Month: June 2018

Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Menggugat Tembak Mati Narkotika

Narasi pemerintah akan menindak tegas mereka yang terlibat kejahatan narkotika senantiasa didengungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan. Pada salah satu kesempatan di bulan Oktober 2017, Jokowi secara terbuka menyatakan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan kejam dengan ‘gebukin’ (memukul)  dan menginjak mereka yang berkaitan dengan narkoba dan penyalahgunaan obat. Sikap Jokowi yang terkesan heroik itu nyatanya adalah sebuah penistaan terhadap Indonesia, negara yang memiliki hukum dan konstitusi yang berprinsip pada peri kemanusiaan.

Sikap Jokowi tersebut seolah menjadi sebuah instruksi presiden yang tidak tertulis yang memerintahkan aparat penegak hukum untuk menembak mati setiap orang yang dianggap terlibat dalam peredaran gelap narkotika atau menjadi bandar. Pemerintah menganggap pendekatan perang terhadap narkotika (war on drugs) adalah cara yang tepat untuk menanggulangi kejahatan peredaran gelap narkotika yang diklaim membunuh 50 (lima puluh) anak bangsa per hari – sebuah klaim yang telah dipertanyakan  keilmiahannya oleh akademisi di seluruh dunia. Jumlah kematian per hari ini dianggap sebagai angka yang pantas untuk menjustifikasi tembak di tempat terhadap bandar narkotika. Bahkan instruksi Jokowi tersebut kemudian dijadikan legitimasi institusi penegak hukum, yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN) dalam melakukan praktek tembak di tempat bagi bandar narkoba. Kepala BNN berharap agar orang-orang yang diduga menjadi bandar narkoba melakukan perlawanan agar praktek tembak di tempat dapat dilakukan.

Praktek tembak di tempat ini menjadi problematik karena setidaknya dua hal. Pertama, tidak ada definisi hukum atas ‘bandar’ narkotika. Undang -Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak memberikan, bahkan menyebutkan siapa yang dikategorikan sebagai bandar narkotika. Kedua, praktek ini menciderai hukum di Indonesia yang memegang teguh prinsip ‘asas praduga tak bersalah’. Mereka yang mendap atkan penghukuman harus melewati proses peradilan pidana. Sayangnya, korban tembak di tempat yang meninggal tidak pernah menjalani proses tersebut. Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menjunjung tinggi asas due process of law. Praktek tembak di tempat dijadikan justifikasi untuk menghilangkan atau setidaktidaknya mengurangi peredaran gelap narkotika di Indonesia. Namun kenyataannya, praktek tembak di tempat bukannya mengurangi peredaran gelap narkotika apalagi menghilangkan. Kebijakan ini justru mengkhianati paham negara hukum, dan mencederai hak asasi manusia.

Berangkat dari situasi ini, LBH Masyarakat mencoba melakukan monitoring dan dokumen media dalam jaringan (daring) terhadap isu tembak di tempat –  baik yang berdampak pada hilangnya nyawa maupun luka-luka – terduga pelaku tindak pidana narkotika. Isu ini dipilih karena diskursus tembak di tempat terhadap pelaku kejahatan narkotika menguat pasca Jokowi mendeklarasikan perang terhadap narkotika. Kami berharap monitoring dan dokumentasi ini dapat memperlihatkan buruk rupa praktek tembak di tempat, dan kemudian menjadi alasan bagi pemerintah untuk menghentikan praktek yang, bukan hanya tidak efektif, tetapi juga tidak manusiawi ini.

 Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan berikut!

Rilis Pers – Menyayangkan Vonis Mati pada Aman Abdurrahman

LBH Masyarakat mengecam vonis mati yang dijatuhkan terhadap Aman Abdurrahman oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, siang ini. LBH Masyarakat menolak hukuman mati atas kejahatan apapun.

