Month: September 2019

Dibutuhkan: Relawan Perpustakaan HIV LBHM

Berdiri hampir 12 tahun yang lalu, LBH Masyarakat adalah organisasi bantuan hukum yang memberikan bantuan hukum gratis dan berkualitas bagi masyarakat yang miskin dan terpinggirkan. Selain bantuan hukum, kami juga melakukan upaya advokasi kebijakan, penelitian, dan kampanye terkait isu-isu yang menjadi fokus kerja kami. Permasalahan-permasalahan yang menjadi perhatian kami dalam bekerja antara lain ialah: hukuman mati, narkotika, kesehatan jiwa, LGBTIQ, serta HIV.

Untuk persoalan HIV, kami menyadari bahwa masih tingginya stigma dan diskriminasi di tengah masyarakat terhadap teman-teman ODHA (orang yang hidup dengan HIV/AIDS), keluarganya, orang-orang dengan prilaku berisiko, serta mereka yang bekerja di isu ini.

Dalam pengentasan stigma dan diskriminasi itulah, kami menyadari pentingnya memunculkan narasi-narasi alternatif mengenai HIV, baik dalam bentuk kampanye, tulisan opini, reportase, dan penelitian. Dalam kerangka berpikir itu, kami di LBH Masyarakat kemudian memutuskan untuk meluncurkan Kolektiva, sebuah wadah pengetahuan yang berisi literatur yang berkaitan dengan persoalan HIV dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia (HAM).

Kolektiva, yang merupakan akronim dari “Koleksi Pustaka HIV dan Hak Asasi Manusia”, bertujuan untuk memudahkan audiens Indonesia – baik pelajar, pengajar, wartawan, analis, peneliti, rekan-rekan LSM, dan pemerintah – untuk mencari sumber pengetahuan atau referensi dalam bentuk literatur dan berbagai dokumen lain yang memuat informasi dan analisis persoalan HIV dan kaitannya dengan HAM.

Mengapa HAM? Karena kami di LBH Masyarakat percaya bahwa perlindungan HAM adalah elemen yang esensial untuk menjaga martabat manusia dalam konteks pencegahan dan penanggulangan HIV, dan upaya untuk memastikan bahwa respons negara terhadap persoalan HIV akan senantiasa efektif, berbasis bukti, dan berdasarkan HAM.

Kamu dapat berkontribusi dalam maksud baik ini dengan menjadi relawan yang bertugas untuk mengumpulkan, membuat ringkasan, serta memasukkan data dari literatur dan dokumen yang penting untuk dimasukkan ke dalam basis data Kolektiva. Selain itu, kamu juga akan dapat menyaksikan dari dekat, dan bila secara waktu memungkinkan juga terlibat, dengan kerja-kerja LBH Masyarakat.

LBH Masyarakat memiliki komitmen agar setiap relawan tidak hanya bekerja tapi juga belajar isu HAM terkini dan berkontribusi menyumbangkan idenya dalam kerja organisasi. Buat kamu yang ingin memiliki pengalaman bekerja dalam bidang bantuan hukum, advokasi, dan penelitian ini adalah kesempatan yang amat sayang untuk dilewatkan.

Dengan mengambil kesempatan ini, kamu dapat mengetahui lebih dalam tentang HIV dan permasalahan-permasalahan HAM di sekitarnya. Kamu juga dapat belajar mengenai cara kerja lembaga HAM, bidang yang mungkin kamu bayangkan untuk karir kamu ke depan.

Kami membutuhkan 1 (satu) relawan dengan kriteria sebagai berikut:

  • Tertarik pada isu HIV dan HAM;
  • Internet-Savvy;
  • Fluent in English;
  • Dapat menggunakan MS Word dan MS Excel;
  • Memiliki laptop;
  • Memiliki motivasi tinggi;
  • Terbuka bagi Mahasiswi/Mahasiswa, minimal semester 4 untuk semua jurusan (lebih disukai jurusan Komunikasi);
  • Berkomitmen untuk bekerja selama, setidak-tidaknya, 300 jam dalam masa relawannya;
  • Berdomisili di Jabodetabek karena harus datang ke kantor LBH Masyarakat dari waktu ke waktu.

Apabila kamu tertarik  silahkan mengirimkan:

  1. Curriculum Vitae (CV) terbaru (tidak lebih dari 2 halaman).
  2. Motivation Letter (400-500 kata) yang berisikan poin-poin berikut:
  • Mengapa kamu tertarik untuk menjadi relawan di LBH Masyarakat (LBHM).
  • Bagaimana menurut pendapatmu seputar HIV dan kaitannya dengan HAM.

Tulis CV dan Motivation Letter kamu dengan huruf Times New Roman, ukuran huruf 11 dengan spasi 1.

