Month: April 2019

Ada Keadilan pada Nasi Padang

Siang Itu.

Jakarta sedang panas-panasnya. Dan saya, seperti banyak orang lain, disibukkan dengan pekerjaan. Saya harus pergi menemui seseorang untuk diwawancara. Bersama seorang pengendara transportasi online, saya lawan terik dan berangkat ke utara.

Kami berjanji untuk bertemu di sebuah motel di Penjaringan. Saat tiba, saya disambut hangat sesosok pria bertopi dengan polo lusuh berwarna oranye. Umurnya kurang lebih 50 tahun. Namanya Suherman. Di dekat motel, kami menemukan sebuah sudut yang cukup nyaman dan tidak terlalu bising. Ditemani dua gelas kopi panas dari penjual kopi keliling, kami pun mulai berbincang.

Dicuri, Dicari.

Pak Suherman sehari-hari bekerja sebagai tukang las karbit di depan motel itu. Dulu, ia adalah seorang karyawan – juga sebagai tukang las – di sebuah pangkalan taksi di Latumenten, Jakarta Barat. Suatu hari, ia dan teman-temannya diberhentikan tanpa alasan yang jelas. Hal yang tentu menyakitkan bagi Pak Suherman mengingat ia sudah bekerja belasan tahun di sana. Pemecatan tanpa dasar ini yang mendorongnya mencari keadilan bagi dirinya dan teman-temannya yang mengalami nasib yang sama.

His Survival Kit (Foto oleh Tengku Raka)

Ia tiup kopinya yang beruap, menyeruputnya perlahan, lalu mulai menceritakan kronologis pemecatan itu. “Jadi waktu itu, tempat saya bekerja sedang kebanjiran yang tingginya tuh setengah meter, Mas,” terangnya. “Walaupun banjir, saya tetap masuk. Walaupun udah ujan-ujanan dan kebanjiran, saya mesti perbaikin mobil. Pas udah jam istirahat, saya berusaha minta uang makan ke bos. Saya malah dimarahi. Saya dan teman-teman diusir dari ruangan bos. Besoknya, saya malah diberhentikan tanpa alasan.” Ia sudah merasa ada iktikad dari atasannya untuk memberhentikan dirinya, “Uang gaji saya sering dikurangin, Mas. Sama sering ga dapet uang makan juga. Ya, saya sabarin aja. Yang penting, dapur saya bisa ngebul.”

Apa yang menimpa Pak Suherman ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas pekerjaan. Mulai 2005, hal ini diproses secara hukum. Kuasa hukum Pak Suherman maju ke Panitia Penyelesaian Permasalahan Perburuhan Daerah Provinsi DKI Jakarta (P4D). Kasus ini pun terus berlanjut hingga inkracht di Mahkamah Agung (MA): ganti rugi materiil senilai 27 juta rupiah untuk Pak Suherman. Putusan adalah satu hal, implementasinya adalah hal lain. Sepanjang 2010, sudah dua kali eksekusi diupayakan namun selalu menemui kegagalan. “Padahal Mas, kata orang pengadilan tinggal eksekusi aja. Saya bingung, kok ga bisa dieksekusi juga.” Sudah tiga kali Pak Suherman berganti kuasa hukum dan semuanya menemui kegagalan yang sama, “Saya sempat mikir, apa benar ya hukum bisa dibeli?”

Kegagalan-kegagalan itu tidak membuatnya patah semangat. Tahun 2015, ia datang ke Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dengan sepeda tuanya – alat transportasinya sehari-hari. Ia kemudian mempercayakan sepenuhnya kasus ini ke LBHM. Namun demikian, Pak Suherman tetap harus menemui jalan berliku. Mulai dari melayangkan surat ke Peradilan Hubungan Industrial (PHI) terkait informasi perkembangan kasus beliau dan juga melayangkan surat ke pemilik perusahaan yang berakhir pada tidak adanya respon dari kedua belah pihak. Di 2016, aduan juga dilayangkan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Pada 2017, tiga somasi disampaikan kepada pemilik perusahaan namun tidak ada respon sama sekali. Belum lagi dugaan hilangnya berkas perkara milik Pak Suherman. “Saya biarin ajalah bergulir. Ingin tahu bisa sampai mana.” 2018 kemarin menjawab penantiannya. Ahli waris tergugat akhirnya menyanggupi putusan MA, yang jatuh pada 2008, untuk memenuhi hak Pak Suherman yang telah tertunda tiga belas tahun lamanya.

Sama Saja Seharusnya.

Deru mesin dan klakson kendaraan menemani percakapan kami. Langit mulai mendung. Saya nyalakan sebatang rokok dan bertanya tentang apa saja yang sudah ia korbankan untuk ini. “Ngambil uang pesangon ini aja cukup banyak penderitaan yang saya alami, Mas. Banyak liku-likunya. Pernah waktu itu saya pulang dari pengadilan, di kolong tol saya ditabrak mobil. Sepeda saya hancur. Untungnya, saya tidak apa-apa.” Pada masa memperjuangkan haknya ini, Pak Suherman juga ditinggal sang istri yang meninggal dunia tujuh tahun lalu karena penyakit angin duduk (angina). Ia kemudian harus berjuang sendiri mengurus keluarganya. “Saya sekarang tinggal sama anak saya yang pertama (Pak Suherman memiliki lima anak – Red.). Sisanya, udah berkeluarga sama udah ada yang ngontrak rumah,” pungkasnya. Anak pertama Pak Suherman sering sekali sakit sehingga tak bisa ia tinggal lama. Ia juga bercerita bahwa ia pernah mengalami serangan jantung dan harus dirawat di rumah sakit.

