Month: July 2018

Pengumuman Peserta Terpilih LIGHTS 2018

Kami mengucapkan selamat pada nama-nama di bawah ini karena sukses lulus seleksi untuk menjadi peserta LIGHTS 2018.

Jalur Non-beasiswa:

  1. Ahmad Baihaqi (Universitas Indonesia)
  2. Judith Chanutomo (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
  3. Raina Raifika (Universitas Trisakti)
  4. Fadelia Deby Subandi (Universitas Indonesia)
  5. Renald Markus (Universitas Jenderal Soedirman)
  6. Maria Teresa Utami Prasetio (Universitas Gadjah Mada)

Jalur Beasiswa:

  1. Harry Wellsy Bakarbessy (Universitas Pattimura) (Ambon)
  2. Bunga Revina Palit (Universitas Sam Ratulangi) (Manado)
  3. Diki Rafiqi (Universitas Andalas) (Padang)
  4. Juwita Desry Anggraini (Universitas Malikussaleh) (Aceh)
  5. Lica Veronika (Universitas Bengkulu) (Bengkulu)
  6. Erick Jeremy Manihuruk (Universitas Sumatera Utara) (Medan)

Terima kasih untuk semua yang sudah mendaftarkan diri. Semoga semangat kawan-kawan sekalian untuk mempelajari hak asasi manusia terus membara.

Untuk peserta yang lulus, panitia (Ma\’ruf – 0812 8050 5706) akan segera menghubungi peserta dalam satu atau dua hari ke depan untuk mengonfirmasi keikutsertaan teman-teman yang lulus. Jika ada yang membatalkan atau tidak mengonfirmasi, maka panitia akan mengontak peserta lain. Oleh karena itu, teman-teman yang lulus diharapkan cepat merespon apabila dikontak panitia.

Dibutuhkan: Fundraising and Engagement Officer

LBH Masyarakat sedang membutuhkan seorang Fundraising and Engagement Officer. Posisi ini memiliki tanggung jawab utama untuk mengembangkan dan menjalankan serangkaian aktivitas dan program kerja terkait dengan strategi penggalangan dana publik (fundraising) LBH Masyarakat, guna meningkatkan jumlah pendanaan organisasi.

Jika anda tertarik mengisi posisi ini, silahkan mengirim surat lamaran dan CV terbaru kamu ke rekrutmen@lbhmasyarakat.org dengan subyek email: Aplikasi FEO_nama kamu

Aplikasi ini ditutup pada hari Jumat, 10 Agustus 2018, 17:00 WIB.

Untuk informasi lebih detil, silakan klik di sini.

 

Untuk Anak?

Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo berkali-kali melontarkan jargon perang terhadap narkotika untuk melindungi anak dari penyalahgunaan narkotika. Katanya, narkotika telah membunuh generasi muda. Oleh sebab itu, pelaku harus dihukum berat. Yang mungkin Bapak Jokowi tidak tahu adalah kebijakannya untuk memerangi narkotika telah memberikan dampak luar biasa terhadap anak, yaitu terhadap anak pengguna narkotika dan anak yang menunggu kepulangan ayah dan/atau ibunya dari penjara.

Resa (bukan nama sebenarnya), seorang anak yang harus berhadapan dengan hukum karena mengonsumsi ganja, tidak bisa menjalani proses diversi pada tahap penyidikan dan penuntutan. Resa disangkakan Pasal 111 Undang-Undang Narkotika yang memberikan ancaman 12 tahun penjara. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) melarang diversi dilakukan terhadap anak yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas tujuh tahun penjara. Resa harus ditahan di kantor polisi dan Rutan Pondok Bambu selama hampir dua bulan lamanya dan tidak bersekolah. Orang tuanya harus berbohong kepada pihak sekolah bahwa Resa sedang sakit, juga kepada teman-temannya. Tidak ada intervensi kesehatan ataupun psikososial terhadap dirinya.

Resa seharusnya tidak perlu menjalani penahanan dan menjalani proses persidangan yang panjang namun pembatasan dalam UU SPPA telah menghalangi Resa dan anak pengguna narkotika lainnya untuk menjalani proses diversi. Aturan PBB mengenai Perlindungan Anak yang Dirampas Kebebasannya menyebutkan bahwa penahanan harus dijadikan sebagai upaya terakhir serta mengedepankan alternatif pemidanaan untuk menghindari dampak buruk terhadap anak.