– Pendaftaran diperpanjang sampai 4 Oktober 2019. Silahkan kirim dalam format pdf ke email npuspitasari@lbhmasyarakat.org , paling lambat pukul 23.59 WIB.

Rilis Pers – Tarik Pidana Mati Dalam RKUHP!

LBH Masyarakat (LBHM) menyayangkan masih dicantumkannya pidana mati di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), versi 28 Agustus 2019. LBHM menolak hukuman mati untuk segala tindak pidana, dalam segala situasi, dengan alasan, antara lain:

  1. UUD 1945 telah memberikan jaminan perlindungan hak untuk hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28A jo. Pasal 28I).
  2. Sistem peradilan Indonesia (dan di manapun juga) adalah buatan manusia dan oleh karena itu akan selalu rentan kesalahan. Sistem seperti ini tidak boleh memiliki otoritas untuk menghukum pelaku kejahatan sampai mencabut nyawanya, mengingat hukuman mati tidak dapat ditarik kembali (irreversible).
  3. Hukuman mati tidak pernah terbukti memberikan efek jera atau efek gentar.
  4. Praktik hukuman mati di Indonesia justru bertolak belakang dengan upaya Pemerintah Indonesia yang menyelamatkan warga negara Indonesia terancam hukuman mati/eksekusi di luar negeri.

 

Pasal 98

Pidana mati dijatuhkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat.

Pasal 1

Pasal 99

(1)      Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.

(2)      Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum.

(3)      Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan dalam Undang-Undang.

(4)      Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil, wanita yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan, wanita tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.

Pasal 2

Pasal 100

(1)      Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika:

a.         terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;

b.         peran terdakwa dalam Tindak Pidana tidak terlalu penting; atau

c.          ada alasan yang meringankan.

(2)      Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.

(3)      Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

(4)      Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.

(5)      Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

 

Pasal 101

Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

Pasal 3

Pasal 102

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dengan Undang-Undang.

 

 

Catatan LBHM terkait ketentuan pidana mati di dalam RKUHP:

1. Konsep pidana mati “yang dijatuhkan secara alternatif” dan “sebagai upaya terakhir untuk […] mengayomi masyarakat” (dalam Pasal 98), serta “ada harapan untuk diperbaiki” (dalam Pasal 100) tidak memiliki definisi dan cakupan yang jelas.

2. Perlu penegasan bahwa pidana mati tidak dapat diberlakukan kepada anak, orang dengan disabilitas psikososial, maupun orang yang sudah lanjut usia (di atas 60 tahun).

3. Pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati seharusnya merupakan hak setiap orang yang divonis mati dan berlaku otomatis, dan tidak boleh bergantung pada dicantumkan atau tidak di dalam putusan pengadilan (Pasal 100 ayat (1)). Apabila syarat tersebut digantungkan pada putusan pengadilan, hal itu berisiko karena bersandar pada subjektivitas hakim yang memeriksa dan memutus perkara. Kewenangan seperti ini rentan membuka praktik korupsi dalam peradilan.

4. Frasa “menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji” (Pasal 100 ayat (4)) juga tidak jelas. Apa itu sikap dan perbuatan terpuji, bagaimana sikap dan perbuatan itu dinilai, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menilai konsistensi sikap terpuji itu masih menjadi persoalan.

5. Pertimbangan komutasi pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dalam Pasal 100 ayat (4) seharusnya berada pada Kementerian Hukum dan HAM/Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, sebab institusi inilah yang melakukan rehabilitasi terhadap terpidana –bukan pada Mahkamah Agung (MA).

6. Frasa “tidak ada harapan untuk diperbaiki” (Pasal 100 ayat (5)) justru bertentangan dengan semangat dan fungsi rehabilitasi yang melekat pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan di Kementerian Hukum dan HAM.

7. Untuk menjamin asas kepastian hukum, seharusnya kata “dapat” dalam Pasal 101 dihapus. Dengan demikian, jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati itu tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun sejak grasi ditolak, pidana mati yang bersangkutan harus secara otomatis berubah menjadi pidana seumur hidup.

 

Penulis: Yosua Octavian.

Editor: Ricky Gunawan.

Rilis Pers – RKUHP Melanggar Hak Atas Privasi

Sekalipun terdapat beberapa perbaikan, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) versi 28 Agustus 2019 masih menyisakan sejumlah persoalan. Permasalahan yang pertama adalah kriminalisasi perzinaan yang juga mencakup hubungan seks di luar pernikahan (Pasal 417 ayat (1)); dan yang kedua adalah kriminalisasi terhadap tindakan hidup bersama suami istri di luar pernikahan atau kohabitasi (Pasal 419 ayat (1)).

RKUHP, 28 Agustus 2019

Pasal 417

(1)   Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II.

Pasal 419

(1)   Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.