“Ya Mas, hidup saya gini-gini aja. Pekerjaan saya sekarang cuman jadi tukang las karbit, kadang-kadang juga jadi tukang rongsok. Penghasilan juga paling banter cuman sembilan puluh ribu, kadang juga ga dapat sama sekali, Mas,” ungkapnya. Selama ia menawarkan jasanya di depan motel, ia sering ‘diganggu’ Satpol PP. “Untungnya, yang punya motel baik. Saya dibolehi mangkal di sini asal ga buka tenda. Si adek pemilik kadang suka ngasih uang juga ke saya Mas kalo lagi main ke sini.”

Kami pun berpindah ke sebuah tempat loakan yang tak jauh dari sana. Tempat itu penuh dengan gerobak dan barang-barang rongsokan. “Nah, ini Mas tempat nongkrong saya,” jelasnya. “Di sini mah udah kayak rumah saya, Mas. Kadang saya tidur di sini, mandi di sini juga,” katanya sambil tertawa.

Everybody Needs A Break & A Friend (Foto oleh Tengku Raka)

“Mas, saya bersyukur ya sama lawyer dan LBHM yang udah bantuin saya sampai berhasil mendapatkan hak saya. Selama ini, saya masih suka berpikir hukum di Indonesia kan cuman punya orang kaya aja. Saya mikir lagi: apakah ada keadilan untuk orang-orang miskin seperti saya ini ya, Mas?” Saya hanya bisa berkata, “Keadilan itu milik semua orang, Pak.” Semestinya.

Dan siang itu, Pak Suherman mengajak saya makan nasi padang di seberang motel. Sambil tersenyum, ia bilang, “Walaupun orang kaya dan orang miskin beda, tapi tetep kalo laper kita harus makan juga kan, Mas?”

Betul juga.

Penulis: Tengku Raka

Editor: Yohan Misero

Hukuman Mati dan Terorisme

Berita terorisme di 2018 lalu sempat menjadi headline di banyak laman media digital maupun konvensional. Bagaimana tidak? Rententan teror muncul di waktu yang berdekatan. Diawali dengan kerusuhan di Mako Brimob, Depok, di 8 Mei 2018. Kerusuhan ini berawal dari bentrokan napi dengan petugas di Lapas Brimob, yang berdasarkan sejumlah informasi keributan itu dipicu oleh sikap aparat yang tidak ‘manusiawi’ terhadap keluarga korban napi teroris yang datang menjenguk.[1] Menurut Al Chaidar, pakar terorisme dari Universitas Malikussaleh, kerusuhan Mako Brimob tersebut menjadi pemantik rentetan teror di Surabaya di Mei 2018[2] hingga terakhir teror bom kemudian menjalar ke Pasuruan di Juli 2018.[3]

Rentetan teror tersebut di atas membuat gelombang desakan dari berbagai pihak, khususnya kepolisian agar pemerintah segera mengesahkan aturan tentang anti-terorisme (Perppu Anti-Terorisme).[4] Badan Legislatif (DPR) pun mendorong percepatan pengesahan RUU Anti-Terorisme yang akhirnya menguggurkan pembuatan Perppu Anti-Terorisme.[5] MenurutKetua Panja RUU Anti-Terorisme, RUU ini bukan hanya untuk merespon aksi teror yang terjadi tapi juga untuk mengantisipasi kejadian-kejadian berikutnya.[6] Namun di balik intensinya, pengesahan UU Anti-Terorisme cenderung reaksioner, terjadi karena adanya peristiwa terlebih dahulu, bukannya mengedepankan tindakan preventif (pencegahan) dan berujung pada pertanyaan kenapa pengesahan RUU baru terjadi pasca teror bom. Kenapa tidak sebelumnya? Selain itu, UU tersebut juga nampak mengabaikan banyak aspek hak asasi manusia (HAM).  Hal ini terlihat dari beberapa pasal kontroversial yang tercantum dalam UU tersebut, salah satunya pasal yang mengandung pidana mati.[7]


Pidana Mati dan HAM[8]

Keberadaan pidana mati dalam Undang-Undang Terorisme di Indonesia merupakan paradoks. Di satu sisi, negara meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang di dalamnya memuat jaminan perlindungan hak untuk hidup. Di sisi lainnya, Indonesia tetap mempertahankan pidana mati dalam hukum positifnya dan menjalankan eksekusi, yang mana bertentangan dengan HAM, khususnya hak untuk hidup.

