Month: January 2018

Rilis Pers – Narkotika dalam RKUHP: Ancaman Besar bagi Kepastian Hukum

Koalisi Advokasi UU 35/2009 dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP menolak tindak pidana narkotika dimasukkan ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasalnya, selain melanggengkan kriminalisasi terhadap Pengguna Narkotika, hal ini justru melahirkan ketidakpastian hukum bagi pengguna narkotika, yang berdampak pada semakin jauhnya upaya pendekatan kesehatan bagi pengguna narkotika yang diamanatkan Pasal 4 UU Narkotika.

Kebijakan narkotika di Indonesia selama ini cenderung mengkriminalisasi pengguna narkotika. Sejak dikeluarkannya UU No.9 Tahun 1976 tentang Narkotika, pemerintah memberikan sanksi pidana kepada pengguna narkotika karena tidak jelasnya pembedaan antara pengguna Narkotika dan pengedar narkotika. Hukuman pidana yang diberikan kepada pengguna narkotika terus meningkat sampai dikeluarkannya UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang saat ini pun sedang direvisi oleh Pemerintah.

UU No. 35/2009 tentang Narkotika menerapkan teori “double track system” bagi pengguna narkotika, yang di dalam pengaturannya terdapat 2 jenis pemidanaan yang berbeda yakni penjara dan rehabilitasi. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tujuan penerapan UU Narkotika yang tercantum dalam Pasal 4 huruf d yang menyatakan “…menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu Narkotika”.

Permasalahan penerapan pasal tindak pidana dalam UU Narkotika merupakan permasalahan terbesar dalam UU Narkotika. Kriminalisasi kepada Pengguna Narkotika dalam Pasal 127 UU Narkotika merupakan bentuk pendekatan yang buruk dan tidak sejalan dengan tujuan UU Narkotika itu sendiri. Pemberian sanksi pidana kepada Pengguna Narkotika terbukti tidak membawa dampak menurunnya angka perdagangan gelap narkotika namun justru menimbulkan permasalahan baru. Pada praktiknya, Pengguna Narkotika tidak hanya dikriminalisasi karena penyalahgunaan namun mereka mengalami kriminalisasi yang berlebihan karena pemilikan, penyimpanan, penguasaan, pembelian atau penanaman narkotika, walaupun narkotika tersebut dipergunakan untuk kepentingan sendiri.

Dampak buruk kriminalisasi bagi para pengguna narkotika – seperti kekerasan dan penyiksaan, manipulasi perkara, serta dampak psikologis, sosial, ekonomi, serta kesehatan – menunjukkan bahwa penjara bukanlah solusi bagi pengguna narkotika. Dampak kesehatan inilah yang dapat menimbulkan efek domino bagi pengguna narkotika dan juga populasi umum. Ketiadaan akses kesehatan bagi pengguna narkotika dalam proses pidana mengakibatkan gejala putus zat (sakaw/sakau/withdrawal), penyakit menular (HIV/AIDS, Hepatitis, TBC), serta angka kematian pengguna narkotika.

Selama 9 tahun UU Narkotika berlaku, kami menilai tujuan UU sebagaimana tersebut di atas belum tercapai. Pada prakteknya jumlah pengguna narkotika yang dipidana penjara masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan rehabilitasi. Menurut data Ditjenpas, sampai Desember 2017 ada sejumlah 33,698 pengguna narkotika yang dipenjara.

Hal ini menurut kami merupakan salah satu indikator masih adanya kesimpangsiuran di tataran implementasi atas jaminan pengaturan upaya rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Di saat Pemerintah berupaya memperbaiki UU Narkotika melalui proses penyusunan revisi RUU Narkotika, sudah muncul keputusan untuk memasukan pengaturan tentang narkotika ke dalam RKUHP yang dengan kata lain akan ada 2 dasar hukum yang kurang lebih memuat aturan yang sama atas 1 perbuatan yang dilakukan. Hal ini kami nilai akan berdampak pada praktek pemenjaraan terhadap pengguna narkotika yang lebih tinggi lagi.

