Berita terorisme di 2018 lalu sempat menjadi headline di banyak laman media digital maupun konvensional. Bagaimana tidak? Rententan teror muncul di waktu yang berdekatan. Diawali dengan kerusuhan di Mako Brimob, Depok, di 8 Mei 2018. Kerusuhan ini berawal dari bentrokan napi dengan petugas di Lapas Brimob, yang berdasarkan sejumlah informasi keributan itu dipicu oleh sikap aparat yang tidak ‘manusiawi’ terhadap keluarga korban napi teroris yang datang menjenguk.[1] Menurut Al Chaidar, pakar terorisme dari Universitas Malikussaleh, kerusuhan Mako Brimob tersebut menjadi pemantik rentetan teror di Surabaya di Mei 2018[2] hingga terakhir teror bom kemudian menjalar ke Pasuruan di Juli 2018.[3]
Rentetan teror tersebut di atas membuat gelombang desakan dari berbagai pihak, khususnya kepolisian agar pemerintah segera mengesahkan aturan tentang anti-terorisme (Perppu Anti-Terorisme).[4] Badan Legislatif (DPR) pun mendorong percepatan pengesahan RUU Anti-Terorisme yang akhirnya menguggurkan pembuatan Perppu Anti-Terorisme.[5] MenurutKetua Panja RUU Anti-Terorisme, RUU ini bukan hanya untuk merespon aksi teror yang terjadi tapi juga untuk mengantisipasi kejadian-kejadian berikutnya.[6] Namun di balik intensinya, pengesahan UU Anti-Terorisme cenderung reaksioner, terjadi karena adanya peristiwa terlebih dahulu, bukannya mengedepankan tindakan preventif (pencegahan) dan berujung pada pertanyaan kenapa pengesahan RUU baru terjadi pasca teror bom. Kenapa tidak sebelumnya? Selain itu, UU tersebut juga nampak mengabaikan banyak aspek hak asasi manusia (HAM). Hal ini terlihat dari beberapa pasal kontroversial yang tercantum dalam UU tersebut, salah satunya pasal yang mengandung pidana mati.[7]
Pidana Mati dan HAM[8]
Keberadaan pidana mati dalam Undang-Undang Terorisme di Indonesia merupakan paradoks. Di satu sisi, negara meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang di dalamnya memuat jaminan perlindungan hak untuk hidup. Di sisi lainnya, Indonesia tetap mempertahankan pidana mati dalam hukum positifnya dan menjalankan eksekusi, yang mana bertentangan dengan HAM, khususnya hak untuk hidup.
Selain itu, sebagai tambahan, Resolusi PBB nomor 44/128 tahun 1989 juga sudah menyatakan bahwa “semua tindakan penghapusan hukuman mati merupakan sebuah kemajuan dan juga penghormatan terhadap hak hidup.”[9] Resolusi PBB nomor 69/186 tahun 2014 juga mendesak kepada negara-negara yang masih mempertahankan hukuman mati untuk segera menghapusnya demi menghormati martabat hidup seseorang dan HAM.[10]
Di level nasional, Konstitusi juga menjamin hak hidup yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28A yang menyebutkan “bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Mempertanyakan Efektivitas Hukuman Mati dalam Menanggulangi Terorisme
Selama ini keefektifan hukuman mati tidak pernah konklusif, pemerintah hanya mengandalkan tindakan counter-terorism dan tidak melakukan tindakan anti-terorism. Pemerintah menganggap bahwa hanya dengan membuat instrumen hukum (hukuman mati) saja sudah bisa menghukum pelaku kejahatan, dan aksi terorisme pun akan berhenti.[11] Pembenaran hukuman mati dapat menciptakan keamanan dan sebagai penggentar berawal dari penologi filsafat utilitarianisme – yang juga memengaruhi munculnya Theory of Deterrence. Jeremy Bentham mengatakan satu-satunya bentuk hukum yang rasional untuk diterapkan di masyarakat adalah hukuman yang paling efisien di dalam menciptakan kebahagiaan terbesar bagi masyarakat – dalam hal ini diukur dengan mempertimbangkan faktor keamanan masyarakat dari kejahatan[12]. Hal ini membuat hukuman mati terasa lebih rasional karena mampu menciptakan rasa takut di masyarakat untuk melakukan kejahatan.[13] Padahal banyak penelitian-penelitian empiris yang secara konsisten memperlihatkan bahwa hukuman mati tidak terbukti efektif menggentarkan kejahatan dibandingkan bentuk hukuman lainnya.[14] Selama ini hukuman mati telah ditopang oleh sebuah dasar yang tidak kokoh yakni kepercayaan aprioris terhadap kemampuan hukuman mati, sebagai bentuk hukuman yang paling keras di dalam menurunkan angka kejahatan.[15] Sayangnya, kepercayaan aprioris terhadap kemampuan hukuman mati masih diikuti beberapa negara. Salah satunya Indonesia yang menerapkan hukuman mati pada tindak terorisme.