LBH Masyarakat memahami bahwa aksi terorisme yang dilakukan oleh jaringan Aman Abdurahman adalah tindakan yang keji dan telah memakan banyak korban. Tetapi hukuman mati bukanlah jawaban atau respon yang tepat untuk mengatasi serangan teror yang terjadi di Indonesia. Sebelumnya di 2008, tiga pelaku teror, Amrozi, Imam Samudera dan Mukhlas telah dieksekusi. Namun nyatanya, eksekusi mati terhadap ketiganya tidak menyurutkan aksi terorisme. Eksekusi mati di dalam kasus terorisme justru berpotensi menyulut perlawanan balik dan dapat menguatkan semangat mereka untuk melanjutkan aksi teror. Terhadap Aman Abdurahman, salah satu opsi penghukuman yang bisa diambil misalnya hukuman seumur hidup sambil yang bersangkutan menjalani proses deradikalisasi.

Hukuman mati adalah hukuman yang bersifat ilusi karena seolah dapat mengatasi maraknya serangan teror yang terjadi, padahal tidak berhasil menghentikan laju perkembangan terorisme. Kejahatan terorisme adalah kejahatan yang kompleks dan membutuhkan solusi terukur bersifat jangka panjang dan holistik, serta tidak bisa mengandalkan langkah reaksioner seperti hukuman mati.

 

Jakarta, 22 Juni 2018

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Rilis Pers – Terjemahkan Dulu KUHP, Baru Bicara RKUHP!

LBH Masyarakat mendesak Pemerintah dan DPR untuk segera menghentikan upaya pengesahan RKUHP sampai adanya terjemahan resmi dari KUHP sekarang. KUHP yang Indonesia gunakan saat ini sesungguhnya masih berbahasa Belanda. Dunia akademik maupun praktik kerap menggunakan KUHP terjemahan dari penerjemah yang berbeda-beda. Ketika masih banyak pasal-pasal dalam RKUHP yang merujuk pada pasal-pasal KUHP alangkah lebih baik bila kita memiliki satu terjemahan resmi sebagai acuan.

Kerap kita dengar bahwa RKUHP hendak segera disahkan pada 17 Agustus nanti sebagai hadiah bagi Indonesia, mungkin sebaiknya kita bertanya lagi: bukankah hadiah untuk Indonesia sudah sepatutnya diberikan dengan menghargai Bahasa Indonesia itu sendiri? Tidak bisakah dibayangkan bahwa selama ini proses hukum yang terjadi di negara kita ini menggunakan dokumen yang masih menggunakan bahasa pemerintah kolonial Belanda? Jika memang ingin memberi hadiah bagi Indonesia, sebaiknya Pemerintah Indonesia tidak lari dari tanggung jawab yang sungguh penting: menerjemahkan KUHP.

Bahasa, apalagi dalam urusan hukum dan identitas bangsa, selalu merupakan hal yang teramat penting. Pada tahun 2012 misalnya, Pengadilan Negeri Jakarta Barat memutus sebuah sengketa perdagangan antara satu perusahaan Indonesia dengan perusahaan asal Amerika. Sengketa tersebut diakibatkan oleh sebuah perjanjian pinjam meminjam tahun 2010 yang dibuat tidak dengan Bahasa Indonesia. Pada 2012, perusahaan Indonesia ini menggugat ke Pengadilan karena merasa dirugikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian yang dibuat.

Pasal 31 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan memuat kata “wajib” untuk setiap perjanjian yang dibuat termasuk menyasar perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh pihak swasta. Meski ada surat dari Menkumham yang menyatakan bahwa tidak adanya bahasa Indonesia dalam perjanjian tidak menggugurkan keberlakuan perjanjian karena dilandasai oleh asas kebebasan berkontrak, namun Pengadilan kemudian memutus bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum Hal yang kemudian diamini oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

Preseden tersebut semakin meneguhkan pentingnya penggunaan bahasa Indonesia dalam setiap hal, termasuk juga urusan KUHP. Terjemahan KUHP saat ini masih merujuk pada ahli-ahli hukum pidana seperti Prof. Moeljatno, R. Sianturi, BPHN, dan ahli lainnya. Kondisi yang rawan menimbulkan multi tafsir. Kejaksaan, sesuai SEJA Nomor: SE-005/A/JA/2009, memerintahkan jajarannya untuk menggunakan terjemahan KUHP terbitan BPHN. Namun BPHN sendiri tidak mengklaim dirinya sebagai institusi yang menetapkan secara resmi terjemahan KUHP yang dibuatnya sebagai terjemahan resmi pemerintah. Dan yang paling penting: apakah kemudian perintah tersebut mengikat polisi dan hakim? Ketiadaan KUHP terjemahan resmi bahasa Indonesia ini problematik karena ia digunakan untuk menguji bersalah atau tidaknya seseorang. Hal ini mempertaruhkan keadilan dan kepastian hukum.

