Month: March 2021

Laporan Penelitian – Pemenuhan Hak Pengguna Narkotika di Masa Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 yang melanda hingga saat ini telah berdampak pada seluruh sektor kehidupan. Dampaknya telah dirasakan langsung oleh masyarakat, begitupun dengan mereka yang termasuk dalam kelompok rentan. Pasca kasus Covid-19 pertama terdeteksi di Indonesia, Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) adalah jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Transformasi ini juga dibarengi oleh peraturan-peraturan baru, baik di tingkat nasional maupun lokal, untuk mencegah dan menekan penyebaran yang masif COVID-19 semisal Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 9 Tahun 2020 dan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Nomor 33 Tahun 2020.

Sekalipun banyak peraturan yang lahir, nyatanya kasus Covid-19 terus meningkat angkanya di Indonesia. Kenaikkan angka ini juga menimbulkkan kekhawatiran terhadap perlindungan hak kelompok rentan selama pandemi.

World Health Organization (WHO) sendiri telah mengkategorikan beberapa kelompok rentan yang berisiko mengalami kondisi kronis jika terpapar COVID-19, yakni para lanjut usia (lansia) dan orang-orang dengan penyakit
bawaan atau yang sedang dalam kondisi sakit kritis/serius.

Pengguna narkotika bisa dikatakan sebagai salah satu kelompok rentan, karena pengguna narkotika berpotensi mengalami kondisi yang buruk jika terpapar COVID-19 karena penggunaan narkotika jenis tertentu dapat menimbulkan penyakit penyerta. Di mana penyakit–penyakit tersebut dapat menjadi komorbid sehingga dapat berakibat fatal dan menyebabkan kematian.

Situasi kesehatan kian riskan ini pun diperburuk dengan stigma dan diskriminasi bagi pengguna narkotika. Stigma dan diskriminasi telah menempatkan penguna narkotika sebagai kriminal. Hal tersebut semakin diperburuk dengan vokalnya pemerintah Indonesia dalam ” War on Drugs” .

Lewat laporan ini LBHM mencoba melacak bagaimana situasi pemenuhan pengguna narkotika di masa pandemi COVID-19 ditengah gempuran stigma dan diskriminasi serta pandemi berkepanjangan.

Simak laporan lengkapnya di link berikut:
Pemenuhan Hak Pengguna Narkotika di Masa Pandemi Covid-19

Polemik UU ITE, Bukti Anti Kebebasan Berpendapat?

Publik sempat berekspektasi besar terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika ia menyerukan untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun ekspektasi itu seolah pupus ketika bahasan Revisi UU ITE tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021.

Wakil Ketua Badan Legislatif DPR Willy Aditya, dalam pernyataannya di Cnnindonesia.com, menyebutkan bila Revisi UU ITE masih dikaji oleh pemerintah sehingga tidak masuk Prolegnas. Sementara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, dalam pernyataannya di Tempo.com, menyebutkan bila RUU ITE masih dalam tahap dengar pendapat publik (public hearing). Yasonna juga mengungkapkan bila Revisi UU ITE bisa menyusul dalam daftar Prolenas Prioritas 2021.

Hasrat publik saat ini, pemerintah perlu segera merevisi UU ITE. Kondisi yang ada saat ini, UU ITE bisa dibilang menjadi simbol pengekangan kebebasan berpendapat. Bagaimana tidak, sejak disahkan pada tahun 2008, undang-undang tersebut telah mengirimkan sejumlah orang untuk merasakan dinginnya dinding penjara. Peristiwa paling anyar mungkin menimpa anggota band rock Superman Is Dead, yakni Jerinx. Lalu ada juga peristiwa penangkapan aktivis Ravio Patra. Selain itu, peristiwa yang cukup fenomenal terjadi kepada Baiq Nuril, mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Banyaknya pasal “karet” di dalam UU ITE yang dapat mengkriminalisasi disinyalir menjadi biang keladinya. Menurut data SafeNet, setidaknya ada sembilan pasal karet yang membuat banyak orang harus terjerat pidana oleh UU ITE. Masih berdasarkan catatan SAFEnet, terdapat 381 korban dari UU ITE sejak pertama kali diundangkan pada tahun 2008 hingga tahun 2018. Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil juga melaporkan bahwa kasus-kasus yang dijerat dengan Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE menunjukkan penghukuman mencapai 96,8 persen (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi, yakni mencapai 88 persen (676 perkara).

