Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Menggugat Tembak Mati Narkotika
Narasi pemerintah akan menindak tegas mereka yang terlibat kejahatan narkotika senantiasa didengungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan. Pada salah satu kesempatan di bulan Oktober 2017, Jokowi secara terbuka menyatakan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan kejam dengan ‘gebukin’ (memukul) dan menginjak mereka yang berkaitan dengan narkoba dan penyalahgunaan obat. Sikap Jokowi yang terkesan heroik itu nyatanya adalah sebuah penistaan terhadap Indonesia, negara yang memiliki hukum dan konstitusi yang berprinsip pada peri kemanusiaan.
Sikap Jokowi tersebut seolah menjadi sebuah instruksi presiden yang tidak tertulis yang memerintahkan aparat penegak hukum untuk menembak mati setiap orang yang dianggap terlibat dalam peredaran gelap narkotika atau menjadi bandar. Pemerintah menganggap pendekatan perang terhadap narkotika (war on drugs) adalah cara yang tepat untuk menanggulangi kejahatan peredaran gelap narkotika yang diklaim membunuh 50 (lima puluh) anak bangsa per hari – sebuah klaim yang telah dipertanyakan keilmiahannya oleh akademisi di seluruh dunia. Jumlah kematian per hari ini dianggap sebagai angka yang pantas untuk menjustifikasi tembak di tempat terhadap bandar narkotika. Bahkan instruksi Jokowi tersebut kemudian dijadikan legitimasi institusi penegak hukum, yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN) dalam melakukan praktek tembak di tempat bagi bandar narkoba. Kepala BNN berharap agar orang-orang yang diduga menjadi bandar narkoba melakukan perlawanan agar praktek tembak di tempat dapat dilakukan.
Praktek tembak di tempat ini menjadi problematik karena setidaknya dua hal. Pertama, tidak ada definisi hukum atas ‘bandar’ narkotika. Undang -Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak memberikan, bahkan menyebutkan siapa yang dikategorikan sebagai bandar narkotika. Kedua, praktek ini menciderai hukum di Indonesia yang memegang teguh prinsip ‘asas praduga tak bersalah’. Mereka yang mendap atkan penghukuman harus melewati proses peradilan pidana. Sayangnya, korban tembak di tempat yang meninggal tidak pernah menjalani proses tersebut. Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menjunjung tinggi asas due process of law. Praktek tembak di tempat dijadikan justifikasi untuk menghilangkan atau setidaktidaknya mengurangi peredaran gelap narkotika di Indonesia. Namun kenyataannya, praktek tembak di tempat bukannya mengurangi peredaran gelap narkotika apalagi menghilangkan. Kebijakan ini justru mengkhianati paham negara hukum, dan mencederai hak asasi manusia.
Berangkat dari situasi ini, LBH Masyarakat mencoba melakukan monitoring dan dokumen media dalam jaringan (daring) terhadap isu tembak di tempat – baik yang berdampak pada hilangnya nyawa maupun luka-luka – terduga pelaku tindak pidana narkotika. Isu ini dipilih karena diskursus tembak di tempat terhadap pelaku kejahatan narkotika menguat pasca Jokowi mendeklarasikan perang terhadap narkotika. Kami berharap monitoring dan dokumentasi ini dapat memperlihatkan buruk rupa praktek tembak di tempat, dan kemudian menjadi alasan bagi pemerintah untuk menghentikan praktek yang, bukan hanya tidak efektif, tetapi juga tidak manusiawi ini.
Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan berikut!