Pasal 79, ayat (1) huruf b:
Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: kategori II sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

 

 

PRIVASI

Kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi patut ditolak karena melanggar hak atas privasi. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 17 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah Indonesia ratifikasi melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, menyediakan jaminan hukum akan perlindungan hak atas privasi tersebut.

Pasal 28G ayat (1) UUD 1945

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Pasal 17 ICCPR

(1) Tidak boleh seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat menyuratnya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.

(2) Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan seperti tersebut di atas.

 

 

Privasi di sini tidak serta merta merujuk kepada ruang fisik semata, tetapi juga area privat individu yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan relasi manusianya tanpa intervensi dari pihak luar (termasuk negara). Privasi memastikan manusia dapat menjalani hidup secara lebih bermartabat dengan menjaganya dari intrusi yang tidak diinginkan, serta mengakui adanya otonomi individual untuk mengambil keputusan yang berpengaruh bagi diri dan hidupnya. Kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi – ketika dilakukan oleh orang dewasa secara konsensual, tanpa paksaan dan kekerasan – adalah bentuk serangan langsung terhadap privasi. Manusia dewasa memiliki hak untuk memilih bagaimana mereka menjalani relasi manusia di dalam lingkup pribadi dan mempertahankan martabatnya sebagai manusia bebas.

 

HIV

Kriminalisasi perzinaan dalam RKUHP ini juga kontraproduktif terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS dan infeksi menular seksual (IMS) di Indonesia, dan sekali lagi menunjukkan bahwa kebijakan politik hukum dan kesehatan Indonesia belum sepenuhnya berbasis bukti.

Perluasan kriminalisasi perzinaan seolah-olah berangkat dari asumsi bahwa dengan adanya kriminalisasi ini dapat mencegah praktik hubungan seks di luar pernikahan, yang pada akhirnya akan menghentikan laju transmisi HIV ataupun IMS. Padahal, dengan KUHP yang sekarang berlaku saja – yang sudah mengkriminalisasi persetubuhan antara laki-laki dan perempuan di luar perkawinan, dengan salah satu pihaknya terikat dalam hubungan perkawinan – berada di dalam ikatan perkawinan tidaklah menjamin bahwa perilaku berisiko tidak terjadi. Sebab, saat ini transmisi HIV paling tinggi justru terdapat pada populasi orang yang terestimasi sudah menikah.

Sebagai tambahan, kriminalisasi terhadap persetubuhan di luar pernikahan ini juga berarti berlaku terhadap hubungan seksual dengan pekerja seks. Kriminalisasi terhadap pekerja seks (dan pelanggannya) justru menghambat respons HIV. Sebab, pekerja seks adalah salah satu kelompok populasi kunci yang dijangkau di dalam program HIV. Mengkriminalisasi pekerja seks akan mendorong mereka semakin tersembunyi dan menyulitkan penjangkauan layanan HIV dan IMS terhadap pekerja seks dan pelanggannya.

Rekomendasi

Pemerintah dan DPR perlu menghapus Pasal 417 dan 419 RKUHP. Alih-alih mengkriminalisasi, pemerintah seharusnya dengan lebih giat mengupayakan akses dan informasi yang seluas-luasnya terhadap HIV dan layanannya, serta mengadakan program untuk melawan stigma dan diskriminasi HIV.

 

Penulis: Ajeng Larasati.

Editor: Ricky Gunawan.

Rilis Pers – Pasal Narkotika Harus Ditarik Dari RKUHP

LBH Masyarakat (LBHM) menolak masuknya tindak pidana narkotika ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Tindak pidana narkotika dalam RKUHP versi 28 Agustus 2019 diatur di Pasal 611 – 616. Betul bahwa pasal-pasal ini tidak mengkriminalisasi pemakaian narkotika untuk diri pribadi. Tetapi, masih terdapat pasal-pasal yang sering dikenakan kepada pemakai narkotika.

 

Pasal 611

(1)      Setiap Orang yang tanpa hak menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI.

(2)      Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman yang beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori VI dan paling banyak Kategori VII.

 

Pasal 612

(1)        Setiap Orang yang tanpa hak memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan:

a.   Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI;

b.   Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI; dan

c.   Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI.

(2)        Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:

a.   Narkotika Golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori V dan paling banyak Kategori VI;

b.   Narkotika Golongan II yang beratnya melebihi 5 (lima) gram dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori V dan paling banyak Kategori VI; dan

c.   Narkotika Golongan III yang beratnya melebihi 5 (lima) gram dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori V dan paling banyak Kategori VI.

 

 

Mengapa rumusan tindak pidana narkotika di dalam RKUHP harus ditolak?

