Month: June 2020

Reorientasi Kebijakan Narkotika di Indonesia: Jalan Setapak Menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Indonesia menunjukkan komitmen besar untuk mencapai Sustainable Development Goals sebelum 2030. Tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2015 ini melingkupi berbagai area, termasuk ekonomi, kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, lingkungan, keadilan dan perdamaian. Dengan moto ‘tidak meninggalkan seorang pun’, pemerintah Indonesia mencoba untuk mengarusutamakan tujuan-tujuan SDGs ke dalam kebijakan dan program yang dijalankan oleh kementerian-kementerian terkait.

Namun, upaya untuk mencapai SDGs berjalan paralel dengan kebijakan keras Indonesia terhadap narkotika yang tampak jelas dalam jargon ‘perang terhadap narkotika’. Didukung oleh akademisi, banyak organisasi komunitas pengguna narkotika dan kelompok hak asasi manusia yang menunjukkan bagaimana pendekatan punitif yang Indonesia terapkan sebetulnya menimbulkan lebih banyak ketidakadilan mengingat bagaimana kebijakan-kebijakan itu mengabaikan aspek kesehatan dan menimbulkan diskriminasi. Konsekuensi-konsekuensi yang muncul sengaja ataupun tidak sengaja dari kebijakan narkotika Indonesia bersifat kontraproduktif terhadap tujuan SDGs yang Indonesia berusaha sangat keras untuk mencapainya.

Reprieve dan LBHM, dengan bantuan dari Kedutaan Swiss di Indonesia, mencoba untuk menelisik lebih dalam ke persinggungan antara kebijakan narkotika dan SDGs. Pada hari ini, 26 Juni, yang bertepatan dengan Hari Anti Narkotika Internasional, kami meluncurkan sebuah laporan berjudul “Reorientasi Kebijakan Narkotika di Indonesia: Jalan Setapak Menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan”. Laporan ini bertujuan untuk membuka lebih banyak dialog tentang kebijakan narkotika yang berdasar bukan dari ketakutan buta melainkan dari bukti-bukti penelitian.

Untuk mengakses dokumen ini, silakan klik link ini.

Reorienting Drug Policy in Indonesia: Pathways to the Sustainable Development Goals

Indonesia demonstrates a big commitment to achieve Sustainable Development Goals by 2030. The goals that are set by the United Nations in 2015 cover numerous areas, including economics, health, education, gender equality, environment, justice and peace. With the motto of ‘leaving no one behind’, the Indonesian government tries to mainstream the goals in its policies and programs across multiple ministerial bodies.

However, the efforts of achieving SDGs walk in parallel with Indonesia’s tough stance on drugs that is obvious in the jargon of ‘the war on drugs’. Supported by academics, many organizations of people who use drugs and human rights groups show how the punitive method as what Indonesia is still applying creates more injustice as it undermines the health aspects and fuel discrimination. The intended and unintended consequences of Indonesian drug policy are counter-productive to the SDGs goal Indonesia so keenly set.

Reprieve and LBHM, with the support of the Embassy of Switzerland in Indonesia, tried to delve further into the intersection between the drug policy and SDGs. Today, 26th June, as the world celebrates the World Drug Day, we publish a report titled “Reorienting Drug Policy in Indonesia: Pathways to the Sustainable Development Goals”. The report aims to open more dialogues about the drug policy that are derived not from blind fears but rather from research-based evidence.

To access the document, please click this link.

Job Vacancy – Dibutuhkan Tim Konsultan Pembuatan ToC

LBHM membutuhkan satu tim konsultan yang terdiri dari dua orang ahli untuk membantu mengembangkan kerangka Theory of Change Strategi Advokasi HIV dan HAM. Tim konsultan yang terpilih akan bertanggung jawab, di antaranya, untuk melakukan wawancara, FGD, dan konsultasi dengan organisasi-organisasi komunitas, pihak pemerintah, koalisi masyarakat sipil yang bergerak di isu HIV di seluruh Indonesia.

Tim konsultan akan bekerja selama dua puluh lima (25) hari sepanjang bulan Juli sampai September 2020.

