Liputan: LIGHTS (Living The Human Rights) 2016
Living The Human Rights (LIGHTS) merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh LBH Masyarakat. Lights, yang awalnya bernama Summer Internship, merupakan kegiatan yang bertujuan membumikan konsep HAM sehingga mahasiswa/i dapat mengidentifikasi dan memecahkan problem hak asasi manusia (HAM) yang terjadi disekitar mereka. Konsep membumikan HAM dilakukan dengan metode seperti pemberian materi, diskusi, sharing pengalaman, kunjungan ke berbagai komunitas, hingga pemutaran film. Sejak tahun 2007, Lights telah menghasilkan ratusan orang alumnus yang tersebar diseluruh Indonesia.
Tahun ini, kegiatan LIGHTS kembali diadakan oleh LBH Masyarakat pada 29 Juli – 12 Agustus 2016. Setelah melalui seleksi oleh panitia Lights, terpilihah 19 mahasiswa/i yang diterima sebagai peserta Lights 2016. Tercatat 13 orang berasal dari fakultas hukum dan 6 orang peserta dari fakultas Non-hukum.
Pelaksanaan LIGHTS tahun ini sedikit berbeda dengan pelaksanaan Lights sebelumnya. Pertama, Lights tahun ini memberikan kesempatan bagi mahasiswa/i multi disipliner untuk ikut serta. Alasan diberikannya kesempatan bagi mahasiwa/i multi-disipliner karena LBH Masyarakat meyakini bahwa konsep HAM itu harus dipahami dan dilakukan oleh semua mahasiswa apapun fakultasnya. Keterlibatan mahasiwa multi-disipliner diharapkan akan dapat membumikan konsep HAM dengan efektif dan masif. Kedua, materi Lights tahun ini fokus untuk mengenalkan isu-isu yang concern dilakukan oleh LBH Masyarakat. Isu-isu tersebut antara lain hak atas kesehatan, narkotika, LGBT rights, perempuan dan anak, hukuman mati dan lain sebagainya.
Berikut adalah pesan-kesan dari Diny Arista Risandy, peserta terbaik LIGHTS 2016:
Terpilih untuk menjadi peserta “Living The Human Rights 2016” (LIGHTS 2016) yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat selama dua minggu di bulan Agustus lalu, menjadi salah satu pengalaman berharga bagi diri saya secara pribadi. Jadi, jika kemudian harus menjawab pertanyaan seperti ‘hal-hal apa saja yang telah saya dapatkan setelah mengikuti program ini,’ nampaknya tidak mungkin dapat saya jawab hanya dengan satu dua kata saja — ‘cause I have totally gained lots of knowledge that surely broaden my horizons of thought.
Lain halnya ketika belajar di kampus, yang menitikberatkan pembelajaran mengenai Hukum dan HAM dari perspektif teoritis semata, melalui LIGHTS 2016 saya mendapatkan pengetahuan yang jauh lebih komprehensif mengenai teori-teori Hukum dan HAM, serta berbagai isu terkait penegakan Hukum dan HAM yang terjadi secara konkret di lapangan.
Beberapa isu tersebut, yang pertama di antaranya ialah terkait dengan fakta dan tantangan perlindungan serta pemenuhan HAM pada Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Indonesia. Skizofrenia sebagai salah satu bentuk bentuk gangguan jiwa yang dialami manusia, dibahas secara spesifik oleh Bagus Utomo, Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) saat saya dan peserta lainnnya mengunjungi KPSI. Skizofrenia singkatnya merupakan sebuah penyakit yang menyebabkan penderita tidak memilki kemampuan menilai mana yang bersifat realitas mana yang bersifat imajiner, sehingga si penderita ini seringkali merasakan adanya rangsangan pada panca inderanya tanpa ada sumber yang nyata atas rangsangan tersebut. Misalnya, si penderita seringkali mendengar bisikan-bisikan yang bersifat ‘mengolok-olok’ dirinya. Bisikan tersebut tidaklah nyata, akan tetapi terasa sangat konkret bagi si penderita sehingga dalam jangka waktu lama si penderita bisa menjadi stress dan kemudian phobia akan lingkungan sosial.
Isu perihal Skizofrenia ini masih belum membumi di Indonesia, sehingga para penderita Skizofrenia tidak mendapatkan penanganan layak untuk penyembuhan. Berdasarkan pernyataan Bagus Otomo sebagai narasumber, sekitar 40% penderita Skizofrenia melakukan upaya bunuh diri. Di Indonesia sendiri, 2-3 juta orang telah menderita Skizofrenia dan setiap harinya ada penderita yang meninggal dunia karena keterlantaran. Hal yang demikian kemudian bisa menjadi sebuah bentuk kejahatan pembiaran (crime by omission) oleh Negara, di mana Negara dalam hal ini tidak mengupayakan perawatan dan penyembuhan bagi penderita Skizofrenia pula telah mempersulit hak si penderita untuk menerima layanan kesehatan yang maksimal.
Selain terbatasnya akses atas kesehatan, tantangan-tantangan lain yang dihadapi ialah bahwa dengan memberi label kepada penderita Skizofrenia dengan istilah ‘gila,’ hal yang demikian menyebabkan sulitnya akses penderita atas pekerjaan demi menunjang penghidupan yang layak. Akibat dilabeli ‘gila,’ penderita Skizofrenia ditakuti oleh masyarakat, dan tidak jarang penderita Skizofrenia ini kemudian berusaha sekuat tenaga menolak kenyataan bahwa dirinya mengidap Skizofrenia. Padahal mereka juga berhak dan dimungkinkan produktif kembali dengan pengobatan yang sesuai dengan tingkatan gejala yang dihadapinya.