Tingginya tingkat penghukuman ini bisa berdampak kepada masalah lainnya, seperti overcrowding penjara. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, angka keterisian penjara sudah mencapai 84% pada tahun 2020. Narapidana kasus Narkotika menjadi penyumbang terbesar dalam keterisian penjara itu.

Berdasarkan data-data di atas, maka pemerintah sudah sepatutnya segera melakukan revisi UU ITE. Pemerintah perlu memasukkanya ke dalam Prolegnas Prioritas. Selain itu, masukan dari masyarakat sipil selama ini terhadap UU ITE, mulai dari penghapusan pasal-pasal karet sampai masukan tentang peran pemerintah yang harus lebih mengedepankan pendekatan restoratif, perlu diakomodir.

Pengekangan Kebebasan Berpendapat

Hal terpenting adalah bahwa jangan sampai UU ITE menjadi landmark pengekangan kebebasan berpendapat. Sejarah mencatat bahwa pada pemerintah Indonesia pernah memberlakukan kebijakan yang mengekang kebebasan berpendapat. Jadi UU, ITE bukanlah yang pertama.

Pada masa Orde Lama, Soekarno pernah melakukan pemberedelan terhadap beberapa surat kabar yakni PedomanAbadi dan Indonesia Raja. Soekarno pada saat itu beralasan jika media tersebut Kontrarevolusi. Indonesia pada saat itu memang sedang melakukan revolusi sosialisme.

Sejarah juga mencatat ketika Orde Baru berkuasa, negara membungkam suara-suara kritis. Banyak sekali aktivis-aktivis yang ‘vokal’ berakhir dipenjarakan atau diasingkan, bahkan ‘dihilangkan’ sampai saat ini dengan UU Anti Subversi (Perpres 11 Tahun 1963). Hal ini pada akhirnya membuat semua orang takut mengemukakan pendapatnya.

Tidak hanya aktvis, media pun tidak luput menjadi target dari pembungkaman yang dilakukan pemerintahan Orde Baru. Seperti kita tahu, surat kabar menjadi salah satu medium favorit yang dipakai untuk menyampaikan kritik atau pendapat. Nahasnya, setelah Soeharto setahun berkuasa, ia menerbitkan Undang-Undang Pers Baru yang membatasi kebebasan media cetak. Penerbit-penerbit yang memuat suara-suara sumbang terhadap pemerintah bisa dicabut izinnya. Hal ini terbukti dengan dicabutnya izin 46 penerbit surat kabar dari 163 penerbit surat kabar. Te​mpo menjadi salah satu media yang mendapat pembredelan pada tahun 1994.

Pengekangan Kebebasan 4.0?

Pasca reformasi, kebebasan pun mulai mendapat ruangnya kembali. Semua orang sudah berani menyuarakan hal yang di masa sebelumnya dianggap tabu.  Namun, sebagaimana dijelaskan di atas, jika pada masa orde baru dan orde lama banyak pengekangan kebebasan berpendapat dibentuk dalam sebuah kebijakan (Perpres Anti Subversif, UU Pers Orde Baru) dan banyak diarahkan kepada medium surat kabar, maka di era pasca reformasi, UU ITE menjadi satu kebijakan yang cukup kontroversial karena bisa dikatakan membungkam kebebasan berekspresi.

UU ITE bisa dikatakan terbentuk karena adanya kekosongan hukum pada medium baru yang banyak digandrungi publik yakni medium digital (Internet). Ketiadaan produk hukum yang dapat menyentuh dan mengatur medium baru tersebut menjadi salah satu pendorong dibentuknya UU ITE.

UU ITE ini hadir dengan maksud baik yakni untuk melindungi masyarakat di medium digital, khususnya dalam hal bertransaksi elektronik. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 4 UU ITE yang menyebutkan tentang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang bertujuan untuk “membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab”; dan “memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.”

