Month: May 2017

Laporan Tahunan LBH Masyarakat Tahun 2016

Seperti berada dalam lorong gelap” , potongan kalimat ini dikutip dari catatan Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan ketika menggambarkan posisi LBH Masyarakat sepanjang tahun 2016. Di tahun itu, LBH Masyarakat kembali kehilangan sahabat karena pemerintah Indonesia  -sekali lagi- melaksanakan perayaan eksekusi mati. Dilanda sendu, LBH Masyarakat tetap berusaha bangkit untuk terus menjadi setitik harapan bagi masyarakat Indonesia yang terlanggar haknya. Atas keteguhannya, LBH Masyarakat meraih beberapa pencapaian. Kami rangkum perjalanan LBH Masyarakat sepanjang tahun 2016 dalam laporan tahunan yang dapat diunduh pada tautan ini.

Eksekusi Mati IV: Menukar Nyawa dengan Suara

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam keras pernyataan Jaksa Agung RI Muhammad Prasetyo yang mengatakan bahwa Kejaksaan Agung telah mengantungi sejumlah nama terpidana mati untuk dieksekusi dan bahwa eksekusi jilid IV akan digelar, sekalipun waktu pastinya belum bisa ditentukan. Pernyataan itu disampaikan oleh Jaksa Agung hari Jumat, 19 Mei 2017, di hadapan kawan-kawan media. Lebih lanjut Prasetyo menyatakan bahwa Kejaksaan Agung akan meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) perihal pembatasan waktu pengajuan grasi.

“Pernyataan Jaksa Agung tersebut tidak ubahnya sebuah manuver politik untuk mencari popularitas di tengah miskinnya prestasi Kejaksaan Agung. Di saat politik hukum Pemerintah mengarah ke pembatasan keberlakuan hukuman mati seperti tercermin dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) maupun pernyataan Presiden Joko Widodo di beberapa kesempatan terakhir, pernyataan Jaksa Agung itu justru bertolak belakang dengan gestur Presiden sebagai atasannya maupun dengan Menteri Hukum dan HAM,” ujar Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat.

Ricky melanjutkan, “setidaknya ada dua hal yang Jaksa Agung bisa prioritaskan daripada meneruskan praktik eksekusi mati yang terbukti tidak menurunkan angka kejahatan narkotika. Pertama, mengevaluasi eksekusi jilid III kemarin yang carut-marut penuh dengan permasalahan. Melanjutkan gelombang eksekusi padahal eksekusi terakhir menyisakan banyak pertanyaan menunjukkan bahwa Kejaksaan Agung tidak pernah belajar dari kesalahan dan berpotensi mengulang pelanggaran yang sama. Kedua, Jaksa Agung sebaiknya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi hutang kampanye Jokowi sebagaimana tercantum di dalam Nawacita.”

Sehubungan dengan rencana Kejaksaan Agung meminta pendapat MA terkait dengan pembatasan waktu grasi padahal Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan bahwa grasi tidak dibatasi oleh waktu, Ricky menegaskan bahwa, “Jaksa Agung melakukan kesalahan dengan meminta fatwa MA terkait putusan MK. Tidaklah pada tempatnya Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa atas putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Hal ini bukan saja memperlihatkan ketidakpahaman Jaksa Agung yang fatal mengenai sistem hukum Indonesia tetapi juga Jaksa Agung telah mengangkangi kewibawaan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi.”

Ricky juga mengingatkan bahwa, “Indonesia baru saja selesai diperiksa di Dewan HAM PBB melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR), dan persoalan hukuman mati mendapat banyak sorotan dan catatan buruk dari banyak negara. Tindakan Jaksa Agung yang hendak meneruskan eksekusi mati hanya akan melanggengkan citra buruk Indonesia di hadapan komunitas internasional. Pada UPR kemarin, 28 negara memberikan rekomendasi moratorium dan abolisi. Jumlah ini meningkat sembilan kali lipat dari UPR sebelumnya di tahun 2012, di mana hanya ada 3 negara yang memberikan rekomendasi serupa.”

“Di tengah goyahnya pemerintahan Jokowi ditempa berbagai permasalahan kebangsaan, dari meningkatnya sentimen intoleran hingga belum terungkapnya serangan terhadap Novel Baswedan, janganlah Jaksa Agung menggunakan eksekusi mati sebagai langkah populis untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu tersebut. Di saat sistem hukum Indonesia penuh dengan kebobrokan, akan selalu ada orang-orang yang tidak bersalah divonis mati atau mengalami proses hukum yang cacat, sebagaimana ditunjukkan di tiga gelombang eksekusi terakhir,” tambah Ricky.

