Month: February 2021

Rilis Pers – JERAT NARKOTIKA DI BADAN POLRI: BUKTI HUKUMAN MATI TIDAK LAGI RELEVAN, SEKALIGUS MENYUBURKAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA

Tertangkapnya Kapolsek Astanaanyar, Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi beserta 11 anggotanya atas dugaan penyalahgunaan narkotika, bukanlah tindak pidana narkotika pertama yang terjadi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Pada Oktober 2020 lalu, publik juga dikejutkan dengan seorang polisi berpangkat perwira inisial IZ yang terlibat peredaran narkotika jenis sabu seberat 16 kg di Provinsi Riau. 

Sayangnya reaksi yang ditunjukkan aparat sangatlah \’bahaya\’ yakni dengan mengamini hukuman mati bagi mereka (anggota polri) yang terlibat dalam kasus narkotika–Irjen Argo Yuwono menyebut, Anggota Polri yang terlibat tindak pidana narkotika, tanpa memandang sebagai pemakai atau pengedar harus dihukum mati, karena dianggap paham hukum dan konsekuensinya–Realita yang ada justru membuktikan jika hukuman mati tidak dapat mencegah seseorang untuk tidak melakukan tindak pidana lagi (narkotika).

Tentu hal ini membuat institusi Polri tercerung, dan dengan adanya kejadian ini sudah seharusnya Polri mulai melakukan evaluasi dalam perihal penangkapan atas tindak pidana narkotika.

Selengkapnya di link berikut:

Rilis Pers – Presiden Jokowi Segera Cabut Pasal Karet UU ITE, Rakya Mendesak dan Siap Mengawal

Senin, 15 Februari 2021, dalam rapat tertutup dengan pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa Pemerintah akan membuka ruang untuk duduk bersama dengan DPR RI guna merevisi UU ITE. Koalisi mendukung pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam membuka wacana Revisi UU ITE tersebut, namun pernyataan tersebut tidak boleh sebatas pernyataan retorik ataupun angin segar demi populisme semata. Pernyataan tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkrit.

Seluruh pasal – pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus. Rumusan pasal-pasal dalam UU ITE, yang sudah diatur dalam KUHP, justru diatur secara buruk dan tidak jelas rumusannya disertai dengan ancaman pidana lebih tinggi.

Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara). Laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis.

Rilis lengkap dapat dibaca di link berikut:

Koalisi Masyarakat Sipil:
ICJR, LBH Pers, IJRS, Elsam, SAFENet, YLBHI, KontraS, PBHI, Imparsial, LBH Masyarakat, AJI Indonesia, ICW, LeIP, LBH Jakarta, Greenpeace Indonesia, PUSKAPA, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), WALHI

Publication – Punitive Drug Laws: 10 Years Undermining the Bangkok Rules

For centuries, criminal laws, justice systems, and prisons have been designed for, and by, men. The 2010 United Nations Rules for the Treatment of Women Prisoners and Non-custodial Measures for Women Offenders, also known as the ‘Bangkok Rules’, break away from this history by establishing the first set of international human rights standards that focus on the specific needs and experiences of women deprived of liberty.

Ten years after the adoption of the Bangkok Rules by the 193 countries represented at the UN General Assembly, states across the world have largely failed to implement them, while the number of women in prison has continued to raise dramatically. By 2020, an estimated 741,000 women were incarcerated worldwide, compared to 636,000 in 2010. The global female prison population is estimated to have increased by about 59% from 2000 to 2020.

This worrying trend has been fuelled by the harshly punitive drug laws adopted at the end of the 20th century. In many countries in Asia and Latin America, drug offences are the main cause for the incarceration of women. In most cases, women are detained for carrying out low-level drug activities, such as transporting drugs, that are characterised by high risk, a high degree of replaceability within illegal drug organisations, and very little financial reward.

Although theoretically ‘gender-blind’, punitive drug policies such as the disproportionate use of pretrial detention, mandatory minimum prison sentences, and the dearth of harm reduction and evidence-based treatment in prisons, have impacted women disproportionately. They have also ignored the causes for women’s involvement in illegal drug activities, which include the intersection of poverty and caretaking responsibilities, and coercion or influence at hands of a male relative or partner. In other words, they have undermined the application of the Bangkok Rules.

For advocates across the world, the 10-year anniversary of the Bangkok Rules is an opportunity to remind states that gender equality policies, criminal justice rights and drug laws are not isolated from each other. If states want to implement a genuine agenda for gender equality, they need to review the laws and policies that undermine it – including drug legislation.

This briefing paper provides analyses the concrete ways in which punitive drug legislation has impacted upon the achievement of the Bangkok Rules, and offers several recommendations on how to translate the commitments set in the Bangkok Rules into drug policy.