Selain itu, sebagai tambahan, Resolusi PBB nomor 44/128 tahun 1989 juga sudah menyatakan bahwa “semua tindakan penghapusan hukuman mati merupakan sebuah kemajuan dan juga penghormatan terhadap hak hidup.”[9] Resolusi PBB nomor 69/186 tahun 2014 juga mendesak kepada negara-negara yang masih mempertahankan hukuman mati untuk segera menghapusnya demi menghormati martabat hidup seseorang dan HAM.[10]

Di level nasional, Konstitusi juga menjamin hak hidup yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28A yang menyebutkan “bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

Mempertanyakan Efektivitas Hukuman Mati dalam Menanggulangi Terorisme

Selama ini keefektifan hukuman mati tidak pernah konklusif, pemerintah hanya mengandalkan tindakan counter-terorism dan tidak melakukan tindakan anti-terorism. Pemerintah menganggap bahwa hanya dengan membuat instrumen hukum (hukuman mati) saja sudah bisa menghukum pelaku kejahatan, dan aksi terorisme pun akan berhenti.[11] Pembenaran hukuman mati dapat menciptakan keamanan dan sebagai penggentar berawal dari penologi filsafat utilitarianisme – yang juga memengaruhi munculnya Theory of Deterrence. Jeremy Bentham mengatakan satu-satunya bentuk hukum yang rasional untuk diterapkan di masyarakat adalah hukuman yang paling efisien di dalam menciptakan kebahagiaan terbesar bagi masyarakat – dalam hal ini diukur dengan mempertimbangkan faktor keamanan masyarakat dari kejahatan[12].  Hal ini membuat hukuman mati terasa lebih rasional karena mampu menciptakan rasa takut di masyarakat untuk melakukan kejahatan.[13] Padahal banyak penelitian-penelitian empiris yang secara konsisten memperlihatkan bahwa hukuman mati tidak terbukti efektif menggentarkan kejahatan dibandingkan bentuk hukuman lainnya.[14] Selama ini hukuman mati telah ditopang oleh sebuah dasar yang tidak kokoh yakni kepercayaan aprioris terhadap kemampuan hukuman mati, sebagai bentuk hukuman yang paling keras di dalam menurunkan angka kejahatan.[15] Sayangnya, kepercayaan aprioris terhadap kemampuan hukuman mati masih diikuti beberapa negara. Salah satunya Indonesia yang menerapkan hukuman mati pada tindak terorisme.

Terkait dengan kasus terorisme di Indonesia, pasca Reformasi tahun 1998-2009 tercatat 21 orang telah dieksekusi dan 3 di antaranya adalah kasus terorisme (tahun 2008) 3 terpidana tersebut yakni Amrozi, Muklas, dan Imam Samudra.[16] Pasca eksekusi terpidana mati terorisme (2008) ternyata tidak menyurutkan gerakan terorisme di Indonesia. Yang ada justru bermunculan jaringan baru yakni Jamaah Ansharut Tauhid (2008) yang merupakan pengembangan dari Jamaah Islamiyah (1993)[17], disertai juga dengan rentetan teror bom yang terjadi mulai dari bom JW Marriott – Ritz Carlton (Juli 2009), ledakan bom di komplek Mapolresta Cirebon dan bom sepeda Bekasi (April & September 2010), Gereja Bethel Injil di Solo (September 2011), Poso (Juni 2013)[18], Sarinah (Januari 2016), Mapolresta Solo (Juli 2016), Kampung Melayu (Mei 2017) dan yang terbaru adalah Surabaya dan Sidoarjo (Mei 2018).[19] Rangkaian serangan teror ini memperkuat argumen Gerber dan Johnson tentang mitos hukuman mati, dalam buku mereka The Top Ten Death Penalty Myths. Gerber dan Johnson mengatakan bahwa klaim hukuman mati sebagai produk hukum yang memperkuat kembali ikatan sosial, memiliki prospek penggetar, manfaat politik serta dapat membalaskan dendam (retaliasi) korban, dan semua itu adalah kepercayaan argumentatif pemerintah. Persoalannya adalah pemerintah selama ini hanya memberikan argumentasi tersebut untuk mencapai suatu tujuan tanpa mempertimbangkan sama sekali soal kebenarannya.[20] Munir mengatakan, “tindakan terorisme itu bersifat ideologis, pelaku tidak peduli dengan ancaman hukuman mati. Jadi yang bisa dilakukan adalah menghambat jangan sampai seseorang memiliki ideologi kekerasan yang aksesnya nanti adalah ke tindakan terorisme”.[21]Pendekatan non-hukum menjadi penting mengingat yang dilawan adalah ideologi (terorisme). Menurut Munir “yang dapat dilakukan adalah menghentikan pelakunya atau menutup akses di mana orang itu bisa mendapatkan bahan peledak dan lain-lainnya – pemerintah harus membangun suatu kerangka model sistem yang tidak memungkinkan orang melakukan tindakan terorisme. Seperti melakukan kontrol terhadap bahan peledak, kontrol bea cukai, kontrol keimigrasian, kontrol money laundering dan pemberlakuan early warning system”.[22]

Salah satu pendekatan non-hukum yang penting dan menunjukkan hasilnya adalah deradikalisasi. Keberhasilan pemerintah dalam program deradikalisasi itu tercermin pada kasus Ali Imron, yang merupakan mantan pelaku Bom Bali I yang divonis seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Denpasar (September 2003). Ali Imron telah menjalani deradikalisasi dan berhasil keluar dari gerakan terorisme – beliau kini aktif dan kooperatif dalam membantu aparat penegak hukum dalam memberantas jaringan terorisme.[23] Dia juga aktif memberi masukan kepada DPR, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan HAM terkait upaya deradikalisasi yang optimal kepada pelaku terorisme dan keluarganya.[24]

