Month: June 2021

[Laporan Penelitian] Mengungkap Sikap Publik Indonesia Terhadap Hukuman Mati

Penelitian baru yang mengungkap sikap publik Indonesia terhadap hukuman mati memberikan data baru yang dapat memfasilitasi wacana segar tentang masa depan hukuman mati di Indonesia

Penelitian yang dilakukan oleh The Death Penalty Project, dalam kemitraan dengan LBH Masyarakat dan Universitas Indonesia, dan dilakukan oleh Prof. Carolyn Hoyle dari Unit Penelitian Hukuman Mati di Universitas Oxford, menemukan bahwa pembentuk opini di Indonesia menginginkan untuk meninggalkan hukuman mati dan bahwa publik terbuka untuk berubah.

Penelitian ini menyelidiki kepercayaan yang diterima secara luas bahwa mayoritas orang Indonesia mendukung hukuman mati. Melalui penyelidikan yang bernuansa, penelitian ini hendak memahami lebih dalam sikap publik dan mengkaji seberapa mengakar pandangan tersebut untuk dapat memfasilitasi wacana yang konstruktif.

Studi ini menunjukkan bahwa semakin banyak informasi yang diberikan kepada masyarakat mengenai penerapan hukuman mati, semakin sedikit mereka mendukungnya. Demikian pula, ketika disajikan dengan faktor yang meringankan, dukungan publik terhadap hukuman mati turun drastis. Temuan menunjukkan bahwa masyarakat tidak menentang penghapusan, tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk dapat sepenuhnya memahami persoalan.

Laporan Penelitian lengkapnya dapat di unduh dengan mengklik link di bawah ini:

Versi Bahasa Indonesia

  1. Pandangan Para Pembentuk Opini tentang Hukuman Mati di Indonesia (Bagian Pertama)
  2. Opini Publik tentang Hukuman Mati di Indonesia (Bagian Kedua)

English Version

  1. Investigating Attitudes to the Death Penalty in Indonesia, (Part One): An Appetite for Change
  2. Investigating Attitudes to the Death Penalty in Indonesia, (Part Two): No Barrier to Abolition

Rilis Pers – Mengungkap Sikap Publik Indonesia Terhadap Hukuman Mati

Penelitian baru yang mengungkap sikap publik Indonesia terhadap hukuman mati memberikan data baru yang dapat memfasilitasi wacana segar tentang masa depan hukuman mati di Indonesia.

Studi dua bagian tersebut menyimpulkan bahwa pembentuk opini di Indonesia menginginkan untuk meninggalkan hukuman mati dan bahwa publik terbuka untuk berubah.

Penelitian ini ditugaskan oleh The Death Penalty Project, dalam kemitraan dengan LBH Masyarakat dan Universitas Indonesia, dan dilakukan oleh Prof. Carolyn Hoyle dari Unit Penelitian Hukuman Mati di Universitas Oxford untuk menyelidiki kepercayaan yang diterima secara luas bahwa mayoritas orang Indonesia mendukung hukuman mati. Melalui penyelidikan yang bernuansa, penelitian ini hendak memahami lebih dalam sikap publik dan mengkaji seberapa mengakar pandangan tersebut untuk dapat memfasilitasi wacana yang konstruktif. Studi ini menunjukkan bahwa semakin banyak informasi yang diberikan kepada masyarakat mengenai penerapan hukuman mati, semakin sedikit mereka mendukungnya. Demikian pula, ketika disajikan dengan faktor yang meringankan, dukungan publik terhadap hukuman mati turun drastis. Temuan menunjukkan bahwa masyarakat tidak menentang penghapusan, tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk dapat sepenuhnya memahami persoalan.

  • 67% pembentuk opini mendukung penghapusan hukuman mati;
  • 69% publik pada awalnya mendukung hukuman mati dipertahankan, tetapi hanya 35% yang sangat mendukungnya;
  • Hanya 2% publik yang merasa sangat mengetahui tentang hukuman mati dibandingkan dengan pembentuk opini yang pada umumnya lebih luas pengetahuannya tentang hukuman mati dan sistem peradilan pidana yang lebih luas;
  • Hanya 4% publik yang merasa sangat prihatin dengan persoalan ini.

