Sepanjang tahun 2016, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat menyampaikan bahwa kasus narkotika memimpin klasemen jumlah kasus yang ditangani yakni sebanyak 2.262 kasus (Pikiran Rakyat, 30/12/2016). Masyarakat umum akan memandang angka ini sebagai wujud kerja keras yang membuahkan hasil dan layak dipuji. Padahal upaya Kejaksaan Tinggi dalam menangani kasus narkotika menyumbang ledakan populasi penghuni rumah tahananan dan lembaga pemasyarakatan yang ada di Jawa Barat. Kapasitas rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan saat ini pun tidak bertambah. Dibangunnya rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan baru untuk menambah ruang bagi tahanan atau narapidana, serta ide untuk memberikan pengamanan super maksimum dengan menempatkan binatang buas, sejatinya hanyalah langkah emosional. Hal tersebut bukanlah langkah yang bijak dan tepat. Karena selain akan menguras keuangan negara, langkah tersebut juga tidak menyasar pada pada akar persoalan penanganan kasus narkotika. Cara pemerintah menangani kasus narkotika tidak memberikan fokus yang seimbang dengan khitah dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang yang juga menekankan memberikan tindakan pemulihan bagi penyalahguna narkotika.
Ketidakseimbangan pendekatan ini juga diperumit oleh Presiden Joko Widodo yang menabuh genderang perang terhadap narkotika (war on drugs) yang secara implisit memberikan legitimasi terhadap aparat penengak hukum untuk menindak keras terhadap pelaku yang terlibat dengan narkotika, termasuk melakukan eksekusi mati yang, melalui berbagai penelitian, diketahui tidak memiliki pengaruh terhadap menurunnya peredaran gelap narkotika. Narasi war on drugs, jika berkaca di negeri asalnya, Ameriksa Serikat, yang didendangkan oleh Presiden Richard Nixon dengan dukungan anggaran yang melimpah, terbukti mengalami kegagalan karena mengirimkan ribuan orang yang terlibat narkotika kedalam penjara dan hal demikian akan berdampak pada biaya sosial yang ditanggung negara dan juga pelaku. Potensi dampak buruk dari kebijakan ini antara lain ialah semakin rentannya penularan beberapa penyakit seperti HIV dan TB di dalam rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan yang juga dapat berdampak pada masyarakat yang lebih luas. Narasi punitif ini secara lebih sadis diterapkan oleh Presiden Rodrigo Duterte di Filipina yang telah menewaskan lebih dari ribuan orang hingga September 2016.
Fakta-fakta ini tidak kemudian membuat dukungan publik terhadap pendekatan semacam ini berkurang, yang kemungkinan diakibatkan oleh kuatnya narasi pemberantasan narkotika melalui media. Hal ini membuat penanganan kasus narkotika di Indonesia memiliki dimensi politik yang kuat karena \”memperdagangkan\” perolehan penanganan kasus dengan jabatan atau kekuasaan karena publik memberikan kepercayaan setelah melihat \”prestasi\” yang sebetulnya sangat patut dipertanyakan.
Maka politik hukum penanganan kasus narkotika sepatutnya dikembalikan ke jalur yang menitikberatkan pada aspek medis, terutama pada kasus-kasus penyalahgunaan narkotika. Politik hukum tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 1071 K/Pid.Sus/2012 yang menyatakan bahwa Pasal 112 Undang-Undang Narkotika adalah keranjang sampah atau pasal karet karena pecandu narkotika tidak akan terlepas dari penguasaan narkotika terlebih dahulu. Penguasaan narkotika oleh pecandu narkotika harus melihat konteks bukan pada teks undang-undang. Adanya konstruksi hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tersebut memberikan pesan kepada penuntut umum yang untuk menghadirkan hasil asesmen aspek medis untuk melihat riwayat pelaku berhubungan dengan narkotika dan aspek hukum untuk menginvestigasi keterkaitan pelaku dengan jaringan peredaran gelap narkotika. Ini terkait kewenangan dominus litis Penuntut Umum yang berperan untuk mengikuti perkembangan penyidikan dengan tugas memberikan petunjuk terhadap berkas perkara penyidikan sebuah kasus.
Hasil asesmen dapat membantu Penuntut Umum dalam agenda pembuktian dan juga menentukan tuntutan: apakah akan meminta pelaku dipenjara atau menjalani rehabilitasi. Di sisi lain, mengenyampingkan hasil asesmen yang memiliki kualifikasi sebagai alat bukti surat dapat dipandang sebagai sebuah hal yang gegabah dan dapat membuat dakwaan dalam posisi rawan. Pada praktik, Penuntut Umum kerap tidak memerdulikan hal ini karena beranggapa sudah memenuhi 2 (dua) alat bukti dengan menghadirkan saksi polisi yang melakukan penangkapan dan alat bukti surat hasil uji forensik zat narkotika. Padahal, kehadiran polisi sebagai saksi di persidangan sesungguhnya ditentang oleh KUHAP karena adanya konflik kepentingan (conflict of interest) karena kesaksian polisi ialah ruang untuk memuluskan tugas polisi sebagai penegak hukum untuk menjebloskan pelaku ke dalam penjara. Praktik demikian sejatinya tidak tepat dan mendapat kritikan dari Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010 pada kasus Ket San. Putusan tersebut menilai bahwa kesaksian polisi tidak dalam posisi yang objektif karena polisi sudah memiliki persepsi dan kepentingan terhadap terdakwa sehingga profilnya tidak lagi sesuai dengan tugas seorang saksi yang semestinya memberikan keterangan yang objektif, jujur, bebas dan netral.
Di samping itu, keengganan Penuntut Umum menyertakan hasil asesmen merupakan pengkhianatan terhadap prinsip fair trial yang termaktub dalam Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik. Padahal berdasarkan Guidelines on the Role of Prosecutors, Penuntut Umum harus memperhitungkan dengan tepat posisi dari pelaku tanpa memperhitungkan keuntungan dan kerugian yang berdampak terhadap pelaku. Oleh karenanya, hasil asesmen, terlepas dari bahwa dokumen tersebut akan merugikan atau menguntungkan terdakwa, menjadi wajib untuk dihadirkan. Keengganan Penuntut Umum dalam menghadirkan hasil asesmen juga dipengaruhi oleh minimnya akses terhadap bantuan hukum. Situasi ini semakin membuat rentan posisi pemakai narkotika yang berhadapan dengan hukum. Hal demikian mengakibatkan pemakai narkotika menjadi bagian terbesar dari demografi penjara di banyak tempat. Maka jumlah penanganan sekian banyak kasus narkotika tidak tepat bila dipandang sebagai sebuah prestasi. Ia justru adalah angka yang mencerminkan masifnya praktik ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Penulis: Muhammad Afif Abdul Qoyim
Editor: Yohan Misero