Month: January 2017

Dibutuhkan: Relawan Pemantauan Media Kasus Narkotika 2017

Berdiri sejak 2007, LBH Masyarakat berjuang untuk mewujudkan perlindungan hukum yang lebih baik bagi pemakai narkotika di Indonesia. Bukan hanya memberikan bantuan hukum, kami juga menerbitkan publikasi-publikasi yang berkaitan dengan kebijakan narkotika berdasarkan hasil riset dan pemantauan media.

Untuk membantu kami menjalani fungsi ini, kami membuka lowongan bagi relawan (volunteer) yang ingin ikut berkontribusi membangun sistem hukum yang lebih manusiawi bagi pemakai narkotika. Kami membutuhkan relawan yang bersedia meluangkan waktunya setidak-tidaknya 20 jam setiap minggunya sepanjang tahun 2017. Kriteria relawan yang kami butuhkan adalah:

  • Memiliki ketertarikan pada isu hak asasi manusia dan narkotika
  • Internet-savvy
  • Dapat menggunakan Microsoft Word dan Microsoft Excel
  • Dapat bekerja secara independen
  • Memiliki motivasi tinggi
  • Lebih disukai mahasiswi/a jurusan hukum namun jurusan lain tetap boleh mendaftar

Deskripsi tugas utama kamu sebagai relawan: memantau dan mendokumentasikan implementasi kebijakan narkotika terutama mengenai penggebrekan skala besar dan kasus-kasus di dalam Lapas.

Kami selalu memastikan bahwa setiap relawan kami bukan hanya bekerja, tetapi juga bisa belajar dan membagikan pemikirannya di kantor. Ini juga bisa menjadi sebuah kesempatan bagi kamu yang tertarik menjajaki karir di jalur hak asasi manusia atau aspek non-profit lainnya.

Segera kirim CV terbaru dan Application Letter kamu ke abadar@lbhmasyarakat.org paling lambat tanggal 30 Januari 2017.

“What matters in life is not what happens to you but what you remember and how you remember it.” – Gabriel García Márquez

Rilis Pers – Pembubaran Porseni Bissu/Waria: Pengingkaran terhadap Keberagaman Budaya dan Seksualitas

LBH Masyarakat mengecam pembubaran paksa Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Waria/Bissu se-Sulawesi Selatan di Soppeng yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Kamis, 19 Januari 2017. Polisi tidak hanya menggagalkan Porseni tetapi juga menciptakan terror dan rasa takut dengan memberikan tembakan peringatan untuk membubarkan peserta. Pembubaran paksa ini menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan terhadap kelompok LGBTIQ+ di Indonesia. Insiden ini mengonfirmasi laporan Human Rights Watch yang menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2016 terjadi peningkatan kekerasan dan ancaman kekerasan, seperti pembubaran pondok pesanteran Waria di Yogyakarta.[1]

Pembubaran ini bertentangan dengan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul yang secara tegas disebutkan dalam konstitusi Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang juga dijamin dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik pada Pasal 21. Pemerintah juga telah melanggar hak kelompok LGBTIQ+ untuk hidup bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Pemerintah telah dengan sadar mengingkari asas non-diskriminasi di mana perlindungan dari negara berhak diterima setiap warga negara termasuk mereka yang merupakan kelompok minoritas,

Insiden ini memperlihatkan bahwa Pemerintah justru menjadi pelaku dan pelindung pelaku kekerasan serta diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ+. Seharusnya Pemerintah, dalam konteks ini Polda Sulawesi Selatan dan seluruh jajarannya, bertugas untuk melindungi kebebasan berekspresi dan berserikat dari ancaman pemberangusan ilegal seperti ini, bukannya tunduk pada tekanan ormas.

Dalam budaya Bugis, Bissu merupakan pemimpin besar agama Bugis pra-Islam yang memiliki dua elemen gender perempuan dan laki-laki yang berperan sebagai penghubung inter-dimensional antara manusia dan Tuhan.[2] Tradisi ini telah hidup jauh sebelum bangsa ini berdiri.