Dipilihnya terpidana mati narkotika sebagai orang-orang yang akan dieksekusi Kejaksaan Agung di eksekusi jilid IV kembali memperlihatkan kebebalan pemerintah dalam mengatasi persoalan narkotika. Berdasarkan catatan LBH Masyarakat, sepanjang 2016, setidaknya terdapat 120 artikel berita yang melaporkan peristiwa pengendalian narkotika dari dalam lapas, dan 729 artikel berita mengenai penggrebekan peredaran narkotika dalam skala besar, di mana terdapat lebih dari 4.200 kg shabu dan 5.700 kg ganja disita oleh aparat. “Tidakkah cukup kasat mata bahwa eksekusi mati gagal mengatasi kejahatan narkotika? Apa lagi yang dicari Pemerintah dengan meneruskan eksekusi ketika tujuan dilakukannya eksekusi itu tidak tercapai? Pemerintah harus segera menghentikan rencana eksekusi jilid IV dan menerapkan moratorium, serta mengkaji kembali kasus-kasus hukuman mati dengan tujuan perubahan hukuman. Secara khusus, Presiden Jokowi perlu segera mencopot Prasetyo dari jabatan Jaksa Agung karena kinerjanya yang buruk dan telah melakukan sejumlah kesalahan hukum,” jelas Ricky.

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Adiksi pada Strategi yang Wanprestasi

Perang bukanlah kata yang manis. Ia hadir dengan beragam implikasi. Walau Indonesia kini hidup di zaman damai, bukan berarti tidak ada lagi perang di negeri ini, setidaknya menurut pemerintah. Sebuah perang yang saat ini dihadapi oleh pemerintah adalah perang terhadap narkotika, sebuah jargon yang kerap kali digunakan untuk meningkatkan sentimen negatif masyarakat terhadap narkotika dan penggunaannya.

Dalam perang ini, salah satu alat yang paling penting adalah kebijakan. Setelah seruan perang terhadap narkotika yang diserukan oleh Presiden Joko Widodo di awal periode ia menduduki kursi kepresidenan, penegak hukum kemudian makin memasifkan duapendekatan guna merespon situasi perang ini. Sayangnya, kedua respon ini, yaitu pemenjaraan dan hukuman mati, sejauh ini belum memperlihatkan hasil signifikan terhadap perbaikan situasi. LBH Masyarakat, dengan tahun-tahun pengalamannya dalam menangani kasus narkotika, memandang upaya perang terhadap narkotika ini sebagai sesuatu yang usang.

Upaya ini telah dicoba berbagai negara, bahkan dilengkapi dengan tiga kovenan internasional yang khusus mengatur mengenai narkotika. Namun semua ini belum berhasil mengentaskan perdagangan gelap narkotika. Selayaknya perang-perang lainnya, perang terhadap narkotika juga dilengkapi dengan sebaran propaganda. Propaganda tersebut didatangkan langsung ke telepon genggam kita dalam wujud berita dalam jaringan (daring). LBH Masyarakat mencoba melakukan monitoring dan dokumentasi media daring terhadap dua isu terkait dengan narkotika.

Isu pertama mengenai penangkapan skala besar (yang untuk selanjutnya kami sebut sebagai PSB), dan isu kedua mengenai pengendalian narkotika dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (yang untuk selanjutnya kami sebut sebagai PDL). Pemilihan kedua isu ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa pemantauan media terhadap kedua isu ini dapat menunjukkan tingkat efektivitas dari kedua pendekatan keras yang diambil pemerintah, serta elemen-elemen lain yang menarik yang terlibat dalam upaya penegakan hukum tersebut.

Kami berharap hasil pemantauan ini dapat bermanfaat dalam proses dialog menuju perubahan kebijakan narkotika yang lebih baik. Kami pun sepakat bahwa peredaran gelap narkotika perlu negara atasi. Tetapi, kebijakan narkotika – sama halnya seperti kebijakan negara lainnya – haruslah menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia, serta berbasis bukti.

Teman-teman dapat mengunduh laporannya di tautan berikut.

