaknya, Kelly, sudah mengaku penjebakan tersebut. Kelly kini sudah meninggal, tetapi sebelum meninggal Kelly sempat mengaku bersalah dan meminta maaf kepada Humprey. Kejadian ini disaksikan oleh tujuh orang saksi dan kesaksian tersebut telah diserahkan sebagai bukti Peninjauan Kembali. Tetapi oleh Mahkamah Agung kesaksian tersebut tidak dianggap memiliki kekuatan pembuktian.

Kedua, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan pidana mati terhadap Humprey Jefferson mengandung pertimbangan hukum yang rasis. Disebutkan di dalam putusan tersebut “menimbang bahwa […] orang-orang kulit hitam yang berasal dari Nigeria sering menjadi pengawasan pihak Kepolisian”. Bahwa mungkin benar banyak warga negara Nigeria terlibat dalam peredaran gelap narkotika, tetapi bukan berarti semua warga negara Nigeria pasti terlibat dalam peredaran gelap narkotika.

Penetapan Humprey Jefferson yang akan dieksekusi dalam waktu dekat padahal yang bersangkutan masih menunggu putusan grasi dan di saat yang bersamaan kasusnya sendiri penuh pelanggaran hak hukum, menunjukkan ketidakpatuhan Kejaksaan Agung terhadap pranata hukum (rule of law). Apabila salah satu pilar penegakan hukum saja tidak menghormati hukum yang berlaku, penegakan hukum seperti apa yang hendak kita bangun?

LBH Masyarakat dengan ini mendesak Kejaksaan Agung dan Presiden Joko Widodo membatalkan pelaksanaan eksekusi mati untuk seluruhnya dan segera mengevaluasi kebijakan dan praktik hukuman mati di Indonesia.

 

Cilacap, 26 Juli 2016

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

 Tanda Terima Permohonan Grasi Humprey Jefferson

Rilis Pers – HENTIKAN RENCANA EKSEKUSI GELOMBANG III

Pemerintahan Joko Widodo akan kembali melaksanakan eksekusi mati dalam waktu dekat. Hal ini dapat dilihat dari, misalnya: penjagaan di Nusakambangan yang semakin diperketat, terpidana mati Merri Utami dipindahkan dari LP Tangerang ke Nusakambangan, terpidana mati Zulfiqar Ali dijemput dari RSUD Cilacap kembali ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Batu meski ia masih dalam keadaan sakit, dan beberapa kedutaan telah mendapat undangan oleh Kementerian Luar Negeri untuk bertemu dengan pihak Kejaksaan Agung.

Pengalaman tahun 2015 menunjukkan bahwa di pertemuan semacam itu Kejaksaan Agung memberikan notifikasi eksekusi kepada pihak kedutaan bahwa warga negaranya yang bersangkutan akan segera dieksekusi dalam waktu 3×24 jam ke depan. Berdasarkan penelusuran LBH Masyarakat, setidaknya ada dua kedutaan yang telah mendapatkan undangan tersebut, yakni: Kedutaan Besar Nigeria dan Kedutaan Besar Pakistan.

Sama halnya seperti tahun lalu, pelaksanaan eksekusi kali ini juga mengandung banyak persoalan:

Pertama, setidaknya terdapat tiga terpidana mati yang santer disebut-sebut akan dieksekusi yaitu Zulfiqar Ali, Merri Utami, dan Humprey Jefferson, yang belum menggunakan hak grasinya. Padahal di banyak kesempatan, Kejaksaan Agung sudah mengemukakan akan memberikan kesempatan bagi terpidana mati menggunakan segala hak hukumnya sebelum akan dieksekusi. Jika Kejaksaan Agung tetap memaksakan eksekusi pada terpidana mati yang masih memiliki hak untuk mengajukan grasi, hal tersebut adalah bentuk ketidakpatuhan Kejaksaan Agung terhadap prinsip rule of law.