Indonesia adalah salah satu dari minoritas negara yang masih mempertahankan hukuman mati dalam undang-undang. Ada beberapa kejahatan yang dapat dihukum mati, termasuk pembunuhan, perampokan, terorisme, dan tindak pidana narkoba. Lebih dari 60% hukuman mati yang dijatuhkan di negara ini, dan setengah dari semua eksekusi yang dilakukan dalam 20 tahun terakhir, adalah untuk tindak pidana terkait narkoba. Laporan tersebut juga menemukan bahwa dukungan untuk hukuman mati dalam skenario realistis lebih rendah daripada secara abstrak, dan ketika ditunjukkan kemungkinan bahwa orang yang tidak bersalah dapat dieksekusi, dukungan publik untuk abolisi meningkat dari 18% menjadi 48%.

Seperti banyak negara tetangganya di Asia Tenggara, Indonesia mempertahankan hukuman mati dengan asumsi bahwa hukuman ini berfungsi sebagai pencegah yang efektif terhadap kejahatan, khususnya perdagangan narkoba, namun belum ada penelitian akademis yang mendukung keyakinan tersebut.

Parvais Jabbar, Ko-Direktur Eksekutif dari The Death Penalty Project mengatakan; “Dukungan publik terus disebut-sebut oleh pemerintah Indonesia sebagai alasan untuk mempertahankan hukuman mati, tetapi temuan penelitian kami menunjukkan bahwa publik sebenarnya terbuka untuk perubahan kebijakan tentang persoalan penting ini. Ada dukungan yang jelas untuk abolisi di antara pembentuk opini dan temuan membuktikan bahwa semakin banyak publik tahu tentang hukuman mati, semakin sedikit mereka mendukungnya. Kami berharap data dan analisis yang dikumpulkan dalam kedua laporan ini dapat digunakan untuk memfasilitasi dialog konstruktif tentang masa depan hukuman mati di Indonesia.”

Muhammad Afif, Direktur LBH Masyarakat mengatakan; “Dua laporan ini menunjukkan bahwa mewujudkan penghapusan hukuman mati bukanlah hal yang mustahil di Indonesia. Pendapat publik dan elit memberikan harapan kepada terpidana mati bahwa suatu hari kita bisa mengakhiri adanya regu tembak.”

Rilis ini ditulis oleh The Death Penalty Project

Rilis Pers – LBHM Menggunggat Kepala BNN dan Presiden ke PTUN Jakarta Atas Pernyataan War On Drugs

Pada Selasa (21 Juni 2021) yang lalu, LBH Masyarakat (LBHM) melayangkan gugatan tata usaha negara kepada Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan ini merupakan langkah hukum lanjutan atas pernyataan war on drugs yang disampaikan kepala BNN saat konferensi pers pada 8 Januari 2021.

LBHM menilai pernyataan war on drugs tersebut menjadi berbahaya karena dapat dimaknai sebagai suatu kebijakan yang akan mengancam eksistensi negara hukum Indonesia yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pernyataan ini kemudian LBHM gugat ke PTUN Jakarta dengan semangat agar mekanisme peradilan dapat membatalkan kebijakan atau tindakan pejabat tata usaha negara yang mengancam sendi negara hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, seperti kebijakan war on drugs, yang juga dijadikan tema besar oleh pemerintah pada peringatan Hari Narkotika Internasional tahun ini yang diperingati setiap tanggal 26 Juni. Oleh karenanya gugatan LBHM ini menjadi penting dimaknai sebagai suatu paradoks terhadap kebijakan pemerintah yang menggunakan narasi war on drugs secara keliru dalam mengentaskan kejahatan peredaran gelap narkotika di Indonesia.