Malang juga merundung Eka (bukan nama sebenarnya), seorang anak perempuan berusia tujuh tahun. Ibu Eka sedang mendekam di penjara karena tindak pidana narkotika sedangkan ayah Eka harus bekerja dari pagi hingga malam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kehilangan kehadiran orang tua, Eka diperkosa oleh pamannya sendiri. Eka mendapatkan pendampingan dari P2TP2A DKI Jakarta dan saat ini sedang menempati sebuah panti di Jakarta, seorang diri.

EH, salah seorang perempuan pengguna narkotika yang sedang menjalani pidana di Lapas Perempuan Semarang, mengatakan anaknya pernah mengiriminya surat. Dalam surat itu, anaknya mengatakan agar EH cepat pulang karena ia iri dengan teman-temannya yang setiap hari ke sekolah diantar oleh ibunya. Anak EH bertanya dalam suratnya, “Kapan adek bisa dianterin?”. EH mengaku tidak membalas surat yang sudah tiga kali dikirimkan oleh anaknya itu karena ia terlalu sedih.

Pengalaman EH tersebut tercermin dalam penelitian yang LBH Masyarakat lakukan mengenai perempuan terpidana narkotika di Indonesia. Hasil penelitian kami menunjukkan setidaknya 82% perempuan yang dipenjara memiliki anak. Mereka umumnya adalah pemakai narkotika atau orang yang berjualan narkotika karena kemiskinan. Rata-rata pidana yang harus mereka jalani adalah pidana penjara selama 6-7 tahun. Dengan kata lain, negara telah memisahkan anak dengan ibunya, yang di dunia yang patriarkis ini diposisikan sebagai pengasuh utama anak. Pada konteks ini, muncul pentingnya pemberian rehabilitasi bagi pemakai narkotika ataupun pidana alternatif pada terpidana lain dengan menimbang situasi khusus yang mereka hadapi, termasuk di dalamnya: memiliki anak. Di sisi lain, negara juga tidak boleh melupakan anak yang memiliki orang tua yang dipenjara. Anak-anak ini kerap tidak mendapatkan pendampingan sosial, pemulihan, ataupun dukungan psikologis dari negara.

Ketiga kisah tersebut hanya puncak dari gunung es dampak kebijakan narkotika yang jarang kita dengar. Tanpa Pemerintah sadari, kebijakan perang terhadap narkotika telah berdampak amat buruk terhadap anak. Selama pendekatan pidana masih digunakan sebagai jalan utama dalam mengatasi persoalan narkotika, anak akan terus menjadi korban yang tak terdengar, tak terlihat, dan tak diketahui. Lalu kita bertanya: sebenarnya, perang terhadap narkotika ini untuk siapa?

 

Penulis: Arinta Dea Dini Singgi

Editor: Ricky Gunawan dan Yohan Misero

Rilis Pers – Penjara Bukan Solusi untuk Tyo Pakusadewo dan Seluruh Pemakai Narkotika

Jakarta, 17 Juli 2018 – LBH Masyarakat menilai bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Irwan Susetyo alias Tyo Pakusadewo bin Setiono Hardjo terlampau tinggi dan berharap Majelis Hakim yang akan memutus perkara ini dapat melihat bahwa penjara bukan solusi bagi pemakai narkotika.

Dalam kasus narkotika yang menimpa aktor Tyo Pakusadewo, JPU mengajukan tuntutan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda 1 miliar rupiah subsider 6 bulan. Bagi kami hal ini memperlihatkan sekali lagi kegagalan Pemerintah dalam memahami persoalan pemakai narkotika.

Kegagalan ini sebenarnya sudah dapat dibaca dari dakwaan JPU yang masih menggunakan Pasal 112 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 112 yang mengatur tentang penguasaan narkotika bukan tanaman memang kerap digunakan untuk menjerat pemakai narkotika.

Dalam konteks pemakai narkotika bukan tanaman, umum terjadi bahwa seorang pemakai haruslah membeli dahulu, yang membuat kemudian ia menguasai narkotika tersebut, sebelum akhirnya narkotika itu dipakai. Oleh karena itu, nyawa rehabilitasi yang ada di dalam Pasal 127, yang sebetulnya juga bermuatan pidana, dihabisi ketika JPU masih juga menempatkan Pasal 112 di dakwaan.

