Month: June 2019

Rilis Pers – 10 Tahun UU Narkotika: Momentum Revisi Kebijakan Narkotika

Jakarta, 26 Juni 2019 – Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mendorong Pemerintah dan DPR untuk segera merevisi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 2019 ini menandakan 10 tahun sudah UU Narkotika diimplementasi di Indonesia dan banyak dampak buruk yang tercipta.

Pertama, pasal-pasal pemidanaan yang terus digunakan untuk memenjarakan pemakai narkotika haruslah segera dihapus. Desember 2018, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, mengemukakan bahwa lebih dari 50% narapidana di Indonesia adalah kasus narkotika. Dari jumlah tersebut, 41.000 di antaranya diidentifikasi sebagai pengguna narkotika. Jumlah ini mengantarkan Indonesia mencapai overcrowding lembaga pemasyarakatan (lapas) sebesar 203%. Kriminalisasi pemakaian narkotika justru melahirkan persoalan baru, yakni: menambah beban lapas sehingga negara harus mengeluarkan uang ratusan milyar untuk membiayai makan narapidana-narapidana yang melakukan tindak pidana non-violent; menciptakan pasar narkotika di dalam lapas; memperburuk situasi kesehatan di lapas; dan hanya menguntungkan oknum penegak hukum yang korup.

Oleh karena itu, kami mendesak Pemerintah dan DPR agar mendekriminalisasi penggunaan, penguasaan, serta pembelian narkotika dalam jumlah terbatas untuk konsumsi pribadi agar menegaskan komitmen negara dalam meletakkan pemakai narkotika sebagai manusia yang dapat memperoleh dukungan kesehatan dan layanan psikososial.

Kedua, kami juga mendorong Pemerintah dan DPR untuk merevisi Pasal 6 dan Pasal 8 UU Narkotika agar Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk keperluan medis. Masih segar di ingatan kita bahwa pada 2017, Fidelis Ari harus mendekam di penjara karena mengobati istrinya Yeni Riawati, yang kemudian meninggal dunia, dengan ekstrak ganja. Penyediaan pengobatan yang harusnya menjadi tanggung jawab negara malah menjadi sebuah tindak pidana karena regulasi yang tidak mengimani hak asasi manusia. Sebagai perbandingan saja, Thailand dan Korea Selatan sudah mulai menerapkan kebijakan ganja untuk kepentingan medis. Selain itu, sudah banyak studi internasional yang menunjukkan manfaat kesehatan dari narkotika golongan I seperti opium, MDMA, dan psilosibin. Pemerintah Indonesia seharusnya bersikap terbuka dan tidak paranoid terhadap perkembangan ilmu kesehatan dan kebijakan narkotika.

Ketiga, kami juga mendorong agar Pemerintah melakukan moratorium hukuman mati pada kasus narkotika. Tiga gelombang eksekusi yang telah membunuh 18 orang mendapatkan banyak kritik dari dunia internasional. Eksekusi mati juga tidak pernah terbukti menurunkan tingkat pemakaian dan peredaran gelap narkotika. Pemerintah Indonesia hendaknya mengikuti Malaysia yang sudah melakukan moratorium hukuman mati baru-baru ini. Dari sana, kita harapkan Pemerintah akan lebih berkonsentrasi mencari solusi yang memang menyasar masalah bukannya berpaling pada unjuk kekuatan yang tak menyelesaikan apapun seperti hukuman mati.

Seiring dengan seruan perubahan tersebut di atas, LBHM dan kelompok masyarakat lain yang peduli pada perubahan kebijakan narkotika yang lebih humanis menyelenggarakan aksi damai, Selasa kemarin 25 Juni 2019, di Taman Aspirasi (depan Istana Negara). Sayangnya, baru berjalan satu jam, aksi damai tersebut yang rencananya diisi dengan pembacaan puisi dan penyalaan lilin untuk refleksi, dibubarkan paksa oleh polisi dengan alasan ketiadaan izin. Padahal hukum hanya mensyaratkan pemberitahuan kepada polisi – sebuah syarat yang telah kami penuhi dengan mengirimkan pemberitahuan kepada Polda Metro Jaya H-7. Di saat pembubaran dilakukan, Kepolisan juga melakukan penangkapan dan penggeledahan sewenang-wenang pada staf kami dan peserta aksi. Salah seorang oknum Polisi menekan massa aksi dengan mempertanyakan, “Mau jadi apa kalian memperjuangkan narkoba?” Padahal yang kami perjuangkan adalah bagaimana masyarakat bisa hidup lebih baik dengan kebijakan narkotika yang berakal sehat, humanis, dan berbasis bukti ilmiah. Pembubaran terhadap aksi damai ini jelas tindakan represif pada upaya masyarakat yang menyampaikan aspirasi, yang dilindungi oleh Konstitusi – sesuatu yang penting mengingat sudah 10 tahun UU Narkotika memberikan dampak buruk pada masyarakat.