War on drugs selalu menjadi narasi berulang untuk menunjukkan keseriusan negara dalam menangani tindak pidana narkotika. Padahal narasi perang terhadap narkotika ini semakin melanggengkan praktik pemerasan, penyiksaan, extra judicial killing, bahkan menormalisasi tindakan ilegal penegak hukum. LBHM mengajukan gugatan ini sebagai upaya untuk mereformasi kebijakan narkotika yang punitif, tidak mengutamakan pendekatan kesehatan, dan menyuburkan peredaran gelap narkotika.

Narahubung:
Awalaudin Muzaki: 0812-9028-0416
Nixon Randy: 0822-4114-8034

Rilis Pers – Penghambatan Akses Kesehatan Terdakwa 2 Aktivis Mahasiswa Papua (AMP)

Penghambatan Akses Kesehatan Terdakwa 2 Aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Bentuk Diskriminasi Yang Melanggar HAM & Menambah Deretan Perlakuan Tidak Adil Terhadap Warga Papua Dihadapan Hukum.

Jakarta, 15 Juni 2021,
2 orang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), yakni Ruland Rudolof Karafir yang merupakan Kepala Biro Pendidikan dan Pembinaan Pengurus Pusat AMP dan Finakat Molama yang merupakan Sekretaris Jenderal AMP, yang saat ini tengah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan di tahan di Polda Metro Jaya mengalami hambatan untuk mendapatkan pengobatan.

Sebelumnya, Penasihat Hukum kedua aktivis tersebut dari Tim Advokasi Papua, yang terdiri dari LBH Masyarakat (LBHM), LBH Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Papua itu Kita, dalam persidangan pada hari Rabu, 9 Juni 2021, telah meminta kepada Majelis Hakim agar dapat memberikan izin kepada keduanya untuk melakukan pengobatan karena memiliki kondisi penyakit khusus yang membutuhkan intervensi medis yang memadai. Pada persidangan tersebut Ketua Majelis Hakim telah memenuhi permintaan Tim Penasihat Hukum dan memberikan perintah kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Timur untuk memberikan akses agar Tim Penasehat Hukum bisa mendampingi terdakwa untuk mendapatkan pengobatan.

Selanjutnya, menindaklanjuti perintah Ketua Majelis Hakim tersebut, Tim Penasihat Hukum dan JPU menyepakati jadwal pengobatan ditentukan pada hari Senin, 14 Juni 2021. Tim Penasihat Hukum dan JPU kemudian menjadwalkan untuk bertemu di Polda Metro Jaya pukul 10.00 WIB. Akan tetapi, pada saat Tim Penasihat Hukum telah berada dan menunggu di Polda sejak dari Pukul 10.00, alih-alih bertemu JPU untuk diberikan akses agar kedua orang tersebut dapat dikeluarkan dari tahanan untuk mendapatkan pengobatan di tempat biasa berobat, JPU justru menginformasikan bahwa bagian tahanan Polda bisa mengeluarkan bila ada penetapan hakim. Setelah menginfromasikan hal tersebut kepada Tim Penasihat Hukum, Tim Penasihat Hukum menunggu hampir seharian tanpa kejelasan dan sampai rilis pers ini terbit belum ada kejelasan dari JPU mengenai upaya pengeluaran terdakwa dari tahanan Polda Metro Jaya untuk pengobatan.

Bahwa sepatutnya informasi yang didapatkan JPU tersebut tidak dapat dijadikan justifikasi sebagai alasan untuk menghalangi keduanya untuk dikeluarkan agar bisa berobat. Alasan tersebut hanya mengada-ada karena tidak didukung dasar hukum yang jelas. Justru sebaliknya, fakta bahwa terdakwa yang memiliki penyakit khusus sangat memerlukan intervensi medis yang memadai dan berkelanjutan, jelas merupakan alasan yang kuat agar terdakwa bisa dikeluarkan untuk mendapatkan pengobatan semaksimal mungkin untuk mengobati penyakit yang dideritanya.

