Month: November 2021

Rilis Pers – REKAYASA KASUS NARKOTIKA: ANGGOTA DPRD PAPUA AJUKAN PRA PERADILAN

Senin, 27 September 2021, seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua, Thomas Sondegau (Thomas) ditangkap oleh anggota Direktorat Reserse Narkotika (Ditresnarkoba) Polda Metro Jaya karena diduga menyalahgunakan narkotika. Dari penangkapan tersebut, ditemukan 1 (satu) butir ekstasi dari saku celana Thomas, padahal Thomas menyatakan tidak pernah mengetahui apalagi menggunakan obat tersebut. Atas penangkapan tersebut, Thomas kini sedang menjalani rehabilitasi inap di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur berdasarkan permohonan yang diajukan oleh Ditresnarkoba Polda Metro Jaya.

Dalam proses penanganan perkara Thomas tersebut, LBH Masyarakat (LBHM) dan Kantor Hukum Haris Azhar & Partner (HAP) selaku Tim Kuasa Hukum Thomas melihat ada sejumlah kejanggalan yang berakibat pada tercederainya hak-hak Thomas. Kasus Thomas juga dilihat sebagai salah satu bentuk kriminalisasi terhadap seseorang dengan melanggengkan praktik stigma dan diskriminasi terhadap penggunaan narkotika.

Pertama, penangkapan yang dilakukan terhadap Thomas menyalahi proses yang diatur dalam KUHAP. Dalam penangkapan, Thomas tidak diperlihatkan Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penggeledahan. Hal ini menunjukkan indikasi adanya praktik penjebakan yang dilakukan pihak kepolisian dengan memanfaatkan pihak ketiga untuk melakukan jebakan dalam penangkapan Thomas;

Kedua, proses penahanan dilakukan secara sewenang-wenang karena tidak ada surat penahanan yang ditunjukkan kepada Thomas dan kepada keluarga Thomas. Pada proses penahanan, Thomas juga tidak diperkenankan untuk didampingi oleh tim kuasa hukumnya;

Ketiga, proses penetapan tersangka terhadap Thomas tidak sesuai dengan prosedur hukum acara pidana. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, setidaknya harus didasari 2 (dua) alat bukti. Dalam proses penanganan perkara Thomas, bukti yang ditemukan menunjukkan keterangan yang berbeda;

Keempat, adanya dugaan penjebakan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian dengan menggunakan perempuan berinisial R sebagai alat untuk merekayasa kasus Thomas, seolah-olah Thomas memiliki dan menyalahgunakan narkotika. Dugaan penjebakaan tersebut semakin kuat karena perempuan yang ditangkap bersama Thomas tidak dilakukan penahanan. Padahal saat dilakukan pemeriksaan oleh pihak Kepolisian, perempuan tersebut dinyatakan positif (+) menggunakan narkotika;

Kelima, hasil tes laboratorium yang dilakukan oleh RSKO dan hasil tes laboratorium yang dilakukan oleh BNN Provinsi DKI Jakarta menyatakan Thomas negatif (-) menggunakan narkotika, berbeda dengan hasil penyidikan Kepolisian;

Keenam, terdapat intervensi dari pihak Kejaksaan kepada keluarga Thomas untuk meminta Thomas mencabut surat kuasa kepada salah seorang tim kuasa hukum. Hal ini menunjukan pihak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yang menangani perkara Thomas tidak menjalankan tugas dengan professional, bahkan mengingkari doktrin Tri Krama Adhyaksa.

Terkait segala dugaan tersebut, Tim Kuasa Hukum Thomas kemudian mendaftarkan permohonan pra peradilan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Adapun persidangan pertama pra peradilan tersebut akan diselenggarakan pada tanggal 29 November 2021. Upaya pra peradilan tersebut diajukan sebagai sarana koreksi atas segala tindakan yang dilakukan pihak Kepolisian dan Kejaksaan dalam menangani perkara Thomas, agar penegakan hukum dalam tindak pidana narkotika tidak menjadi sarana rekayasa kasus yang terus berulang.

