Month: June 2017

Program LIGHTS (Living The Human Rights) 2017

LIGHTS adalah program pengenalan HAM intensif bagi mahasiswa/I fakultas hukum atau non-hukum yang sudah diadakan sejak tahun 2008. Dalam program ini, peserta akan mendapatkan kesempatan untuk mempelajari teori-teori HAM, implementasi pemenuhan HAM serta mengunjugi lembaga-lembaga negara dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang juga memiliki perhatian pada pemenuhan HAM. LIGHTS 2017 akan diselenggarakan di Jakarta dari tanggal 31 Juli 2017 hingga 11 Agustus 2017.

Di tahun pelaksanaannya yang kesembilan ini, tersedia kesempatan bagi calon peserta yang berasal dari luar pulau Jawa untuk mendapatkan beasiswa secara penuh, yang meliputi;

– Tiket Pesawat (PP),

– Akomodasi, serta

– Uang saku

Untuk persyaratan calon peserta LIGHTS 2017 antara lain:

  1. Mahasiswa aktif pada Universitas Swasta maupun Negeri.
  2. Pendaftaran dibuka untuk semua Fakultas,
  3. Mengisi formulir pendaftaran yang dapat diunduh di website LBH Masyarakat (https://www.lbhmasyarakat.org/)
  4. Menyerahkan CV
  5. Menyerahkan Essay tentang “Tantangan Perlindungan HAM di Indonesia ” (diketik 800-1.000 kata). (terdapat di form pendaftaran)
  6. Bagi pelamar beasiswa, menyerahkan essay tentang, “Bagaimana partisipasi dalam LIGHTS 2017 dapat bermanfaat bagi masyarakat di lingkungan sekitar Anda?” (diketik 300-500 kata) (terdapat di form pendaftaran)

Unduh formulir pendaftaran dengan klik tautan ini.

Kirim formulir dan persyaratan ke glianto@lbhmasyarakat.org

Pedaftaran dibuka hingga 16 Juli 2017 

Narahubung: Gilbert (0812 6757 1330)

Policy Paper: Overdosis Pemenjaraan, Tinjauan Singkat atas Kebijakan Pidana Bagi Pengguna Narkotika

Di tahun 2017 ini Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah memasuki tahun ke-delapan. Tentu ketika UU Narkotika ini dibuat, harapan para pembuat kebijakan sangat tinggi terhadap kesuksesan UU Narkotika dalam menjawab tantangan peredaran gelap narkotika di Indonesia. Apalagi, seiring berjalannya waktu, lembaga-lembaga pemerintah lain yang memiliki peran dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika telah mengeluarkan beberapa kebijakan internal yang ditujukan untuk mengoptimalkan implementasi UU Narkotika itu sendiri. Pada faktanya, bukan hanya angka pengguna narkotika yang meningkat, tetapi juga jumlah terpidana kasus narkotika, baik yang dipidana dengan label ‘pengguna’ maupun ‘pengedar’ – sebuah pengkategorian yang tidak tepat, yang menjadi bukti dari ketidakjelasan peraturan hukum dalam membedakan pengguna narkotika dengan pelaku peredaran gelap narkotika.

Persoalan ketidakjelasan aturan hukum dalam membedakan pengguna dengan pelaku peredaran gelap narkotika ini berujung pangkal pada penggunaan terminologi pengguna pada UU Narkotika. UU Narkotika menggunakan tiga terminologi, ‘penyalahguna’, ‘korban penyalahguna’, dan ‘pecandu’. Dengan menggunakan konstruksi logika seperti ini, UU Narkotika telah gagal melihat luasnya spektrum tipe pemakai narkotika. Kegagalan ini berujung pada keterbatasan akses rehabilitasi bagi mereka yang sebaiknya mendapatkan pendekatan kesehatan, serta kebijakan kriminalisasi yang berlebihan. Kebijakan kriminalisasi yang berlebihan ini berdampak besar pada tingginya tingkat kelebihan muatan (overcrowd) di penjara, yang saat ini telah mencapai 74% lebih banyak daripada daya tampungnya.

Saat ini sedang terjadi beberapa upaya perubahan regulasi yang akan berpengaruh besar terhadap situasi kebijakan narkotika di Indonesia. Upaya tersebut diantaranya adalah revisi UU Narkotika, revisi RKUHP, serta revisi PP No. 99 tahun 2012. Masyarakat sipil, termasuk kelompok pengguna narkotika, memiliki peran besar dalam memastikan perubahan regulasi ke arah yang lebih baik, yang lebih humanis, serta mengutamakan pendekatan kesehatan dalam menjawab tantangan peredaran gelap narkotika.

Dalam kertas posisi ini, LBH Masyarakat menegaskan kembali posisinya terhadap kebijakan pemidaan bagi pemakai narkotika, membedah potensi serta tantangan yang muncul dari serangkaian kebijakan internal lembaga terkait dengan pemakai narkotika yang berhadapan dengan hukum, serta memberikan rekomendasi guna memaksimalkan upaya perubahan regulasi ke arah yang lebih baik dengan mengedepankan pendekatan kesehatan. Kertas posisi ini merupakan yang pertama dari beberapa kertas posisi lainnya terkait dengan regulasi narkotika di Indonesia yang akan kami sajikan secara bertahap.

