Month: April 2018

Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Perempuan dalam Jerat Sindikat

Isu perempuan terlibat dalam peredaran gelap narkotika sebagai kurir mencuat ketika Mary Jane Veloso dan Merri Utami masuk ke dalam daftar terpidana mati yang akan dieksekusi pada tahun 2015 dan 2016. Dalam berbagai kesempatan, Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan bahwa perempuan seringkali dimanfaatkan oleh sindikat narkotika untuk mengantarkan narkotika dari satu tempat ke tempat lainnya, baik dalam negeri maupun luar negeri. Keterlibatan perempuan sebagai kurir narkotika bukan lah hal yang baru. Rani Andriani, yang telah dieksekusi mati 2015 lalu, tertangkap akan mengantarkan narkotika di Soekarno-Hatta pada tahun 2000. Begitu juga dengan Merri Utami yang ditangkap pada tahun 2001.

Tidak ada definisi yang jelas mengenai kurir narkotika, bahkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sekalipun. Terminologi ini dibuat oleh media, pemerintah dan masyarakat dan digunakan secara luas. Pada praktiknya, perempuan kurir narkotika akan dipidana dengan Pasal 114 Undang-Undang Narkotika yang melarang perbuatan “menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menyerahkan” narkotika. Laporan ini mendefinisikan kurir sebagai seseorang yang mengantarkan narkotika dari satu tempat ke tempat lainnya. Laporan ini juga akan menggunakan frase “perempuan kurirnarkotika” untuk menjelaskan perempuan yang terlibat dalam peredaran gelap sebagai kurir narkotika, semata-mata untuk memudahkan penulisan, tanpa bermaksud untuk memberikan label negatif kepada perempuan.

LBH Masyarakat, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, mendampingi 9 (sembilan) kasus perempuan terlibat dalam peredaran gelap narkotika, 5 (lima) di antaranya terlibat sebagai kurir. Satu perempuan dipidana dengan pidana mati, satu perempuan dihukum seumur hidup, tiga perempuan dipidana dengan pidana penjara selama 12, 14 dan 16 tahun penjara. Selama mendampingi kasus-kasus tersebut, kami menemukan pola yang serupa muncul berulang kali, yaitu keterlibatan akibat disuruh atau diperdaya oleh pasangan intim, berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah dan pernah mengalami kekerasan domestik.

 
Infografis oleh: Astried Permata
 

Untuk mendapat gambaran yang lebih holistik dan komprehensif mengenai latar belakang perempuan kurir narkotika, pola perekrutan serta modus yang sering digunakan, dan juga relasi perekrut dengan perempuan, LBH Masyarakat berinisiatif untuk melakukan pemantauan berita perempuan kurir narkotika sepanjang tahun 2017. Laporan pemantauan ini juga merupakan bagian dari advokasi perlindungan perempuan, yang seringkali menjadi korban kekerasan dan perdagangan orang dalam peredaran gelap narkotika, namun, dijatuhi dengan hukuman berat bahkan hingga pidana mati.

 Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan ini.

Press Release – How Fortunate It Is to be a Member of Parliament’s Kid!

In principle, LBH Masyarakat agrees with the stance of police in returning home the son of Henry Yosodiningrat, a Member of Parliament from the Indonesian Democratic Party of Struggle and founder of the anti-drugs NGO Granat, after the child tested positive for drugs. LBH Masyarakat supports drug dependency recovery efforts for any user. On the other hand, LBH Masyarakat also hopes such measures can be applied fairly by police to all other levels of society – not just to celebrities or those who possess political power.

Henry Yosodiningrat has on several occasions openly indicated his support for the imprisonment of people who use drugs. This week’s case, which positions his child as a people who use drugs, should make us collectively understand how important it is to decriminalise the use, possession and purchase of limited amounts of drugs.

It is not at all suitable for the problem of drug use/dependence to be solved through law enforcement. This only drains budgets and fills prisons, while our law enforcement infrastructure is needed for other, far more important matters: the disclosure of corruption cases and the resolution of the Novel Baswedan case, for example.

Data from the Ministry of Law and Human Rights itself shows there are at least 28,123 people who use drugs in prison as of March 2018 – a figure which it turns out does not yet include 12 regional offices who are yet to report people who use drugs who have been erroneously declared “dealers” by the courts.

Henry Yosodiningrat also regularly gives his support to the imprisonment of people who have only recently tried or occasionally use drugs. The frequency of someone’s drug use should not necessarily remove the state’s obligation to fulfill their right to health, either through consultation with a specialist or participation in a rehabilitation program.

It is crucial to keep people who use drugs removed from law enforcement intervention. Decriminalisation means people who use drugs will no longer need to access rehabilitation services in secret and can openly talk about the problem they are experiencing: either to health services, friends or, of course, their parents.

If we want families to also be pillars of support in order to extend the scope of health services for people who use drugs, the government must quickly develop policy supportive of decriminalisation. It is important for Henry Yosodiningrat, Granat, and the Indonesian Democratic Party of Struggle in particular to say loudly and clearly: we need to support people who use drugs, not punish them.

This is a good moment for us to remember how important it is to remove narcotics-related provisions from the draft revised Criminal Code (RKUHP) which will hinder rehabilitation programs, and revise the Narcotics Act, which contains decriminalisation provisions used to guarantee the fulfillment of the right to health for people who use drugs.

 

Yohan Misero – LBH Masyarakat Drug Policy Analyst

 

This press release was translated by Iven Manning.

Rilis Pers – Betapa Beruntung Menjadi Anak Anggota DPR!