Dengan tiadanya terjemahan resmi ini maka terang sudah bahwa Pemerintah telah melakukan perbuatan melanggar hukum terhadap Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009. DPR juga tidak berinisiatif untuk menjalankan fungsi pengawasannya. Oleh karena itu, LBH Masyarakat, yang didirikan untuk melakukan advokasi kebijakan persoalan hukum yang melingkupi aspek kehidupan kemasyarakatan dan bernegara, akan menggunakan hak hukumnya untuk menggugat Presiden, Menteri Hukum dan HAM serta DPR.

Beberapa putusan pengadilan mengakui hak gugat Lembaga atau organisasi di pengadilan, seperti WALHI vs Inti Indorayon Utama, YLBHI vs Presiden, dan Lapindo Brantas. Oleh karena itu, LBH Masyarakat akan memiliki legal standing untuk menggugat Presiden, Menkumham dan DPR agar segera menetapkan terjemahan KUHP berbahasa Indonesia.

Jangan dilupakan bahwa tiadanya terjemahan resmi KUHP telah menimbulkan kerugian imateril yang, secara praktik, sulit dihitung nilainya. Apalagi jika kita ingin menghitung sejak diberlakukannya KUHP pada tahun 1946 sampai sekarang.

Kepastian hukum dijamin oleh Konstitusi. Dan negara yang baik tentu taat pada konstitusinya. Kepastian hukum macam apa yang ingin dicapai ketika tidak memiliki dokumen resmi yang jelas untuk kitab pidananya? Belum saatnya mengesahkan RKUHP apabila Pemerintah dan DPR belum mampu memberikan kepastian hukum dari regulasi yang saat ini masih berlaku.

 

Jakarta, 7 Juni 2018

Afif Abdul Qoyim – Koordinator Advokasi dan Penanganan Kasus

 

Rilis ini telah disampaikan pada media briefing dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP tentang rencana gugatan pada Presiden, Menkumham, dan DPR karena telah lalai tidak membuat terjemahan resmi KUHP. Media briefing tersebut dilaksanakan di kantor LBH Masyarakat pada 7 Juni 2018. Menjadi pembicara pada acara tersebut adalah Afif Abdul Qoyim (LBH Masyarakat) dan Sustira Dirga (ICJR)>

Catatan LBH Masyarakat tentang Masuknya Tindak Pidana Khusus dalam RKUHP

Sehubungan dengan keberadaan tindak pidana khusus di dalam RKUHP dan memperhatikan dinamika pembahasan RKUHP baru-baru ini, LBH Masyarakat hendak menyampaikan dua catatan penting yang sepertinya luput dari perhatian dan percakapan publik.

Pertama, rumusan ketentuan pidana di dalam RKUHP, khususnya tindak pidana khusus, belum memperhatikan elemen gender. Di dalam sistem hukum yang corak patriarkismenya masih dominan seperti Indonesia, penting memiliki RKUHP yang mengandung unsur pengakuan gender (gender recognition) yang kuat. Hal ini berarti bahwa hukum Indonesia akan bisa mengakui, melihat dan memahami bahwa keterlibatan perempuan di dalam sebuah tindak pidana khusus mengandung karakteristik yang khusus terjadi karena peran gendernya.