Penutup

Sudah seharusnya pemerintah mulai berpikir untuk menghapus hukuman mati (tindak pidana terorisme) yang sebagaimana termaktub di dalam UU Anti-Terorisme. Apakah hukuman mati bagi pelaku terorisme adalah usaha untuk melindungi masyarakat atau justru merupakan ajang balas dendam (retaliasi) kejahatan. Jika pemerintah tetap mempertahankan ancaman pidana mati, hal ini justru akan menggoyahkan program deradikaliasi yang tercantum dalam UU Terorisme Pasal 43D tentang deradikalisasi karena keduanya tampak seperti bertabarakan.[25]

Berkaca dari uraian di atas, nampak bahwa pidana mati tidak kunjung berhasil menjerakan aksi teror. Sebab, dia tidak menyentuh permasalahan mendasar dari terorisme yakni radikalisme. Meluasnya paham radikalisme yang dipicu oleh pemahaman yang sempit atau keliru terhadap norma agama, serta kesenjangan ekonomi yang dapat memicu radikalisme itu sendiri harus menjadi perhatian pemerintah untuk memberantas terorisme. Sudah seharusnya pemerintah menjadikan penguatan program deradikalisasi sebagai fokus penyelesaian masalah terorisme.[26] Jika mengutip perkataan David Garland “perlu adanya hukuman alternatif sebagai pengganti untuk kejahatan serius”.[27]

Pada akhirnya, hukuman mati hanya terlihat seperti ajang bagi negara untuk memperlihatkan kesuperioritasan negara atas lawannya, dengan menyebarkan ketakutan melalui “produk” hukum demi mencapai tujuan tertentu. Ironisnya, hal ini juga menempatkan negara sebagai pelaku atau aktor penyebar teror yang legal.

Penulis: Tengku Raka

Editor: Ricky Gunawan

[1]Arbi Sumandoyo, “Kejadian Ricuh Mako Brimob versi Napi Teroris : Bukan Cuma Makan”, Tirto, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://tirto.id/kejadian-ricuh-mako-brimob-versi-napi-teroris-bukan-cuma-makanan-cKem

[2]Ayomi Amindoni, “Sel-sel JAD yang tertidur ‘mulai bangkit’ waspada aksi serupa bom Surabaya”, BBC Indonesia, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44022493

[3]Rita Ayuningtyas, “Headline: Ledakan Bom di Bangil Pasuruan, Sinyal Teror Belum Usai”, Liputan 6, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://www.liputan6.com/news/read/3580042/headline-ledakan-bom-di-bangil-pasuruan-sinyal-teror-belum-usai

[4]Ronny Fauzi, “Satu keluarga di balik bom Surabaya: Kapolri minta Presiden terbitkan Perppu antiterorisme”, BBC Indonesia, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44098402

[5]Ulet Ifansasti, “DPR sahkan revisi UU Terorisme, Perppu tak lagi diperlukan”, BBC Indonesia, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44248953

[6]Febriano Adi Saputro, “Pengesahan RUU Antiterorisme Terhambat Definisi Teroris”, Republika, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/05/14/p8oihz428-pengesahan-ruu-antiterorisme-terhambat-definisi-teroris

[7]J. Kriswanto, “Inilah Pasal Bermasalah dalam RUU Anti Terorisme”, DW Indonesia, diakses pada 15 Januari 2019, melalui https://www.dw.com/id/inilah-pasal-bermasalah-dalam-ruu-anti-terorisme/a-43789678

[8]Literatur mengenai pidana mati dan hak asasi manusia sudah tersedia banyak dan diterbitkan oleh organisasi hak asasi manusia. Salah satunya bisa dilihat di laman LBH Masyarakat di www.lbhmasyarakat.org

[9]Resolusi PBB 44/128, tahun 1989.

[10]Resolusi PBB 69/186, Tahun 2014

[11]Tim ICJR, “Politik Kebijakan Hukuman di Indonesia Dari Masa Ke Masa”, ICJR, 2015, Hlm. 147

[12]Iqrak Sulhin, “Mitos Penggentar Hukuman Mati”, Hlm. 84, di “Politik Hukuman Mati di Indonesia”, editor Robertus Robert & Todung Mulya Lubis, Marjin Kiri, 2016.

