Month: April 2017

Diskusi Publik UNODC dan BNN tentang Pasal 54 dan 127

Pada 6 April 2017, UNODC bekerjasama dengan BNN mengadakan diskusi publik mengenai implementasi Pasal 54 dan Pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Acara yang diadakan di Morrissey Hotel ini bertujuan untuk mendukung rencana pemerintah sehubungan dengan revisi UU Narkotika. Untuk menjawab harapan penyelenggara agar diskusi tersebut dapat mengidentifikasi tantangan dan memperoleh rekomendasi sebagai bahan pertimbangan proses revisi UU Narkotika, LBH Masyarakat melalui perwakilannya pada diskusi itu menyampaikan masukan melalui dokumen tertulis. Berikut adalah analisa dan rekomendasi kami yang telah kami berikan pada perwakilan UNODC dan Direktur Hukum BNN, Bapak Darmawel Aswar.

Input LBH Masyarakat untuk Diskusi Publik UNODC dan BNN RI tentang Pasal 54 dan 127 UU Narkotika

LBH Masyarakat menyambut baik upaya diskusi publik yang diselenggarakan UNODC dan BNN ini. Forum besar yang mempertemukan BNN, dalam konteksnya sebagai penegak hukum, dan masyarakat sipil yang terdampak langsung bukanlah forum yang sering terjadi. Kami berharap hal-hal yang kami sampaikan di sini dapat bermanfaat untuk rekan-rekan BNN dalam menyikapi momen-momen perubahan regulasi narkotika yang akan datang.

Diskusi publik ini memberikan fokus pada implementasi Pasal 54 dan Pasal 127 UU Narkotika. Dua pasal yang digadang-gadang menjadi tulang punggung pemberian rehabilitasi entah dalam rupa diskresi ketika tahap penyidikan ataupun putusan hakim.

Kami yakin bahwa kawan-kawan yang ada di sini dapat memberikan masukan tentang praktik penerapan Pasal 54 dan Pasal 127. Namun, ada baiknya kita bahas juga kedua pasal tersebut. Apakah kedua pasal ini memang menjamin hak atas kesehatan yang dibutuhkan oleh rekan-rekan pemakai narkotika? Atau, justru istilah ‘pasal rehab’ itu hanyalah retorika yang menginterpretasi UU Narkotika agar lebih terkesan humanis dan ramah pada pemakai narkotika?

Pertama, perlu diperhatikan bahwa Pasal 54 berada di Bab IX UU Narkotika yang membicarakan tentang Pengobatan dan Rehabilitasi sedangkan Pasal 127 berada di Bab XV tentang Ketentuan Pidana. Terpisah jauhnya kedua pasal ini tentu secara tidak langsung menunjukan bahwa situasi hukum yang ingin dicapai oleh kedua pasal ini sebenarnya terpisah.

Pasal 54 UU Narkotika menyatakan bahwa “Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial”. Pasal ini tidak serta merta berarti bahwa pecandu narkotika dan penyalahguna berhak atas rehabilitasi. Pasal ini justru meletakan beban pada pecandu dan korban penyalahguna untuk memiliki kewajiban menjalani rehabilitasi. Sebuah hal yang jika ditinjau dari kacamata hak atas kesehatan sebenarnya tidak sesuai karena seharusnya negara yang mengemban tanggung jawab untuk memberikan layanan kesehatan bukannya memaksa rakyatnya untuk mengakses layanan.

Pasal 127 sendiri, sebagaimana kita semua tahu, ayat pertamanya berisi pemidanaan bagi penyalahguna narkotika. Kesempatan rehabilitasi seakan datang melalui ayat 2 yang mengatakan bahwa dalam memeriksa perkara Pasal 127 hakim harus memperhatikan Pasal 54, 55, dan 103 UU Narkotika. Pasal 54 dan 55 pada dasarnya memberikan pengecualian pada penyalahguna yang sudah melaporkan diri ke negara. Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 128 ayat 3 yang menyatakan bahwa mereka yang sudah melaporkan diri tidak dipidana. Pasal 103 di sisi lain memberikan wewenang pada hakim untuk dapat memutus rehabilitasi.

Masalah pertama yang ditemukan dalam struktur ini adalah permasalahan terminologi. Pasal 54 menggunakan pecandu dan penyalahguna, Pasal 55 dan Pasal 103 memakai pecandu, Pasal 127 ayat 1 penyalahguna, Pasal 127 ayat 3 malah menyebut penyalahguna yang kemudian diketahui sebagai korban penyalahguna.

Tentu kami paham bahwa setiap pasal ada maksudnya. Konstruksi yang dibangun oleh skema ini adalah pecandu dan penyalahguna dapat direhabilitasi sedangkan penyalahguna dipidana. Konstruksi ini dalam pandangan kami perlu dievaluasi karena tidak dapat menjawab pemenuhan hak atas kesehatan kepada setidak-tidaknya 3 kelompok: (1) Orang yang memakai narkotika untuk pertama-tama atau masih coba-coba atau orang yang memakai narkotika sekali-sekali saja, tanpa permasalahan ketergantungan, (2) orang yang memakai narkotika setelah menjalani dua kali masa perawatan, sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 128, dan (3) orang yang memakai narkotika untuk kepentingan medis tanpa resep dokter.