Silahkan kirim aplikasi Anda ke Albert Wirya, Koordinator Riset dan Program LBHM, di alamat email: awirya@lbhmasyarakat.org paling lambat Minggu, 5 Juli 2020, jam 18:00 waktu Jakarta (GMT +7). Informasi lebih detil silahkan lihat di sini

Amicus Curae (Sahabat Pengadilan) – Perkara Ganja Medis (Kasus Reyndhart Rossy N. Siahaan)

Reyndhart Rossy N. Siahaan, bukanlah orang pertama yang mengalami kriminalisasi karena memanfaatkan narkotika (ganja) untuk kebutuhan medis. Kita ingat di tahun 2017 ada Fidelis Arie yang juga dikriminalisasi karena memanfaatkan tanaman ganja untuk keperluan medis bagi sang istri, ia di vonis penjara selama satu tahun.

Reyndhart Rossy N. Siahaan atau Reyndhart Rossy (37 tahun) sejak 2015 berdasarkan hasil CT Scan Nomor Registrasi RJ1508100084 dari RS OMNI, menderita penyakit kelainan saraf yang membuat
badannya sering mengalami kesakitan, sampai 2019 penyakit juga masih dirasakan. Ia terpaksa mengakses ganja untuk pengobatan berbekal dari informasi bahwa ganja dapat meredakan sakit.
Reyndhart Rossy ditangkap pada 17 November 2019. Saat ini Reyndhart Rossy masih menunggu putusan dari Hakim.

Sebagai pihak yang berkepentingan terhadap upaya pembaruan hukum, khususnya pembaruan hukum tentang kebijakan narkotika dan penghormatan hak asasi manusia utamanya hak atas pelayanan kesehatan, maka dengan ini, Kami—ICJR, IJRS, LBH Masyrakat dan LeIP berharap hakim pada perkara ini di Pengadilan Negeri Kupang dapat menghadirkan keadilan bagi Reyndhart Rossy yang mederita sakit, mencari pengobatan, namun tak kunjung memperoleh pengobatan yang menghilangkan kesakitannya.

Simak Amicus Curae terkait ganja medis dalam kasus Reindhart Rossy di sini

Rilis Pers – Bebaskan Reyndhart Siahaan di Kasus Ganja Medis

Kembali lagi terjadi kasus hukum akibat menggunakan narkotika jenis tanamanan (ganja) untuk kebutuhan Medis. Setelah kasus ganja medis yang sempat populer yakni kasus Fidelis Arie di tahun 2017 karena menggunakan ganja untuk mengobati istirinya yang mengidap Syringomyelia. Kini kasus hukum terkait ganja medis, menimpa Reynhardt Siahaan yang didakwa atas penggunaan ganja yang kini menunggu vonis dari Pengadilan Negeri (PN) Kupang. Seperti diberitakan di berbagai media, Reynhardt mengalami gangguan saraf terjepit di 2015. Di 2018, penyakit tersebut kembali kambuh. Kemudian dia menggunakan ganja untuk meredakan rasa sakitnya. Kini Renyhardt harus menghadapi proses hukum.

Walaupun dalam UU Narkotika kita melarang penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan (Pasal 8 ayat 1), namun perlu diingat bahwa original intent dari UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) justru bertujuan untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk pelayanan kesehatan, sebagaimana tertulis dalam tujuan dari UU Narkotika pada Pasal 4 huruf a UU Narkotika.

Sebagaimana kita tahu jika UU Narkotika Indonesia masih kerap mengkriminalisasi penggunaan narkotika. Dalam kasus yang menimpa Fidelis, dan kini dialami Reynhart, sudah seharusnya pemerintah serta Majelis Hakim (dalam kasus Reynhart) mengedepankan prinsip hak atas kesehatan danmengutamakan asas keadilan dan kemanfaatan hukum.

Rilis lengkap dapat teman-teman lihat di tautan ini

Crisis Response Mechanism (CRM) Coalition – Job Vacancy: Program Manager & Finance Manager

Koalisi CRM (Crisis Response Mechanism) yang terdiri dari LBH Masyarakat (LBHM), Arus Pelangi (AP), Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA), Sanggar Waria Remaja (SWARA) dan United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS), membuka kesempatan kepada siapa saja yang berminat untuk membantu kerja-kerja advokasi kami dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan keadilan sosial bagi hak-hak kelompok identitas seksual, gender, dan karakteristik seks yang dimarjinalkan di Indonesia.