Berubah tak mau, protes pun tak boleh. Mau sampai kapan Undang-Undang dan cara berpikir seperti ini kita pertahankan? Sudah waktunya Indonesia menghentikan kebebalan ini dan terbuka pada perubahan.

 

Ricky Gunawan – Direktur LBHM

The Feasibility of Systematic Research on the Deterrent Effects of the Death Penalty in Indonesia

Deterrence is one of the fundamental justifications for the death penalty across the world. This report assesses the feasibility of conducting systematic empirical research on deterrent effects of the death penalty on drug and other criminal offences in Indonesia. Research on detterence requires complex empirical analyses within contemporary theoritical frameworks using multiple indicators and alternate or competing causal models.This report summarises potential strategies, and assesses the feasibility of adapting them to the unique and complex context of Indonesia. The report suggests a preferred strategy that will produce reliable and detailed estimates of deterent effects.Download this report here.For Bahasa Indonesia version, click here.

Kelayakan Penelitian Sistematis tentang Efek Gentar Hukuman Mati di Indonesia

Efek gentar adalah salah satu justifikasi fundamental bagi hukuman mati di berbagai belahan dunia. Laporan ini mengkaji kelayakan pelaksanaan penelitian empiris sistematik mengenai efek penggentar hukuman mati terhadap tindak pidana narkotika dan tindak pidana lain di Indonesia.

Penelitian tentang efek gentar memerlukan analisis empiris yang kompleks di dalam kerangka teoritis kontemporer menggunakan indikator jamak dan model kausal alternatif atau kompetitif. Laporan ini merangkum strategi potensial dan menilai kelayakan mengadaptasinya terhadap konteks Indonesia yang unik dan kompleks. Laporan ini juga menyarankan suatu strategi pilihan yang akan menghasilkan estimasi efek gentar yang andal dan rinci.

Unduh laporan ini di sini.

Versi Bahasa Inggris dari laporan ini dapat dilihat di sini.

The Feasibility of Conducting Research on Attitudes Towards the Death Penalty in Indonesia: Elite and Public Opinions

The past thirty years has seen a revolution in the discourse on and practice of capital punishment around the world. There has been a movement towards abolition and progressive restriction of the death penalty. International law currently allows for \’limited retention\’ for only the \’most serious\’ crimes. However, this concept has been interpreted differently according to national culture, tradition, and political complexion, particularly across Asia where certain drug offences are considered to be among the most serious crimes.

Unsubstantiated assertions are made about the high number of drug-related deaths to justify the punitive criminal justice responses to the use, sale, and trafficking of drugs. A scoping project in Indonesia carried out by The Death Penalty Project (DPP) and the University of Oxford in January 2019 identified three key assumptions behind Southeast Asia\’s \’war on drugs\’:

  • the public is strongly in favour of capital punishment,
  • only death penalty can deter drug offences,
  • and those who are prosecuted and sentenced to death for drug offences are the most dangerous, powerful, and corrupt persons in the drug trade.

However, there are no empirical data to test these assumptions.

This scoping project aimed at tesing one of the three key assumptions used to justify retention of the death penalty: that both elites and the public are strongly in favour of capital punishment and would not tolerate abolition or progressive restriction of its use. Such a study would close gaps in our knowledge and explicate the challenges for Indonesia – and how to best meet them – on the road to abolition.

Download this scoping project here.

Click here for Bahasa Indonesia version.

Kelayakan Melakukan Penelitian mengenai Sikap terhadap Hukuman Mati di Indonesia: Opini Elite dan Publik

Tiga puluh tahun terakhir muncul sebuah gerakan yang mendorong secara progresif penghapusan dan pembatasan hukuman mati. Hukum internasional saat ini memungkinkan \’retensi terbatas\’ hanya untuk kejahatan \’paling serius\’. Namun konsep ini telah ditafsirkan berbeda sesuai budaya nasional, tradisi, dan corak politik khususnya di banyak negara Asia yang menganggap tindak pidana narkotika sebagai salah satu kejahatan paling serius.

Banyak pernyataan tanpa dasar fakta dibuat tentang tingginya jumlah kematian terkait narkotika untuk membenarkan respons peradilan pidana yang punitif terhadap penggunaan, penjualan, dan peredaran narkotika. The Death Penalty Projecy (DPP) dan University of Oxford, pada Januari 2019, mengidentifikasi tiga asumsi utama di balik \’perang melawan narkoba\’ di Asia Tenggara:

  • masyarakat sangat mendukung hukuman mati bagi pelaku tindak pidana narkotika,
  • hanya hukuman mati yang dapat mencegah tindak pidana narkotika,
  • dan mereka yang dituntut dan dihukum mati dengan tindak pidana narkotika adalah orang-orang yang paling berbahaya, kuat, dan korup dalan peredaran narkotika.

Namun, tidak pernah ada data empiris untuk menguji asums-asumsi tersebut.