To read full this report you can click the link below:
Punitive Drug Laws: 10 Years Undermining the Bangkok Rules

This report was iniative by IDPC and colaborated with LBHM, WOLA, WHRIN, Penal Reform, Dejustitia and CELS

Publikasi Advokasi – Theory of Change (ToC): Strategi Advokasi HIV dan Hak Asasi Manusia

Suburnya stigma dan diskriminasi yang menyasar Orang yang Hidup dengan HIV (ODHIV) dan populasi kunci memperpanjang epidemi HIV di Indonesia. Hambatan dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) ini selalu muncul dengan variasi bentuk dan aktornya, baik yang dilakukan negara (commission) maupun yang dibiarkan oleh negara (omission). Namun, persoalan sosial, hukum, dan politik yang mewarnai persoalan epidemi HIV ini pun turut mendorong inisiatif-insiatif baik dari beragam organisasi masyarakat sipil yang ada di level nasional maupun daerah.

Bergerak dari hal tersebut LBH Masyarakat (LBHM) mencoba menyusun sebuah riset yang dapat mendorong kebijakan progresif dalam permasalahan HIV yang disusun dalam laporan ” ToC: Strategi Advokasi HIV dan Hak Asasi Manusia” .

Dalam prosesnya LBHM melakukan beberapa kali temu diskusi atau Forum Grup Diskusi (FGD) dengan beberapa komunitas yang mempunyai konsern dan fokus isu HIV di berbagai wilayan Indonesia. FGD ini bertujuan untuk Melakukan identifikasi situasi terkini advokasi HIV dan hukum bagi kelompokmarginal di Indonesia, Memetakan kebutuhan advokasi tiap-tiap kelompok populasi kunci HIV, Memetakan situasi dan kondisi di lapangan. Hal ini diperlukan untuk menyuguhkan laporan dengan data yang komperhensif dan faktual.

Teman-teman dapat membaca laporan lengkapnya di sini:
Theory of Change (ToC): Strategi Advokasi HIV dan Hak Asasi Manusia

Rilis Pers – LBHM Ajukan Keberatan Atas Pernyataan War On Drugs Kepala BNN

LBH Masyarakat (LBHM), pada 4 Februari 2021 melayangkan surat keberatan kepada Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Petrus R. Golose atas pertanyaan war on drugs dalam unggahan video di kanal Youtube BNN. Deklarasi penanggulangan narkotika melalui war on drugs memposisikan permasalahan narkotika yang kompleks ditangani dengan metode yang sama rata tanpa memperhatikan pemenuhan hak asasi seorang pengguna.

Selama ini narasi \’war on drugs\’ sudah menutup banyak pintu khususnya pintu hak atas kesehatan bagi teman-teman pengguna narkotika, karena selama ini banyak pengguna narkotika yang justru berakhir dibalik jeruji besi (penjara). Selain ditutupnya pintu hak atas kesehatan, war on drugs juga membuka pintu untuk praktik-praktik tidak manusiawi seperti penyiksaan, dan pemerasan.

Kerasnya deklarasi perang terhadap narkotika tidak sesuai dengan Kebijakan Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009) yang memiliki marwah untuk kesehatan, hal ini justru menimbulkan sebuah siklus korup dan kekerasan yang terus terjadi khususnya menimpa pengguna narkotika dan kelompok rentan lainnya seperti perempuan dan anak dalam lingkaran narkotika.

Rilis Pers lengkapnya dapat dibaca di link berikut:

Rilis Pers – Kasus Covid-19 Terus Terjadi di Lapas: Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) & Petugas Pemasyarakatan Harus Masuk sebagai Kelompok Prioritas Vaksin

Berdasarkan pemberitaan pada 7 Februari 2021, 52 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung terpapar COVID-19. Kondisi ini terbilang memprihatinkan karena kondisi Lapas Sukamiskin tidak mengalami overcrowding, Lapas Sukamiskin diisi 384 WBP dan tahanan dari total kapasitas 560. Data ini menunjukkan bahkan pada Lapas yang physical distancing sewajarnya dapat dilakukan tetapi penularan COVID-19 tetap terjadi. Kondisi ini seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah untuk tidak lengah mencegah penyebaran COVID-19 di rutan dan lapas. Kita bisa bayangkan jika di rutan/lapas yang tidak mengalami overcrowding saja bisa terjadi infeksi COVID-19, bagaimana dengan kondisi di rutan/lapas di Indonesia yang justru sebagian besar mengalami overcrowding.

Sebagai catatan, terlepas dari pernah dilakukannya asimilasi dan integrasi WBP secara masif pada April-Mei 2020 lalu, berdasarkan data Pemasyarakatan dalam Sistem Database Pemasyarakatan, lapas dan rutan masih mengalami overcrowding. Per Januari 2021, beban rutan dan lapas di seluruh Indonesia mencapai 187% dengan tingkat overcrowding di angka 87%. Sebelumnya angka ini berhasil ditekan menjadi 69% pada Mei 2020.