Selain itu, jika merujuk butir 6 Surat Edaran Mahakamah Agung No. 1 Tahun 1989 bahkan untuk melakukan rawat inap di rumah sakit tidak perlu ada penetapan tersendiri dari Ketua Pengadilan Negeri. Oleh karena sebelumnya telah ada perintah dari Ketua Majelis Hakim dalam persidangan untuk memberikan akses kepada terdakwa berobat. Maka dari itu perintah dari Ketua Majelis Hakim sepatutnya dimaknai bahwa terdakwa yang telah diberikan izin untuk melakukan pengobatan dan telah memerintahkan JPU untuk membukakan akses kesehatan kepada terdakwa dihadapan persidangan yang terbuka untuk umum, tidak memerlukan lagi penetapan agar bisa mengeluarkan terdakwa dari tahanan untuk berobat.

Sejak awal Tim Advokasi Papua menilai bahwa kasus yang menimpa dua orang Aktivis Papua ini merupakan upaya untuk meredam gerakan demonstrasi yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan oleh mahasiswa Papua untuk menuntut pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Kondisi penghambatan akses kepada terdakwa untuk melakukan pengobatan jelas menambah deretan permasalahan pelanggaran HAM yang berkaitan dengan warga Papua, karena berdasarkan Pasal 28H ayat 1 UUD Negara RI Tahun 1945 menyebutkan bahwa hak atas pelayanan kesehatan sebagai hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi.

Bahwa proses hukum yang sedang dijalani oleh kedua orang aktivis tidak bisa dijadikan alasan untuk menghambat dan mengurangi hak atas pelayanan kesehatan sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi. Oleh karena itu, kami Tim Advokasi Papua menuntut kepada pimpinan kelembagaan aparat penegak hukum, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Mahkamah Agung Republik Indonesia Kepolisian Negara Republik Indonesia:

  1. Menghentikan segala diskriminasi dan Pelanggaran HAM terhadap warga Papua
  2. Melakukan penegakan hukum secara adil dan bertanggungjawab sesuai dengan prinsip negara
    hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia;
  3. Menghormati hak atas pelayanan kesehatan kedua orang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua;
  4. Memerintahkan Jaksa Penuntut umum (JPU) dan Polda Metro Jaya membukakan akses kesehatan agar kedua Mahasiswa Papua dapat berobat dengan memadai dan berkelanjutan;
  5. Tidak mempersulit Tim Penasehat Hukum dalam memberikan bantuan hukum kepada ke dua orang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua.

Hormat Kami,
Tim Advokasi Papua
[Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Papua itu Kita]

Narahubung:
1.Maruf Bajammal (081280505706)
2.Michael Hilman (082234750472)

Rilis Pers -RKUHP BUTUH DIBAHAS TERBUKA BUKAN SOSIALISASI SEARAH

Koalisi Nasional Reformasi KUHP Merespon, Diskusi Publik Rancangan KUHP KEMENKUMHAM Minim Pelibatan Masyarakat Secara Substansial: RKUHP Butuh Dibahas Terbuka Bukan Sosialisasi Searah Koalisi Nasional Reformasi KUHP Merespon

Kementerian Hukum dan HAM telah menyelenggarakan 11 kegiatan sosialisasi Rancangan KUHP (RKUHP), dan dimana senin, 14 Juni 2021 merupakan giliran sosialiasi RKUHP di Jakarta. Untuk merespon kegiatan ini, maka beberapa catatan Aliansi adalah sebagai berikut:

Pertama, dalam acara kegiatan ini, Aliansi tidak melihat ada perubahan dari susunan pembicara. Pemerintah tetap tidak melibatkan baik dari masyarakat sipil ataupun akademisi dari bidang ilmu dan perspektif berbeda untuk memberikan masukan pada RKUHP pada porsi yang berimbang dengan Pemerintah dan DPR. Acara diskusi ini lebih pada sosialisasi searah dari pada diskusi substansi yang lebih genting untuk dilakukan agar RKUHP tidak lagi mendapatkan penolakan dari masyarakat.