Di sisi lain, kami juga menyesalkan rekomendasi RS Bhayangkara yang menyarankan agar Tyo Pakusadewo ditahan saja karena dalam penanganan tidak kooperatif. Pertama, itu bukan rekomendasi yang dapat diberikan institusi medis. Kedua, bukankah kita seharusnya juga ingat bahwa justru ancaman pemenjaraan ini membuat terdakwa tidak nyaman untuk melaksanakan perawatan?

Mungkin banyak yang bertanya, kenapa perlu repot-repot mengangkat dan membahas kasus ini? Mengapa para akademisi dan organisasi HAM membuat Amicus Curiae untuk kasus ini? Jawabannya sederhana sekali: kasus ini terjadi berulang kali serta membuang waktu, anggaran, dan energi penegak hukum dan oleh karena itu kami akan selalu mencari ruang untuk menyerukan bahwa bagi pemakai narkotika: penjara bukan solusi.

Di rancangan perubahan UU Narkotika yang terbaru, yang eksistensinya terancam oleh ketentuan narkotika di dalam RKUHP, disebutkan bahwa untuk pemakaian pada diri sendiri maka penguasaan narkotika tidak dipidana. Kami harap di sini Majelis Hakim juga dapat merasakan adanya pergeseran persepsi dan pemahaman di masyarakat, yang tercermin dalam rancangan perubahan UU Narkotika, bahwa seorang pemakai narkotika tidak perlu dipenjara.

Salah satu argumen JPU tentang hal-hal yang memberatkan adalah bahwa terdakwa Tyo Pakusadewo tidak mendukung program pemerintah untuk persoalan narkotika. Justru dakwaan dan tuntutan JPU di sini yang mengancam kelangsungan program rehabilitasi yang dilaksanakan Pemerintah. Di sini Majelis Hakim dihadapkan pada pilihan, apakah ingin menunjukan wajah ketegasan tanpa efektivitas atau justru memberikan kesempatan bagi seorang manusia untuk memulihkan diri dan membangun hidupnya kembali?

 

Yohan Misero (Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat)

 

Rilis Pers ini telah disampaikan di bilangan Cikini, Jakarta Pusat dalam konferensi pers mengenai Amicus Curiae untuk Tyo Pakusadewo dari LBH Masyarakat, PKNI, ICJR, Mappi FHUI, dan tiga pengajar STH Indonesia Jentera yakni Miko Ginting, Anugerah Rizki Akbari, dan Estu Dyah.

 

Program LIGHTS (Living The Human Rights) 2018

LIGHTS adalah program pengenalan HAM intensif bagi mahasiswa/I fakultas hukum atau non-hukum yang sudah diadakan sejak tahun 2008. Dalam program ini, peserta akan mendapatkan kesempatan untuk mempelajari teori-teori HAM, implementasi pemenuhan HAM serta mengunjugi lembaga-lembaga negara dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang juga memiliki perhatian pada pemenuhan HAM. LIGHTS 2018 akan diselenggarakan di Jakarta dari tanggal 6 hingga 17 Agustus 2018.

Untuk kedua kalinya, tersedia kesempatan bagi calon peserta yang berkuliah dan berdomisili dari luar pulau Jawa untuk mendapatkan beasiswa secara penuh, yang meliputi;

– Tiket Pesawat (PP),

– Akomodasi, serta

– Uang saku

Untuk persyaratan calon peserta LIGHTS 2018 antara lain:

  1. Mahasiswa aktif pada Universitas Swasta maupun Negeri.
  2. Pendaftaran dibuka untuk semua Fakultas,
  3. Mengisi formulir pendaftaran yang dapat diunduh di website LBH Masyarakat
  4. Menyerahkan CV
  5. Menyerahkan esai tentang “Tantangan Perlindungan HAM di Indonesia dalam era populisme dan pasca kebenaran?” Esai ditulis dengan ketentuan 650-800 kata dan ketentuan lain yang terdapat di form pendaftaran.
  6. Bagi pelamar beasiswa, menyerahkan esai tentang, “Bagaimana partisipasi dalam LIGHTS 2018 dapat bermanfaat bagi masyarakat di lingkungan sekitar Anda?” Esai ditulis dengan ketentuan 300-500 kata dan ketentuan lain yang juga terdapat di form pendaftaran.

 

Unduh formulir pendaftaran dengan klik tautan ini.

