Month: November 2018

Rilis Pers – Tiada Penanggulangan HIV Tanpa Penghapusan Stigma dan Diskriminasi

Dalam rangka peringatan Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Desember setiap tahunnya, LBH Masyarakat mendesak pemerintah Indonesia mencabut segala kebijakan diskriminatif yang menghambat upaya penanggulangan HIV di Indonesia; dan menghormati hak-hak orang dengan HIV maupun populasi kunci[1].

Sejak kasus HIV pertama ditemukan di Indonesia, sampai pada hari ini, terdapat sejumlah perkembangan penanggulangan HIV yang positif. Salah satunya adalah dengan diadopsinya kebijakan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) dengan tiga jenis intervensi di kota/kabupaten se-Indonesia sejak tahun 2015. Terlepas dari tantangan geografis penyediaan layanan pencegahan dan pengobatan di seluruh wilayah Indonesia, adanya komitmen untuk memperluas jangkauan layanan guna mencapai target 90-90-90[2] perlu mendapatkan apresiasi.

Namun demikian, LBH Masyarakat menyayangkan ketiadaan situasi lingkungan yang kondusif yang dapat mendukung optimalisasi layanan HIV. LBH Masyarakat mencatat setidaknya terdapat 4 (empat) persoalan mendasar yang menghalangi upaya penanggulangan HIV secara efektif.

Pertama, pembubaran Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Dengan dibubarkannya KPAN, maka upaya koordinasi antar instansi pemerintah dan kerjasama dengan masyarakat sipil menjadi lebih lambat dan tidak efektif. Kedua, sosialisasi informasi ataupun pendidikan ke masyarakat mengenai penularan HIV yang tidak didasarkan pada bukti ilmiah. Sosialisasi cenderung dilakukan dengan pendekatan moral yang menyudutkan orang dengan HIV dan populasi kunci, serta didasarkan pada ketakutan akan HIV yang tidak beralasan. Pemberitaan di sejumlah media pun cenderung bermuatan negatif, tidak berimbang, dan menakut-nakuti. Ketiga, adanya peraturan-peraturan daerah yang mengkriminalisasi transmisi HIV maupun perilaku berisiko. Keberadaan perda ini justru bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi seperti Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), UU Kesehatan, maupun UUD 1945. Keempat, maraknya persekusi terhadap kelompok masyarakat yang memiliki perilaku beresiko. Persekusi terhadap populasi kunci justru akan membuat mereka yang rentan terkena HIV semakin ‘hilang’ (underground) sehingga menyulitkan upaya penjangkauan dan perawatan HIV.

Keempat persoalan di atas yang saling berkelit-kelindan hanya akan melanggengkan stigma HIV yang sudah mengakar kuat di masyarakat dan, sering kali, berujung pada kriminalisasi dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV dan kelompok masyarakat yang memiliki perilaku beresiko. Artinya, keempat persoalan tersebut bukan hanya tidak berpihak pada kelompok masyarakat yang termarjinalkan, tetapi juga diskriminatif dan justru kontra-produktif dengan program penanggulangan HIV yang efektif maupun komitmen internasional Indonesia.

Dalam kaitannya dengan Hari AIDS Sedunia 2018, peringatan tahun ini mengambil tema ‘Ketahui Status Anda’. Ironisnya, kebijakan yang diskriminatif dan hambatan hukum yang ada akan membuat orang-orang takut mengetahui statusnya. Ketakutan tersebut bukanlah karena tidak ada obatnya, sebab, HIV sudah ada obatnya. Tetapi takut menjadi korban stigma, diskriminasi, dipecat dari pekerjaannya, dikucilkan dari masyarakat, dan dikeluarkan dari sekolah – seperti yang baru-baru ini dialami oleh tiga orang anak dengan HIV di Samosir. Ketakutan inilah yang menjauhkan orang dengan HIV dari pencegahan dan pengobatan HIV.

Dalam kesempatan kali ini, LBH Masyarakat mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menghentikan stigma dan diskriminasi HIV. Secara khusus, LBH Masyarakat mendesak negara untuk (1) menghapus segala kebijakan yang diskriminatif; (2) mengkaji secara mendalam setiap kebijakan yang akan diambil agar berbasis bukti ilmiah dan tidak menghambat upaya penanggulangan HIV, (3) memastikan aparat pemerintah memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai HIV dan AIDS. Dengan demikian, langkah menuju Indonesia bebas stigma dan diskriminasi HIV akan semakin terwujud.

 

Jakarta, 30 November 2018

Ajeng Larasati – Koordinator Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat

 

[1] Individu-individu yang rentan terkena HIV

[2] Di akhir 2020, 90% orang dengan HIV mengetahui status HIV mereka; 90% orang yang terdiagnosis dengan infeksi HIV akan mendapatkan terapi antiretroviral-nya (ARV); dan 90% orang dengan HIV yang menjalani terapi ARV, laju virus HIV-nya dapat tertahan.

Rilis Pers – Menyoroti Perilaku Jaksa dan Wajah Peradilan Indonesia

Baru-baru ini publik ramai membicarakan kasus Ibu Baiq Nuril yang divonis bersalah oleh Mahkamah Agung (MA). Padahal, yang bersangkutan adalah korban pelecehan seksual. Di antara banyak persoalan hukum yang muncul di kasus tersebut, perilaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) patut menjadi catatan. Di kasus tersebut, JPU sangat berhasrat untuk memenjarakan Ibu Nuril. Karena di pengadilan tingkat pertama Ibu Nuril telah divonis bebas, JPU kemudian langsung mengajukan kasasi. Semangat JPU untuk memenjarakan tersebut berbanding terbalik dengan keseriusan JPU untuk melakukan penuntutan dalam persidangan pada tingkat pengadilan negeri. Hal ini tercermin, misalnya, dari tidak adanya barang bukti berupa ponsel dan rekaman percakapan asli yang dihadirkan oleh jaksa ke persidangan.