Dengan kondisi ini, tidaklah tepat mengatur pasal-pasal narkotika ke dalam KUHP, sebab seluruh pengaturan mengenai ketentuan pidana narkotika sangat bergantung pada ketentuan yang secara khusus diatur dalam UU Narkotika itu sendiri. Hal-hal seperti ini tidak dapat diatur terpisah dalam KUHP. Terlebih, tidak ada perubahan yang amat mendasar dari susunan pidana narkotika yang ada di RKUHP, baik dari rumusan pasal maupun pemidanaan. Hal ini membuat pendekatan kriminalisasi semakin langgeng dalam RKUHP.

Langgengnya kriminalisasi terhadap pengguna narkotika dalam RKUHP diperburuk karena pada dasarnya KUHP memiliki fleksibilitas yang sangat kaku, tidak mudah dirubah dan memiliki politik pemidanaan yang sangat tinggi. Sifat ini berbeda dengan isu narkotika yang sangat dinamis dan memiliki tingkat perubahan yang sangat tinggi. Perbedaan sifat ini mengakibatkan semakin sulitnya merevisi kebijakan narkotika.

Pusaran ancaman pidana bagi pengguna narkotika bukan merupakan sebuah tindakan penyelamatan anak bangsa, melainkan sebuah “penistaan” terhadap tujuan untuk memberikan jaminan atas kesehatan melalui rehabilitasi medis atau sosial bagi pengguna narkotika.

Atas hal-hal tersebut di atas, Koalisi Advokasi Revisi UU 35/2009 dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyatakan:

  1. Mendesak DPR RI mengeluarkan tindak pidana narkotika dari RKUHP
  2. Mendorong Pemerintah dalam hal ini Badan Narkotika Nasional, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial untuk tidak menyepakati usulan Legislatif.
  3. Mendorong Pemerintah dan DPR RI melakukan dekriminalisasi dengan pendekatan kesehatan dan Harm Reduction (pengurangan dampak buruk) dalam revisi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

 

Jakarta, 19 Januari 2018

 

Koalisi Advokasi UU 35/2009

Aliansi Nasional Reformasi KUHP

 

Rilis pers ini dibuat untuk konferensi pers mengenai “Narkotika dalam RKUHP: Ancaman Besar bagi Kepastian Hukum ” yang diselenggarakan oleh LBH Masyarakat di kantor LBH Masyarakat pada 19 Januari 2018. Yang menjadi pembicara pada konferensi pers ini ialah Yohan Misero, S.H. (Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat), Alfiana Qisthi, S.H. (Pelaksana Advokasi Hukum PKNI), Asmin Fransiska, S.H., LL.M, Ph.D (Pengajar dan Kepala LPPM Unika Atmajaya), Totok Yulianto, S.H. (Kepala Badan Pekerja PBHI),  Subhan Panjaitan, S.H., M.H. (Advocacy Officer Rumah Cemara), dan Rima Ameilia, S.Sos, M.Krim (Peneliti Mappi FHUI).

Press Release – Narcotics in the Criminal Code Revision: A Serious Threat for Legal Certainty

The Act 35/2009 Advocacy Coalition and National Criminal Code Reform Alliance reject the inclusion of criminal drug offences in the revised draft Criminal Code (RKUHP). Aside from perpetuating the criminalisation of people who use drugs, the proposed changes merely create legal uncertainty for these individuals and further ostracize them from the health-based approaches stipulated in Article 4 of the Narcotics Act.

Up until the present, Indonesian narcotics policy has tended towards criminalising people who use drugs. Since the enactment of Act No.9 1976 concerning Narcotics, the government has imposed criminal sanctions on users due to opacity in the differentiation between narcotics dealers with people who use drugs. The prevalence of criminal penalties for people who use drugs continued to rise up until the introduction of Act No. 35 2009 concerning Narcotics; which at this moment is also undergoing revision by the government.

The Narcotics Act adopts a “double track system” for people who use drugs, allowing for two different kinds of sentence: prison and rehabilitation. The aim of this system is to fulfill one of the objectives of the Act, inserted in Article 4 letter d, which “…guarantees the arrangement of medical and social rehabilitation efforts for narcotics abusers and addicts”.