Untuk kelompok pertama, ada argumen bahwa kelompok ini masih dapat dikategorikan pecandu mild bila memenuhi beberapa kriteria pada DSM V. Namun argumentasi ini rawan akan pengkhianatan intelektual karena si konselor adiksi atau orang yang memberikan assessment akan memiliki kecenderungan untuk meningkatkan status seseorang yang sebenarnya tidak memiliki masalah adiksi menjadi seorang pecandu untuk bersesesuaian dengan ketentuan UU agar si klien tidak dipenjara. Kelemahan berikut dari argumentasi ini juga, jika dikaitkan dengan konstruksi yang dibangun UU ini, adalah, jika mereka yang baru coba-coba atau hanya menggunakan narkotika sekali-kali dianggap pecandu, maka siapakah yang disebut penyalahguna?

Masalah kedua yang kami lihat dari skema UU ini adalah bahwa semua penentuan status dan pidana kepada pecandu, penyalahguna, atau korban penyalahguna dibebankan pada institusi kehakiman. Hal ini jelas terlihat pada Pasal 127 ayat 2 dan Pasal 103 yang dengan terang benderang menyebut ‘hakim’ dalam ketentuannya. Hal ini bermasalah karena hakim adalah ahli hukum, bukan kesehatan apalagi soal adiksi. Sebagai contoh, pada penelitian kami terhadap putusan-putusan PN di Jabodetabek pada 2014, ada seorang hakim yang memutus rehabilitasi selama 28 bulan lamanya. Selain bahwa proses rehabilitasi selama itu rawan tak efektif, angka putusan itu juga menyalahi rekomendasi SEMA No. 4 Tahun 2010 yang mematok batasan rehabilitasi sampai satu tahun saja paling lama. Beban berat yang diberikan pada sistem peradilan ini juga tak pelak membebani rekan-rekan yang bekerja di Puskesmas, rumah sakit, atau lembaga rehabilitasi. Berkebalikan dengan situasi hakim sebelumnya, rekan-rekan ini adalah ahli kesehatan dan adiksi, mereka bukan ahli hukum. Namun skema yang demikian memaksa mereka untuk mampu menulis surat keterangan atau memberikan keterangan di hadapan penegak hukum. Kemampuan demikian tidak dimiliki secara merata oleh rekan-rekan petugas kesehatan, kalau tidak mau kita bilang kurang. Berhadapan dengan penegak hukum tetaplah tantangan bagi petugas kesehatan dan tidak semuanya mau dan mampu untuk itu.

Masalah ketiga yang kami lihat adalah skema yang tidak jelas dari UU ini membuat beberapa instansi  membentuk semacam peraturan internal agar, setidaknya bagi instansi tersebut, mereka memiliki panduan yang jelas untuk menuntut atau memutus rehabilitasi. Kejaksaan Agung misalnya mengeluarkan SEJA No. B-601/E/EJP/02/2013 untuk memberikan kriteria pada Penuntut Umum agar dapat menuntut rehabilitasi. Problem yang muncul dari SEJA ini sama persis dengan Pasal 103, yakni menggunakan kata ‘dapat’ bukannya menggunakan kata yang lebih kuat untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan bagi rekan-rekan pemakai narkotika. Mahkamah Agung bahkan sejak 2010 mengeluarkan SEMA No. 4 Tahun 2010 yang memberikan kriteria-kriteria bagi hakim untuk memutus rehabilitasi. Kriteria-kriteria ini yang kemudian diambil oleh Kejaksaan Agung untuk membentuk SEJA tadi.

Tidak boleh juga kita lupa bahwa skema pemberian rehabilitasi tersebut juga dirusak oleh keberadaan pasal-pasal yang memidana penguasaan[1] dan pembelian[2] narkotika, hal-hal yang umum dilakukan oleh pemakai narkotika. Untuk mengatasi permasalahan ini, Mahkamah Agung bahkan melangkah jauh dengan mengeluarkan SEMA No. 7 Tahun 2012 dan SEMA No. 3 Tahun 2015 yang keduanya seirama menyebut bahwa jika hakim menduga kuat bahwa si terdakwa adalah pemakai narkotika belaka namun tidak didakwa dengan Pasal 127, hakim dapat menerobos pidana minimum pasal yang dikenakan kepada si terdakwa.

Permasalahan dengan surat-surat edaran ini yang paling jelas adalah soal kekuatan hukum, baik dari segi wording dan ketaatan internal pada ketentuannya. Kemudian adalah soal kepastian hukum. Seharusnya rekan-rekan penyidik dan juga parlemen dapat melihat bahwa ada kejenuhan serta kebingungan dari Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung dalam menangani pemakai narkotika dan memberikan rehabilitasi. Surat-surat edaran ini, di luar segala kekurangannya, secara tidak langsung mengambil arah sendiri, yang menurut hemat kami, jauh lebih humanis dari UU Narkotika.

