Month: December 2018

Rilis Pers – Peningkatan Jumlah Sitaan Narkotika: Masalah Tidak Selesai di Sana

LBH Masyarakat mengapresiasi kinerja Direktorat IV Bareskrim Polri yang kemarin (Jumat, 14 Desember 2018) melakukan jumpa pers dalam rangka tinjauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu, ada beberapa hal yang sepatutnya diingat oleh Pemerintah terkait dengan capaian-capaian tersebut.

Meningkatnya jumlah sitaan sabu hingga 94 persen dalam minggu kedua di bulan Desember ini, menunjukkan sebuah fenomena yang tengah melanda dunia yakni maraknya konsumsi zat-zat bertipe amfetamina seperti sabu dan ekstasi.

Tentunya penegak hukum memang perlu melakukan penegakan hukum terkait kasus seperti ini karena narkotika yang beredar di pasar gelap kerap dicampur dengan zat-zat lain, yang merendahkan tingkat kemurnian demi peningkatan pendapatan, yang justru lebih berbahaya bagi kesehatan dibanding narkotikanya itu sendiri.

Dalam konferensi pers tersebut, Polri menyebutkan adanya penurunan sitaan pada beberapa jenis narkotika seperti ganja, hashish, dan tembakau gorilla. Namun tentu hal ini dapat dipahami karena ini adalah pola yang kerap terjadi di akhir tahun. Peningkatan akan kembali terjadi di momen-momen pergantian tahun. Selain itu juga, perlu dipahami bahwa menurunnya jumlah sitaan bukan berarti jumlah produksi narkotikanya berkurang. Ada kemungkinan bahwa narkotika-narkotika tersebut malah diedarkan di tempat-tempat, waktu, atau demografi lain ketika di suatu situasi peredarannya ditekan – sebuah fenomena yang disebut “balloon effect.”

Menarik kemudian untuk melihat komentar Brigjen Pol Eko Daniyanto, Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, yang menyatakan bahwa penyitaan ini “Berhasil menyelamatkan 1,445 ribu orang anak bangsa.” Sesungguhnya apabila Polri mau benar-benar menyelematkan anak bangsa, seharusnya Polri, yang tentu memahami betul lapangan, mendorong parlemen untuk segera memberikan garis batas yang jelas untuk memisahkan pemakai narkotika dan pelaku peredaran gelap narkotika, yang tentu memiliki derajat-derajatnya.

Polri harus mendorong parlemen merevisi UU Narkotika untuk mendekriminalisasi pemakaian, penguasaan, dan pembelian narkotika ilegal dalam jumlah sedikit; serta mengeluarkan tindak pidana narkotika dari RKUHP. Kinerja Polri, juga BNN, akan lebih efektif apabila energinya difokuskan pada upaya mengatasi peredaran gelap skala besar dan tidak disibukkan untuk mengirim pemakai narkotika ke penjara yang jelas-jelas sudah penuh sesak.

 

Jakarta, 15 Desember 2018

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Rilis Pers – Bongkar Korupsi Obat HIV/AIDS Segera!

LBH Masyarakat mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk mempercepat upaya membongkar dugaan praktik korupsi pengadaan obat anti retroviral (ARV) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Obat-obat anti retroviral digunakan dalam terapi guna menekan laju perkembangan HIV dalam tubuh serta meningkatkan produksi imun orang dengan HIV/AIDS. Terapi ARV berperan penting dalam upaya pencegahan HIV. Ketika virus berhasil ditekan sampai pada tingkat tidak terdeteksi, sangat kecil kemungkinannya virus tersebut dapat ditularkan.

Korupsi pengadaan obat ARV, dengan demikian, bukan hanya merugikan negara dan orang dengan HIV/AIDS, tetapi juga masyarakat yang lebih luas.

Dugaan praktik korupsi pengadaan obat ARV semakin terdengar sejak awal tahun 2018. Beberapa pihak sudah dipanggil dan didengar keterangannya, namun sampai saat ini belum ada perkembangan signifikan dari hasil investigasi yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung RI. Praktik korupsi pengadaan obat ARV ini menciderai semangat penanggulangan HIV di Indonesia.