Namun, realitas di lapangan berkata sebaliknya, UU ITE justru ramai digunakan untuk mengkriminalisasi seseorang. UU ITE justru menampakkan pola yang sama dengan apa yang terjadi pada dua rezim sebelumnya (Orde Lama dan Orde Baru), yakni memunculkan kembali pengekangan kebebasan berpendapat. Sejarah pun berulang kembali dalam pola yang sama, L’histoire se repete, namun dalam medium yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut, jangan sampai UU ITE ini menjadi landmark pengekangan kebebasan berpendapat 4.0 yang dikenang dalam buku sejarah kedepannya.

Tulisan ini merupakan respon dari gagalnya UU ITE masuk ke dalam agenda Prolegnas 2021. Tulisan ini ditulis oleh Tengku Raka – Communication Specialist, LBH Masyarakat (LBHM).

Tulisan ini sudah pernah dimuat di kanal Asumsi.co: Polemik UU ITE, Bukti Anti Kebebasan Berpendapat?

Briefing Release – Prison and COViD-19: Lesson From an Ongoing Crisis

Pandemi COVID-19 telah memperlihatkan kepada publik jika kesehatan merupakan permasalahan global. Dampak Covid-19 pun telah menyasar dan mengancam kesehatan dan jiwa setiap orang. Salah satu kelompok yang paling terdampak dan rentan adalah mereka yang kini berada di dalam penjara. Orang yang berada di dalam penjara memiliki resiko yang tinggi untuk terpapar virus COVID-19. Jamak diketahui, situasi pemenjaraan dibeberapa negara masih memprihatinkan terutama terkait buruknya kualitas sarana dan prasarana, fasilitas kesehatan, sanitasi dan tingkat overcrowding penghuni penjara.

Berangkat dari latar belatar tersebut, sejumlah organisasi masyarakat sipil dunia (termasuk Indonesia) berinisiatif membuat briefing release berjudul Prison and COViD-19: Lesson From an Ongoing Crisis. Briefing realese yang telah disusun ini berfokus kepada 3 poin utama, yaitu:

 1. Pembentukan prosedur kebijakan sebelum menempatkan seseorang ke dalam penjara, altetarif pemenjaraan dan program diversi untuk menghindari pemenjaraan.

2. Dampak COVID-19 terhadap kondisi penjara, termasuk pemenuhan pelayanan harm reduction.

3. Memperhatikan pemenuhan perawatan pasca terlaksananya program pembebasan narapidana dan integrasi, khususnya terhadap kelompok pengguna narkotika

Harapannya, briefing release ini dapat menjadi acuan dan rekomendasi kepada Pemerintah dan pemangku kebijakan terkait untuk segera melakukan langkah mitigasi. Langkah cepat mitigasi tersebut diharapkan dapat segera memutus rantai penyebaran Covid-19 serta menyelamatkan jiwa para penghuni penjara. Disisi lain, pemenuhan  Harm Reduction bagi banyak pengguna narkotika tetap menjadi prioritas di masa pandemi ini.

Untuk membaca Briefieng Release ini selengkapnya, silahkan klik tautan berikut:
Prison and COViD-19: Lesson From an Ongoing Crisis (English)

Rilis Pers – Pemerintah Beralasan Revisi UU ITE Tidak Masuk Prolegnas Karena RKUHP, Aliansi: Langkah Mundur!

Menteri Hukum dan HAM pada 9 Maret 2021 menjelaskan alasan UU ITE tidak masuk Prolegnas 2021. Beliau mengatakan karena pemerintah masih terus menjaring masukan publik untuk kajian UU ITE, selain itu juga pemerintah tengah melakukan sosialisasi RKUHP, sehingga Revisi UU ITE tidak masuk dalam Prolegnas karena keterkaitannya dengan RKUHP itu.

Secara konsep, Aliansi sepakat bahwa dalam konteks kodifikasi, beberapa tindak pidana yang sifatnya konvensional (cyber-enable crimes) dalam UU ITE memang harusnya cukup diatur dalam KUHP, tidak perlu diatur kembali dalam UU ITE. Namun dalam konteks urgensi perubahan UU ITE, maka menurut Aliansi, pernyataan Menteri Hukum dan HAM ini adalah langkah mundur dalam semangat Presiden Jokowi dalam komitmen untuk merevisi UU ITE.