The biggest problem with the Narcotics Act lies in the application of the article concerning criminal acts. The criminalisation of people who use drugs in Article 127 represents an approach which is both worn-out and not in accordance with the objectives of the Narcotics Act as a whole. It has been proven that imposing criminal sanctions on people who use drugs does not bring a reduction in rates of illegal drug trafficking, but instead gives rise to new problems. In practice, users are not only criminalised for drug abuse, but experience excessive sanctions for the possession, purchase, storage or cultivation of narcotics which are for personal use only.

The negative impacts of criminalisation for people who use drugs – such as violence, torture and trial manipulation, along with impacts on psychological, social, economic and health – indicate that prison is not the solution for these individuals. The health impacts in particular can have a domino effect for both people who use drugs and the general population. The absence of access to healthcare for users throughout criminal proceedings can result in symptoms associated with withdrawal, contagious illnesses (HIV/AIDS, hepatitis, tuberculosis), and death.

Throughout the nine year period it has been in effect, we believe the objectives of the Narcotics Act as outlined above are yet to be achieved. The reality is the number of people who use drugs receiving prison sentences remains far greater than the number receiving rehabilitation. According to the Director General of Correctional Institution’s data, as of December 2017 there were 33,698 people who use drugs in detention.

In our opinion, these figures indicate ongoing confusion regarding the implementation of the rehabilitation efforts guaranteed for people who use drugs under the Narcotics Act. At the same the moment the government began efforts to improve the Act through the compiling of draft revisions, the decision to include regulations about narcotics in the draft revised Criminal Code emerged. In other words, there is slated to be two elements of law which contain approximately the same regulations concerning one kind of behaviour. We believe this will have a stimulative impact on the practice of imprisoning people who use drugs.

In the light of this, it is ill-advised to include narcotics articles in the Criminal Code given any regulation of criminal narcotics provisions is exclusively covered by the Narcotics Act. Such matters should not be regulated separately in the Criminal Code, especially since there are no fundamental changes in the proposed criminal offences in the RKUHP, in either the formulation of articles or matters of punishment and sentencing. These proposed changes will only serve to perpetuate criminalisation.

This criminalisation of people who use drugs in the RKUHP is further aggravated by the essentially unyielding, difficult to change and highly political nature of the existing Criminal Code. These traits are at odds with the issue of narcotics, which is dynamic and subject to drastic change; a discrepancy which makes narcotics policy increasingly difficult to revise.

The vortex of legal threats for people who use drugs do not represent the salvation of the nation’s youth, but are instead “blasphemies” against the aim to guarantee the right to healthcare for people who use drugs through medical and social rehabilitation.

 

In relation to the matters above, the Act 35/2009 Advocacy Coalition and National Criminal Code Reform Alliance:

 

  1. Urge the People\’s Representative Council to remove criminal narcotics offences from the draft revised Criminal Code (RKUHP).
  2. Urge the relevant government bodies, namely the National Anti-Narcotics Agency, the Ministry of Health and the Ministry of Social Affairs, not to agree to this legislative proposal
  3. Urge the government and People’s Representative Council to decriminalise drug offenders by adopting the harm reduction and health-based approaches mandated in revisions to Act No. 35 2009 concerning Narcotics.

 

The Act 35/2009 Advocacy Coalition and National Criminal Code Reform Alliance,

January 19th, 2018

 

 

This press release was created for a press conference titled “Narcotics in the draft revised Criminal Code: A Serious Threat for Legal Certainty” held at the office of LBH Masyarakat on the 19th of January, 2018. The speakers at this press conference were Yohan Misero, S.H. (Drug Policy Analyst at LBH Masyarakat), Alfiana Qisthi, S.H. (PKNI Legal Advocate), Asmin Fransiska, S.H., LL.M, Ph.D (Lecturer and Head of LPPM Unika Atmajaya), Totok Yulianto, S.H. (Head of the PBHI), Subhan Panjaitan, S.H., M.H. (Rumah Cemara Advocacy Officer) and Rima Ameilia, S.Sos, M.Krim (Mappi FHUI Researcher). This press release was translated by Iven Manning.

 

 

Kertas Kebijakan: Tembak di Tempat, Kebijakan Penanganan Narkotika yang Salah Arah

Tanggal 27 Desember kemarin, Budi Waseso beserta jajaran BNN lainnya dengan bangga mengumumkan hasil pemburuan meraka. Anak buah BNN menembak mati 79 orang yang diduga terlibat dalam peredaran narkotika. Entah apa yang ada di pikiran Buwas (Budi Waseso), begitu ia sering disapa, memamerkan dengan bangga jumlah manusia yang berhasil ia bunuh atas nama perang terhadap narkotika.