Praktik penegakan hukum yang sarat dengan rekayasa dalam tindak pidana narkotika sesungguhnya telah lama disaksikan komunitas pengguna Napza di seluruh Indonesia. Peristiwa yang diduga kembali terjadi kepada Thomas ini seakan menjadi bukti sahih atas pengalaman kolektif ini. Adapun rekayasa kasus narkotika yang menyita perhatian publik karena dianulir oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk dibebaskan pada tahap kasasi, seperti kasus Iwan dan Benny, maupun Ket San. Kasus-kasus tersebut dianulir karena terbukti terdapat perekayasaan fakta atau konstruksi hukum sejak ditangani oleh pihak kepolisian.

Berdasarkan hal tersebut di atas, LBHM dan HAP selaku Tim Kuasa Hukum Thomas mendesak:

Hakim yang memeriksa permohonan pra peradilan yang diajukan Thomas agar mengadili perkara ini secara independen, bijaksana, dan menjatuhkan putusan dengan mendasarkan pada kebenaran materil yang terungkap dalam persidangan;

Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus Thomas secara menyeluruh dan memberi hukuman pada Anggota Kepolisian yang terbukti melanggar prosedur;

Jaksa Agung Republik Indonesia untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus Thomas secara menyeluruh dan memberi hukuman pada Anggota Kejaksaan yang terbukti melanggar prosedur;

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, dan Ombudsman Republik Indonesia melakukan investigasi mandiri terhadap kasus ini untuk memperoleh lebih banyak data, serta memberikan rekomendasi kebijakan agar hal serupa tidak terjadi lagi; dan

Pemerintah dan Parlemen untuk membuat peraturan yang mendekriminalisasi pemakaian, penguasaan, dan pembelian narkotika dalam jumlah kecil agar mereduksi masifnya pendekatan hukum pidana dan perekayasaan kasus terhadap permasalahan narkotika.

Jakarta, 25 November 2021

Tim Kuasa Hukum Thomas Sondegau:
LBH Masyarakat (LBHM) & Kantor Hukum Haris Azhar dan Partner (HAP)

Jurus \’Mas Menteri\’ Tangkal Kekerasan Seksual

Nampaknya, Nadiem Makarim, akrab disapa Mas Menteri, menjadi menteri yang paling sibuk menghadapi pro kontra publik saat ini. Pasalnya, baru-baru ini beliau menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayan Riset dan Teknologi RI  Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek 30/2021) atau dikenal di masyarakat dengan sebutan PPKS. Kita tinggalkan dahulu pro dan kontra yang terjadi. Tentu publik juga perlu tahu, mengapa Permendikbudristek 30/2021 ini begitu mendesak untuk dikeluarkan oleh, Mas Menteri?

Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2020, pada kanal lembaga negara tahun 2015-2020, menyebutkan, sebanyak 27 persen kekerasan seksual terjadi disemua jenjang pendidikan tinggi. Sementara itu, berdasarkan 174 testimoni dari 79 kampus di 29 kota, sebanyak 89 persen perempuan dan 4 persen laki-laki menjadi korban kekerasan seksual. Sebanyak 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen dari korban tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. Pada banyak kesempatan, Mas Menteri kerap mengacu pada data dan fakta di atas sebagai dasar keluarnya peraturan tersebut. Yang secara objektif, menurut saya keputusannya merupakan satu langkah kongkret dan tepat untuk mengatasi fenomena kekerasan seksual di perguruan tinggi kita. Jika dibaca dengan seksama, salah satu fokus utama Permendikbudristek ini adalah untuk melindungi kepentingan korban. Ya korban! Dari data di atas, 63 persen korban tidak melaporkan kasusnya tentu perlu mendapatkan perhatian serius. Banyak faktor disinyalir menjadi penghambatnya, seperti sistem hukum yang belum memihak korban, victim blaming, persekusi, eksploitasi data pribadi semisal kasusnya  diliput media massa yang membuat kehidupan pribadinya jadi konsumsi publik, hingga anggapan masyarakat (yang nampaknya) permisif kepada pelaku, membuat para korban memilih untuk diam. Belum lagi, dibanyak kasus, korban yang melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya malahan berujung menjadi terlapor atau tersangka pelaporan kasus pencemaran nama atau UU ITE.