Brief Observation on Indonesia\’s Death Penalty in the 3rd UN Universial Periodic Review (UPR), May 2017

 

Brief Observation on Indonesia’s Death Penalty in the 3rd UN Universal Periodic Review (UPR), May 2017

 

LBH Masyarakat is of the view that the 3rd Universal Periodic Review (UPR) for Indonesia, took place on Wednesday, 3 May 2017, went in a constructive manner. Both Indonesia – as a state under review – and the reviewing states valued the engaging process and highlighted the needs for positive cooperation. LBH Masyarakat notes that a number of human rights issues have been adequately explored during the session, such as the rights of women and children. However, there are some other important issues that have not been substantively dealt, if not ignored, such as the protection of LGBT persons.

 

LBH Masyarakat appreciates the level of attention given by the reviewing states on the issue of the death penalty. We note that at least 28 of 107 recommending states (25%) provided recommendations on the death penalty.

 

In general, those recommendations are for Indonesia to reinstate moratorium with a view to abolish the death penalty for all crimes. However, there are exceptional cases where certain states made specific recommendations. For example, Australia recommended Indonesia to “enhance safeguards on the use of the death penalty”, which includes “adequate and early access to legal representation” for people facing the death penalty, “non-application of the death penalty for those with mental illness”, and revise the Criminal Code to in line with the international human rights standards. Meanwhile, Belgium recommended Indonesia “to establish an independent and impartial body to conduct a review of all cases of persons sentenced to death with a view to commuting the death sentences and at least ensuring fair trials that fully compliant with international standards.”

 

The number of recommendations on the death penalty provided in this cycle has increased nine times from the previous second UPR cycle in 2008, where Indonesia had received recommendations from three states.

 

The fact that there is at least a quarter of reviewing states put forward recommendations on moratorium of the death penalty or executions indicates the gravity of the issue. However, we deplore Indonesia’s minor responses to that matter.

 

Indonesia, as predicted, maintained the use of faulty stats of drug-related deaths and moral rhetoric to justify the barbaric act of the death penalty. It repeated the incorrect statistics of 40 people died everyday because of drugs, of which Indonesia’s and international leading academics have criticized. The continued use of this faulty figures demonstrates that Indonesia lacks of commitment in an evidence-based policy making as well as does not take note the importance of rights-based drug policy in tackling its drugs problem. Conversely, Indonesia promotes the use of mandatory of drug treatment that infringes the right to health.

 

Further, Indonesia argues that execution has been carried out in a manner that protects human rights, particularly the right to fair trial. Indonesia took pride by saying that when execution was implemented, it has passed strict legal procedures. However, precisely because Indonesia’s legal system is corrupted, it is inherently part of the problem and thereby cannot be argued that Indonesia has robust justice system. In three rounds of executions under Jokowi’s administration, there were serious questions on the absence of safeguard mechanisms. Eighteen individuals who were executed in three batch of executions had unfair trials, including Zainal Abidin, whose case was fabricated; Rodrigo Gularte, who had paranoid schizophrenia and bipolar disorder; and, Humphrey Ejike, an innocent person who had pending clemency decision when was executed.

 

In light of the above, LBH Masyarakat urges the Indonesian government to redeem its poor performance in the 3rd UPR working group session, by accepting 28 recommendations related with the death penalty.

 

Indonesia must establish de jure moratorium with a view to abolish the death penalty. While moratorium is in place, Indonesia must establish an independent body to review all death penalty cases, commute all death row prisoners, and immediately revise its Criminal Code to reflect international human rights standards.

 

Contact persons:

Ajeng Larasati in Geneva +62 812 1276 1876

Ricky Gunawan in Jakarta +62 812 10 677 657

Brief Observation on Indonesia\’s Death Penalty in the 3rd UN Universial Periodic Review (UPR), May 2017

 

Brief Observation on Indonesia’s Death Penalty in the 3rd UN Universal Periodic Review (UPR), May 2017

 

LBH Masyarakat is of the view that the 3rd Universal Periodic Review (UPR) for Indonesia, took place on Wednesday, 3 May 2017, went in a constructive manner. Both Indonesia – as a state under review – and the reviewing states valued the engaging process and highlighted the needs for positive cooperation. LBH Masyarakat notes that a number of human rights issues have been adequately explored during the session, such as the rights of women and children. However, there are some other important issues that have not been substantively dealt, if not ignored, such as the protection of LGBT persons.