Mungkin kebanggaan ini juga muncul karena seruan Presiden Joko Widodo pada salah satu acara peringatan Hari Narkotika Sedunia tahun 2016 silam. Jokowi sempat bergurau ” Saya ingin ingatkan kepada kita semuanya di kementerian, di lembaga, di aparat-aparat hukum kita, kejar mereka (pengedar narkotika), tangkap mereka, hajar mereka, hantam mereka. Kalau Undang-Undang memperbolehkan, dor mereka.” Ucapan Jokowi kini bukan hanya sekedar auman belaka, praktik tok hang di Filipina kini nyata diterapkan di Indonesia.

Praktik yang memakan banyak korban tidak bersalah di Filipina, dan mendapat berbagai kecaman dari dunia internasional, nyatanya jelas-jelas ditiru oleh aparat penegak hukum di Indonesia, tidak hanya BNN tetapi juga Kepolisian RI. Kepolisian yang seharusnya mengayomi masyarakat juga ikut-ikutan bertindak brutal. Penggerebekan pada 13 Juli lalu misalnya, Pasukan polri menembak mati warga negara Taiwan yang diduga terlibat dalam perdagangan gelap narkotika.

Atas semua pihak yang terlibat dengan aksi ugal-ugalan ini, mulai dari Presiden, Kepala BNN, hingga Kapolri RI, yang patut kita pertanyakan adalah benarkah Indonesia membutuhkan tindakan membabi buta, menerkam banyak nyawa demi memberantas narkotika? Atau mereka (pemerintah) hanya terjebak dalam citra? Bingung dan tidak tahu arah?

Sebelum menelan lebih banyak lagi korban jiwa, LBH Masyarakat bersama PKNI dan PBHI merumuskan kertas kebijakan sebagai kritik praktik tembak di tempat. Melalui kertas kebijakan ini kami menggambarkan bahaya tembak mati di Indonesia dan kaitannya dengan hak asasi manusia. Kertas kebijakan ini juga mendeskripsikan apa yang sebenarnya dibutuhkan Indonesia dalam menyikapi peredaran gelap narkotika.

Anda bisa mengakses kertas kebijakan ini melalui tautan ini.

Karena setiap manusia berharga.

Rilis Pers LBH Masyarakat & PKNI – Asesmen Ketergantungan Narkotika adalah Hak, Bukan Komoditas!

Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) memandang bahwa terdapat kesenjangan dalam pemenuhan hak rehabilitasi bagi pengguna Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza). Berdasarkan catatan PKNI yang diperoleh dari media, terdapat 7 selebritis yang ditangkap karena kasus Napza sepanjang tahun 2017. Ketujuh selebritis tersebut mendapatkan rehabilitasi setelah dilakukan proses asesmen oleh Tim Asesmen Terpadu. Hal ini berbanding terbalik dengan nasib pengguna Napza lainnya yang ditangkap. Berdasarkan data pendampingan kasus yang dilakukan oleh paralegal PKNI di 10 kota di Indonesia sepanjang tahun 2017, terdapat 145 pengguna Napza yang rata-rata dari golongan tidak mampu yang berhadapan dengan hukum dan hanya 17 pengguna Napza yang memperoleh asesmen, yang hasilnyapun tidak semuanya mendapatkan rehabilitasi.

Pelaksana Advokasi Hukum PKNI, Alfiana Qisthi menjelaskan bahwa dari kasus-kasus pengguna Napza yang didampingi oleh paralegal PKNI di 10 kota, jumlah pengguna Napza yang mendapatkan asesmen tidak mencapai 10% dari total pengguna Napza yang didampingi. “Mendapatkan asesmenpun tidak, apalagi rehabilitasi. Akibatnya, banyak pengguna Napza yang dengan mudahnya dikenakan pasal sebagai pengedar,” ujarnya.