Beberapa anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP memang diketahui diundang dalam sosialisasi 14 Juni 2021 ini, namun, porsi masukan hanya dialokasikan 1 jam itupun di sesi tanya jawab, tidak seimbang dengan materi substansi yang melibatkan 6 pembicara dari tim perumus pemerintah dan DPR dengan alokasi waktu selama 3 jam lebih. Hal lain, tidak semua kalangan masyarakat sipil yang berpotensi terdampak diundang oleh Pemerintah, seperti dari kelompok penyandang disabilitas, kelompok advokasi Kesehatan reproduksi, kelompok rentan dan lain sebagainya.

Kedua, ketidakjelasan proses dan draf RKUHP yang akan dibahas. Baik Pemerintah dan DPR tidak secara jelas memberikan ketegasan apakah draf yang diedarkan pada acara sosialisasi RKUHP di Manado (Sosialisasi ke-11 sebelum Jakarta) merupakan draf terbaru atau hanya sosialisasi draf lama yang ditolak masyarakat pada September 2019. Apabila ini adalah draf terbaru, Aliansi tidak melihat adanya perubahan sedikitpun dalam draf tersebut, draf yang diedarkan masih merupakan draf versi September 2019 yang ditolak oleh masyarakat. Publik nampaknya perlu mengetahui proses kajian dan pembaruan RKUHP selama hampir 2 tahun ini paska penolakan September 2019 yang sudah dilakukan oleh Pemerintah. Apabila tidak ada perubahan, maka sosialisasi ini bukan mendengarkan masukan publik paska penolakan RKUHP September 2019 yang bahkan sampai memakan korban jiwa dan munculnya pernyataan Presiden untuk menunda dan mengkaji ulang RKUHP.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP jelas mendukung upaya-upaya pembaruan KUHP, kami juga sejalan dengan DPR dan Pemerintah yang ingin menciptakan KUHP baru yang jauh dari sifat kolonial, KUHP baru yang modern dan sesuai dengan konstitusi. Untuk itu, Pemerintah dan DPR nampaknya perlu diingatkan lagi bahwa dasar penundaan RKUHP adalah substansial, terkait dengan materi muatan RKUHP. Presiden sendiri yang menyatakan hal ini. Maka RKUHP butuh dibahas secara substansial dengan keterbukaan pemerintah dan DPR untuk adanya perubahan rumusan, penghapusan pasal atau bahkan koreksi pola pembahasan yang harusnya lebih inklusif melibatkan ahli tidak hanya ahli hukum pidana, bukan hanya sosialisasi searah terus menurus seakan masyarakat tidak paham masalah RKUHP. Dan apabila Pemerintah dan DPR masih ingkar, nampaknya penolakan masyarakat akan sulit untuk dibendung.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP:
ICJR, ELSAM, AJI, LBH Pers, Imparsial, KontraS, ICW, HuMA, PBHI, LeIP, LBH Jakarta, PKBI, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, YLBHI, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, MaPPI FHUI, CDS, ILR, ICEL, Rumah Cemara, WALHI, Jatam, YPHA, Ecpat Indonesia, ILRC, Epistema Institute, Yayasan Kesehatan Perempuan, Aliansi Satu Visi, PKNI, PUSKAPA, AMAN Indonesia, AMAN Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, JKP3, OPSI, Pusat Kajian Gender dan Seks UI, Institut Perempuan, Lintas Feminis Jakarta, Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia, Pusham UII, OHANA, SEHATI Sukoharjo, Green Peace Indonesia, SAFEnet, IJRS, Pamflet.

Rilis Pers – Surat Dakwaan Terhadap Dua Aktivis Aliansi Mahasiswa Papua Tidak Dapat Diterima

Tim Advokasi Papua
Rabu, 2 Juni 2021, persidangan dua (2) orang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua, yakni Ruland Rudolof Karafir yang merupakan Kepala Biro Pendidikan dan Pembinaan Pengurus Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Finakat Molama yang merupakan Sekretaris Jenderal Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Jakarta, telah memasuki agenda Pembacaan Eksepsi Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua.