[13]Ibid., Iqrak Sulhin, di buku “Politik Hukuman Mati di Indonesia” Hlm. 84

[14]Ibid., Hlm. 82

[15]Ibid., Hlm. 92

[16]Tim Imparsial, “Menggugat Hukuman Mati Di Indonesia”, Imparsial, 2010, Hlm. 46

[17]Rinaldy Sofwan, “Evolusi Jaringan Teroris Indonesia”, CNN Indonesia, diakses pada 11 Februari 2019, melalui https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170117113206-20-186873/evolusi-jaringan-teroris-indonesia

[18]BBC Indonesia,“Rangkaian Aksi Bom Bunuh Diri di Indonesia”, BBC Indonesia, diakses pada 11 Februari 2019, melalui https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2013/06/130603_kompilasi_bom_bunuhdiri

[19]Luthfia Ayu Azanella, “Inilah Deretan Aksi Bom Bunuh Diri di Indonesia”, Kompas, diakses pada 11 Februari 2019, melalui https://nasional.kompas.com/read/2018/05/14/13533731/inilah-deretan-aksi-bom-bunuh-diri-di-indonesia?page=2

[20]Op Cit., Iqrak Sulhin, Hlm. 86

[21]Tim ICJR, “Politik Kebijakan Hukuman Di Indonesia Dari Masa Ke Masa”, ICJR, 2015, Hlm. 148

[22]Hukum Online, “Ancaman Hukuman Mati Tidak Selesaikan Masalah Terorisme”, Hukum Online, diakses pada 10 Maret 2019, melalui https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8430/ancaman-hukuman-mati-tidak-selesaikan-masalah-terorisme

[23]Ferdinand Waskita, “Pelaku Bom Bali Ali Imron Insyaf, Ajak Pelaku teror Kembali ke Jalan yang Benar” Tribunnews, diakses pada 15 Januari 2019, melalui http://www.tribunnews.com/nasional/2016/08/25/pelaku-bom-bali-ali-imron-insyaf-ajak-pelaku-teror-kembali-ke-jalan-yang-benar

[24]Devira Prastiwi, “Bomber Bali Insaf Ali Imron: Jangan Diskriminasikan Eks Teroris,” Liputan 6, diakses pada 15 Januari 2019, melalui https://www.liputan6.com/news/read/2586282/bomber-bali-insaf-ali-imron-jangan-diskriminasikan-eks-teroris

[25]Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pasal 43D

[26]Ricky Gunawan, “Menolak Tuntutan Mati Aman Abdurrahman,” diakses pada 15 Januari 2018, melaluihttps://lbhmasyarakat.org/rilis-pers-menolak-tuntutan-mati-pada-aman-abdurrahman/

[27]Op Cit., Iqrak Sulhin, di buku “Politik Hukuman Mati Di Indonesia” Hlm. 83

Kacamata Kuda Kebijakan Narkotika Indonesia

Nama saya Astried Permata. Saya bekerja di LBHM sejak Maret 2017 dan mulai saat itu saya mulai mengenal isu narkotika lebih dalam. Pada akhir 2017, dengan dukungan International Drug Policy Consortium (IDPC), LBHM bersama No Box dari Filipina dan Ozone dari Thailand mengadakan riset mengenai perempuan, pemenjaraan, dan kebijakan narkotika. Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan the cost of war on drugs terhadap perempuan – secara spesifik di Indonesia, Thailand, dan Filipina. Selain saya sendiri, di Indonesia penelitian ini dikerjakan oleh perempuan-perempuan hebat di LBHM yakni: Arinta Dea, Ajeng Larasati, dan Naila Rizqi. Tulisan ini tidak akan bercerita tentang hasil penelitian itu – yang tentu akan dikabarkan ke khalayak pada lain waktu –  melainkan sebuah acara besar tentang narkotika di Vienna yang saya hadiri.

Untuk menceritakan hasil penelitian kami pada dunia, pada pertengahan Maret kemarin saya berkesempatan untuk menghadiri The Commission on Narcotic Drugs (CND) yang ke-62. CND adalah sebuah komisi di dalam tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertugas untuk membantu Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) PBB dalam hal mengawasi implementasi konvensi-konvensi internasional di bidang narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (napza) lainnya – di luar alkohol (yang tak diatur konvensi internasional) dan tembakau (yang memiliki konvensinya sendiri). CND bertemu setiap tahun di Vienna dan dihadiri oleh negara-negara anggota PBB (termasuk Indonesia), berbagai lembaga PBB, perwakilan masyarakat sipil, dan 53 negara anggota CND. Masing-masing negara melaporkan kemajuan maupun kemunduran situasi permasalahan napza di negaranya.

Sebagai kesan pertama, saya bisa bilang CND tidak terlalu ramah bagi masyarakat sipil: banyak aturan yang birokratis dan lebih banyak lagi petugas keamanan. Jumat lalu, sekelompok orang dari Filipina melakukan aksi damai kecil-kecilan: 15-20 orang tidur di lantai tanpa berkata-kata tepat di depan booth Filipina. Pesannya jelas: menolak extrajudicial killing atas nama perang terhadap narkotika yang sudah memakan lebih dari 22 ribu korban meninggal.[1] Mereka yang terlibat dalam aksi tersebut mendapat sanksi keras berupa pencabutan izin hadir di CND. Karena hal ini pula, kegiatan foto bersama yang diinisasi oleh gerakan Support Don’t Punish sempat bermasalah. Pasalnya, peserta foto dilarang menggunakan atribut seperti poster, pakaian, hingga pin yang mengandung pernyataan sikap terhadap kebijakan napza. Beberapa pihak menganggap tidak diperkenankannya penggunaan kaos yang mengandung pernyataan adalah pembatasan ekspresi yang tidak berdasar dan juga pencabutan identitas diri. Demi kelancaran upaya advokasi yang lebih besar, masyarakat sipil yang hadir di CND akhirnya sepakat untuk tidak mempermasalahkan aturan tersebut lebih jauh.