 

LBH Masyarakat appreciates the level of attention given by the reviewing states on the issue of the death penalty. We note that at least 28 of 107 recommending states (25%) provided recommendations on the death penalty.

 

In general, those recommendations are for Indonesia to reinstate moratorium with a view to abolish the death penalty for all crimes. However, there are exceptional cases where certain states made specific recommendations. For example, Australia recommended Indonesia to “enhance safeguards on the use of the death penalty”, which includes “adequate and early access to legal representation” for people facing the death penalty, “non-application of the death penalty for those with mental illness”, and revise the Criminal Code to in line with the international human rights standards. Meanwhile, Belgium recommended Indonesia “to establish an independent and impartial body to conduct a review of all cases of persons sentenced to death with a view to commuting the death sentences and at least ensuring fair trials that fully compliant with international standards.”

 

The number of recommendations on the death penalty provided in this cycle has increased nine times from the previous second UPR cycle in 2008, where Indonesia had received recommendations from three states.

 

The fact that there is at least a quarter of reviewing states put forward recommendations on moratorium of the death penalty or executions indicates the gravity of the issue. However, we deplore Indonesia’s minor responses to that matter.

 

Indonesia, as predicted, maintained the use of faulty stats of drug-related deaths and moral rhetoric to justify the barbaric act of the death penalty. It repeated the incorrect statistics of 40 people died everyday because of drugs, of which Indonesia’s and international leading academics have criticized. The continued use of this faulty figures demonstrates that Indonesia lacks of commitment in an evidence-based policy making as well as does not take note the importance of rights-based drug policy in tackling its drugs problem. Conversely, Indonesia promotes the use of mandatory of drug treatment that infringes the right to health.

 

Further, Indonesia argues that execution has been carried out in a manner that protects human rights, particularly the right to fair trial. Indonesia took pride by saying that when execution was implemented, it has passed strict legal procedures. However, precisely because Indonesia’s legal system is corrupted, it is inherently part of the problem and thereby cannot be argued that Indonesia has robust justice system. In three rounds of executions under Jokowi’s administration, there were serious questions on the absence of safeguard mechanisms. Eighteen individuals who were executed in three batch of executions had unfair trials, including Zainal Abidin, whose case was fabricated; Rodrigo Gularte, who had paranoid schizophrenia and bipolar disorder; and, Humphrey Ejike, an innocent person who had pending clemency decision when was executed.

 

In light of the above, LBH Masyarakat urges the Indonesian government to redeem its poor performance in the 3rd UPR working group session, by accepting 28 recommendations related with the death penalty.

 

Indonesia must establish de jure moratorium with a view to abolish the death penalty. While moratorium is in place, Indonesia must establish an independent body to review all death penalty cases, commute all death row prisoners, and immediately revise its Criminal Code to reflect international human rights standards.

 

Contact persons:

Ajeng Larasati in Geneva +62 812 1276 1876

Ricky Gunawan in Jakarta +62 812 10 677 657

Brief Observation on Indonesia\’s Death Penalty in the 3rd UN Universial Periodic Review (UPR), May 2017

 

Brief Observation on Indonesia’s Death Penalty in the 3rd UN Universal Periodic Review (UPR), May 2017

 

LBH Masyarakat is of the view that the 3rd Universal Periodic Review (UPR) for Indonesia, took place on Wednesday, 3 May 2017, went in a constructive manner. Both Indonesia – as a state under review – and the reviewing states valued the engaging process and highlighted the needs for positive cooperation. LBH Masyarakat notes that a number of human rights issues have been adequately explored during the session, such as the rights of women and children. However, there are some other important issues that have not been substantively dealt, if not ignored, such as the protection of LGBT persons.

 

LBH Masyarakat appreciates the level of attention given by the reviewing states on the issue of the death penalty. We note that at least 28 of 107 recommending states (25%) provided recommendations on the death penalty.

 

In general, those recommendations are for Indonesia to reinstate moratorium with a view to abolish the death penalty for all crimes. However, there are exceptional cases where certain states made specific recommendations. For example, Australia recommended Indonesia to “enhance safeguards on the use of the death penalty”, which includes “adequate and early access to legal representation” for people facing the death penalty, “non-application of the death penalty for those with mental illness”, and revise the Criminal Code to in line with the international human rights standards. Meanwhile, Belgium recommended Indonesia “to establish an independent and impartial body to conduct a review of all cases of persons sentenced to death with a view to commuting the death sentences and at least ensuring fair trials that fully compliant with international standards.”