Ke depan, LBH Masyarakat mendesak Kejaksaan Agung RI untuk melakukan investigasi secara efektif dan transparan. Kementerian Kesehatan juga harus bersikap ksatria dan memberikan akomodasi seluas-luasnya bagi Kejaksaan Agung RI dalam melakukan investigasi.

1 Desember kemarin seharusnya tidak berhenti pada Peringatan Hari AIDS sedunia, namun juga untuk bertanya pada pemerintah, khususnya Kejaksaan Agung dan Kementerian Kesehatan: serius atau tidak untuk mengatasi masalah HIV/AIDS di negeri ini?

 

Jakarta, 2 Desember 2018

Ajeng Larasati – Koordinator Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat

Yang Dibutuhkan Itu #SayangODHA, Bukan Stigma

Jimmy, seorang positif HIV harus di-PHK dari tempat kerjanya sesaat setelah ia mengungkapkan status HIVnya kepada rekan kerjanya.[1] Putri -bukan nama sebenarnya- juga harus mengalami nasib serupa, ia dipecat karena status HIVnya.[2] Selain syarat kerja bebas HIV, diskriminasi berupa PHK atau pemecatan sepihak menjadi salah satu bentuk diskriminasi yang cukup sering dialami oleh orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Salah seorang pengusaha di Jakarta bahkan dengan gamblang mengeluarkan pernyataan bahwa ia akan memecat karyawannya yang terbukti HIV positif.[3] Perusahaan yang melakukan pemecatan beralasan bahwa pegawai yang positif HIV memiliki kondisi tubuh yang lemah sehingga tidak akan produktif.[4]

Meski HIV menyerang sistem kekebalan tubuh, orang dengan HIV/AIDS belum tentu sakit-sakitan dan lemah. ODHA sangat mungkin menjalani kehidupan yang produktif dan berkontribusi bagi masyarakat dengan cara melakukan terapi Anti-Retroviral (ARV), di mana terapi ini dapat menekan perkembangan HIV, sehingga kekebalan tubuh dapat berfungsi lebih optimal.[5] Tidak hanya itu, ARV terbukti memungkinkan sistem kekebalan tubuh untuk pulih dari kerusakan yang disebabkan oleh replikasi HIV yang tidak terkontrol.[6] Namun, mengakses layanan kesehatan ARV memerlukan komitmen yang tinggi dari ODHA. Dukungan sosial menjadi salah satu kunci keberhasilan terapi ARV.[7] Dukungan sosial dapat berupa emosi, seperti ekpresi rasa empati, kasih, dan kepercayaan.[8] Sikap dan tindakan seperti menjauhkan, mengisolasi secara sosial di lingkungan kerja, hingga memecat ODHA jelas bukan sikap yang diharapkan dan dapat mendukung kesehatan ODHA.

Pemecatan karena status HIV juga merupakan pelanggaran hak asasi dan hukum, bertentangan dengan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.[9] Perlakuan diskriminatif berupa pemecatan juga tidak sesuai dengan Komentar Umum Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, Budaya, No 18 tentang Hak Atas Pekerjaan.[10] Di dalam Komentar Umum ini terdapat empat elemen yang saling bergantung dalam pemenuhan hak atas kesehatan, di antaranya elemen ketersediaan, keterjangkauan, serta elemen keberterimaan dan kualitas. Pemecatan ODHA tidak sesuai dengan elemen keterjangkauan yang di dalamnya mencakup asas non-diskriminasi. Sebagaimana telah diatur dalam Konvensi Internasional tentang Ekonomi, Sosial, dan Budaya Pasal 2 ayat (2) dan (3) – yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 – yang melarang segala bentuk dikriminasi dalam mengakses dan mempertahankan pekerjaan.[11] Selain itu, pemecatan juga melanggar elemen keberterimaan yang menjamin pekerja (termasuk mereka yang ODHA) mendapatkan rasa aman. Untuk konteks isu HIV, rasa aman tersebut dapat berupa lingkungan kerja yang ramah dan bersih dari stigma dan diskriminasi.

