Month: February 2020

Seri Monitoring dan Dokumentasi 2019: Tembak Mati Di Tempat – Membunuh Negara Hukum Indonesia

Praktik Tembak Mati di Tempat dalam kasus narkotika di tahun 2017 menjadi diskursus yang hangat dibicarakan di dalam ruang publik. Di tahun berikutnya isu ini mulai surut dalam gegap gempita menjelang kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden periode 2019-2024. Sekalipun isu ini surut di tahun 2018, Namun, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) tetap konsisten melakukan pemantauan dan dokumentasi media dalam jaringan (daring) terkait praktek tembak di tempat terhadap seseorang yang diduga melakukan peredaran gelap narkotika. Berdasarkan pemantauan media daring yang LBHM lakukan, pada tahun 2018 terdapat penurunan jumlah kasus tembak di tempat yaitu sebanyak 159 kasus, dengan jumlah korban total 199 orang.

Tindakan sewenang-wenang ini telah mencoreng Indonesia sebagai negara hukum, Penegasan Indonesia sebagai negara hukum tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) yang dirumuskan pada Pasal 1 ayat 3 yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam konteks kehidupan bernegara, gagasan negara hukum menekankan pada prinsip supremasi hukum atas orang, dan bahwa pemerintah terikat oleh hukum.

Berangkat dari situ LBHM menilai jika praktek ini menciderai hukum di Indonesia yang memegang teguh prinsip ‘asas praduga tak bersalah’, sebagaimana kami sampaikan dalam laporan terdahulu. Mereka yang mendapatkan penghukuman harus melewati proses peradilan pidana. Sayangnya, korban tembak di tempat yang meninggal tidak pernah menjalani proses tersebut.

Untuk melihat laporan lengkapnya silahkan unduh di sini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2019: Disabilitas Psikososial dalam Sengkarut Hukum HAM

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa (UU Keswa) telah dibuat, perbuat stigma dan diskriminasi masih kerap kali terjadi terhadap Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODP). Selain stigma dan diskriminasi, ODP kerap mengalami tindakan kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Setidaknya ada 18.000 orang yang dipasung karena penyakitnya dianggap sebagai kutukan atau kerasukan, padahal pemerintah sudah melarang pemasungan 1977.

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dikombinasi dengan data rutin dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) menunjukkan gejala depresi dan kecemasan sudah diidap orang Indonesia sejak usia 15 tahun. Presentasinya pun cukup banyak, untuk penderita depresi saja ada sekitar 14 juta orang, sedang prevalansi gangguan psikososial berat, seperti skizophrenia ada sekitar 400 ribu orang. Jumlah yang tinggi ini tidak dibarengi dengan layanan fasilitas yang mencukupi dan memadai.

Menurut data Kementrian Kesehatan (Kemenkes), Indonesia baru memiliki 48 rumah sakit jiwa, 50%-nya berlokasi di 4 (Empat) provinsi. Data lainnya, menunjukkan hanya 30% dari 9.000 puskemas di seluruh Indonesia yang memiliki program layanan kesehatan jiwa. Selain itu, hanya ada 249 (dua ratus empat puluh sembilan) dari total 445 (empat ratus empat puluh lima) rumah sakit umum di Indonesia yang bisa melayani segala macam perawatan kesehatan jiwa. Ditambah ada delapan provinsi di Indonesia yang belum melayani pasien gangguan psikososial.

Fasilitias dan pelayanan kesehatan yang langka pun memicu terjadinya pelanggaran hak-hak dasar para penyadang disabilitas psikososial. Misalnya, menempatkan pasien perempuan dan laki-laki di bangsal yang berdekatan dan ini berpotensi menimbulkan pelecehan, selain itu juga penyuntikkan alat kontrasepsi tanpa adanya persetujuan klien, dan juga tindak kekerasan yang dilakuka di lembaga pelayanan kesehatan jiwa yakni dengan melakuka pembatasan fisik (pemasungan).

Hak atas kebebasan semestinya diperoleh oleh setiap orang tanpa terkecuali, baik itu kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi, maupun kesehatan. Hal ini diatur dalam instrumen perlindungan Hak Asasi Manusia dan tersebar dalam beberapa Pasal. Misalnya, Pasal 28 G ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), serta Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Instrumen yang signifikan tentang Hak ODP terdapat dalam Pasal 42 UU HAM.

LBH Masyarakat (LBHM) mengeluarkan laporan Monitoring dan Dokumentasi (Mondok) untuk memperkaya pemahaman dan pengayaan terkait isu Kesehatan Jiwa, agar dapat bermanfaat untuk merumuskan kebijakan yang tepat sasaran, efektif dan berpijak padan norma-norma HAM.

Untuk melihat laporan penuh silahkan unduh di sini

Skip to content