Ketidakseriusan JPU dalam melakukan penuntutan sebenarnya bukan hanya di kasus Ibu Nuril saja. Sadikin Arifin, klien LBH Masyarakat yang saat ini tengah menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, mengalami persoalan serupa. Bahkan dalam persidangan Sadikin, JPU secara eksplisit menyatakan tidak sanggup untuk menghadirkan bukti rekaman percakapan dan transkrip percakapan, yang LBH Masyarakat minta untuk dihadirkan di persidangan. Padahal bukti rekaman percakapan tersebut memegang peranan yang sangat krusial menyangkut pembuktian perkara yang dituduhkan kepada terdakwa.

Selain itu, dalam persidangan yang saat ini LBH Masyarakat tengah jalani, JPU telah menunda agenda persidangan untuk pembacaan surat tuntutan sebanyak enam kali. Bahkan di penundaan yang terakhir JPU dengan Hakim mencari justifikasi untuk melakukan penundaan pembacaan surat tuntutan dengan alasan ketidaklengkapan Majelis Hakim yang bersidang. Perilaku JPU yang terus menunda-nunda persidangan dan tidak profesional itu sesungguhnya telah menyandera persidangan. Hal ini juga bertentangan dengan Pasal 50 KUHAP yang mengamanatkan agar seorang tersangka/terdakwa dapat menjalani proses hukum dengan segera tanpa penundaan yang tak beralasan (undue delay).

Mengingat tindakan jaksa yang sewenang-wenang dan tidak profesional, maka perlu dilakukan upaya koreksi terhadap perilaku jaksa. LBH Masyarakat meyakini ketidakprofesionalan jaksa baik di kasus Ibu Nuril maupun Sadikin adalah sedikit dari sekian banyak kasus yang tidak banyak terangkat atau tersorot media. Atas dasar hal tersebut, LBH Masyarakat akan melayangkan somasi kepada Jaksa Agung, sebagai bentuk teguran sekaligus pengingat bahwa tindakan kesewenangan jaksa harus berhenti. Hal tersebut kami lakukan juga dengan harapan agar Jaksa Agung dapat segera mengembalikan marwah institusi Kejaksaan ke arah tegaknya keadilan, demi terselenggaranya negara hukum yang melindungi harkat dan martabat manusia, sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi.

 

Jakarta, 18 November 2018

Ma’ruf Bajammal – Pengacara Publik LBH Masyarakat

Pembantaran: Pemenuhan Hak atas Kesehatan Tahanan

Di 2017, LBH Masyarakat mendokumentasikan setidaknya ada 89 tahanan meninggal. Paling tinggi penyebab kematiannya adalah sakit, yakni 60.2%. Temuan juga menyebutkan 7 kasus kematian tahanan terjadi di tahanan kepolisian. Kasus-kasus ini adalah sebuah ironi di tengah semangat penahanan yang dilakukan guna merehabilitasi orang bukan tempat pencabutan nyawa.

Kasus kematian tahanan karena sakit semestinya bisa dicegah apabila pihak kepolisian melakukan identifikasi dini berupa pemeriksaan medis fisik dan jiwa terhadap tersangka atau tahanan. Jika hasil pemeriksaan medis menunjukkan bahwa kondisi kesehatan tahanan buruk, maka disarankan untuk melakukan penahanan alternatif.

Paper ini membahas bagaiamana aturan mengenai penahanan alternatif dan perannya sebagai upaya kewajiban negara dalam memenuhi hak asasi manusia tahanan selama menjalani proses hukum, khususnya hak atas kesehatan mereka.

Anda bisa membaca paper ini dengan mengunjungi tautan berikut.

Dibutuhkan: Pengacara Publik Perempuan sebagai Bertha Justice Fellow

LBH Masyarakat dengan bangga menyelenggarakan Program Bertha Justice Fellowship untuk periode 2019 – 2020. Program Bertha Justice Fellowship memberikan peningkatan kapasitas bagi generasi penerus pengacara hak asasi manusia dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan keadilan sosial di dunia. Didanai melalui Bertha Foundation, yang berjuang demi dunia yang lebih adil melalui dukungan-dukungan bagi aktivis, pendongeng, dan pengacara, Program ini memberikan kesempatan fellowship selama 2 tahun bagi pengacara muda di organisasi-organisasi terbaik di dunia yang melakukan kerja-kerja untuk kepentingan publik.

Selama fellowship, para fellow akan mendapatkan pengalaman praktis bekerja bersama para professional dan membangun jaringan dengan orang-orang dengan minat yang sama dari seluruh dunia, serta mendapatkan mentoring dari pengacara senior. Para fellow juga akan terlibat kerja-kerja pergerakan sosial dan berkolaborasi dengan aktivis untuk membangun strategi dan langkah hukum, serta untuk menggunakan media sebagai alat untuk memajukan kampanye advokasi hukum. Dalam 10 tahun ke depan, Program Bertha Justice Fellowshop menargetkan akan melatih 1.000 pengacara yang memiliki motivasi kuat untuk bekerja bersama pendongeng dan aktivis untuk mendorong negara dan korporasi yang lebih akuntabel.

Untuk informasi dan syarat pendaftaran silahkan lihat pengumuman perekrutan dengan klik tautan berikut.

Skip to content