  • Perempuan merupakan salah satu kelompok rentan yang terdampak atas dimasukkannya rumusan tindak pidana khusus dalam RKUHP. Pada praktiknya, perempuan seringkali dimanfaatkan dan dieksploitasi untuk terlibat dalam tindak pidana dengan memanfaatkan faktor kerentanan yang mereka miliki.
  • Dalam tindak pidana narkotika, misalnya, perempuan kerap dimanfaatkan untuk menjadi kurir oleh pasangan intim mereka yang merupakan bagian dari sindikat gelap narkotika. Komnas Perempuan juga sudah menyatakan bahwa terdapat dugaan kuat adanya unsur perdagangan manusia pada proses rekrutmen perempuan menjadi kurir. Beberapa tahun belakangan, kita menyaksikan meningkatnya tren perempuan sebagai pelaku peredaran gelap narkotika. Dalam tindak pidana terorisme, baru-baru ini kita melihat fenomena perempuan yang melakukan peran aktif sebagai pelaku aksi terorisme seperti – padahal sebelumnya perempuan baru sebatas memegang peran pendukung. Sedangkan pada tindak pidana korupsi, perempuan yang tertangkap bersama dengan seorang koruptor akan disorot habis-habisan oleh media dan disebar identitasnya walaupun ia tidak memiliki keterkaitan dengan tindak pidana korupsi tersebut. Jika koruptor yang ditangkap telah memiliki istri, perempuan-perempuan ini akan diberi label sebagai perempuan nakal. Perempuan yang melakukan tindak pidana korupsi pun dicap lebih buruk, jika dibandingkan dengan apabila kejahatan tersebut dilakukan oleh laki-laki. Perempuan juga merupakan korban dalam kejahatan berat terhadap hak asasi manusia yang tak kunjung mendapatkan keadilan. Dimasukkannya tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia dalam RKUHP akan semakin mempersulit pembuktian karena asas-asas hukum khusus kejahatan kemanusiaan tidak diakomodir dalam RKUHP.
  • Perempuan yang terlibat, baik langsung ataupun tidak langsung, di dalam tindak pidana umum saja sering mendapat cap buruk karena menyalahi norma yang berlaku di masyarakat, bahwa perempuan seharusnya menjalani peran caring (pembawa kasih sayang). Apalagi keterlibatan perempuan di tindak pidana khusus di atas yang sering dicap sebagai ‘extra ordinary crimes’. Keterlibatan mereka di tindak pidana khusus tersebut akan memperdalam stigma dan diskriminasi terhadap perempuan. Rumusan KUHP sekarang, dan RKUHP yang sekarang digodok bersama oleh DPR dan Pemerintah, belum menggunakan pendekatan yang sensitif gender dan tidak memperhatikan dimensi gender di dalam terjadinya sebuah tindak pidana. Pendekatan yang digunakan selama ini adalah kriminalisasi tanpa melihat lebih dalam karakteristik khusus keterlibatan perempuan dalam tindak pidana. Meletakkan tindak pidana khusus dalam RKUHP akan menghilangkan kemungkinan aparat penegak hukum dalam melihat persoalan khusus perempuan dalam kejahatan-kejahatan tersebut. Karena RKUHP adalah legislasi yang bersifat umum (generalis), maka sebenarnya keberadaan peraturan khusus seperti Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Terorisme, Undang-Undang Korupsi dan Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dapat memberikan ruang dan kesempatan bagi negara untuk melihat elemen perempuan dalam tindak pidana dan memberikan perlindungan kepada perempuan yang sesungguhnya menjadi korban.

Kedua, fakta bahwa masih terdapat penolakan dari berbagai lembaga negara seperti Komnas HAM, KPK, dan BNN terkait penempatan tindak pidana khusus di dalam RKUHP menunjukkan bahwa pembahasan RKUHP tidak perlu dikebut. Di samping itu, penolakan tersebut juga hendaknya dibaca sebagai penyangkalan atas pernyataan DPR dan Pemerintah bahwa RKUHP hampir rampung.

Infografis oleh: Astried Permata

 

DPR dan Pemerintah seharusnya membuka ruang diskusi yang luas, partisipatoris dan bermakna, dengan masukan dari lembaga negara tersebut. Apalagi kalau RKUHP dipaksakan selesai di Agustus 2018 sebagai kado kemerdekaan. Penyelesaian pembahasan produk legislasi, terlebih yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti RKUHP, tidak sepatutnya dimanfaatkan untuk perayaan simbolik. Memaksakannya selesai di tengah derasnya penolakan masyarakat sipil dan sejumlah lembaga negara memperlihatkan kepada publik akan watak DPR dan Pemerintah yang mengejar ego dan bukannya menempatkan kepentingan publik – kepentingan hidup bersama (commune bonum) – di atas kepentingan politik sesaat.