Pada akhirnya, sebagaimana dikatakan dalam undangan, ini waktunya kami memberikan rekomendasi untuk menyikapi beberapa upaya perubahan regulasi ke depannya, antara lain untuk RKUHP dan upaya revisi UU Narkotika. Berikut rekomendasi kami:

  1. Agar BNN berperan aktif di DPR RI untuk segera menghilangkan ketentuan tindak pidana narkotika di RKUHP terutama tindak pidana yang berkaitan dengan pemakai narkotika. Hal ini kami minta bukan karena kami tidak ingin melakukan perubahan melalui RKUHP. Namun, di luar bahwa sejauh ini tindak pidana narkotika hanya copy paste dari UU Narkotika, menurut kami narkotika seharusnya diatur secara terpisah karena materi yang diatur sangat luas dan terpisahnya tindak pidana dari UU Narkotika akan membuat regulasi mengenai narkotika tidak komprehensif. Lebih penting dari itu, dimasukannya tindak pidana narkotika ke RKUHP memiliko risiko tinggi akan tidak terpenuhinya hak atas kesehatan bagi pemakai narkotika. Hal ini disebabkan karena baik PP No. 25 Tahun 2011 tentang Wajib Lapor, Peraturan Bersama 7 Institusi, dan surat-surat edaran Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, dan peraturan-peraturan lain yang terkait pemberian rehabilitasi menjadikan UU Narkotika sebagai batu pijakan. Ketika batu pijakan itu tidak ada, kemudian bagaimana nanti nasib teman-teman pemakai narkotika?
  1. Melakukan revisi terhadap UU Narkotika yang mengedepankan intervensi kesehatan bukannya sistem peradilan. Kami pikir sudah waktunya rekan-rekan penegak hukum berhenti dari ketersesatan pemilihan terminologi antara korban penyalahguna, penyalahguna, dan pecandu. Inisiatif Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung yang menggunakan gramatur sebagai pembeda antara pemakai narkotika dan mereka yang terlibat peredaran gelap merupakan sebuah hal yang dapat dijadikan contoh. Apa yang sudah ditawarkan oleh SEMA dan SEJA tersebut tentu perlu diperbaiki nafasnya dengan menempatkan rehabilitasi sebagai layanan yang negara berikan bukan kewajiban pemakai narkotika, diteliti dengan baik dan disesuaikan lagi penentuan berat dan zatnya, dan kemudian tentu diperkuat melalui legislasi di parlemen.

LBH Masyarakat tentunya sangat senang apabila rekan-rekan BNN mau membuka pintu dialog seperti ini. Dalam minggu-minggu ke depan, kami akan menerbitkan serangkaian policy paper terkait kebijakan narkotika Indonesia hari ini. Kami harap BNN tetap mau membuka pintu dialog agar bersama-sama kita dapat mewujudkan kebijakan narkotika yang lebih humanis. Dunia pasti akan memberikan hormatnya ketika BNN jelas bersikap bahwa di Indonesia, bagi pemakai narkotika, penjara bukan solusi.

Yohan Misero

Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

[1] Pasal 111, 112, 117, 122 UU Narkotika

[2] Pasal 114, 119, 124 UU Narkotika

Pernyataan Bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk 3rd Universal Periodic Review (UPR) Indonesia

Indonesia, seperti negara anggota PBB yang lain, menjalani evaluasi HAM secara berkala di Dewan HAM PBB. PBB sendiri memiliki beberapa mekanisme untuk memeriksa komitmen negara pada hak asasi manusia. Salah satunya ialah  melalui Universal Periodic Review (UPR). Melalui UPR ini, Indonesia diuji ketaatan dan pemenuhannya terhadap hak asasi manusia oleh komunitas internasional. Indonesia sendiri sudah pernah melalui 2 UPR yakni pada tahun 2008 dan 2012. Kedua proses itu juga menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang sepatutnya juga diindahkan oleh negara. Pemerintah Indonesia sudah pasti akan menyampaikan laporan mengenai situasi HAM di Indonesia. Agar penggambaran situasi itu berimbang, beberapa elemen masyarakat sipil juga memberikan laporan pada proses UPR ini. Untuk penjelasan ringkas mengenai laporan alternatif ini, berikut adalah Pernyataan Bersama Koalisi Masyarakat Sipil dalam rangka 3rd Universal Periodic Review (UPR) terhadap Indonesia di Dewan HAM PBB.

Pernyataan Bersama Koalisi Masyarakat Sipil

Dalam Rangka 3rd Universal Periodic Review (UPR) Indonesia di Dewan HAM PBB

 

” Negara Masih Belum Menempatkan Hak Asasi Manusia Sebagai Agenda Prioritas”

 

Jenewa, 5 April 2017

Situasi hak asasi manusia Indonesia akan dievaluasi di Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 3 Mei 2017 melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR). UPR adalah mekanisme evaluasi hak asasi manusia yang dilakukan secara berkala antara negara yang satu dengan negara yang lain. Pada Mei 2017, Indonesia akan dievaluasi untuk kali ketiga setelah putaran pertama pada 2008 dan yang kedua pada 2012.

Pada 2012, Indonesia menyetujui 150 dari 180 rekomendasi terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia. Kami memandang bahwa Pemerintah masih belum memiliki mekanisme formal yang terbuka dan partisipatif untuk menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi tersebut. Lebih jauh lagi, kami menilai bahwa Pemerintah belum memenuhi sebagian besar rekomendasi itu dengan menjalankannya secara substansial untuk mewujudkan perubahan yang lebih berkualitas.