Saya juga tergelitik dengan narasi yang dibangun Pemerintah Indonesia melalui media nasional. Beberapa media memberi headline bombastis seperti “Indonesia Bicara Penegakan Hukum Tegas untuk Kejahatan Narkotika”, “.. Tegaskan Tak Beri Toleransi ke Pelaku Narkoba”, atau “Prihatin Makin Banyak Negara Legalkan Ganja”. Semuanya memberi narasi selaras yang seolah menunjukan betapa heroiknya Indonesia di kancah internasional dalam urusan napza. Kenyataannya di ruang-ruang sidang CND, Indonesia tidak mencuat muncul sebagai hero dan justru menunjukkan posisi Indonesia yang sangat old school dan tertutup terhadap perubahan. Di beberapa kesempatan, delegasi Indonesia juga berbicara dengan nada yang diplomatis. Hal ini memberi kesan bahwa Indonesia ingin terlihat ganas di media nasional, padahal di CND sendiri delegasi Indonesia tampak biasa saja. Apakah politik luar negeri kita sudah bergeser dari bebas-aktif menjadi hipokrit?

Saya akan mulai dari keprihatinan Indonesia mengenai banyak negara yang melegalkan ganja. Isu tentang ganja memang hangat menjadi perbincangan CND tahun ini. World Health Organisation (WHO) merekomendasikan agar ganja keluar dari golongan IV Single Convention on Narcotic Drugs of 1961 as amended by the 1972 Protocol (Single Convention) agar bisa dimanfaatkan untuk kepentingan medis. Penggunaan ganja untuk medis sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa negara di dunia. Ada sekitar 30 negara yang telah melegalisasi ganja medis, termasuk Turki, Chili, dan Kanada.[2] Negara-negara lain seperti Malaysia, Meksiko dan Selandia Baru ikut merencanakan legalisasi ganja medis dan rekreasional.[3] Langkah legalisasi pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis bahkan sudah diambil oleh negara tetangga Indonesia di Asia yakni Korea Selatan dan Thailand.[4] Beragamnya negara-negara yang telah melegalisasi ganja medis memperlihatkan bahwa kebijakan ganja medis ini sudah melampaui identitas dan ideologi politik negara yang bersangkutan, dan mengedepankan kesehatan publik sebagai landasan berpikirnya.

Pemerintah Indonesia menganggap legalisasi ganja medis mengkhianati konvensi-konvensi internasional. Bagi saya, ini adalah posisi yang keliru karena, setidak-tidaknya, dua alasan. Pertama, kebijakan atau aturan memang sudah sepantasnya berbasis ilmiah dan harus sejalan dengan norma hak asasi manusia (HAM). Legalisasi ganja medis di berbagai negara bukan tanpa alasan. Berbagai penelitian menemukan bahwa elemen-elemen kimia pada ganja dapat digunakan secara medis untuk, di antaranya: mengurangi mual dan muntah yang berhubungan dengan kemoterapi kanker, epilepsi pada anak-anak, perawatan paliatif pada kanker, gangguan tidur, kecemasan, depresi, hingga radang usus.[5] Salah satu kasus paling monumental di Indonesia ialah pemanfaatan ekstrak ganja oleh Fidelis Arie, seorang lelaki asal Sanggau, Kalimantan Barat, untuk menyembuhkan istrinya yang menderita syringomyelia. Diperbolehkannya ganja untuk kebutuhan medis tidak lain adalah pemenuhan HAM, khususnya hak atas kesehatan warga negara.[6]

Kedua, ketegangan (tension) suatu aturan atau regulasi dengan keadaan sekarang adalah sebuah fenomena yang wajar. Kebijakan yang dibuat manusia akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan untuk menyesuaikan zaman – tidak terkecuali kovenan internasional atau regulasi nasional tentang napza. Itu kenapa kita mengenal terminologi ‘revisi’ atau ‘amandemen’. Hal ini juga menjadi salah satu kritik yang, secara tidak langsung tentunya, dilempar WHO dalam rekomendasinya mengeluarkan ganja dari golongan IV Single Convention: penggolongan narkotika saat itu, tahun 1961, tidak didasari oleh bukti ilmiah.[7] Sejak 1961, ilmu pengetahuan sudah berkembang pesat dan membantu manusia memiliki pemahaman lebih mendalam mengenai ganja dan manfaatnya untuk kesehatan. Maka, sudah saatnya membenahi aturan tersebut sekarang.

Hal lain yang digunakan untuk memperkuat kesan heroik Indonesia adalah sikap ‘keras’ dalam soal pemberantasan napza. Melalui Duta Besar Indonesia untuk Vienna, Indonesia menyatakan pentingnya penegakan hukum yang tegas, termasuk menerapkan hukuman mati. Kira-kira beginilah ucapan Darmansjah Djumal:

“…Indonesia berpandangan bahwa, meskipun pendekatan HAM dalam mengatasi masalah narkotika merupakan hal penting, namun penerapan hukuman terhadap kejahatan narkotika merupakan kedaulatan masing-masing negara.”