Posisi yang dibutuhkan:

  • Program Manager:

a. Diutamakan individu yang merupakan bagian dari komunitas seksual, gender, dan karakter seksual yang termarjinalkan;
b.  Pernah bekerja di isu dan/atau organisasi yang mendorong hak-hak kelompok seksual, gender, dan karakter seksual yang termarjinalkan;
c.   Memiliki pengalaman dalam merancang, mengelola dan mengevaluasi program, setidak-tidaknya 3-5 tahun;
d. Memiliki perspektif yang progresif terhadap pemajuan HAM, SOGIESC, dan feminisme;
e. Menguasai aplikasi Microsoft Office (excel, word, dan powerpoint);
f. Mempunyai kemampuan berkomunikasi dan presentasi yang baik;
g. Memiliki kemampuan berbicara dan menulis dalam Bahasa Inggris yang memadai.

  • Finance Manager:

a.    Diutamakan individu yang merupakan bagian dari komunitas seksual, gender, dan karakter seksual yang termarjinalkan;
b.    Memiliki perspektif yang progresif terhadap pemajuan HAM, SOGIESC, dan feminisme;
c. Memiliki pengalaman mengelola keuangan program di sektor pembangunan dan nonprofit selama 3-5 tahun;
d.    Berpengalaman dalam menjalankan audit keuangan lembaga dan proyek, serta pelaporan pajak;
e. Menguasai aplikasi Microsoft Office (excel, word, dan powerpoint);
f.    Memahami dan berpengalaman di dalam melaksanakan sistem perpajakan di Indonesia;
g. Mempunyai kemampuan berkomunikasi dan presentasi yang baik;
h. Memiliki kemampuan berbicara dan menulis dalam Bahasa Inggris yang memadai.

Untuk informasi dan syarat pendaftaran silahkan lihat pengumuman perekrutan dengan klik di sini

CSO Report: Review of Indonesia Drug Policy – Submmision to The Human Rights Comittee, 129th session.

LBHM, ICJR dan HRI bersama-sama menyusun laporan tentang situasi penegakan hukum dan HAM dalam kasus narkotika di Indonesia. LBHM bersama organisasi lainnya mendapatkan kesempatan untuk melaporkan temuannya ke dalam Rapat Komite HAM yang ke 129.

Dalam laporan ini menyertakan beberapa laporan tentang situasi Hukum dan HAM di Indonesia khususnya dalam isu narkotika seperti:

  1. Hukuman Mati dalam kasus narkotika,
  2. Extrajudicial killing dalam kasus narkotika,
  3. penyiksaan dan perlakuan buruk dalam kasus narkotika,
  4. Hukuman yang tidak proporsional dan situasi pemenjaraan dalam kasus narkotika,
  5. Penahanan dan perawatan wajib,
  6. Perlakuan buruk di pusat rehabilitasi dan kurangnya pemantauan.

Untuk melihat laporan lengkapnya, teman-teman silahkan mengaskes dokumennya di sini

CSO Report: Review of Indonesia Drug Policy – Submmision to The Human Rights Comittee 129th

Harm Reduction International, the Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) and LBH Masyarakat (LBHM) welcome the opportunity of reporting to the Human Rights Committee ahead of its adoption of the List of Issues Prior to Reporting for the review of Indonesia, at its 129th Session.

This submission will assess the performance of Indonesia regarding its obligations under the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), with a specific focus on the country’s drug polic. Regarding:

  1. The imposition of the death penalty for drug offences (Art. 6, 7, 14, 26);
  2. Extrajudicial killings in the context of anti-drug operations and lack of accountability (Art. 2, 6, 7);
  3. Torture and ill-treatment in drug-related cases (Art. 7, 14);
  4. Disproportionate punishment for drug offences, and conditions of detention in prison (Art. 7, 9, 10, 14);
  5. Compulsory drug detention and treatment (Art. 7, 9, 10); and
  6. Ill-treatment in private drug detention centres and lack of monitoring (Art. 2, 7, 9, 10).

Please check the full version report in here

Skip to content