1. Paling mendasar, persoalan narkotika seharusnya ditempatkan sebagai persoalan kesehatan. Menyandarkan penyelesaian masalah narkotika kepada pendekatan hukum pidana semata bukan hanya tidak efektif, tetapi juga salah arah. Keberadaan tindak pidana narkotika di dalam RKUHP melanggengkan pendekatan punitif dalam mengatasi problem narkotika dan membatasi pendekatan yang seharusnya multi-disiplin dan lintas pemangku kepentingan.

2. Seorang pemakai narkotika tidak mungkin tidak memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika. Oleh karena itu, sekalipun RKUHP tidak mengklasifikasikan perbuatan memakai narkotika sebagai tindak pidana, fakta bahwa tindakan memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika (Pasal 611-612) masih dirumuskan sebagai tindak pidana menunjukkan bahwa pemakai narkotika masih berada di bawah bayang-bayang ancaman pidana (penjara). Hal ini menyebabkan pemakai narkotika tidak akan mau mengakses layanan pemulihan ketergantungan narkotika secara terbuka.

3. Keberadaan rehabilitasi di dalam RKUHP sebagai tindakan yang dikenakan terhadap pemakai narkotika yang masih bisa dibarengi dengan pidana pokok (seperti penjara) memperlihatkan bahwa kebijakan narkotika Indonesia masih memandang pemakai sebagai kriminal.

4. Seluruh rumusan tindak pidana narkotika dalam RKUHP (sama seperti UU Narkotika) tidak memuat unsur kesalahan. Ketiadaan unsur kesalahan ini mempermudah pembuktian, yang akhirnya mempermudah pemenjaraan. Konsekuensinya adalah overcrowding lembaga pemasyarakatan akan semakin memburuk karena penuh dengan pemakai narkotika. Hal ini justru melahirkan persoalan baru lainnya seperti, menciptakan pasar gelap di dalam penjara, semakin buruknya sanitasi dalam penjara, potensi transisi HIV yang meninggi, dan lain sebagainya.

 

Penulis: Dominggus Christian.

editor: Ricky Gunawan.

 

Laporan Pelanggaran HAM — Yang Terabaikan: Potret Situasi Perempuan Yang Dipenjara Akibat Tindak Pidana Narkotika

Saat ini, advokasi kebijakan narkotika tidak bisa dilepaskan dari isu hak asasi manusia. Pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia, seperti misalnya penghapusan penyiksaan bagi tersangka kasus narkotika, dan pemenuhan hak atas kesehatan di dalam Rumah Tahanan (Rutan) maupun Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), melatari diskursus advokasi kebijakan narkotika.

Isu advokasi kebijakan narkotika masih dianggap sebagai isu yang maskulin. Tidak banyak terjadi diskursus secara mendetil mengenai bagaimana perempuan terdampak penggunaan maupun terlibat dalam peredaran narkotika. Ataupun bagaimana harusnya sebuah kebijakan nasional merespon kebutuhan spesifik atau khusus perempuan juga belum banyak dibicarakan. Dalam hal akses terhadap kesehatan bagi pengguna narkotika pun kerentanan perempuan kerap kali tidak terangkat, dan oleh karenanya sangat sulit untuk dapat diatasi.

Di sisi lain, dalam diskursus-diskursus yang terjadi di kalangan pejuang perempuan, isu perempuan pengguna narkotika, atau yang terlibat dalam peredaran narkotika seringkali luput menjadi perhatian. Pun dalam advokasi reformasi lapas yang dilakukan oleh kelompok aktivis HAM, isu pemenuhan hak perempuan dalam tahanan juga minim pembahasannya.

Absennya pembahasan mengenai kondisi dan kerentanan perempuan yang dipenjara akibat tindak pidana narkotika, baik di kalangan aktivis kebijakan narkotika, perempuan, maupun aktivis yang bergerak dalam isu pemenjaraan, mendorong Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) untuk melakukan penelitian awal guna memetakan situasi perempuan yang dipenjara akibat tindak pidana narkotika. Penelitian ini menjadi sangat penting mengingat jumlah perempuan yang dipenjara akibat tindak pidana narkotika semakin meningkat setiap tahunnya. Ditambah lagi, tren menjadikan perempuan sebagai kurir narkotika (drug mules) juga semakin tinggi, yang mana hal ini terlihat dari banyaknya kasus-kasus perempuan yang ditangkap karena perannya sebagai drug mules.

Akhir kata, kami berharap penelitian ini dapat mengisi kekosongan diskursus, sekaligus mengawal advokasi seputar isu perempuan yang dipenjara akibat tindak pidana narkotika. Kami percaya bahwa kebijakan narkotika yang berperspektif gender bukan hanya menguntungkan perempuan saja, tetapi juga semua pihak. Dukung! Jangan Hukum!

Untuk membaca laporan detailnya, silahkan untuk mengunduhnya di sini.

Skip to content