Oleh karena itu, kami ingin memulai untuk menguji salah satu dari tiga asumsi utama di  atas yang kerap digunakan untuk mempertahankan eksistensi hukuman mati: bahwa baik elite maupun publik sangat mendukung hukuman mati dan tidak akan menoleransi abplisi atau pembatasan penggunaannya secara progresif. Studi seperti itu akan mengisi kesenjangan pengetahuan dan mengurai tantangan bagi Indonesia untuk menuju abolisi dan mengatasi tantangan yang ada.

Silakan cek laporan proyek pelingkupan ini di sini.

Untuk laporan yang sama dalam Bahasa Inggris silakan klik di sini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2019: Ketidakadilan HIV, Krisis yang Belum Usai

Maraknya kesalahpahaman mengenai Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang berkembang di masyarakat melahirkan stigma terhadap HIV dan Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA). Stigma yang diberikan masyarakat ini berdampak buruk pada ODHA, mengingat pelabelan cap buruk umumnya disertai dengan tindakan diskriminatif. Salah satu stigma yang disematkan masyarakat terhadap HIV, yakni dianggap menjadi faktor penghambat pembangunan dan penyebab kesejahteraan menurun.

Pelekatan stigma dan perlakuan diskriminasi yang dilakukan masyarakat terhadap ODHA tersebut mengakibatkan ODHA tidak dapat menikmati hak asasi manusianya secara penuh. Pelanggaran hak atas privasi berupa pemeriksaan HIV tanpa persetujuan pasien menempati posisi teratas dalam pelanggaran hak-hak ODHA. Sulitnya mengakses layanan kesehatan juga menjadi bukti yang kuat ada cedera dalam pemenuhan hak-hak ODHA.

Salah satu contoh diskriminasi pada tahun 2018 terjadi di Provinsi Papua. Para calon atlet yang akan mengikuti kompetisi Pekan Olahraga Nasional 2020 wajib mengikuti serangkaian tes kesehatan yang salah satu indikatornya terbebas dari virus HIV. Hasilnya beberapa calon atlet batal mengikuti kompetisi karena dinyatakan terinfeksi virus HIV. Bentuk diskriminasi lain yang masih sering terjadi adalah penolakan masyarakat untuk memulasara jenazah ODHA. Kesalahpahaman terhadap cara penularan HIV ini membuat masyarakat enggan untuk membantu pemrosesan perawatan jenazah ODHA.

Dilihat dari fakta-fakta ini, pemanusiaan ODHA masih harus menempuh perjalanan panjang. Posisi ODHA sebagai bagian dari kelompok rentan membuatnya sulit untuk menuntut hak-haknya. Terlebih lagi dalam situasi ini pemerintah juga menjadi pelaku diskriminasi ODHA melalui produk hukum. Contohnya seperti yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro yang mewajibkan calon pengantin melakukan tes HIV melalui Perda Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penanggulangan HIV/AIDS.

Kamu dapat mengunduh laporan ini dengan mengunjungi tautan berikut.

Program LIGHTS (Living the Human Rights) 2019

Living the Human Rights (LIGHTS) adalah program pengenalan Hak Asasi Manusia (HAM) secara intensif bagi mahasiswa/i lintas fakultas yang diselenggarakan LBHM. Di LIGHTS perserta  berkesempatan belajar memahami kompleksitas HAM  dan tantangan-tantangan terhadapnya seperti  diskriminasi terhadap orang dengan disabilitas mental, stigma terhadap orang dengan HIV/AIDS, persekusi kelompok minoritas seksual, kriminalisasi pengguna narkotika, ketidakadilan yang dialami terpidana mati, dan lain sebagainya.

Lights akan diselenggarakan di Jakarta, 29 Juli – 9 Agustus 2019.

Bagi calon peserta yang berkuliah dan berdomisili di luar pulau jawa, terdapat beasiswa secara penuh yang meliputi:

  1. Tiket pesawat pulang dan pergi
  2. Akomodasi
  3. Uang saku selama kegiatan LIGHTS berlangsung

Adapun persyaratan bagi calon peserta sebagai berikut:

  1. Mahasiswa Aktif pada Universitas Swasta maupun Negeri
  2. Pendaftaran dibuka untuk semua fakultas
  3. Menyerahkan esai tentang “Minoritas Dalam Terpaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia” (650-800 kata)
  4. Bagi pelamar beasiswa, juga harus menyerahkan esai tentang “Bagaimana Anda Berkontribusi Membantu Kaum Minoritas Setelah Berpartisipasi pada LIGHTS 2019?” (300-500 kataa)
  5. Mengisi formulir pendaftaran yang diunduh pada tautan berikut.

Kirim formulir dan persyaratan ke hikhtiar@lbhmasyarakat.org sebelum Minggu, 30 Juni 2019 pukul 23.59 WIB.

Informasi lebih lanjut, silahkan hubungi Hisyam di 085780492233.

 

Skip to content