Perlu diketahui, Revisi RKUHP sudah berjalan dari tahun 2016, namun gagal digoalkan di tahun 2019 dikarenakan masih adanya permasalahan dalam materi RKUHP itu sendiri, seta masyarakat sipil menilai masih banyaknya kecacatan dalam proses penyusunannya. Pada akhirnya menimbulkan gelombang penolakan pengesahan RKUHP karena dinilai terburu-buru dan masih memuat banyak masalah.

Rilis lengkap dapat teman-teman lihat di:

Buku Panduan – Ruang Aman Untuk Pekerja Media & Seni

Keamanan dan kenyamanan seseorang ketika beraada di ruang publik adalah hal yang harus dihormati oleh setiap orang, tanpa memandang latar belakang gender dan orientasi seksual seseorang. Di situasi saat Ini yang masih tidak ramah terhadap kelompok minoritas gender dan seksual, menjadikan ruang aman sebagai barang mahal yang sangat sulit didapati seperti \’oase\’ ditengah padang pasir.

Ketiadaan ruang aman bagi kelompok minoritas membuat mereka kesulitan untuk mengembangkan bakat dan mengekspresikan dirinya. Ruang publik yang seharusnya dinikmati oleh seluruh warga negara, nyatanya dikapitalisasi oleh sekelompok orang yang membenci kelompok lain yang dianggap berbeda. Banyak kasus terjadi, salah satunya kasus pembatalan acara Grand Final Mister dan Miss Dewata di Bali tahun 2018. Pembatalan dipicu karena adanya keberatan dari beberapa pihak, salah satunya adalah karena alasan moral (LGBT dianggap bertentangan dengan niali norma dan konstitusi). Pembatasan maupun pelarangan terhadap kegiatan terhadap kelompok rentan yang terjadi selama ini merupakan sebuah bentuk pelanggaran hak, terlebih kelompok rentan ini memanfaatkan ruang publik yang ada untuk berkespresi, yang dimana kebebasan berekspresi dan berpendapat sendiri sudah dijamin dalam konstitusi dasar Indonesia (Pasal 28I Ayat 2 UUD 1945).

Kita bisa lho menciptakan Ruang Aman bagi kelompok rentan yang khususnya sering memanfaatkan ruang publik untuk berkespresi. Caranya bagaimana? yuk cek Panduan Ruang Aman di bawah ini:

  1. Buku Panduan: Panduan Ruang Aman Untuk Pekerja Media & Seni
  2. Tools/Produk Ruang Aman

Rilis Pers – 6 CATATAN UNTUK PARA HAKIM DI HARI KEHAKIMAN

Setiap tanggal 1 Maret di Indonesia, terdapat yang namanya Hari Kehakiman. Situasi kehakiman di Indonesia menjadi sorotan oleh kelompok masyarakat sipil beberapa waktu kebelakang ini. Secara undang-undang Hakim merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, berdasarkan Pancasila juga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana amanat yang tercantum Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Selain itu, sebagai pelaku cabang kekuasaan negara dalam bidang yudisial, hakim bertanggung jawab untuk memastikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).

Sayangnya, LBHM dan LBH Jakarta menemukan beberapa praktik-pratik yang mencoreng nama Hakim itu sendiri seperti:
1) Hakim Terlibat Praktik Judicial Corruption;
2) Hakim Kerap Mengabaikan Fakta Persidangan; 
3) Hakim Masih Sering Menjatuhkan Pidana Mati;
4) Hakim Memakai Alat Bukti yang Didapat dengan Tidak Sah (Penyiksaan) dan permasalahan Praperadilan (upaya paksa dan ganti kerugian);
5) Persidangan Virtual (Online) Banyak Melanggar Hak Terdakwa;
6) Mekanisme Pelaporan/Pengaduan Hakim Tidak Transparan, Imparsial, Efektif dan Akuntabel.

Oleh karenanya LBHM dan LBH Jakarta mendesak adanya segera perbaikan (evaluasi dan reformasi kehakiman) dalam tubuh Mahkamah Agung. Adapun poin tuntutan dari LBHM dan LBH Jakarta dapat teman-teman lihat dalam rilis pers di link berikut:

Skip to content