Saya jadi teringat sebuah momen di CND ketika salah satu aktivis senior dari sebuah organisasi masyarakat sipil berkomentar di salah satu sesi bahwa ia sangat salut dengan Selandia Baru karena dapat menempatkan HAM di atas kedaulatan negara. Bagi saya, sikap Selandia Baru sangat lumrah dan sudah seharusnya. Sebab, HAM adalah standar perilaku kita terhadap manusia, bagaimana kita memperlakukan manusia secara manusiawi. Nilai-nilai HAM adalah ethical code bagi negara dalam merancang kebijakannya. Dan selagi ia manusia – peduli setan dengan latar belakang, status ekonomi, kesehatan, apa yang ia konsumsi, dan status-status lainnya – ia harus diperlakukan sebagai manusia. Saya tidak dapat mengerti bagaimana dan mengapa kedaulatan negara bisa lebih tinggi derajatnya daripada HAM. Negara, bagaimanapun juga, terdiri dari manusia-manusia. Maka, sudah sepatutnya manusia yang punya kuasa atas dirinya ini dihormati ‘kemanusiaannya’ dan menghormati ‘kemanusiaan’ manusia lainnya. HAM bersifat universal, tidak dapat dikurangi sedikit pun, apalagi atas nama kedaulatan negara. Dia melampaui sekat batas negara, termasuk kedaulatannya. Argumen kedaulatan negara lebih tinggi daripada HAM juga berbahaya. Sebab, atas nama “kedaulatan negara” sebuah pelanggaran HAM bisa dibiarkan dan bahkan dilanggengkan.

Tentang hukuman mati, Indonesia tidak sepantasnya berbangga dan menganggap dirinya keren dengan masih memberlakukan hukuman mati. Indonesia justru jadi minoritas di tengah dunia yang berbondong-bondong melakukan penghapusan hukuman mati. Hanya tersisa 35 negara di dunia yang masih menerapkan hukuman mati untuk tindak pidana terkait narkotika.[8] Sementara itu, 121 negara dari 193 negara anggota PBB menyepakati resolusi moratorium hukuman mati, di mana Malaysia dan Pakistan menjadi negara baru yang memiliki posisi ini. Moratorium hukuman mati juga ditekankan oleh badan-badan PBB yang juga mengurus persoalan napza, seperti United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan International Narcotics Control Board (INCB). Dalam laporannya di CND, INCB menyerukan kepada anggota negara untuk memastikan penanggulangan kejahatan napza harus diikuti dengan proses hukum yang baik dan penerapan HAM. Hukuman mati bagi pelaku tindak pidana terkait narkotika juga harus dihapuskan.[9] Posisi serupa juga didukung oleh Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) dan Uni Eropa (UE) yang mengatakan bahwa kebijakan napza harus didasari dengan bukti ilmiah dan mengintegrasikan HAM dengan program-program penanggulangan masalah napza. Hukuman mati jelas menghina martabat manusia dan terbukti tidak efektif.[10]

Saya berharap masalah napza di Indonesia dapat dilihat lebih jauh dari sekedar kacamata ‘berbahaya’ atau ‘tidak’. Thailand, yang seperti Indonesia juga pernah mengobarkan war on drugs, sudah mulai terbuka bahwa problem napza membutuhkan langkah yang beragam dan solusi berkelanjutan. Masalah napza perlu memperhitungkan aspek medis, sosial, dan ekonomi. Dalam hal napza dan problem kebijakan lainnya, Pemerintah Indonesia mestinya menyadari bahwa ia sedang mengurusi manusia-manusia yang memiliki kompleksitasnya masing-masing. Dunia tidak sekedar hitam dan putih. Jauh lebih luas dari itu.

Alangkah baiknya bila Indonesia berhenti sok gagah, tak lagi bebal, mulai bercermin,dan mencopot kacamata kudanya. Tidak perlu berlagak hebat ke komunitas internasional soal menjadi jawara HAM, kalau dengan ganja medis saja masih fobia akut. Tidak perlu ngomong keras-keras ke dunia soal kesiapan Indonesia menghadapi revolusi industri 4.0 jika masih tertutup terhadap perubahan dan mempertahankan kebijakan napza yang old fashioned alias ketinggalan jaman.

Penulis: Astried Permata

Editor: Ricky Gunawan dan Yohan Misero

[1]Ted Regencia, “Senator: Rodrigo Duterte’s Drug War Has Killed 20.000”,  Feb 2018, Al Jazeera, retrieved from https://www.aljazeera.com/news/2018/02/senator-rodrigo-duterte-drug-war-killed-20000-180221134139202.html

[2]Sean Williams, “These 30 countries Have Legalised Medical Marijuana in Some Capacity”, July 2018, retrieved from https://www.fool.com/investing/2018/07/21/these-30-countries-have-legalized-medical-marijuan.aspx

[3]Dr John Collins, “Why are so many Countries now Saying Cannabis is Ok?”, December 2018, BBC, retrieved from https://www.bbc.com/news/world-46374191

[4]Andre Bourque, “Thailand’s Legalisation of Medical Cannabis Proves One Very Important Thing,” December 2018, The Forbes, retrieved from https://www.forbes.com/sites/andrebourque/2018/12/28/thailands-legalization-of-medical-cannabis-proves-one-very-important-thing/#6faef51814b3