 

The number of recommendations on the death penalty provided in this cycle has increased nine times from the previous second UPR cycle in 2008, where Indonesia had received recommendations from three states.

 

The fact that there is at least a quarter of reviewing states put forward recommendations on moratorium of the death penalty or executions indicates the gravity of the issue. However, we deplore Indonesia’s minor responses to that matter.

 

Indonesia, as predicted, maintained the use of faulty stats of drug-related deaths and moral rhetoric to justify the barbaric act of the death penalty. It repeated the incorrect statistics of 40 people died everyday because of drugs, of which Indonesia’s and international leading academics have criticized. The continued use of this faulty figures demonstrates that Indonesia lacks of commitment in an evidence-based policy making as well as does not take note the importance of rights-based drug policy in tackling its drugs problem. Conversely, Indonesia promotes the use of mandatory of drug treatment that infringes the right to health.

 

Further, Indonesia argues that execution has been carried out in a manner that protects human rights, particularly the right to fair trial. Indonesia took pride by saying that when execution was implemented, it has passed strict legal procedures. However, precisely because Indonesia’s legal system is corrupted, it is inherently part of the problem and thereby cannot be argued that Indonesia has robust justice system. In three rounds of executions under Jokowi’s administration, there were serious questions on the absence of safeguard mechanisms. Eighteen individuals who were executed in three batch of executions had unfair trials, including Zainal Abidin, whose case was fabricated; Rodrigo Gularte, who had paranoid schizophrenia and bipolar disorder; and, Humphrey Ejike, an innocent person who had pending clemency decision when was executed.

 

In light of the above, LBH Masyarakat urges the Indonesian government to redeem its poor performance in the 3rd UPR working group session, by accepting 28 recommendations related with the death penalty.

 

Indonesia must establish de jure moratorium with a view to abolish the death penalty. While moratorium is in place, Indonesia must establish an independent body to review all death penalty cases, commute all death row prisoners, and immediately revise its Criminal Code to reflect international human rights standards.

 

Contact persons:

Ajeng Larasati in Geneva +62 812 1276 1876

Ricky Gunawan in Jakarta +62 812 10 677 657

Evaluasi Situasi HAM Indonesia di Universal Periodic Review (UPR) yang ke-3: 28 Negara Merekomendasikan Moratorium Hukuman Mati.

Indonesia, seperti negara anggota PBB yang lain, menjalani evaluasi HAM secara berkala di Dewan HAM PBB. PBB sendiri memiliki beberapa mekanisme untuk memeriksa komitmen negara pada hak asasi manusia. Salah satunya ialah  melalui Universal Periodic Review (UPR). Melalui UPR ini, Indonesia diuji ketaatan dan pemenuhannya terhadap hak asasi manusia oleh komunitas internasional. UPR kali ini berlangsung pada 3 Mei 2017 di Jenewa. Sebelumnya, Indonesia sudah pernah melalui 2 UPR yakni pada tahun 2008 dan 2012.

Kordinator Program LBH Masyarakat, Ajeng Larasati, hadir mewakili elemen masyarakat sipil untuk memberikan laporan pada proses UPR ini.

Catatan LBH Masyarakat terkait Situasi Hukuman Mati Indonesia di Universal Periodic Review (UPR) yang ke-3, Mei 2017

LBH Masyarakat berpendapat bahwa pelaksanaan UPR yang ketiga terhadap Indonesia, yang berlangsung pada 3 Mei 2017, berjalan dengan baik dan konstruktif. Baik Indonesia, maupun negara yang melakukan penilaian terhadap Indonesia, saling menghargai proses yang berlangsung dan mengedepankan pentingnya kooperasi yang positif. LBH Masyarakat mencatat bahwa sejumlah isu hak asasi manusia telah diangkat dan dibahas dengan mencukupi sepanjang sesi, seperti misalnya isu mengenai hak perempuan dan anak. Namun demikian, masih terdapat beberapa isu hak asasi manusia penting yang tidak secara substansial ditanggapi, atau bahkan cenderung diabaikan, seperti misalnya perlindungan terhadap hak-hak LGBT.