Dalam rangka putaran ketiga UPR, beberapa perwakilan masyarakat sipil Indonesia berada di Jenewa untuk menyampaikan pandangan kritis mengenai situasi hak asasi manusia di sesi pra-UPR. Sesi pra-UPR adalah sesi formal yang diselenggarakan oleh UPR Info – sebuah organisasi non-profit yang bekerja untuk mengoptimalkan dialog antara masyarakat sipil dengan negara-negara terkait UPR. Sesi pra-UPR memberikan ruang bagi masyarakat sipil untuk menyampaikan pandangannya kepada perwakilan negara-negara di PBB di Jenewa.

Terkait situasi fundamental freedoms di Indonesia, Miko Ginting, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menegaskan bahwa, ” penikmatan kebebasan sipil di Indonesia kian merosot. Hal ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, rendahnya tingkat akuntabilitas negara dalam hal kapasitas bertanggung jawab, menjawab (answerability), dan menjalankan kewajibannya. Kedua, negara gagal mewujudkan prinsip negara hukum sebagai mekanisme proteksi hak asasi. Ketiga, negara pasif terhadap menyeruaknya aktor non-negara yang mengganggu kebebasan sipil.”

Sehubungan dengan hukuman mati dan kebijakan narkotika Indonesia, Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat, menjelaskan bahwa, ” kebebalan Pemerintah yang mempertahankan hukuman mati untuk mengatasi kejahatan narkotika, ternyata terbukti gagal menurunkan angka peredaran gelap narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah wajib mencari solusi yang bukan berdasarkan mitos tetapi yang berbasis ilmiah, dan membuka diri terhadap kerjasama dengan negara lain yang telah berhasil mengatasi problem peredaran gelap narkotika tanpa menerapkan kebijakan yang punitif. Singkatnya, Indonesia harus mencari solusi yang lebih cerdas, dan bukannya asal keras, dalam menangani persoalan narkotikanya.”

Mirawati, Direktur Institut Hak Asasi Perempuan (IHAP), mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi, mengatakan bahwa  ” kebijakan kesehatan reproduksi Indonesia masih diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya. Hal ini ditandai dengan masih minimnya akses kontrasepsi, termasuk dipertahankannya ketentuan kriminalisasi terhadap penyediaan layanan pendidikan dan informasi mengenai kontrasepsi. Oleh karena itu, Pemerintah harus membuka akses kontrasepsi bagi perempuan termasuk yang belum menikah dan menghapus kebijakan pemidanaan terhadap tindakan aborsi.”

Budi Tjahjono, Koordinator Advokasi Asia-Pasifik Fransiscans International, menyampaikan bahwa, ” hingga saat ini eksploitasi sumber daya alam, perampasan tanah, dan serangan terhadap pembela HAM dan pemimpin masyarakat adat di Papua dan daerah lainnya masih marak terjadi. Hal ini semakin diperparah dengan ketiadaan mekanisme investigasi dan pemulihan hak yang memadai. Pemerintah harus menerapkan kebijakan pembangunannya dengan tetap menghormati hak-hak dasar masyarakat adat, dan patuh terhadap kewajiban hukum internasional yang pemerintah sudah ratifikasi.”

Masih soal Papua, Wensislaus Fatubun, perwakilan Forum Keadilan dan Perdamaian untuk Papua, ” kebijakan depopulasi Indonesia terhadap Papua kian mengancam penduduk asli Papua. Indonesia terus mengabaikan hak untuk menentukan diri sendiri dan belum mau mengakui hak masyarakat adat Papua. Indonesia juga masih mengedepankan pendekatan keamanan dalam resolusi konflik di Papua dan mencabut akses rakyat Papua terhadap sumber daya alam. Pelanggaran hak asasi rakyat Papua ini harus segera dihentikan dan pemerintah Indonesia harus mengevaluasi kebijakannya terhadap rakyat Papua.”

Selain itu, terdapat beberapa isu lain seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diangkat di sesi Pra-UPR. Elga Sarapung, Direktur Institut Dian/Interfidei, mewakili koalisi Jaringan Antariman Indonesia (JAII), menyayangkan sejumlah rekomendasi yang disepakati pada UPR 2012 yang masih belum diimplementasikan secara jelas, tegas dan konstitusional oleh Pemerintah. ” Hak untuk memiliki rumah ibadah dan melaksanakan aktivitas keagamaan dan berkeyakinan serta hak untuk bebas dari ancaman kekerasan atas nama agama masih belum sepenuhnya dijamin oleh Pemerintah. Di berbagai kesempatan, Pemerintah selalu menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki masalah dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, padahal realita berbicara sebaliknya. Hal ini pun juga diafirmasi oleh sejumlah negara lainnya.”

Pasca UPR sesi ke-2 untuk Indonesia di tahun 2012, negara juga belum menunjukkan kemajuan dalam perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia kelompok LGBTI (lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks). Damar Hanung dari Arus Pelangi menyampaikan, “penelitian Arus Pelangi tahun 2013 menunjukan bahwa 89,3% LGBTI di Indonesia mengalami kekerasan berbasis orientasi seksual atau identitas gendernya. Kondisi ini diperparah dengan adanya 47 kebijakan diskriminatif terhadap LGBTI di tingkat lokal hingga nasional. Kekerasan terhadap LGBTI mencapai puncaknya tahun 2016, di mana lebih dari 142 kasus kekerasan pada LGBTI terjadi dalam kurun Januari – Maret 2016.” Selain situasi kekerasan terhadap LGBTI, ” saat ini, upaya kriminalisasi terhadap kelompok LGBTI sedang berlangsung melalui Judicial Review KUHP dan pembahasan revisi KUHP di DPR. Rangkaian situasi ini membuktikan bahwa negara gagal menjalankan mandatnya dalam pemenuhan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya bagi kelompok LGBTI,” tambah Mario Pratama dari Arus Pelangi.