Asesmen penting untuk dilakukan. Dari hasil asesmen inilah akan ditentukan seseorang pecandu atau pengedar narkotika. Berdasarkan Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Kepala BNN RI tentang Penanganan Pecandu Narkotika dna Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi (Peraturan Bersama 7 Institusi Tahun 2014), menyatakan bahwa penyidiklah yang melakukan permohonan kepadan Tim Asesmen Terpadu terhadap seseorang yang disangka sebagai penyalahguna. Sementara dari data pendampingan kasus paralegal, seringkali penyidik tidak memohonkan asesmen terhadap pengguna Napza dengan alasan yang beragam. Tentunya hal ini berimbas pada terjebaknya pengguna Napza dalam penerapan pasal sebagai pengedar, yang jelas terabaikannya hak rehabilitasi bagi pengguna Napza. Terbukti, dari kasus-kasus yang ditangani paralegal PKNI sepanjang 2017 yang lanjut hingga persidangan, hanya 12 putusan rehabilitasi.

“Proses asesmen ini perlu ditinjau kembali pelaksanaannya. Karena dari laporan paralegal PKNI, banyak terjadi pemerasan di penyidikan terkait permohonan asesmen. Permohonan asesmen ini menjadi barang dagangan bagi penyidik. Penyidik kerap kali memeras tersangka/keluarga tersangka untuk memberikan uang dengan imbalan dijanjikan akan dilakukan asesmen. Bagi tersangka/keluarga tersangka yang tidak mau membayar atau tidak mampu membayar, jangan harap memperoleh asesmen. Untuk itu proses asesmen ini harus kita kawal. Karena ini adalah titik awal penentuan bagi seorang tersangka pengguna Napza mendapatkan haknya untuk rehabilitasi atau justru dijebloskan dalam penjara,” jelas Alfiana.

Data temuan PKNI ini juga diaminkan oleh Yohan Misero, Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat. Menurut Yohan situasi ini, dimana asesmen seakan menjadi komoditas yang diperdagangkan, sesungguhnya memang tidak terelakan sampai ada perubahan regulasi yang serius dalam bidang narkotika. “Perlu dicatat bahwa Peraturan Bersama 7 Institusi pada 2014 yang membangun sistem Tim Asesmen Terpadu ini adalah sebuah respon politis terhadap tingginya kriminalisasi terhadap pemakai narkotika. TAT diharapkan dapat memotong angka kriminalisasi dengan mengalihkan pemakai narkotika ke fasilitas kesehatan yang lebih ia butuhkan. Peraturan Bersama ini menekankan bahwa pemberian asesmen terhadap seorang pemakai narkotika adalah kewenangan penyidik, bukannya hak seseorang yang berhadapan dengan Undang-Undang Narkotika. Ketika penekanannya ada di kewenangan, maka sebenarnya kita sudah dapat memprediksi munculnya penyalahgunaan,” kata Yohan.

“Pada salah satu kasus yang kami pantau, oknum penyidik sempat meminta dua puluh juta rupiah dari tersangka. Saat ia berhadapan dengan hakim di persidangan, ia justru dimarahi hakim untuk membayar dua puluh juta itu karena ‘jaman sekarang tidak ada yang gratis.’ Padahal menurut Peraturan Bersama 2014, seluruh anggaran tentang TAT ada di tangan BNN,” tambahnya.

Sebagai penutup, Yohan berkata, “Dalam bidang ekonomi, kita sering mendengar ungkapan ‘potong birokrasi’ untuk meningkatkan efektivitas kerja. Saya pikir untuk memastikan hak atas kesehatan betul-betul diperoleh pemakai narkotika maka perlu untuk mereduksi birokrasi – termasuk juga sistem TAT ini. Saat ini, BNN juga tengah melakukan evaluasi mengenai keberlakuan dan efektivitas TAT yang patut kita tunggu juga bagaimana hasilnya. Namun yang lebih penting dari itu adalah segera merevisi UU Narkotika yang kita punya sekarang terutama untuk mendekriminalisasi pembelian, penguasaan, dan pemakaian narkotika dalam jumlah terbatas. Dekriminalisasi adalah pernyataan yang lebih tegas daripada membangun sistem TAT apabila Indonesia memang ingin memposisikan intervensi kesehatan sebagai hal yang utama bagi pemakai narkotika, bukannya penegakan hukum.”

 

Jakarta, 4 Januari 2018

 

Skip to content