 

Jakarta, 3 Juni 2018

Arinta Dea – Analis Gender LBH Masyarakat

 

Catatan ini telah disampaikan pada konferensi pers Aliansi Nasional Reformasi KUHP di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 3 Juni 2018.

 

Between Go and Went

On Wednesdays I teach English in two informal classes. It seems for white foreigners in Indonesia, requests to teach English are almost as common as requests for selfies. One of these classes is held at the methadone clinic at Puskesmas (Community Health Centre) Gambir, Central Jakarta, attended by a group of methadone patients who come to the center for treatment at least once every two days. The other is with staff members of LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute), where I am currently an intern. One of these classes is characterized by its attentive and diligent students, while the other one; the one with my colleagues; is a zoo. This week’s topic of discussion was “best friend”. Answers given included a friend who hadn’t been contacted for 5 years, cats, Jesus, the Sun…and so on. I’m not sure how much progress we’re making but entertainment factor is high.

Meanwhile, my friends at the methadone clinic are enthusiastic beginners. This is fortunate for me, because it is a misconception that we are automatically well-equipped to teach our native language. I’ve got no idea how English works, and when pressed for explanations about why go becomes went and so on, all I can say is “ya…gitulah” (yeah… that’s how it is). The basics, like telling the time, food and the weather, are a bit more manageable.  Attendance can be patchy, but there several regular faces who are committed and avid learners. Given methadone, depending on person and the dose, could cause groggy, drunk-like side effects and some of the guys have consumed it as little as 15 minutes before class, I’m amazed by their concentration and application.

Among the participants is one of my colleagues from LBH Masyarakat, Bang Kiki. From what I can tell, he is somewhat of a role model, advocate and unofficial representative of the methadone patient community at Puskesmas Gambir. He began with LBH Masyarakat as a paralegal in 2008, acting as an intermediary between the people who use drugs community and the LBH Masyarakat, before becoming a full-time public defender in 2012. Now he handles narcotics and child welfare cases, conducts education sessions in prisons about the legal process and prisoners’ legal rights (which seem to be flaunted with alarming regularity in Indonesia), and works to increase access to healthcare for the community of people who use drugs. All the while walking his own long road to rehabilitation from heroin and methamphetamine addiction. His understanding of drug issues and relationships within the community coupled with his professional legal skills and knowledge make him both a valuable conduit between the relevant parties and an example of the possibility of change for his fellows.

It was Bang Kiki who established the class as a constructive activity for the patients and enlisted me to teach it. Many are unemployed given the realities of being a recovering addict, including the logistics surrounding their daily treatment. The methadone may only be consumed between 11 and 12 o’clock each day at the clinic, and patients usually end up spending several hours collecting and taking their medicine before waiting for the effects to subside so they can safely drive again. Unable to hold jobs with fixed hours due to these time constraints, some work as online motorbike taxi drivers, and so the side-effects also directly affect their livelihood. This is before mentioning the severe societal stigma faced by people who use drugs in conservative Indonesia.

Those undergoing rehabilitation at the Gambir clinic represent a minority amongst the community of people who use drugs in Indonesia. Indonesian drug law is both riddled with contradiction and unforgiving regarding drugs. In facing the legal system, only a small percentage of people who use drugs are offered the right to rehabilitation. This actually flies in the face of certain articles in Indonesia law which guarantee that rehabilitation be considered before imprisonment. However, the vast majority of people who use drugs are imprisoned, swelling the populations of Indonesian correctional institutions towards breaking point. Recent figures placed the number of people who is charged with drug use article in Indonesian prisons at 33,000 and rising, as they form an increasingly large percentage of the total prison population.