Perusahaan dan pengusaha justru harus dan dapat berperan aktif dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.[12] Pencegahan dan penanggulangan yang wajib dilakukan pengusaha/perusahaan meliputi menyebarluaskan informasi yang tepat tentang HIV/AIDS, mengadakan pelatihan, memberikan perlindungan terhadap pegawai yang positif HIV dari tindak dan perlakuan diskriminatif, serta menerapkan prosedur Kesehatan, Keselamatan, dan Keamanan Kerja (K3) di isu HIV.[13] Sama seperti pegawai lainnya, hak-hak kesehatan ODHA juga harus dijamin oleh perusahaan. Perusahaan harus menjamin layanan kesehatan ODHA seperti jaminan asuransi, perlindungan sosial, atau paket asuransi lainnya yang terjangkau.[14]

Pada akhirnya yang dibutuhkan dalam menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan produktif ialah kasih sayang, bukan stigma.

“I have decided to stick with love. Hate is too great a burden to bear.” Martin Luther King Jr

Penulis: Astried Permata

Editor: Ricky Gunawan

[1] Detik.com, “Dipecat Karena Idap HIV, Jimmy Harap tak Ada Lagi Diskriminasi”, Desember 2011, diakses pada 16 Juli 2018, melalui https://news.detik.com/jawabarat/1780236/dipecat-karena-idap-hiv-jimmy-harap-tak-ada-lagi-diskriminasi

[2] Ujung Pramudiarja, Detik.com, “Perusahaan yang Intimidasi Orang HIV/AIDS cuma Didenda 100 Ribu”. November 2010, diakses pada 16 Juli 2018, melalui http://hot.detik.com/celeb-personal/read/2010/11/24/080200/1500912/763/perusahaan-yang-intimidasi-orang-hiv-aids-cuma-didenda-100-ribu

[3] Raya Desmawanto, “Pegawai Diskotik yang Kena HIV Bakal Dipecat”, Agustus 2017, diakses pada 16 Juli 2018, melalui http://pekanbaru.tribunnews.com/2017/08/04/pegawai-diskotik-yang-kena-hiv-bakal-dipecat

[4] Fuji Aotari, “Stigma HIV: Impresi yang Belum Terobati”, LBH Masyarakat, Maret 2018, Hal. 17, diakses melalui https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2018/04/Seri-Monitor-dan-Dokumentasi-Stigma-HIV-Impresi-yang-Belum-Terobati.pdf

[5] Internasional Labor Organization (ILO), “Flipchart Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS”, 2011, Hal. 34.

[6] Calvin J Cohen, “Successful HIV Treatment: Lesson Learned”, Academic of Managed Care Pharmacy, September 2006, Hal. S6, diakses melalui http://www.amcp.org/WorkArea/DownloadAsset.aspx?id=14771

[7] Ingrid T Katz, “Impact of HIV-related Stigma on Treatment Adherence: Systematic Review and Meta-synthesis”, National Center for Biotechnology Information, November 2013, diakses melalui https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3833107/

[8] Peter K Olds, “Explaining Antiretroviral Therapy Adherence Success Among HIV-Infected Children in Rural Uganda: A Qualitative Study”, National Center for Biotechnology Information, April 2015, diakses melalui https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4393764/#R21

[9] Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

[10] Dominggus Christian, “Tinjauan Peraturan Perundang-undangan Indonesia terkait HIV Berdasarkan Standar Hak Asasi Manusia Internasional”, LBH Masyarakat, April 2016, Hal 36, diakses pada https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2016/04/140416_Compile-HIV-Legal-Audit.pdf

[11] Ibid.

[12] Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 68 Tahun 2004 tentang HIV di Tempat Kerja, Pasal 2 ayat (1)

[13] Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 68 Tahun 2004 tentang HIV di Tempat Kerja, Pasal 2 ayat (2)

[14] Kaidah Internasional Labour Organization tentang HIV dan Dunia Kerja, No. 10

Skip to content