[5]European Monitoring Center for Drugs and Drug Addiction, “Medical Use of Cannabis and Cannabinoids”, December 2018, page 11-15, retrieved from http://www.emcdda.europa.eu/system/files/publications/10171/20185584_TD0618186ENN_PDF.pdf

[6]Yohan Misero, “Sebuah Momen Intropeksi: Pelarangan Semata atau Memberi Kesempatan pada Cinta”, April 2017, retrieved from https://lbhmasyarakat.org/rilis-pers-lbh-masyarakat-sebuah-momen-introspeksi-pelarangan-semata-atau-memberi-kesempatan-pada-cinta/

[7]Tom Angel, “World Health Organisation Recommends Reclassifying Marjiuana Under International Treaties”, February 2019, Forbes, retrieved from https://www.forbes.com/sites/tomangell/2019/02/01/world-health-organization-recommends-rescheduling-marijuana-under-international-treaties/#120417316bcc

[8]Giada Gireli, “The Death Penalty for Drug Offences: Global Overview 2018”, Harm Reduction International, 2018, retrieved from https://www.hri.global/death-penalty-drugs-2018

[9]CND, “Plenary: Item 9. Implementation of the International Drug Control Treaties”, March 2019, retrieved from http://cndblog.org/2019/03/item-9-implementation-of-the-international-drug-control-treaties/

[10]Ibid.

Laporan Tahunan 2018

Tahun 2018, bukanlah tahun yang mudah bagi LBHM dan organisasi masyarakat sipil lainnya yang bergerak di isu HAM. Menjelang piplres 2019, berbagai wacana populisme mulai dimainkan oleh politisi-politisi untuk meraih popularitas dan mencapai elektabilitas. Persekusi menjelma menjadi upaya kriminalisasi. RKUHP jadi momok menakutkan yang siap menargetkan siapa saja.

Namun demikian, LBHM terus bekerja keras melakukan pendampingan, menyusun strategi advokasi, terus meneliti, dan memproduksi narasi. Publikasi ini adalah refleksi kerja-lerja LBHM satu tahun belakang. Kami menemukan tantangan dan meraih beberapa pencaipaian. Semuanya, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah kami.

Untuk membaca lengkap perjalanan kami di 2018, silahkan unduh publikasi laporan tahunan, dengan klik tautan ini.

Rilis Pers – Perkembangan Persidangan Wendra, Penyandang Disabilitas Intelektual

Sehubungan dengan berjalannya persidangan kasus pidana atas nama terdakwa Wendra Purnama, seorang disabilitas intelektual yang didakwa melakukan jual beli narkotika di Pengadilan Negeri Tangerang, LBH Masyarakat (LBHM) selaku kuasa hukum Wendra hendak menyampaikan pokok-pokok persidangan hari Selasa, 1 April 2019 kemarin, dengan agenda pemeriksaan saksi bernama Hau-Hau (yang juga terdakwa di berkas perkara yang terpisah).

Pertama, Hau-Hau menyampaikan bahwa pada waktu kejadian, dia bertemu dengan Ica (DPO) dan diminta Ica mengantar paket ke seseorang yang bernama Leni. Dalam keterangannya, Hau-Hau menjelaskan bahwa dia mengajak Wendra untuk bertemu Leni karena Wendra memiliki sepeda motor yang bisa digunakan. Pada saat yang bersamaan, Wendra ingin mengajak Hau-Hau bermain. Hau-Hau menegaskan bahwa baik dirinya maupun Wendra tidak tahu atau tidak mengenal sosok Leni seperti apa.

Kedua, Majelis Hakim akhirnya mengabulkan permohonan LBHM agar terhadap Wendra dilakukan pemeriksaan kesehatan jiwa secara independen berdasarkan perintah pengadilan. Permohonan tersebut adalah permohonan kedua, setelah sebelumnya permohonan pertama ditolak oleh Majelis Hakim dengan pertimbangan bahwa Wendra tampak baik-baik saja. Hal mana menunjukkan bahwa Majelis Hakim tidak memahami bahwa disabilitas intelektual adalah jenis disabilitas yang tidak terlihat (invincible). Walau datang terlambat, LBHM tetap mengapresiasi keputusan Majelis Hakim yang mengabulkan permohonan pemeriksaan kesehatan jiwa tersebut dan berharap hasil pemeriksaan independen bisa berjalan secara sungguh-sungguh, dan imparsial.

Sebelumnya, berdasarkan hasil pemeriksaan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), wilayah Banten, Wendra diketahui memiliki IQ 55 (IQ standar ada di kisaran 80-90). Hal ini menunjukkan bahwa Wendra memiliki tingkat intelejensi rendah, mengalami keterbatasan fungsi berpikir, dan telah menyandang disabilitas intelektual dalam jangka waktu yang lama. Karena disabilitasnya tersebut, kapasitas Wendra dalam membedakan baik buruk, dan benar salah, termasuk membedakan hak dan kewajiban, sangat terdampak.

Persidangan ditunda dua minggu, untuk dilanjutkan pada hari Senin, 15 April 2019, dengan agenda pemaparan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa independen terhadap Wendra.

 

Jakarta, 2 April 2019

Antonius Badar Karwayu – Pengacara Publik LBHM

Skip to content