Big numbers like this can seem a bit meaningless and devoid of context, but it’s important to see they are comprised of people. After class this week Bang Kiki and I went back to the office via the Central Jakarta District Court to pick up some paperwork. There we met with a middle-aged couple whose son’s is one of Bang Kiki’s clients. I chatted with mum while dad and Bang Kiki were in the courtroom. She told me how anxious she felt to be at the court, holding her hand to her heart thudding heart as she described how nerve-wracking it was to be dealing with the justice system. She told me she couldn’t bring herself to visit her son in the police station while he was detained there for over 3 months after being caught buying a negligible amount of drugs for personal use. She told me about the bad environment of her inner-city neighborhood and how the police had shot a dealer near her home only two days prior. She told me how her son, her youngest and only boy of 18 years, had cried when he was arrested and quickly signed the confession put in front of him by police. When I asked about his sentence, she pointed to the courtroom and said the reason we were all here was to seek clarification from the judge about its length. The two possibilities she mentioned were 4 and 6 years. No English class at the clinic for this boy, who will instead spend many of his formative years in prison paying for his mistake in a manner which I find to be grossly disproportionate.

The importance of rehabilitation for people like my friends at the methadone clinic is illustrated by the bleak nature of the alternatives: the one suffered by that boy and his mother, or the eternal sentence of an overdose. From getting to know the guys in my class even a little bit, it’s clear to see they don’t belong in prison. If they pose any threat to society, I certainly can’t see it. I hope they can keep walking the path and maybe learn the difference between go and went along the way.

This piece is written by Iven Manning, a University of Western Australia student who volunteered in LBH Masyarakat from February to June 2018, and edited by Yohan Misero.

Kajian Hukum dan Kebijakan HIV di Indonesia

“HIV adalah persoalan hak asasi manusia.” Sepertinya, belum banyak pihak yang memahami betul pernyataan tersebut. Umumnya, banyak pihak memahami HIV sebagai persoalan kesehatan saja. Hal ini wajar, mengingat di mata orang awam HIV dilihat sebagai virus yang menyebabkan penyakit AIDS dan oleh karenanya pembahasan persoalan HIV dan AIDS cenderung dibingkai di media massa sebagai liputan isu kesehatan. Namun sesungguhnya, HIV bukanlah semata soal virus yang menyebabkan kekebalan tubuh manusia menjadi berkurang.

Persoalan HIV/AIDS, seperti halnya persoalan penyakit lainnya, juga erat kaitannya dengan isu hak asasi manusia. Orang yang hidup dengan HIV sering kali mendapat stigma dari masyarakat, di mana mereka kerap dicap sebagai pendosa. Stigma inilah yang kemudian juga memunculkan praktik-praktik diskriminasi terhadap orang dengan HIV, mulai dari pengusiran dari keluarga karena dianggap membawa aib, hingga pengucilan dari masyarakat. Stigma dan diskriminasi ini sesungguhnya berakar dari ketidaktahuan ataupun ke-tidak-mau-tahu-an terhadap apa itu HIV dan bagaimana penyebarannya. Dalam konteks inilah, mengatasi stigma dan diskriminasi yang menyelimuti isu HIV menjadi penting. Karena, stigma dan diskriminasi memicu pelanggaran hak asasi manusia orang dengan HIV, yang akhirnya akan menjauhkan mereka dari layanan yang mereka perlukan, termasuk melahirkan kerentanan terhadap mereka yang berpotensi mengidap HIV. Oleh karena itu, persoalan HIV bukan hanya mengenai pencarian formula mujarab untuk mengatasi virus HIV/AIDS, tetapi juga bagaimana mengembangkan dan menjalani program dan layanan kesehatan HIV yang humanis, peka jender, dan non-diskriminatif.