Momentum untuk Mendengar Korban

World Health Organization (WHO) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai “any sexual act, attempt to obtain a sexual act, unwanted sexual comments or advances, or acts to traffic, or otherwise directed, against a person’s sexuality using coercion, by any person regardless of their relationship to the victim, in any setting, including but not limited to home and work”.  Terkait dengan inisiatif-inisiatif pembahasan terkait kekerasan seksual, lanjut WHO, justru terfokus kepada kriminalisasi perbuatan kekerasan, melupakan persoalan yang lebih penting dan mendesak yaitu mengenai hak korban. Korban sebagai pihak yang paling menderita seolah termarjinalisasi. Dampak kekerasan seksual bagi korban tentunya tidak bisa disepelekan. Dampaknya tidak hanya pada kesehatan fisik saja, tetapi juga berdampak pada mental dan sosial korban. Kekerasan seksual juga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada korban, baik secara fisiologis, emosional, maupun psikologis. Dampak secara fisiologis berupa luka fisik, kesulitan tidur dan makan, kehamilan yang tidak diinginkan, tertular penyakit seksual, dan lain-lain. Selanjutnya, dampak secara emosional berupa perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, perasaan malu, penyangkalan, dan lain-lain. Selanjutnya, dampak secara psikologis berupa post-traumatic stress disorder (PTSD), depresi, kecemasan, penurunan self-esteem, simtom obsesif-kompulsif, dan lain-lain.  Korban kekerasan seksual juga dapat mengalami berbagai masalah interpersonal, seperti ketidakpercayaan pada orang lain, kesulitan dalam hubungan, mengisolasi dan mengasingkan diri sendiri, serta ketakutan terhadap laki-laki.  Selain itu, korban yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat kemungkinan memiliki dorongan yang kuat untuk bunuh diri. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Kilpatrick dan kolega (1985) yang menemukan bahwa 1 dari 5 korban kekerasan seksual pernah melakukan percobaan bunuh diri. Jumlah tersebut lebih besar daripada jumlah percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh korban dari tindak kejahatan lain.

Dengan melihat besarnya dampak bagi keselamatan jiwa korban, Permendikbudristek 30/2021 ini merupakan langkah positif yang tentunya patut mendapatkan apresiasi. Dalam peraturan yang ditandatangani Mas Menteri ini telah mengatur beberapa hal penting bagi korban. Pertama, adanya upaya pencegahan untuk mencegah potensi terjadinya kekerasan seksual dan juga adanya upaya serius untuk memutus mata rantai kekerasan seksual yang sudah terjadi selama ini. Kedua, aspek penanganan kekerasan seksual turut juga diakomodasi dalam peraturan ini. Di mana, dalam hal terjadinya kekerasan seksual, perguruan tinggi wajib untuk melakukan perlindungan, pendampingan dan pemulihan bagi korbannya. Hal-hal tersebut tentunya penting. Terlebih, Permendikbudristek 30/2021 juga memberikan ancaman sanksi bagi si pelaku kekerasan seksual itu sendiri.  Dalam upaya mewujudkan program “Kampus Merdeka”, rasanya Mas Menteri berhasil mewujudkan kemerdekaan bagi banyak peserta didik dari rasa takut atas kekerasan seksual di perguruan tinggi saat ini. Kemerdekaan yang tentunya menyelamatkan jiwa dan masa depan generasi mendatang. Bravo, Mas Menteri!

Tulisan opini ini merupakan respon sekaligus dukungan atas diterbitkannya Peraturan Anti Kekerasan Seksual di lingkungan pendidikan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Riset Teknologi. Tulisan ini ditulis oleh Dominggus Christian – Manajer Pengetahuan dan Jaringan.

Sumber:

  1. World Health Organization, World Report on Violence and Health (UN World Health Organization 2002).
  2. Survei Kemendikbud Tahun 2020
  3. Tsai, M., & Wagner, N. (1978). Therapy group for women sexually molessed as children. Archives of Sexual Behavior, 7, 417-429.
  4. Sulistyaningsih, E., & Faturochman. (2009). Dampak sosial psikologis perkosaan. Buletin Psikologi, 10(1), 9-23.
  5. Permendikburistek REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2021 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI
  6. https://www.kominfo.go.id/content/detail/38072/tetaskan-solusi-cegah-kekerasan-seksual-di-perguruan-tinggi/0/berita
  7. https://www.nsvrc.org/statistics-about-sexual-violence.pdf 
  8. http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jpkk66bc3a3824full.pdf 
  9. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211111093436-20-719583/survei-nadiem-77-persen-dosen-akui-ada-kekerasan-seksual-di-kampus 

Informasi Bantuan Hukum LBHM

Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia termasuk Indonesia selama satu setengah tahun lebih ini membuat dampak dan perubahan yang signifikan bagi elemen kehidupan sosial masyarakat, salah satunya penyedia layanan jasa seperti kami (LBHM).

