Menyambut harapan banyak pihak tersebut, Petrus Golose dalam sebuah rilis menyatakan siap untuk memerangi narkotika, war on drugs. Pernyataan Petrus Golose ini tentu saja bukan hal baru. Sejak menjabat pertama kali sebagai kepala negara pada 2014 silam, Presiden Joko Widodo juga menggaungkan hal yang serupa.Bahkan, pada tahun 2016, Jokowi secara terang-terangan memberikan arahan secara langsung kepada jajarannya, di antaranya BNN dan Institusi Kepolisian, untuk memberantas narkotika. Tidak tanggung-tanggung, Jokowi juga memerintahkan untuk menembak di tempat para pelaku yang diduga terlibat dalam tindak pidana narkotika.
Perintah tembak di tempat tersebut kemudian mulai memakan korban. LBHM dalam penelitiannya (Bajammal, 2020) menyebut, dalam rentang waktu tahun 2017-2018 setidaknya ada 414 orang yang menjadi korban luka dan 167 orang meninggal tanpa melalui proses peradilan. Sebuah angka yang cukup fantastis untuk negara yang mempredikatkan diri berlandaskan hukum dan menjunjung hak asasi dalam konstitusinya.
Langkah war on drugs yang digadang-gadang sebagai solusi untuk mengatasi peredaran gelap narkotika justru banyak menimbulkan masalah lain. Salah satunya, menciptakan stigma negatif dan perilaku diskriminatif terhadap pengguna narkotika. Stigma negatif ini menempatkan para pengguna narkotika sebagai penjahat dan sampah masyarakat yang layak untuk dihukum. Tentu saja hukuman yang dimaksud adalah hukuman penjara.
Muara dari stigma dan diskriminasi ini berkontribusi pada meningkatnya overcrowding di lapas semakin parah. Data Ditjen Pemasyarakatan 2019, menyebut jumlah orang yang dipenjara karena pelanggaran narkotika, lebih dari 130.000 (65% dari keseluruhan tahanan) dan 48.000 orang di antaranya adalah pengguna narkotika. Sebuah angka yang cukup mengejutkan, apalagi terhadap pengguna narkotika yang alih-alih mendapatkan rehabilitasi, malah berakhir di jeruji besi. Lantas, apakah narasi war on drugs tetap efektif mengatasi permasalahan narkotika selama ini.
Narasi war on drugs bukan hanya ada di Indonesia. Beberapa negara juga tercatat pernah menerapkan pendekatan keras seperti itu. Bedanya, banyak negara kemudian berbenah diri dan menyadari jalan pintas war on drugs itu menyesatkan. Portugal, merupakan contoh negara yang akhirnya berhasil meninggalkan narasi war on drugs. Portugal sadar menggunakan narasi war on drugs sebagai strategi untuk menyelesaikan permasalahan narkotika adalah perbuatan sia-sia. Pun Portugal mengambil langkah konkret dengan memperlakukan pengguna narkotika sebagai pasien yang membutuhkan bantuan, bukan sebagai penjahat. Sehingga aparat penegak hukumnya bisa berkonsentrasi penuh dalam menumpas peredaran gelap narkotika.
Atas kebijakan ini, International Journal of Drug Policy pada tahun 2014, menemukan fakta bahwa Portugal bisa mengurangi biaya proses hukum sebesar 18%. Kemudian, presentase orang yang dipenjara karena tindak pidana narkotika juga menurun drastis sebanyak 43%. Dari data tersebut, Portugal berhasil membuktikan, meninggalkan pendekatan penghukuman (punitive) dapat mengatasi masalah narkotika sekaligus menghemat biaya proses hukum yang harus dikeluarkan oleh negara.
Berkaca dari Portugal, sudah saatnya Indonesia mengkaji dan mengevaluasi kebijakan narkotikanya. Pemerintah Indonesia harus mau terbuka pada alternatif selain pemidanaan. Tentu sudah seharusnya pemerintah mengakui strategi war on drugs adalah sebuah kegagalan. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk proses hukum dari tahap penyidikan hingga menjalani penghukuman, tapi sama sekali tidak mengurangi jumlah terpidana narkotika, sepantasnya menjadi perhatian kebijakan yang serius.
Kembali ke konteks overcrowding, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Yasonna H. Laoly, sudah pernah mengeluhkan narapidana narkotika yang mendominasi seluruh lapas dan rutan. Saat kunjungan delegasi The Global Commission on Drug Policy pada 29 Januari 2020, Yasonna sedikit membocorkan rencana negara yang sedang mempertimbangkan pendekatan kesehatan untuk pengguna narkotika. Namun apabila pemerintah benar-benar serius mempertimbangkan hal ini, seharusnya narasi war on drugs tidak terdengar lagi.
Debat kebijakan narkotika tentu akan menjadi sangat sensitif, tapi bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Sudah saatnya negara membuka ruang dialog dan menghadirkan alternatif non pemidanaan untuk menangani masalah narkotika. Tentu revisi undang-undang narkotika, juga menjadi agenda penting yang selanjutnya perlu dilakukan.
Tulisan opini ini merupakan respon dari statement war on drugs dari Petrus Reinhard Golose (Kepala BNN RI). Tulisan ini ditulis oleh Kiki Marini – Pengacara Publik (Public Defender) LBH Masyarakat & Bertha Justice Fellowship di Indonesia.