Sejak awal Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua menilai bahwa kasus yang menimpa dua orang Aktivis Papua ini merupakan upaya untuk meredam gerakan demonstrasi yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan oleh mahasiswa Papua untuk menuntut pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

Maka dari itu, Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua mengajukan keberatan terhadap surat dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hal ini karena surat dakwaan tersebut disusun berdasarkan fakta yang keliru yang pada akhirnya membuat substansi dalam surat dakwaan No. Reg. Perkara: PDM-37/JKT-TM/EKU/04/2021 sangat kacau dan menyesatkan (misleading). Tidak hanya menyesatkan, tetapi dakwaan tersebut disusun dengan mengabaikan syarat materiil dalam penyusunan surat dakwaan, yakni harus disusun secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. JPU terkesan tidak mengerti secara jelas mengenai pemaknaan Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP yang dijadikan dasar proses persidangan dalam perkara a quo. Hal tersebut dapat tergambar dari tidak mampunya JPU menguraikan unsur Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP secara jelas, cermat dan lengkap mengenai perbuatan yang dilakukan oleh PARA TERDAKWA. Bahkan, ada beberapa unsur yang sama sekali tidak diuraikan dalam surat dakwaan. Hal ini diperparah lagi dengan prosedural penyusunan surat dakwaan No. Reg. Perkara: PDM-37/JKT-TM/EKU/04/2021 tersebut berdasarkan proses penyidikan, penangkapan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan yang tidak sah.

Untuk diketahui bersama, bahwa persidangan dua (2) aktivis Papua ini dilakukan secara online (daring). Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua sudah mengirimkan Surat Permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada tanggal 25 Mei 2021 untuk menghadirkan PARA TERDAKWA ke ruang persidangan secara langsung (tatap muka). Namun, hari ini, 2 Juni 2021, Ketua Majelis Hakim menyatakan secara lisan menolak permohonan tersebut tanpa membacakan penetapan di persidangan dan dasar hukum yang jelas, melainkan hanya berdalih bahwa semua persidangan se-Indonesia dilaksanakan secara daring.

Maka dari itu, atas alasan penolakan yang tidak dilandasi hukum tersebut Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua menyatakan keberatan. Hal ini didasari oleh karena sidang secara daring sangat bermasalah secara hukum dan HAM, yang secara teknis telah dan akan mempersulit PARA TERDAKWA untuk membela diri, sehingga berdampak pada tidak terpenuhinya hak PARA TERDAKWA untuk mendapatkan persidangan yang jujur dan adil (fair trial).

Selain itu, Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua berpendapat bahwa penolakan permohonan sidang tatap muka yang disampaikan secara lisan oleh Majelis Hakim tersebut sangat diskriminatif. Hal ini didasari adanya fakta bahwa sudah banyak sidang yang dilakukan secara tatap muka, misalnya dalam persidangan a.n. Habib Rizieq Shihab di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, persidangan a.n. Moh. Jumhur Hidayat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, persidangan a.n. Ahmad Shabri Lubis di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, persidangan a.n. Eddy Prabowo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, persidangan a.n. Ruslan Buton di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, serta persidangan a.n. Anton Permana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Untuk itu Tim Advokasi Papua meminta agar:

  1. Majelis Hakim membatalkan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum atau setidaknya menyatakan tidak dapat diterima;
  2. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur mencabut Penetapan Sidang Online dan melakukan sidang secara tatap muka jika proses persidangan akan dilanjutkan ke agenda berikutnya.

Narahubung:
Michael Himan (Papua Kita)
Ade Lita (KontraS)
Ma’ruf Bajamal (LBH Masyarakat)
Teo Reffelsen (LBH Jakarta)

Skip to content