Berdasarkan potret terhadap situasi di atas, terlihat gambaran besar hak asasi manusia Indonesia yang belum menunjukkan tren yang positif. Bahkan dalam beberapa isu hak asasi manusia, kondisinya semakin memburuk. Mundurnya perlindungan hak asasi manusia ini menunjukkan bahwa hak asasi manusia masih belum menjadi agenda yang penting dan prioritas bagi pemerintah.

Dengan dalih ketertiban umum, kebebasan sipil dipangkas. Dengan dalih perang terhadap kejahatan, hukuman mati dirayakan. Dengan dalih domestifikasi tubuh, kesehatan reproduksi coba dikriminalkan. Dengan dalih ekonomi, hak atas tanah di Papua diabaikan. Dengan dalih NKRI harga mati, hak asasi warga Papua diberangus. Dengan dalih moral, hak asasi kelompok LGBTIQ dikekang. Dengan dalih-dalih yang lain, hak-hak asasi manusia tetap terpinggirkan dan belum dipandang sebagai yang utama.

Kami memandang UPR sebagai mekanisme konstruktif untuk membenahi situasi hak asasi manusia di seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Kita seharusnya keluar dari kurungan pemikiran bahwa forum internasional adalah forum yang semata politis dan ruang bagi intervensi negara lain. Namun, beranjak kepada substansi yang diberikan dan untuk itu perlu dipandang serius, terutama dalam konteks pemajuan hak asasi manusia.

UPR adalah bagian dari upaya membangun kerjasama antara masyarakat sipil dan pemerintah untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia secara kolaboratif. Masyarakat sipil dan pemerintah dapat menggunakan kesempatan ini untuk bekerjasama dalam menyusun rencana kerja, memantau proses, hingga mengevaluasi pelaksanaan rekomendasi UPR. Berdasarkan semangat inilah, kami mengajak Pemerintah untuk bersama-sama memperbaiki situasi perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

Narahubung:

Miko Susanto Ginting, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), 087822626362

Ricky Gunawan, LBH Masyarakat, 081210677657

Mirawati, Institut Hak Asasi Perempuan (IHAP), 081338661597

Budi Tjahjono, Fransiscans International, +41 227794010

Wensilaus Fatubun, Forum Keadilan dan Perdamaian untuk Papua, +41 779678244

Elga Sarapung, Institut Dian/ Interfidei (Jaringan Antariman Indonesia/JAII), 081247028796

Damar Hanung, Arus Pelangi (ASEAN SOGIE Caucus, Jakarta), 087876086010

Mario Pratama, Arus Pelangi/People Like Us Satu Hati, Yogyakarta, 085234831703

Rilis Pers LBH Masyarakat – Sebuah Momen Introspeksi: Pelarangan Semata atau Memberi Kesempatan pada Cinta

Rilis pers ini telah disampaikan pada konferensi pers yang diadakan oleh LBH Masyarakat yang bertajuk ” Tragedi FAS: Sebuah Ujian Untuk Hati Nurani” . Turut berbicara pada konferensi pers itu adalah Yohan Misero (Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat), Asmin Fransiska (Kepala LPPM Unika Atma Jaya), Inang Winarso (Direktur Eksekutif YSN), dan Dhira Narayana (Ketua LGN). Acara tersebut diadakan di kantor LBH Masyarakat pada 2 April 2017.

LBH Masyarakat prihatin dengan rangkaian peristiwa yang harus dihadapi oleh Saudara FAS dan keluarga. LBH Masyarakat juga menyampaikan belasungkawa yang paling dalam atas berpulangnya Ibu YR, istri dari Saudara FAS. Dalam mempersiapkan konferensi pers ini, LBH Masyarakat juga sudah berkomunikasi dengan pihak keluarga.

Berawal dari divonisnya Ibu YR (Alm.) dengan penyakit Syringomyelia, sebuah situasi di mana ada kista di sumsum tulang belakang. Kista ini dapat mengembang dan memanjang sedemikian rupa hingga akhirnya dapat mengganggu banyak bentuk aktivitas, misalnya kesulitan untuk tidur, makan dan minum, ekskresi, rasa sakit yang luar biasa, sulit berinteraksi, dan lain-lain.

Begitu dahsyatnya situasi yang harus mereka hadapi. Telah dicoba pula berbagai perawatan konvensional dan alternatif. Sempat juga ada keinginan untuk membawa ibu YR ke luar Kalimantan untuk berobat. Namun kondisi ibu YR saat itu tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh.