Selain itu, yang menarik perhatian saya secara khusus ialah pembahasan mengenai HIV/AIDS. Ayu Oktariani, seorang ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) yang telah cukup lama terjun ke masyarakat untuk membantu ODHA lainnya, menjadi narasumber dalam LIGHTS 2016 dan berbagi ilmu dan pengalaman, di antaranya soal stigma negatif masyarakat awam bahwa ODHA berawal dari hal-hal semacam free sex dan penggunaan obat-obatan terlarang secara illegal dan oleh sebab itu yang bersangkutan bukanlah pribadi yang ‘terhormat.’ Lahir pula pandangan keliru (dan dimiliki oleh banyak masyarakat) lainnya, yakni bahwa HIV/AIDS itu dapat menular dengan sangat mudah layaknya penyakit flu atau batuk, sehingga berdekatan dan berbincang dengan ODHA adalah hal yang berbahaya karena akan berpotensi besar tertular. Padahal hal demikian sama sekali tidak benar, sebab media penularan HIV/AIDS hanya melalui darah, cairan sperma/vagina, dan Air Susu Ibu (ASI).
Perlu kita sadari bersama bahwa stigma negatif serta pandangan yang keliru semacam ini membawa dampak yang sangat besar bagi kehidupan ODHA. ODHA seringkali termarjinalkan, sebab dengan stigma negatif dan pandangan yang keliru tersebut ODHA tidak dapat bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat, yang mana masyarakat senantiasa ingin menjaga jarak akibat ketakutan yang tidak berdasar. Hak untuk dapat berekspresi, menikah dan melanjutkan keturunan, serta hak atas pekerjaan sebagaimana dijamin oleh negara hanya menjadi harapan semu, sebab eksistensi ODHA itu sendiri dianggap sebagai bahaya bagi yang lainnya. Padahal mereka adalah pihak yang justru perlu mendapatkan perhatian lebih; mereka berhak atas informasi bahwa mereka juga tetap memiliki probabilitas untuk memiliki pasangan, mempunyai keturunan, dan hidup bahagia. Bayangkan saja bahwa pada kenyataannya terjadi fenomena seorang anak Sekolah Dasar yang terkena HIV/AIDS dipaksa keluar dari tempatnya menuntut ilmu karena desakan para orang tua siswa lain agar anak yang bersangkutan keluar dari sekolah tersebut; sang anak kemudian tidak ingin lagi menuntut ilmu dan memilih untuk terus berada di rumah — betapa sedihnya sang anak yang kemudian melabeli dirinya sendiri sebagai ‘sampah masyarakat,’ tanpa tahu apa yang salah atas dirinya. Selain itu, keluarga yang tidak suportif juga menjadi masalah besar bagi seorang ODHA sehingga tidak jarang mereka lebih memilih untuk hidup menyendiri tanpa menikmati indahnya kebersamaan keluarga.
Beberapa pembelajaran tersebut kemudian membuka cakrawala berpikir saya menjadi jauh lebih luas, yakni bahwa sudah seyogyanya saya tidak melihat fenomena sosial yang ada hanya berbasis satu sudut pandang yang sempit dan menolak untuk melihat perspektif lainnya; sebab ketika saya berkenan melihat keseluruhan aspek, saya menyadari banyak sekali pihak-pihak yang mengalami pelanggaran HAM dan oleh karenanya tidak dapat menjalani kehidupan yang layak. Pihak-pihak tersebut terkungkung dalam penilaian mengenai benar dan salah serta baik dan buruk oleh konstruksi sosial secara umum di masyarakat yang bersifat asumtif dan seringkali tidak tepat.
Oleh karena itu, program-program yang berkaitan dengan pembelajaran mengenai Hukum dan HAM harus terus digalakkan, agar masyarakat memiliki pemahaman yang lebih baik bahwa tiap-tiap individu memiliki hak-hak asasi yang sepatutnya terpenuhi; dimana ketika telah paham mengenai hak-hak asasi tersebut maka diharapkan menyadari bahwa tidak semua pihak terpenuhi hak-hak asasinya, dan oleh karenanya membutuhkan uluran tangan untuk membantu mewujudkan atau menegakkannya. Paham mengenai Hukum dan HAM juga berarti paham bahwa Negara pun memiliki kewajiban utama untuk menghormati (respect), memenuhi (fulfill), dan melindungi (protect) HAM warga negaranya, dan oleh karenanya sebagai warga negara diharapkan mampu memantau kinerja pemerintah dalam menjalankan kewajiban utamanya tersebut.
LIGHTS 2016, sebagai salah satu program yang memberikan pelatihan di bidang Hukum dan HAM, membawa dampak bagi diri saya pribadi untuk ke depannya bisa berpikir lebih analitis dan kritis terhadap berbagai isu-isu terkait dengan HAM dan penegakan hukum. Program ini juga berkontribusi siginifikan meningkatkan kepekaan dan kepedulian saya secara lebih besar untuk memperjuangkan HAM, membantu para korban pelanggaran HAM serta kaum minoritas membutuhkan bantuan hukum.
Liputan acara ini ditulis oleh Dominggus Christian (Staf Penanganan Kasus LBH Masyarakat dan Penanggung Jawab Program LIGHTS 2016) dan Diny Arista (Peserta Terbaik LIGHTS 2016 dan Relawan LBH Masyarakat).