Maka perlu digarisbawahi, petugas rutan dan lapas serta WBP mutlak harus menjadi prioritas penerima vaksin Covid-19. Pembiaran akan berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, utamanya dalam kondisi overcrowding dan penularan di rutan dan lapas yang sudah sangat berbahaya.

Simak rilis pers lengkapnya di link berikut:


Koalisi Masyarakat Sipil:
ICJR, Aksi Keadilan, IJRS, LBH Masyarakat, LeIP, PPH Unika Atma Jaya, Dicerna, Rumah Cemara

War on Drugs: Jalan Pintas yang Menyesatkan

Menyambut harapan banyak pihak tersebut, Petrus Golose dalam sebuah rilis menyatakan siap untuk memerangi narkotika, war on drugs. Pernyataan Petrus Golose ini tentu saja bukan hal baru. Sejak menjabat pertama kali sebagai kepala negara pada 2014 silam, Presiden Joko Widodo juga menggaungkan hal yang serupa.Bahkan, pada tahun 2016, Jokowi secara terang-terangan memberikan arahan secara langsung kepada jajarannya, di antaranya BNN dan Institusi Kepolisian, untuk memberantas narkotika. Tidak tanggung-tanggung, Jokowi juga memerintahkan untuk menembak di tempat para pelaku yang diduga terlibat dalam tindak pidana narkotika.

Perintah tembak di tempat tersebut kemudian mulai memakan korban. LBHM dalam penelitiannya (Bajammal, 2020) menyebut, dalam rentang waktu tahun 2017-2018 setidaknya ada 414 orang yang menjadi korban luka dan 167 orang meninggal tanpa melalui proses peradilan. Sebuah angka yang cukup fantastis untuk negara yang mempredikatkan diri berlandaskan hukum dan menjunjung hak asasi dalam konstitusinya.

Langkah war on drugs yang digadang-gadang sebagai solusi untuk mengatasi peredaran gelap narkotika justru banyak menimbulkan masalah lain. Salah satunya, menciptakan stigma negatif dan perilaku diskriminatif terhadap pengguna narkotika. Stigma negatif ini menempatkan para pengguna narkotika sebagai penjahat dan sampah masyarakat yang layak untuk dihukum. Tentu saja hukuman yang dimaksud adalah hukuman penjara.

Muara dari stigma dan diskriminasi ini berkontribusi pada meningkatnya overcrowding di lapas semakin parah. Data Ditjen Pemasyarakatan 2019, menyebut jumlah orang yang dipenjara karena pelanggaran narkotika, lebih dari 130.000 (65% dari keseluruhan tahanan) dan 48.000 orang di antaranya adalah pengguna narkotika. Sebuah angka yang cukup mengejutkan, apalagi terhadap pengguna narkotika yang alih-alih mendapatkan rehabilitasi, malah berakhir di jeruji besi. Lantas, apakah narasi war on drugs  tetap efektif mengatasi permasalahan narkotika selama ini.

Narasi war on drugs bukan hanya ada di Indonesia. Beberapa negara juga tercatat pernah menerapkan pendekatan keras seperti itu. Bedanya, banyak negara kemudian berbenah diri dan menyadari jalan pintas war on drugs itu menyesatkan. Portugal, merupakan contoh negara yang akhirnya berhasil meninggalkan narasi war on drugs. Portugal sadar menggunakan narasi war on drugs sebagai strategi untuk menyelesaikan permasalahan narkotika adalah perbuatan sia-sia. Pun Portugal mengambil langkah konkret dengan memperlakukan pengguna narkotika sebagai pasien yang membutuhkan bantuan, bukan sebagai penjahat. Sehingga aparat penegak hukumnya bisa berkonsentrasi penuh dalam menumpas peredaran gelap narkotika.

Atas kebijakan ini, International Journal of Drug Policy pada tahun 2014, menemukan fakta bahwa Portugal bisa mengurangi biaya proses hukum sebesar 18%. Kemudian, presentase orang yang dipenjara karena tindak pidana narkotika juga menurun drastis sebanyak 43%. Dari data tersebut, Portugal berhasil membuktikan, meninggalkan pendekatan penghukuman (punitive) dapat mengatasi masalah narkotika sekaligus menghemat biaya proses hukum yang harus dikeluarkan oleh negara.

Berkaca dari Portugal, sudah saatnya Indonesia mengkaji dan mengevaluasi kebijakan narkotikanya. Pemerintah Indonesia harus mau terbuka pada alternatif selain pemidanaan. Tentu sudah seharusnya pemerintah mengakui strategi war on drugs adalah sebuah kegagalan. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk proses hukum dari tahap penyidikan hingga menjalani penghukuman, tapi sama sekali tidak mengurangi jumlah terpidana narkotika, sepantasnya menjadi perhatian kebijakan yang serius.