Dalam keputusasaan, harapan itu muncul dari sebuah tanaman yang di Indonesia dikategorikan sebagai narkotika golongan I, Ganja.  Ekstrak ganja datang sebagai suatu kemungkinan yang patut dicoba untuk memperpanjang kehidupan ibu YR. Mari kita letakkan posisi sebagai seseorang yang sedang memperjuangkan nyawa teman hidup. Tempatkan diri kita pada seseorang yang berusaha untuk mempertahankan sosok seorang ibu dalam kehidupan anak-anak kita. Pemanfaatan ganja untuk kepentingan kesehatan Ibu YR ini yang kemudian membuat Saudara FAS ditahan hingga hari ini. Terkait kasus ini, ada beberapa hal yang patut kita pikirkan:

Yang pertama, UU Narkotika memang sebenarnya tidak mengakomodir penggunaan ganja untuk tujuan medis. Namun bukan berati hal ini tepat, justru ketentuan ini patut ditinjau ulang. Pasal 8 UU Narkotika melarang pemanfaatan narkotika golongan I untuk kesehatan. Pasal 8 ini pun tidak seirama dengan Pasal 7 UU Narkotika yang mengunci pemanfaatan narkotika hanya untuk kesehatan dan perkembangan iptek. Pada realitanya, golongan I tidak boleh digunakan untuk kesehatan. Upaya riset terhadap zat dan tanaman di golongan I tidak mudah mendapatkan persetujuan.

UU Narkotika tidak seharusnya melarang pemanfaatan zat atau tanaman apa pun untuk kesehatan. Berikan kesempatan pada penelitian untuk membuktikan manfaat zat atau tanaman tersebut untuk kemanusiaan. Berikan kesempatan juga untuk anak-anak muda Indonesia membuktikan bahwa apa yang tumbuh di tanah yang ia cintai, dapat berguna untuk banyak orang. Ilmu pengetahuan sudah sedemikian maju. Hal itu membuat dampak buruk dari suatu zat, jika ada, dapat dihilangkan dan di saat yang sama mempertahankan sifat baik daripada zat tersebut. Percayalah bahwa ilmuwan-ilmuwan kita mampu untuk itu dan percayalah bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dapat kita andalkan untuk mengawasi proses itu.

Yang kedua, pemenuhan hak. Hak atas kesehatan adalah sesuatu yang dijamin oleh Konstitusi, UU HAM, dan Kovenan Ekosob yang sudah diratifikasi Indonesia. Prinsipnya, hak atas kesehatan adalah hak semua orang dan Pemerintah sudah seharusnya memenuhinya. Salah satu aspek pemenuhan hak atas kesehatan adalah availibility atau ketersediaan serta accesibility atau keterjangkauan. Oleh karena itu, momentum ini dapat Pemerintah jadikan kesempatan untuk mulai merumuskan ulang kebijakannya. Agar ke depan, bagi seluruh rakyat Indonesia terjamin ketersediaan dan keterjangkauan akan hak atas kesehatan, termasuk di dalamnya akses terhadap narkotika golongan I di mana ganja masuk di dalamnya. Cukup satu Ibu YR, jangan biarkan ada lagi anak bangsa yang harus kehilangan nyawa karena kita tak mau memberikan kesempatan pada pengetahuan. Kita yakin Indonesia mampu lebih baik dari ini.

Yang ketiga, persoalan hukum Saudara FAS. Menurut pandangan kami, setelah merujuk pada fakta-fakta umum kasus ini, pasal yang paling mungkin dikenakan pada Saudara FAS adalah Pasal 111 UU Narkotika terkait penanaman dan pemeliharaan narkotika golongan I jenis tanaman. Ancaman pidana yang tertera pada ayat 2 pasal tersebut ialah seumur hidup.

Ketika rekan-rekan penegak hukum, dalam hal ini BNN, menganggap bahwa jika mereka tidak menyidik kasus ini maka mereka salah karena tidak turut dengan UU, bagi kami anggapan tersebut tidak tepat. Penghentian penyidikan dapat dilakukan melalui Pasal 109 ayat 2 KUHAP. Justru karena kasus ini sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, BNN, atau Kejaksaan apabila kasus ini tetap diteruskan BNN, dapat menampilkan wajah penegakan hukum yang tidak humanis. Ketika pidana dianggap sebagai sebuah upaya untuk mewujudkan keadilan di ranah publik, maka tidak tepat kemudian menempatkannya di sini karena tidak ada niat jahat apa pun pada kasus ini. Dari apa yang dilakukan Saudara FAS terhadap Ibu YR tidak memunculkan kekacauan apapun di ranah publik. Kasus ini adalah sebuah wujud cinta yang luar biasa indah. Justru situasi ini memburuk ketika hukum pidana mengintervensi.

Yang keempat, perhatian pada situasi anak. Bahwa justru karena niat Saudara FAS untuk mempertahankan keluarganya, anaknya kini sebatang kara tanpa orang tua yang mendampinginya. Ibunya meninggal karena tak bisa mengakses obat yang ia butuhkan, ayahnya juga ditahan. Kesejahteraan, kesehatan, dan tumbuh kembang anak merupakan hal yang juga patut diperhatikan karena perlindungan anak pun merupakan aspek penting dalam segala kebijakan. Pemerintah mampu untuk menolong anak ini dengan merelakan Saudara FAS untuk tetap hadir di sisi anaknya.