Terkait dengan kasus terorisme di Indonesia, pasca Reformasi tahun 1998-2009 tercatat 21 orang telah dieksekusi dan 3 di antaranya adalah kasus terorisme (tahun 2008) 3 terpidana tersebut yakni Amrozi, Muklas, dan Imam Samudra.[16] Pasca eksekusi terpidana mati terorisme (2008) ternyata tidak menyurutkan gerakan terorisme di Indonesia. Yang ada justru bermunculan jaringan baru yakni Jamaah Ansharut Tauhid (2008) yang merupakan pengembangan dari Jamaah Islamiyah (1993)[17], disertai juga dengan rentetan teror bom yang terjadi mulai dari bom JW Marriott – Ritz Carlton (Juli 2009), ledakan bom di komplek Mapolresta Cirebon dan bom sepeda Bekasi (April & September 2010), Gereja Bethel Injil di Solo (September 2011), Poso (Juni 2013)[18], Sarinah (Januari 2016), Mapolresta Solo (Juli 2016), Kampung Melayu (Mei 2017) dan yang terbaru adalah Surabaya dan Sidoarjo (Mei 2018).[19] Rangkaian serangan teror ini memperkuat argumen Gerber dan Johnson tentang mitos hukuman mati, dalam buku mereka The Top Ten Death Penalty Myths. Gerber dan Johnson mengatakan bahwa klaim hukuman mati sebagai produk hukum yang memperkuat kembali ikatan sosial, memiliki prospek penggetar, manfaat politik serta dapat membalaskan dendam (retaliasi) korban, dan semua itu adalah kepercayaan argumentatif pemerintah. Persoalannya adalah pemerintah selama ini hanya memberikan argumentasi tersebut untuk mencapai suatu tujuan tanpa mempertimbangkan sama sekali soal kebenarannya.[20] Munir mengatakan, “tindakan terorisme itu bersifat ideologis, pelaku tidak peduli dengan ancaman hukuman mati. Jadi yang bisa dilakukan adalah menghambat jangan sampai seseorang memiliki ideologi kekerasan yang aksesnya nanti adalah ke tindakan terorisme”.[21]Pendekatan non-hukum menjadi penting mengingat yang dilawan adalah ideologi (terorisme). Menurut Munir “yang dapat dilakukan adalah menghentikan pelakunya atau menutup akses di mana orang itu bisa mendapatkan bahan peledak dan lain-lainnya – pemerintah harus membangun suatu kerangka model sistem yang tidak memungkinkan orang melakukan tindakan terorisme. Seperti melakukan kontrol terhadap bahan peledak, kontrol bea cukai, kontrol keimigrasian, kontrol money laundering dan pemberlakuan early warning system”.[22]
Salah satu pendekatan non-hukum yang penting dan menunjukkan hasilnya adalah deradikalisasi. Keberhasilan pemerintah dalam program deradikalisasi itu tercermin pada kasus Ali Imron, yang merupakan mantan pelaku Bom Bali I yang divonis seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Denpasar (September 2003). Ali Imron telah menjalani deradikalisasi dan berhasil keluar dari gerakan terorisme – beliau kini aktif dan kooperatif dalam membantu aparat penegak hukum dalam memberantas jaringan terorisme.[23] Dia juga aktif memberi masukan kepada DPR, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan HAM terkait upaya deradikalisasi yang optimal kepada pelaku terorisme dan keluarganya.[24]
Penutup
Sudah seharusnya pemerintah mulai berpikir untuk menghapus hukuman mati (tindak pidana terorisme) yang sebagaimana termaktub di dalam UU Anti-Terorisme. Apakah hukuman mati bagi pelaku terorisme adalah usaha untuk melindungi masyarakat atau justru merupakan ajang balas dendam (retaliasi) kejahatan. Jika pemerintah tetap mempertahankan ancaman pidana mati, hal ini justru akan menggoyahkan program deradikaliasi yang tercantum dalam UU Terorisme Pasal 43D tentang deradikalisasi karena keduanya tampak seperti bertabarakan.[25]
Berkaca dari uraian di atas, nampak bahwa pidana mati tidak kunjung berhasil menjerakan aksi teror. Sebab, dia tidak menyentuh permasalahan mendasar dari terorisme yakni radikalisme. Meluasnya paham radikalisme yang dipicu oleh pemahaman yang sempit atau keliru terhadap norma agama, serta kesenjangan ekonomi yang dapat memicu radikalisme itu sendiri harus menjadi perhatian pemerintah untuk memberantas terorisme. Sudah seharusnya pemerintah menjadikan penguatan program deradikalisasi sebagai fokus penyelesaian masalah terorisme.[26] Jika mengutip perkataan David Garland “perlu adanya hukuman alternatif sebagai pengganti untuk kejahatan serius”.[27]
Pada akhirnya, hukuman mati hanya terlihat seperti ajang bagi negara untuk memperlihatkan kesuperioritasan negara atas lawannya, dengan menyebarkan ketakutan melalui “produk” hukum demi mencapai tujuan tertentu. Ironisnya, hal ini juga menempatkan negara sebagai pelaku atau aktor penyebar teror yang legal.