Diskriminasi, dalam diskursus hak asasi manusia, dapat terjadi karena ketiadaan perlindungan hukum ataupun justru karena adanya hukum dan kebijakan yang diskriminatif. Berangkat dari pemahaman inilah, LBH Masyarakat melakukan kajian terhadap hukum dan kebijakan Indonesia yang berkenaan dengan isu-isu HIV. Sebagai organisasi hukum/hak asasi manusia, tentu bukan pada kapasitas keahlian LBH Masyarakat untuk bekerja di ranah pengobatan dan perawatan HIV. Kontribusi kami untuk menanggulangi persoalan HIV adalah dengan menelusuri hukum dan kebijakan Indonesia yang berkaitan dengan HIV guna melihat apakah ada hukum dan kebijakan yang mendukung program HIV dan oleh karenanya harus ditingkatkan, maupun hendak menemukan apakah ada hukum dan kebijakan yang justru menghalangi program HIV dan oleh karena itu perlu dihapus.

Buku yang sekarang Anda baca ini adalah buah dari kerja keras LBH Masyarakat selama satu tahun terakhir mengkaji hukum dan kebijakan Indonesia yang berhubungan dengan persoalan HIV di area pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, kependudukan, dan pemidanaan. Kami berharap temuan dan rekomendasi yang kami hasilkan di laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca, terutama pemangku kebijakan dalam merumuskan kebijakan HIV yang berbasis pada hak asasi manusia.

Laporan studi ini tidak akan sampai ada di tangan Anda apabila bukan karena ketekunan dua orang peneliti LBH Masyarakat, Arinta Dea dan Naila Rizqi Zakiah, yang giat mempelajari sejumlah hukum dan kebijakan Indonesia maupun mewawancarai sejumlah pihak terkait. Apresiasi juga LBH Masyarakat sampaikan kepada Ajeng Larasati, Koordinator Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat, sebagai pembaca ahli yang memberikan masukan kritis terhadap penyelesaian laporan ini.

Tentu saja, apresiasi juga LBH Masyarakat haturkan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yang mendukung studi ini dari awal hingga akhir. Terima kasih juga LBH Masyarakat sampaikan kepada jajaran Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Bogor, Indramayu, Denpasar, Lombok Barat, Palembang dan Banjarmasin; dan instansi pemerintah lainnya yakni Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten Bogor, Indramayu, Denpasar, Lombok Barat, Palembang, dan Banjarmasin; Dinas Sosial Banjarmasin, Palembang, Indramayu; Dinas Kesehatan Bogor, Banjarmasin, Denpasar, Lombok Barat, Palembang; Lembaga Pemasyarakatan Bpgor, Banjarmasin, Lombok Barat; Satpol PP Bogor, Denpasar, Lombok Barat, Indramayu; dan Badan Narkotika Nasional Kota Palembang; yang seluruhnya berpartisipasi aktif di dalam diskusi kelompok terarah ketika tim peneliti mengunjungi kota-kota tersebut.

LBH Masyarakat juga mengapresiasi keterlibatan dan masukan dari komunitas yang memperkaya temuan literatur tim peneliti, yaitu dari: PKBI Indramayu (Indramayu), KDS Samaya (Indramayu), KDS Indramayu (Indramayu), LKKNU Kalimantan Selatan (Banjarmasin), PKBI Kalsel (Banjarmasin), KDS Borneo Plus (Banjarmasin), ASA Borneo (Banjarmasin), IWB Banjary (Banjarmasin), PEKA Bogor (Bogor), Srikandi Pakuan (Bogor), G-Life (Bogor), Lekas (Bogor), Sahira (Bogor), GWL INA (Denpasar), YKP (Denpasar), Yayasan Inset (Lombok Barat), Aksi NTB (Lombok Barat), YIM (Palembang), Sriwijaya Plus (Palembang), dan PKBI Sumatera Selatan.

Terakhir, LBH Masyarakat turut ucapkan terima kasih kepada kawan-kawan di Indonesia AIDS Coalition (IAC) yang telah membantu proses studi ini hingga selesai. LBH Masyarakat memohon maaf apabila ada kekurangan baik substansi maupun teknis penulisan laporan ini. Dengan senang hati kami menerima kritik dan masukan untuk perbaikan laporan ini ke depannya.

Akhir kata, laporan ini kami persembahkan kepada orang-orang dengan HIV dan anggota komunitas yang perjuangannya melawan virus HIV dan virus stigma dan diskriminasi adalah sumber inspirasi bagi kami di LBH Masyarakat.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Skip to content