LBH Masyarakat mengapresiasi tingkat perhatian yang tinggi yang diberikan terhadap isu hukuman mati. Berdasarkan catatan kami, ada setidaknya 28 dari 107 (25%) negara yang memberikan rekomendasi terkait dengan hukuman mati.

Secara umum, rekomendasi tersebut berisi anjuran bagi Indonesia untuk segera memberlakukan kembali moratorium hukuman mati bagi semua tindak pidana. Tetapi beberapa rekomendasi dibuat secara lebih spesifik. Australia, misalnya, merekomendasikan Indonesia untuk ‘meningkatkan pedoman pengamanan dalam penggunaan hukuman mati’, yang termasuk di antaranya dengan memastikan ‘akses terhadap bantuan hukum yang berkualitas sejak dini’ bagi orang yang menghadapi hukuman mati, ‘penghapusan hukuman mati bagi orang dengan gangguan kejiwaan’, dan merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sesuai dengan standar hak asasi manusia international. Selain itu, Belgia merekomendasikan Indonesia untuk ‘membentuk badan yang independen dan imparsial untuk meninjau seluruh kasus hukuman mati dengan tujuan menghapus hukuman mati dan/atau setidaknya memastikan tersedianya pemenuhan hak atas peradilan yang adil dan jujur yang sesuai dengan standar internasional.’

Jumlah rekomendasi terkait hukuman mati yang diberikan pada putaran ketiga ini meningkat sembilan kali dari UPR putaran sebelumnya di 2008, di mana Indonesia hanya mendapatkan rekomendasi dari tiga negara.

Fakta bahwa ada setidaknya seperempat negara yang memberikan rekomendasi terkait dengan moratorium hukuman mati atau eksekusi hukuman mati mengindikasikan tingkat keseriusan dari isu ini. Namun demikian, kami menyayangkan buruknya respon Indonesia terhadap hal tersebut.

Indonesia, sebagaimana telah kami prediksi, masih saja menggunakan data yang cacat terkait dengan kematian yang disebabkan oleh narkotika dan retorika moral untk menjustifikasi aksi barbar hukuman mati. Indonesia berulang kali menggunakan statistik 40 orang meninggal setiap harinya akibat narkotika – sebuah argumen yang mendapatkan kiritik keras dari akademisi Indonesia dan internasional. Penggunaan data yang cacat ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak memiliki komitmen terhadap kebijakan yang berbasis bukti ataupun mengakui pentingnya kebijakan narkotika yang berbasis hak asasi manusia dalam mengatasi persoalan penggunaan narkotika. Sebaliknya, Indonesia justru mempromosikan penggunaan wajib rehabilitasi yang melanggar hak atas kesehatan.

Lebih jauh lagi, Indonesia berargumen bahwa eksekusi telah dilakukan dengan menghargai dan melindungi prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak atas peradilan yang jujur dan adil. Indonesia dengan bangga menyatakan bahwa eksekusi dilakukan setelah melalui prosedur hukum yang ketat. Tetapi, persis karena sistem peradilan Indonesia yang sarat dengan korupsi menjadi bagian yang melekat dari persoalan hukuman mati, oleh karena itu tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki sistem hukum yang baik. Dalam tiga eksekusi terakhir di bawah rejim Joko Widodo, terdapat persoalan serius mengenai absennya mekanisme pedoman pengamanan. Delapan belas orang yang dieksekusi dalam tiga eksekusi terakhir mengalami pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang jujur dan adil, termasuk Zainal Abidin, yang kasusnya direkayasa; Rodrigo Gularte, yang memiliki skizofrenia paranoid dan bipolar; dan, Humphrey Ejike, orang yang tidak bersalah yang ketika dieksekusi sedang dalam proses pengajuan grasi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, LBH Masyarakat mendorong pemerintah Indonesia untuk menerima ke-dua puluh delapan rekomendasi terkait dengan hukuman mati yang diberikan dalam putaran ketiga UPR terhadap Indonesia.

Indonesia harus memberlakukan moratorium secara formal dengan tujuan menghapuskan hukuman mati. Sementara moratorium diberlakukan, Indonesia harus membentuk badan independen untuk meninjau ulang seluruh kasus hukuman mati, mengubah hukuman mati bagi seluruh terpidana mati, dan segera merevisi KUHP sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.

Ajeng Larasati – Koordinator Program, Riset, dan Kebijakan LBH Masyarakat

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Skip to content