LBH Masyarakat, pada dasarnya, menyepakati sikap polisi yang memulangkan anak Henry Yosodiningrat, seorang anggota DPR dari fraksi PDI Perjuangan, setelah anak tersebut ditemukan positif mengonsumsi narkotika. LBH Masyarakat mendukung upaya pemulihan ketergantungan pemakai narkotika bagi siapapun. Namun di sisi lain, LBH Masyarakat juga berharap agar tindakan seperti ini juga dapat diterapkan secara adil oleh polisi pada lapisan masyarakat yang lain – tidak hanya pada pesohor atau mereka yang memiliki kekuatan politik.

Henry Yosodiningrat beberapa kali secara terbuka menunjukan dukungannya pada pemenjaraan bagi pemakai narkotika. Kasus yang hari ini menempatkan anaknya sebagai pemakai narkotika seharusnya membuat kita bersama-sama memahami betapa pentingnya dekriminalisasi pemakaian, penguasaan, serta pembelian narkotika dalam jumlah terbatas.

Permasalahan ketergantungan/pemakaian narkotika tidaklah cocok diselesaikan dengan penegakan hukum. Penegakan hukum hanya menghabiskan anggaran dan memenuhi penjara. Padahal infrastruktur penegakan hukum kita dibutuhkan untuk perkara-perkara lain yang jauh lebih penting: pengungkapan kasus korupsi dan penyelesaian kasus Novel Baswedan misalnya.

Data dari Kemenkumham sendiri memperlihatkan setidaknya ada 28.123 pemakai narkotika yang ada di dalam penjara hingga Maret 2018. Angka sebesar itu saja ternyata belum memasukkan 12 Kanwil yang belum melapor juga pemakai narkotika yang secara keliru diputus pengadilan sebagai “bandar.”

Henry Yosodiningrat juga kerap memberikan dukungan pada pemenjaraan pemakai narkotika terutama bagi mereka yang baru mencoba atau hanya sekali-sekali menggunakan. Seharusnya, frekuensi seseorang menggunakan narkotika tidak serta merta menghilangkan kewajiban negara untuk memenuhi hak atas kesehatannya: entah sekedar berkonsultasi pada pakar atau mengikuti program rehabilitasi.

Menjauhkan pemakai narkotika dari intervensi penegakan hukum menjadi hal yang sangat penting. Dekriminalisasi membuat pemakai narkotika tidak perlu lagi diam-diam mengakses layanan rehabiltasi dan dapat secara terbuka membicarakan masalah yang ia alami: entah pada layanan kesehatan, kawan-kawan, atau – tentu saja – orang tua.

Jika kita ingin agar keluarga juga menjadi tonggak untuk memperluas cakupan layanan kesehatan bagi pemakai narkotika, negara perlu segera membangun kebijakan yang suportif untuk itu: dekriminalisasi. Penting bagi Henry Yosodiningrat, Granat, dan – terutama – PDI Perjuangan bersuara lantang untuk ini: bahwa kita perlu mendukung pemakai narkotika, bukannya menghukum.

Ini momen yang baik bagi kita untuk mengingat betapa pentingnya menghilangkan ketentuan terkait narkotika dari RKUHP, yang mana akan menghambat program rehabilitasi, serta merevisi UU Narkotika yang memuat ketentuan dekriminalisasi guna menjamin pemenuhan hak atas kesehatan bagi pemakai narkotika, karena penjara bukan solusi.

 

 

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Stigma HIV, Impresi yang Belum Terobati

Kesalahpahaman persepsi masyarakat terhadap ODHA menimbulkan ketakutan pada banyak orang. Hal ini menyebabkan orang yang beresiko terdampak HIV menjadi enggan melakukan tes HIV. Kesalahpahaman persepsi ini kemudian menjelma menjadi stigma, yang seringkali berujung pada praktek-praktek diskriminasi terhadap ODHA.

Perwujudan stigma dan diskriminasi pada ODHA dapat dilihat dalam bentuk produk-produk hukum seperti kebijakan dan prosedur administrasi. Produk-produk tersebut sering ditemukan sebagai suatu perangkat yang diperlukan untuk melindungi masyarakat, tetapi kerap dijumpai implementasinya justru memperkuat praktik-praktik diskriminasi dan pengekalan stigma. Contoh lain dari wujud stigma dan diskriminasi adalah implementasi kebijakan yang justru mendiskreditkan ODHA. Misalnya, dengan menerbitkan regulasi yang membatasi mobilitas ODHA.

Stigma dan diskriminasi jelas menyebabkan implementasi dari program pencegahan HIV/AIDS tidak dapat dilakukan secara optimal. Dari berbagai sisi, stigma dan diskriminasi memberikan dampak yang sama luasnya, jika tidak lebih luas, dibandingkan dengan HIV itu sendiri. Disadari atau tidak, stigma dan diskriminasi tidak hanya memengaruhi hidup ODHA, tetapi juga orang-orang yang hidup di sekitar mereka. Stigma dan diskriminasi juga diperparah oleh faktor-faktor seperti gender, seksualitas dan kelas sosial.

Menyadari kondisi tersebut, LBH Masyarakat merasa perlu untuk melakukan monitor media terhadap pemberitaan tentang stigma dan diskriminasi pada ODHA. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk melihat bentuk-bentuk stigma dan diskriminasi yang masuk pemberitaan media sepanjang tahun 2017. Harapannya, laporan monitor dan dokumentasi ini dapat membantu memetakan persoalan stigma dan diskriminasi pada ODHA, dan dapat berperan dalam upaya menghilangkan stigma dan diskriminasi sehingga dapat memberikan dampak baik pada program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

 

Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan ini.

Skip to content