Kedua, mayoritas dari terpidana mati yang akan dieksekusi juga menyimpan persoalan unfair trial (pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang jujur). Ketiga terpidana tersebut di atas misalnya tidak pernah mendapatkan pendampingan hukum yang memadai sejak penangkapan. Di kasus Merri Utami, dia mengalami kekerasan fisik dan seksual di tahap penyidikan. Kerentanan sosial-ekonominya yang dieksploitasi oleh sindikat narkotika juga tidak dipertimbangkan oleh pengadilan. Sementara itu di kasus Zulfiqar Ali, dia juga mengalami penyiksaan ketika di tahap penyidikan. Di kasus Humprey Jefferson, bahkan putusan pengadilannya menyebutkan pertimbangan yang rasis, yaitu: “Menimbang, bahwa hal lainnya orang-orang berkulit hitam yang berasal dari Nigeria sering […] melakukan transaksi penjualan jenis narkotika di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan secara rapih dan terselubung.” Pemerintah seakan percaya diri dengan sistem hukum yang ada, keadilan pasti terjamin. Lantas, keadilan seperti apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang penuh kebobrokan?

Ketiga, pemilihan terpidana mati kembali difokuskan pada kasus narkotika, padahal bukti yang ada menunjukkan bahwa hukuman mati dan eksekusi tidak berbanding lurus dengan turunnya peredaran gelap narkotika. Budi Waseso, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), sendiri mengatakan bahwa antara bulan Juni 2015 – November 2015 terjadi peningkatan jumlah pemakai narkotika dari 4.2 juta menjadi 5.9 juta jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia menutup mata terhadap gagalnya hukuman mati dalam memberikan efek jera.

Seharusnya Pemerintah belajar dari dua gelombang eksekusi sebelumnya, bahwa eksekusi mati gagal menjadi jawaban atas permasalahan narkotika di Indonesia yang begitu kompleks. Hukuman mati menyederhanakan tanggung jawab Pemerintah dalam penanggulangan persoalan narkotika. Pemerintah seharusnya, antara lain, menyediakan akses layanan kesehatan bagi pemakai narkotika yang nondiskriminatif, meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tercerabut akses sosial-ekonominya, dan membenahi sistem peradilan pidana agar lebih menghormati hak asasi manusia.

Berangkat dari uraian tersebut di atas, LBH Masyarakat mendesak Pemerintah:

  1. Menghentikan rencana eksekusi jilid III dan mengevaluasi kebijakan hukuman mati Indonesia;
  2. Mengkaji ulang kebijakan narkotika dan membuka partisipasi publik dalam menyelesaikan persoalan narkotika di Indonesia;
  3. Menerapkan moratorium hukuman mati dan eksekusi.

 

Jakarta, 25 Juli 2016

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Pengumuman Peserta Terpilih LIGHTS 2016

Seperti yang telah kami janjikan sebelumnya, hari ini adalah pengumuman nama-nama yang terpilih menjadi peserta program Living The Human Rights (LIGHTS) 2016. Berikut adalah nama-nama tersebut:

  1. Annisa Nurjannah
  2. Maria Emmanuel Megalih
  3. Muthia Novany
  4. Ari Kurnia Rahman
  5. Ellen Nugroho
  6. Ahmad Rofai
  7. Restu Ayuningtias
  8. Ulta Levenia
  9. Abdurrachman Satrio
  10. Insi Nantika Jelita
  11. Septiana Zahira
  12. Diny Arista Risandy
  13. Popi Kartika Sari
  14. Sarah Holyvia
  15. Anna Maria Stephani Siagian

Untuk teman-teman yang tidak terpilih, jangan berkecil hati. Kami yakin bahwa bagaimana pun juga niat baik teman-teman untuk memahami kemanusiaan pasti akan direspon semesta, meski mungkin kali ini bukan melalui kami.

Kami juga mengucapkan selamat kepada teman-teman yang terpilih sebagai peserta LIGHTS 2016. Teman-teman sekalian yang terpilih juga akan segera dihubungi panitia secara personal.

Sampai Rabu nanti di Tebet!

Skip to content