Maka melalui konferensi pers ini, kami memohon dengan segala kerendahan hati kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, serta seluruh lembaga/kementerian yang berkaitan untuk:

  1. Mendorong penghentian penyidikan terhadap kasus Saudara FAS;
  2. Membuka kesempatan bagi penelitian terhadap zat dan tanaman di golongan I narkotika, dengan menempatkan ganja sebagai prioritas;
  3. Meninjau ulang kebijakan narkotika untuk membuka akses dan menjamin ketersediaan narkotika golongan I, di mana ganja ada di dalamnya, bagi pemenuhan hak atas kesehatan rakyat Indonesia.

Percayalah, #PenjaraBukanSolusi. Bukan hanya untuk keluarga Saudara FAS dan Ibu YR. Namun untuk kita semua, rakyat Indonesia.

Yohan Misero

Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Rilis Pers LBH Masyarakat – Jangan Paksakan Bersatu Apa yang Tak Bisa Bersama

Rilis pers ini telah dibawakan pada media briefing yang diadakan oleh Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI), Koalisi Revisi 35/2009, dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengenai ” Narkotika dalam RKUHP: Solusi atau Masalah Baru?” Acara tersebut diadakan di Ke:kini, Jakarta Pusat, pada 30 Maret 2017. Media briefing itu sendiri menghadirkan Yohan Misero (Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat), Erasmus Napitupulu (Peneliti ICJR), dan Alfiana Qisthi (Pelaksana Advokasi Hukum PKNI). Totok Yulianto (Ketua Umum PBHI) hadir untuk memoderasi acara.

LBH Masyarakat menolak dimasukkannya tindak pidana narkotika ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal ini dikarenakan regulasi mengenai narkotika sangatlah kompleks dan meletakkan aturan pidananya secara terpisah justru akan membuatnya tidak komprehensif dan rawan menimbulkan kekacauan hukum pada taraf implementasi.

Selain itu, dunia sedang ada di tahap di mana tingkat diskursus mengenai kebijakan narkotika sedang tinggi. Kita lihat berbagai perubahan di seluruh dunia: Portugal, Swiss, Uruguay, Belanda, Jerman, Perancis, Israel, dll. Bahkan di Amerika Serikat sendiri, negara yang mempelopori kebijakan pelarangan narkotika, sudah banyak negara bagian yang mengambil kebijakan berbeda dengan kebijakan pemerintah federal. Negara-negara bagian itu antara lain: Colorado, California, Massachusetts, Alaska, Washington, dsb.

Kemanusiaan butuh narkotika. Hal ini sendiri diakui di UU Narkotika yang menyatakan:

“…kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya;”[1]

“…untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat…”[2]

“…narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan…”[3]

Itu baru dari sisi kesehatan. Belum berbagai industri lain yang membutuhkan narkotika sebagai salah satu bahan baku yang dibutuhkannya.

Dimasukkannya narkotika ke dalam RKUHP memunculkan pertanyaan bagaimana kemudian kebijakan rehabilitasi akan diberikan pada pemakai narkotika. Semua aturan menganai rehabilitasi ada di pasal-pasal di UU Narkotika. Aturan-aturan kelembagaan yang ada di Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, dan BNN terkait rehabilitasi juga menempatkan UU Narkotika sebagai cantolan. Pemisahan tindak pidana narkotika ke RKUHP dapat membuat rekan-rekan pemakai narkotika kehilangan pemenuhan hak atas kesehatan yang sangat mereka butuhkan.

Yang seharusnya jadi pertanyaan dari kebijakan narkotika secara nasional di belahan dunia manapun: bagaimana kita membangun relasi kita dengan narkotika? Sejauh apa kita manfaatkan narkotika untuk kepentingan bangsa kita? Bagaimana narkotika dapat kita optimalkan untuk berbagai keperluan masyarakat? Bagaimana kita melindungi anak-anak bangsa kita dari pengaruh buruk yang dapat ditimbulkan narkotika?

Pertanyaan-pertanyaan di atas haruslah dijawab dalam satu nafas ideologi. Negara-negara lain sudah melakukannya dengan aturan nasionalnya masing-masing. Indonesia juga sudah memilih apa yang ingin ia lakukan. Nafas pilihannya telah diletakkan di UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di sana ada pelarangan golongan 1 untuk kesehatan, di sana ada hukuman mati, di sana ada pemenjaraan bagi pemakai narkotika, di sana ada ekspor impor narkotika, di sana ada hukum acara, di sana ada kewenangan penegak hukum, di sana ada peran serta masyarakat dan masih banyak lagi aspek-aspek di dalamnya.

Semua hal itu dipilih karena Indonesia telah memilih satu ideologi tertentu dalam permasalahan narkotika. Permasalahannya kemudian: bagaimana jika nanti Indonesia ingin mengambil logika lain dalam memandang narkotika? Bagaimana jika nanti Indonesia tidak lagi ingin memenjarakan pemakai narkotika? Bagaimana jika nanti Indonesia ingin agar intervensi kesehatan, bukannya pidana, yang dikedepankan dalam menghadapi pemakai narkotika?

Atau apapun arahnya nanti, jika Indonesia ingin mengganti arah kebijakan narkotikanya hal ini akan sulit jika aturan pidananya ada di RKUHP. Kami meyakini bahwa dimasukkannya narkotika ke RKUHP akan memperumit perubahan-perubahan tersebut. Keberadaan tindak pidana narkotika di RKUHP, terutama yang berkaitan dengan pemakai narkotika, justru akan meningkatkan stigma ke pemakai narkotika karena seakan pemakaian atau penguasaan narkotika ialah kejahatan yang dianggap setingkat dengan tindak pidana lain seperti pencurian atau pembunuhan, misalnya.