Porseni tahunan Bissu dan Waria yang sejatinya akan dilaksanakan dari tanggal 19 – 21 Januari 2017 ini terpaksa dibubarkan oleh pihak kepolisian karena adanya ancaman demonstrasi dari 16 ormas Islam di Sulawesi Selatan.[3] Porseni yang telah diselenggarakan sebanyak 19 kali ini merupakan media bagi para Bissu dan Waria untuk mengapresiasi dan mengekspresikan kekayaan budaya serta keragaman seksualitas dan gender nusantara. Acara ini berlangsung damai dan oleh karena itu negara tidak memiliki landasan apa pun untuk menghentikannya. Pembubaran acara ini telah secara langsung menciderai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, mengingkari keragaman budaya dan seksualitas, serta melukai nafas kehidupan berdemokrasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk:

  1. Memberikan sanksi yang tegas Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan yang telah membubarkan Porseni Bissu/Waria di Soppeng, Sulawesi Selatan;
  2. Menyatakan permintaan maaf kepada seluruh elemen yang terlibat pada penyelenggaraan Porseni Bissu/Waria di Soppeng, Sulawesi Selatan;
  3. Menghormati keberagaman budaya dan seksualitas tradisi Bissu di Sulawesi Selatan;
  4. Menindak tegas kelompok-kelompok intoleran yang melakukan tindak kekerasan serta diskriminasi kepada kelompok LGBTIQ+;
  5. Menjamin perlindungan dan kebebasan berserikat dan berkumpul bagi kelompok LGBTIQ+ dan memastikan kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari.

 

Naila Rizqi – Pengacara Publik LBH Masyarakat

 

[1] Human Rights Watch, “ Permainan Politik ini  Menghancurkan Hidup Kami” Komunitas LGBT Indonesia Dalam Ancaman. https://www.hrw.org/sites/default/files/report_pdf/indonesia0816bahasaindonesia_web_0.pdf

[2] http://ardhanaryinstitute.org/index.php/2016/04/09/eksistensi-calalai-dalam-budaya-sulawesi-selatan/

[3] Informasi mengenai kronologi kejadian dapat dilihat di http://aruspelangi.org/siaran-pers/bubar_porseni-waria-bissu-se-sulawesi-selatan/

Cara Kami Membaca Angka Sedikit Berbeda dengan Jaksa

Sepanjang tahun 2016, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat menyampaikan bahwa kasus narkotika memimpin klasemen jumlah kasus yang ditangani yakni sebanyak 2.262 kasus (Pikiran Rakyat, 30/12/2016). Masyarakat umum akan memandang angka ini sebagai wujud kerja keras yang membuahkan hasil dan layak dipuji. Padahal upaya Kejaksaan Tinggi dalam menangani kasus narkotika menyumbang ledakan populasi penghuni rumah tahananan dan lembaga pemasyarakatan yang ada di Jawa Barat. Kapasitas rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan saat ini pun tidak bertambah. Dibangunnya rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan baru untuk menambah ruang bagi tahanan atau narapidana, serta ide untuk memberikan pengamanan super maksimum dengan menempatkan binatang buas, sejatinya hanyalah langkah emosional. Hal tersebut bukanlah langkah yang bijak dan tepat. Karena selain akan menguras keuangan negara, langkah tersebut juga tidak menyasar pada pada akar persoalan penanganan kasus narkotika. Cara pemerintah menangani kasus narkotika tidak memberikan fokus yang seimbang dengan khitah dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang yang juga menekankan memberikan tindakan pemulihan bagi penyalahguna narkotika.

Ketidakseimbangan pendekatan ini juga diperumit oleh Presiden Joko Widodo yang menabuh genderang perang terhadap narkotika (war on drugs) yang secara implisit memberikan legitimasi terhadap aparat penengak hukum untuk menindak keras terhadap pelaku yang terlibat dengan narkotika, termasuk melakukan eksekusi mati yang, melalui berbagai penelitian, diketahui tidak memiliki pengaruh terhadap menurunnya peredaran gelap narkotika.  Narasi war on drugs, jika berkaca di negeri asalnya, Ameriksa Serikat, yang didendangkan oleh Presiden Richard Nixon dengan dukungan anggaran yang melimpah, terbukti mengalami kegagalan karena mengirimkan ribuan orang yang terlibat narkotika kedalam penjara dan hal demikian akan berdampak pada biaya sosial yang ditanggung negara dan juga pelaku. Potensi dampak buruk dari kebijakan ini antara lain ialah semakin rentannya penularan beberapa penyakit seperti HIV dan TB di dalam rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan yang juga dapat berdampak pada masyarakat yang lebih luas. Narasi punitif ini secara lebih sadis diterapkan oleh Presiden Rodrigo Duterte di Filipina yang telah menewaskan lebih dari ribuan orang hingga September 2016.