 
Infografis oleh: Astried Permata
 

Akses policy brief ” Overdosis Pemenjaraan: Tinjauan Singkat atas Kebijakan Pidana Bagi Pengguna Narkotika” , yang ditulis oleh Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat, Yohan Misero pada tautan ini.

Rilis Pers – Menghapus Stigma Pada Pemakai Narkotika: Perjalanan Masih Panjang

Rilis pers ini telah disebarkan pada konferensi pers mengenai \”Koreksi dan Klarifikasi atas Pemberitaan Media terhadap Peristiwa Penolakan Penumpang Batik Air\” yang diselenggarakan oleh Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) pada 7 Juni 2017. Yang menjadi pembicara pada konferensi pers ini ialah Andhika dan Edo Agustian dari PKNI, Yohan Misero dari LBH Masyarakat, serta Asmin Fransiska dari Unika Atmajaya. Acara ini sendiri dimoderatori oleh Totok Yulianto dari PBHI.

 

LBH Masyarakat menyesalkan peristiwa diturunkannya dua rekan kami dari Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) dari Batik Air dengan nomor penerbangan ID 7010 pada Selasa, 30 Mei 2017 lalu. LBH Masyarakat percaya bahwa persoalan seperti ini dapat diselesaikan dengan jauh lebih elok apabila seluruh pihak beritikad baik.

Problem ini jadi melebar karena 2 hal. Yang pertama adalah persoalan pemberitaan. Tidak bijak rasanya menyebutkan nama orang yang sedang berusaha untuk memulihkan diri dari persoalan adiksinya di media. Selain karena hal tersebut mengganggu proses pemulihannya karena terdistraksi oleh hal-hal yang tidak substansial, persoalan penyebutan identitas tersebut juga adalah pelanggaran terang-terangan kepada kerahasiaan medis. Hal ini bisa saja dipermasalahkan lebih jauh. Oleh karena itu, kami menghimbau pada rekan-rekan media untuk bersama-sama mengevaluasi diri agar hal demikian tidak terjadi lagi di kemudian hari. Selain itu di Indonesia, memakai narkotika masih dipandang sebagai sebuah tindakan kriminal. Maka penyebutan nama seseorang yang sedang berjuang untuk memulihkan diri, secara tidak langsung juga telah menciderai hak orang tersebut untuk memiliki pekerjaan karena masih banyak pemberi kerja, yang secara tidak tepat, mendiskriminasi rekan-rekan pemakai narkotika.

Hal kedua yang menyebabkan problem ini melebar adalah cara maskapai dan Kementerian Perhubungan menyelesaikan permasalahan ini. Langkah maskapai untuk menurunkan kawan-kawan PKNI dari pesawat tidaklah bijak karena sebenarnya hal-hal ini dapat dikomunikasikan dengan lebih baik sehingga penerbangan dapat berjalan semestinya tanpa menimbulkan insiden yang tidak perlu. Kemudian yang paling disesalkan ialah respon dari Kementerian Perhubungan. Selepas peristiwa ini rekan-rekan PKNI mengirimkan surat kepada Kementerian Perhubungan, yang setelah lama menunggu akhirnya direspon. Surat itu sayangnya hanya menegaskan dan membenarkan langkah yang diambil maskapai tanpa ada niat untuk duduk bersama membicarakan apa yang terjadi. Surat itu, yang lebih menggelikan, juga hanya menggunakan berita daring sebagai sumber utama fakta yang dipertimbangkan. Seharusnya Kemenhub dapat memitigasi peristiwa ini dengan fair, bukannya memandang enteng seperti ini.

Berkaca pada peristiwa ini ada beberapa hal yang dapat kita pelajari. Namun yang terpenting adalah pemahaman bahwa menghapus stigma pada pemakai narkotika merupakan perjalanan yang masih panjang. Stigma yang memang berasal dari kebijakan punitif dan kampanye yang berat sebelah dari negara. Pemakai narkotika masih dipandang berbahaya sedemikian rupa hingga harus diturunkan dari pesawat begitu saja. Pemakai narkotika, sayangnya, terus dipandang sebagai sampah masyarakat yang namanya dapat diumbar ke mana-mana tanpa perlu memperhatikan etika medis dan jurnalistik. Tak perlu jauh berharap pada perubahan kebijakan dari pemerintah, ketika masyarakat masih terus diajak untuk menyudutkan pemakai narkotika. Bagaimana kita dapat berharap ada perubahan prilaku ketika kita terus memusuhi dan bukan merangkul rekan-rekan pemakai narkotika? Bukankah seseorang yang sedang berusaha untuk memulihkan diri ini baiknya dibantu bukannya disingkirkan?

Berikutnya, cara Kemenhub memitigasi masalah masih menunjukan betapa pemakai narkotika ditempatkan sebagai warga kelas II. Rekan-rekan PKNI tidak diberikan media untuk dapat menerangkan peristiwa tersebut dari kacamata mereka. Kemenhub memandang bahwa dua berita dari media daring lebih berarti daripada pernyataan langsung dari rekan-rekan PKNI ini. Seharusnya Kemenhub mendudukan rekan-rekan PKNI ini dan maskapai yang terkait di satu meja agar jelas duduk perkaranya sehingga dapat mencapai satu solusi yang dapat diterima semua pihak.

Namun ketika rasa takut, dan bukannya pengetahuan, yang masih jadi raja, entah sampai kapan kejadian-kejadian seperti ini akan berulang.

 

 

Jakarta, 7 Juni 2017

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

 

Skip to content