Terlepas dari itu semua, tidak ada perubahan yang amat mendasar dari susunan pidana narkotika yang ada di RKUHP. Tidak dari rumusan pasal, tidak dari pemidanaan. Maka apalah gunanya nanti tindak pidana tersebut diletakkan dalam RKUHP? Apa salahnya tetap meletakkan tindak pidana tersebut di UU Narkotika?

Sulit pula menganggap dimasukkannya tindak pidana narkotika ke RKUHP sebagai momentum perubahan. Hal ini disebabkan jika misalnya RKUHP ingin pergi ke arah dekriminalisasi pemakaian narkotika, sebuah hal yang banyak diserukan oleh elemen masyarakat sipil saat ini, maka aturan peralihan akan sibuk membatalkan berbagai pasal di UU Narkotika yang akibat hukumnya jadi sulit diprediksi karena kompleksnya UU Narkotika itu. Sudah barang tentu, RKUHP juga tidak dapat dijadikan momentum perubahan ke arah pasar yang teregulasi, sebuah gagasan yang juga didukung terutama oleh teman-teman aktivis ganja, karena memang hal yang ingin diatur sangatlah berbeda.

Upaya kodifikasi tindak pidana ke dalam RKUHP merupakan sesuatu yang perlu dipuji dari rekan-rekan di parlemen. Namun menempatkan narkotika di dalam RKUHP hanya akan membuat kekacauan hukum yang sama-sama tidak kita inginkan.

Jakarta, 30 Maret 2017

Yohan Misero

Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

 

[1] Bagian pertimbangan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, huruf a

[2] Bagian pertimbangan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, huruf b

[3] Bagian pertimbangan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, huruf c

logo LBHM

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Hukum yang Bipolar, Melindungi atau Memasung?

Masalah kesehatan bukan hanya soal apa yang tampak secara fisik tetapi juga secara psikis. Pada tahun 2013, riset kesehatan dasar memperkirakan bahwa kira-kira 1,7 permil rumah tangga Indonesia memiliki anggota keluarga yang memiliki gangguan jiwa berat.[i] Gangguan ini berpotensi mengganggu kualitas hidup seseorang dan hubungan sosial mereka apabila tidak ditangani secara tepat dan cepat. Penanganan ini bukan hanya dengan memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas, tetapi juga perlindungan hukum.

Orang yang memiliki masalah kejiwaan seringkali tidak bisa mengakses layanan-layanan publik akibat stigma dan diskriminasi. Masyarakat seringkali menganggap mereka berbahaya, tidak rasional, tidak bisa bertanggung jawab terhadap urusan-urusan domestik, dan tidak mampu untuk bekerja. Akhirnya, kehadiran mereka pun dianggap menjadi sebuah gangguan dan eksistensi mereka disingkirkan ke lembaga-lembaga penahanan, seperti tempat rehabilitasi, rumah sakit jiwa (RSJ) dan penjara.

LBH Masyarakat menaruh perhatian khusus kepada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang sedang berhadapan dengan hukum, terutama mereka yang disangkakan melakukan tindak pidana. Perhatian kami ini dilatarbelakangi oleh masih mudanya usia perangkat hukum yang mengatur masalah ODGJ di dalam sistem peradilan pidana.[1] Apabila perlindungan hukum tidak diberikan sejak tahap penangkapan, terbuka kemungkinan sangat besar ODGJ menjalani proses peradilan dan mendapatkan penghukuman yang akan memperparah gangguannya.

Pelaku penyingkiran ODGJ bukan hanya dilakukan melalui sistem peradilan pidana, melainkan juga dalam praktik hidup sehari-hari. Praktik pemasungan adalah salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat yang masih jamak terjadi di Indonesia.[ii] Selain pasung, ODGJ juga rentan untuk mendapatkan bentuk-bentuk kekerasan lainnya.

Atas dasar inilah, kami mendokumentasikan kasus-kasus pidana yang diduga dilakukan oleh ODGJ serta praktek-praktek kekerasan terhadap ODGJ di sepanjang tahun 2016. Upaya pendokumentasi ini juga sebetulnya tidak lepas dari peristiwa kehilangan. Pada tahun 2015, LBH Masyarakat kehilangan klien sekaligus teman: Rodrigo Gularte, warga Negara Brazil yang didiagnosis memiliki gangguan jiwa berat dan kemudian dibunuh atas nama hukum melalui eksekusi hukuman mati. Kami menjadi saksi bagaimana pria itu tidak pernah diberikan baik layanan kesehatan memadai maupun akses terhadap hukum yang setara sejak awal proses peradilan sampai tubuhnya ditembus peluru. Maka, sekalipun berita mengenai Rodrigo Gularte sudah reda pada tahun 2016, laporan ini kami dedikasikan kepadanya dan ODGJ lain yang masih berada di belakang jeruji, baik di penjara asli ataupun penjara belakang rumah. Selamat membaca!

Teman-teman dapat mengunduh laporannya di tautan ini.

Skip to content