Fakta-fakta ini tidak kemudian membuat dukungan publik terhadap pendekatan semacam ini berkurang, yang kemungkinan diakibatkan oleh kuatnya narasi pemberantasan narkotika melalui media. Hal ini membuat penanganan kasus narkotika di Indonesia memiliki dimensi politik yang kuat karena \”memperdagangkan\” perolehan penanganan kasus dengan jabatan atau kekuasaan karena publik memberikan kepercayaan setelah melihat \”prestasi\” yang sebetulnya sangat patut dipertanyakan.

Maka politik hukum penanganan kasus narkotika sepatutnya dikembalikan ke jalur yang menitikberatkan pada aspek medis, terutama pada kasus-kasus penyalahgunaan narkotika. Politik hukum tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 1071 K/Pid.Sus/2012 yang menyatakan bahwa Pasal 112 Undang-Undang Narkotika adalah keranjang sampah atau pasal karet karena pecandu narkotika tidak akan terlepas dari penguasaan narkotika terlebih dahulu. Penguasaan narkotika oleh pecandu narkotika harus melihat konteks bukan pada teks undang-undang. Adanya konstruksi hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tersebut memberikan pesan kepada penuntut umum yang untuk menghadirkan hasil asesmen aspek medis untuk melihat riwayat pelaku berhubungan dengan narkotika dan aspek hukum untuk menginvestigasi keterkaitan pelaku dengan jaringan peredaran gelap narkotika. Ini terkait kewenangan dominus litis Penuntut Umum yang berperan untuk mengikuti perkembangan penyidikan dengan tugas memberikan petunjuk terhadap berkas perkara penyidikan sebuah kasus.

Hasil asesmen dapat membantu Penuntut Umum dalam agenda pembuktian dan juga menentukan tuntutan: apakah akan meminta pelaku dipenjara atau menjalani rehabilitasi. Di sisi lain, mengenyampingkan hasil asesmen yang memiliki kualifikasi sebagai alat bukti surat dapat dipandang sebagai sebuah hal yang gegabah dan dapat membuat dakwaan dalam posisi rawan. Pada praktik, Penuntut Umum kerap tidak memerdulikan hal ini karena beranggapa sudah memenuhi 2 (dua) alat bukti dengan menghadirkan saksi polisi yang melakukan penangkapan dan alat bukti surat hasil uji forensik zat narkotika. Padahal, kehadiran polisi sebagai saksi di persidangan sesungguhnya ditentang oleh KUHAP karena adanya konflik kepentingan (conflict of interest) karena kesaksian polisi ialah ruang untuk memuluskan tugas polisi sebagai penegak hukum untuk menjebloskan pelaku ke dalam penjara. Praktik demikian sejatinya tidak tepat dan mendapat kritikan dari Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010 pada kasus Ket San. Putusan tersebut menilai bahwa kesaksian polisi tidak dalam posisi yang objektif karena polisi sudah memiliki persepsi dan kepentingan terhadap terdakwa sehingga profilnya tidak lagi sesuai dengan tugas seorang saksi yang semestinya memberikan keterangan yang objektif, jujur, bebas dan netral.

Di samping itu, keengganan Penuntut Umum menyertakan hasil asesmen merupakan pengkhianatan terhadap prinsip fair trial yang termaktub dalam Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik. Padahal berdasarkan Guidelines on the Role of Prosecutors, Penuntut Umum harus memperhitungkan dengan tepat posisi dari pelaku tanpa memperhitungkan keuntungan dan kerugian yang berdampak terhadap pelaku. Oleh karenanya, hasil asesmen, terlepas dari bahwa dokumen tersebut akan merugikan atau menguntungkan terdakwa, menjadi wajib untuk dihadirkan. Keengganan Penuntut Umum dalam menghadirkan hasil asesmen juga dipengaruhi oleh minimnya akses terhadap bantuan hukum. Situasi ini semakin membuat rentan posisi pemakai narkotika yang berhadapan dengan hukum. Hal demikian mengakibatkan pemakai narkotika menjadi bagian terbesar dari demografi penjara di banyak tempat. Maka jumlah penanganan sekian banyak kasus narkotika tidak tepat bila dipandang sebagai sebuah prestasi. Ia justru adalah angka yang mencerminkan masifnya praktik ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia.

 

Penulis: Muhammad Afif Abdul Qoyim

Editor: Yohan Misero

Skip to content