Kirim formulir dan persyaratan ke mbajammal@lbhmasyarakat.org

 

Pendaftaran dibuka hingga 20 Juli 2018 

Narahubung: Ma’ruf (0812 8050 5706)

 

Rilis Pers – Suara yang Terlupakan Setiap 26 Juni

LBH Masyarakat menyerukan agar 26 Juni 2018 ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia untuk merenungkan kembali kebijakan perang terhadap narkotika yang dikobarkan beberapa tahun terakhir ini. Perang yang terbukti mengorbankan berbagai aspek hak asasi manusia serta masa depan anak bangsa sendiri.

26 Juni kerap diperingati di Indonesia sebagai Hari Anti Narkotika Internasional (HANI). Padahal 26 Juni sesungguhnya diputuskan oleh Sidang Umum PBB pada Desember 1987 sebagai “International Day against Drug Abuse and Illicit Trafficking” yang dalam Bahasa Indonesia dapat disebut sebagai “Hari Internasional Melawan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Obat.”

Penyederhanaan terminologi menjadi semata ‘anti-narkotika’ saja tentunya membawa implikasi dalam konteks narasi di tengah publik. Publik tidak diedukasi untuk bagaimana mengentaskan problem kesehatan yang timbul akibat pemakai narkotika namun justru diajak untuk mengenyahkan teman-teman pemakai narkotika, yang adalah bagian dari masyarakat. Publik tidak diajak untuk mencari solusi efektif mengatasi peredaran gelap narkotika namun justru didorong untuk menyalurkan dendam dengan mengelu-elukan eksekusi mati.

26 Juni 2018 ini mestinya kita gunakan untuk mengecam keberadaan lebih dari 30.000 pemakai narkotika yang mendekam di dalam penjara, setidaknya sampai Mei lalu. Angka tersebut bisa jauh lebih besar lagi karena kacaunya regulasi pidana dalam persoalan narkotika, hal yang hanya akan bertambah kacau bila RKUHP jadi disahkan.

26 Juni 2018 ini mestinya kita gunakan untuk mempertanyakan sudah sejauh mana fasilitas kesehatan diberikan negara pada pemakai narkotika dan sudah seefektif apa program-program pemulihan narkotika. Apakah hal-hal tersebut sudah menjadi prioritas? Jika Pemerintah mengklaim bahwa programnya efektif, mengapa angka pemakai narkotika terus meningkat setiap tahunnya?

26 Juni 2018 ini mestinya kita gunakan untuk mempersoalkan Pemerintah Indonesia yang, di bawah masa Presiden Joko Widodo, mengeksekusi mati 18 orang dan menembak mati 99 orang di luar proses hukum atas nama perang terhadap narkotika. Setiap satu gelombang eksekusi mati, selalu diikuti adanya pemberitaan tentang BNN atau Polri menghadang masuknya narkotika ilegal. Bukankah hal ini menunjukkan peluru tidak menyelesaikan masalah?

26 Juni 2018 ini mestinya kita gunakan untuk mempertanyakan apakah Indonesia benar-benar serius memperjuangkan perdamaian dunia seperti ditulis dalam Konstitusi. Tahun ini Indonesia ditetapkan kembali menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Posisi ini diharapkan oleh banyak pihak agar Indonesia dapat mendorong terciptanya perdamaian di berbagai belahan dunia, seperti di Myanmar dan Palestina. Namun, apa yang bisa kita harapkan dari negara yang tega memenjarakan warga negaranya hanya karena menguasai selinting ganja? Apa yang kita bisa harapkan dari negara yang membunuh manusia hanya untuk menunjukkan usaha mereka mengatasi masalah narkotika? Perdamaian dunia seperti apa yang yang ingin diciptakan negara yang Presidennya tanpa ragu memproklamirkan perang terhadap narkotika tanpa mengindahkan kemanusiaan yang adil dan beradab?

Hari ini semestinya kita pakai untuk mendorong perubahan kebijakan narkotika, terutama dalam persoalan pidana, ke arah yang berbasis bukti – bukannya emosi. 26 Juni 2018 ini sepatutnya kita manfaatkan untuk mengevaluasi kebijakan Presiden Joko Widodo dalam persoalan narkotika yang, sayangnya, jauh dari istimewa dan justru bangga atas metode-metode yang tak efektif dan tak manusiawi. Sepertinya Presiden Joko Widodo mesti menyadari bahwa yang ada yang lebih genting dari situasi narkotika Indonesia, yakni strategi Beliau.

 

Jakarta, 26 Juni 2018

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Skip to content