Penulis: Tengku Raka
Editor: Ricky Gunawan
[1]Arbi Sumandoyo, “Kejadian Ricuh Mako Brimob versi Napi Teroris : Bukan Cuma Makan”, Tirto, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://tirto.id/kejadian-ricuh-mako-brimob-versi-napi-teroris-bukan-cuma-makanan-cKem
[2]Ayomi Amindoni, “Sel-sel JAD yang tertidur ‘mulai bangkit’ waspada aksi serupa bom Surabaya”, BBC Indonesia, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44022493
[3]Rita Ayuningtyas, “Headline: Ledakan Bom di Bangil Pasuruan, Sinyal Teror Belum Usai”, Liputan 6, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://www.liputan6.com/news/read/3580042/headline-ledakan-bom-di-bangil-pasuruan-sinyal-teror-belum-usai
[4]Ronny Fauzi, “Satu keluarga di balik bom Surabaya: Kapolri minta Presiden terbitkan Perppu antiterorisme”, BBC Indonesia, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44098402
[5]Ulet Ifansasti, “DPR sahkan revisi UU Terorisme, Perppu tak lagi diperlukan”, BBC Indonesia, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44248953
[6]Febriano Adi Saputro, “Pengesahan RUU Antiterorisme Terhambat Definisi Teroris”, Republika, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/05/14/p8oihz428-pengesahan-ruu-antiterorisme-terhambat-definisi-teroris
[7]J. Kriswanto, “Inilah Pasal Bermasalah dalam RUU Anti Terorisme”, DW Indonesia, diakses pada 15 Januari 2019, melalui https://www.dw.com/id/inilah-pasal-bermasalah-dalam-ruu-anti-terorisme/a-43789678
[8]Literatur mengenai pidana mati dan hak asasi manusia sudah tersedia banyak dan diterbitkan oleh organisasi hak asasi manusia. Salah satunya bisa dilihat di laman LBH Masyarakat di www.lbhmasyarakat.org
[9]Resolusi PBB 44/128, tahun 1989.
[10]Resolusi PBB 69/186, Tahun 2014
[11]Tim ICJR, “Politik Kebijakan Hukuman di Indonesia Dari Masa Ke Masa”, ICJR, 2015, Hlm. 147
[12]Iqrak Sulhin, “Mitos Penggentar Hukuman Mati”, Hlm. 84, di “Politik Hukuman Mati di Indonesia”, editor Robertus Robert & Todung Mulya Lubis, Marjin Kiri, 2016.
[13]Ibid., Iqrak Sulhin, di buku “Politik Hukuman Mati di Indonesia” Hlm. 84
[14]Ibid., Hlm. 82
[15]Ibid., Hlm. 92
[16]Tim Imparsial, “Menggugat Hukuman Mati Di Indonesia”, Imparsial, 2010, Hlm. 46
[17]Rinaldy Sofwan, “Evolusi Jaringan Teroris Indonesia”, CNN Indonesia, diakses pada 11 Februari 2019, melalui https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170117113206-20-186873/evolusi-jaringan-teroris-indonesia
[18]BBC Indonesia,“Rangkaian Aksi Bom Bunuh Diri di Indonesia”, BBC Indonesia, diakses pada 11 Februari 2019, melalui https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2013/06/130603_kompilasi_bom_bunuhdiri
[19]Luthfia Ayu Azanella, “Inilah Deretan Aksi Bom Bunuh Diri di Indonesia”, Kompas, diakses pada 11 Februari 2019, melalui https://nasional.kompas.com/read/2018/05/14/13533731/inilah-deretan-aksi-bom-bunuh-diri-di-indonesia?page=2
[20]Op Cit., Iqrak Sulhin, Hlm. 86
[21]Tim ICJR, “Politik Kebijakan Hukuman Di Indonesia Dari Masa Ke Masa”, ICJR, 2015, Hlm. 148
[22]Hukum Online, “Ancaman Hukuman Mati Tidak Selesaikan Masalah Terorisme”, Hukum Online, diakses pada 10 Maret 2019, melalui https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8430/ancaman-hukuman-mati-tidak-selesaikan-masalah-terorisme
[23]Ferdinand Waskita, “Pelaku Bom Bali Ali Imron Insyaf, Ajak Pelaku teror Kembali ke Jalan yang Benar” Tribunnews, diakses pada 15 Januari 2019, melalui http://www.tribunnews.com/nasional/2016/08/25/pelaku-bom-bali-ali-imron-insyaf-ajak-pelaku-teror-kembali-ke-jalan-yang-benar
[24]Devira Prastiwi, “Bomber Bali Insaf Ali Imron: Jangan Diskriminasikan Eks Teroris,” Liputan 6, diakses pada 15 Januari 2019, melalui https://www.liputan6.com/news/read/2586282/bomber-bali-insaf-ali-imron-jangan-diskriminasikan-eks-teroris
[25]Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pasal 43D
[26]Ricky Gunawan, “Menolak Tuntutan Mati Aman Abdurrahman,” diakses pada 15 Januari 2018, melaluihttps://lbhmasyarakat.org/rilis-pers-menolak-tuntutan-mati-pada-aman-abdurrahman/
[27]Op Cit., Iqrak Sulhin, di buku “Politik Hukuman Mati Di Indonesia” Hlm. 83