Kembali ke konteks overcrowding, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Yasonna H. Laoly, sudah pernah mengeluhkan narapidana narkotika yang mendominasi seluruh lapas dan rutan. Saat kunjungan delegasi The Global Commission on Drug Policy pada 29 Januari 2020, Yasonna sedikit membocorkan rencana negara yang sedang mempertimbangkan pendekatan kesehatan untuk pengguna narkotika. Namun apabila pemerintah benar-benar serius mempertimbangkan hal ini, seharusnya narasi war on drugs tidak terdengar lagi.

Debat kebijakan narkotika tentu akan menjadi sangat sensitif, tapi bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Sudah saatnya negara membuka ruang dialog dan menghadirkan alternatif non pemidanaan untuk menangani masalah narkotika. Tentu revisi undang-undang narkotika, juga menjadi agenda penting yang selanjutnya perlu dilakukan.

Tulisan opini ini merupakan respon dari statement war on drugs dari Petrus Reinhard Golose (Kepala BNN RI). Tulisan ini ditulis oleh Kiki Marini – Pengacara Publik (Public Defender) LBH Masyarakat & Bertha Justice Fellowship di Indonesia.

Rilis Pers – War on Drugs: Melanggar Hak Asasi dan Melanggengkan Praktik Korupsi

Praktik korupsi dalam kasus narkotika mungkin jarang sekali didengar oleh khalayak publik, hal ini dikarenakan narasi narkotika/narkoba saja sudah dicap sebagai sebuah hal yang buruk yang akhirnya membuat publik semakin tidak empati apabila mendengar kata narkotika/narkoba.

Dalam edisi terbaru Majalah Tempo (Edisi, 1-7 Februari 2021), Tempo menulis terkait ada beberapa anggota polisi yang bertugas di BNN menilap uang terduga pelaku kejahatan. Jumlahnya pun ditaksir mencapai puluhan miliar rupiah.

Pihak BNN menyebutkan telah memproses secara internal terhadap anggota yang diduga terlibat, namun hingga saat ini perkembangannya tidak kunjung menemui titik terang. Minimnya transparansi dalam memproses dugaan pelanggaran yang dilakukan seakan bertolak belakang dengan pengungkapan kasus narkotika yang dilakukan secara terbuka itu.

Sayangnya, narasi perang terhadap narkotika (war on drugs) selama ini dipakai upaya dalam melegitimasi penanggulangan narkotika dengan cara-cara yang mengebiri hak asasi manusia dan membuka kran yang menyuburkan praktik korupsi.

Oleh karena itu Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mendorong untuk mengevaluasi secara penuh kebijakan \’war on drugs\’ secara komperhensif.

Rilis lengkap dapat teman-teman baca di link berikut:

Koalisi Pemantau Peradilan:
LBH Masyarakat, LBH Jakarta, ICW, PBHI, KontraS, PSHK, YLBHI, Imparsial.

Narahubung: 0813-2004-9060 (M.Afif Qoyim – Direktur LBHM)

Knowledge Product – Menuju Model Sistem Dukungan Dalam Pengambilan keputusan di Indonesia

Situasi seorang ODP yang berhadapan dengan hukum di Indonesia sangatlah mengkhawatirkan. Walaupun Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Seorang dengan Disabilitas atau Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), hal ini diharmonisasikan kedalam Undag-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Orang dengan Disabilitas—termasuk juga di dalamnya adalah perlindungan terhadap Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP).

Namun, adanya perundangan-undangan terkait perlindungan terhadap Orang dengan Disabilitas Psikososial ternyata tidak menyelesaikan pelanggaran hak terahadap kelompok ODP. Salah satu bentuk diskriminatif yang melanggar hak seorang ODP adalah Pengampuan ODP, yang ada di dalam pasal 443 (UU Nomor 8/2016) dimana dalam pasal tersebut menjelaskan adanya mekanisme untuk memindahkan hak individu untuk memberi keputusan kepada orang lain untuk mengambil keputusan dalam. Hal ini merupakan sebuah pelanggaran karena menghilangkan legal capacity seseorang. Pada Undang-Undang lain yakni UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa terdapat pasal yang memberikan kewenangan kepada keluarga untuk mengambil keputusan, bagi anggota keluarganya yang memiliki permasalahan kesehatan jiwa untuk dibawa ke pusat rehabilitasi.

Referensi lengkap dapat di baca di:
Menuju Model Sistem Dukungan Dalam Pengambilan keputusan di Indonesia (Indonesian version)
Towards a Supported Decision-Making Model in Indonesia (English version)

Berikut slide infografis terkait ODP (dalam dua bahasa):
1. Infografis terkait ODP (versi bahasa Indonesia)

2. Infogrhapic about PPD (English version)

Skip to content