Semenjak pandemi itu kami pun merubah skema layanan konsultasi dan bantuan hukum yang sehari-hari kami lakukan dari luring (offline) menjadi daring (online). Melihat situasi tren penularan virus yang sudah menurun dan dirasa sudah cukup kondusif. Per 18 November 2021, kami akan kembali memberlakukan layanan konsultasi dan bantuan hukum secara luring (tatap muka).

Masyarakat dapat mengakses layanan dan konsultasi bantuan hukum kami setiap hari Senin sampai Kamis (10.00 – 16.00 WIB), bertempat di Kantor LBHM, Jl. Tebet Timur Dalam VI E No.3, RT.1/RW.6, Tebet Tim., Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12820

Informasi lengkap dapat dilihat pada tautan berikut:
Pengumuman Layanan Konsultasi dan Bantuan Hukum LBHM

Rilis Pers – Audiensi Koalisi Pemantau Peradilan ke Komisi Yudisial

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah memutuskan 7 nama yang terpilih menjadi Hakim Agung pada 21 September 2021 lalu. Adapun 7 nama yang terpilih  mengisi berbagai formasi, diantaranya yaitu 5 nama pada Kamar Pidana, 1 nama pada Kamar Perdata, dan 1 nama pada Kamar Militer.

Dari hasil pemantauan yang telah dilakukan oleh Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) selama proses seleksi di Komisi Yudisial (KY) dan proses uji kelayakan dan kepatutan di DPRI RI, terdapat beberapa catatan dan evaluasi mengenai kepatutan calon terkait dengan integritas, komitmen dalam pemberantasan korupsi, visi misi, serta komitmen dalam mendukung reformasi peradilan yaitu:

A. Transparansi dan Akuntabilitas Pelaksanaan Seleksi Calon Hakim Agung

  1. Beberapa CHA yang lolos ke tahap wawancara diduga memiliki rekam jejak bermasalah, mulai dari jumlah harta kekayaan yang tidak wajar hingga dugaan pelanggaran integritas dan profesionalitas.
  2. Pintu untuk memberikan masukan dari masyarakat tidak dibuka secara luas oleh Komisi Yudisial. Sebagai contoh, Kantor Penghubung Komisi Yudisial tidak cukup aktif dalam menjaring masukan.
  3. Panelis dan Komisioner Komisi Yudisial memberikan kesan intimidatif saat melemparkan pertanyaan, tetapi justru tidak terdapat pendalaman yang berarti secara substansi.

Banyak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Pansel memiliki nuansa yang tidak bermanfaat bagi seleksi CHA dan hanya menunjukkan kegarangan Pansel terhadap CHA. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak punya korelasi dengan pengetahuan dan keahlian seorang CHA. Dalam jangka panjang, tipikal wawancara seperti ini akan mengakibatkan calon-calon terbaik enggan mendaftar menjadi CHA.

  1. Proses pendalaman profil berupa klarifikasi rekam jejak CHA dalam wawancara CHA sempat dilakukan secara tertutup dengan menonaktifkan suara (mute) pada saat live Youtube berlangsung, namun pada hari kedua mekanisme ini diubah dan dapat disaksikan secara daring oleh publik. Hal ini menunjukkan bahwa tahap wawancara tidak sepenuhnya dilakukan dengan transparan, akuntabel, dan partisipatif. Hal ini tidak sejalan dengan UU Komisi Yudisial dan Peraturan Komisi Yudisial No. 2 Tahun 2016 tentang Seleksi Calon Hakim Agung yang mengatur bahwa “seleksi calon hakim agung dilaksanakan secara transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel.” Dalam Peraturan KY ini, diatur dalam Pasal 21 ayat (6) bahwa wawancara dilakukan secara tertutup dalam hal terdapat informasi baru terkait kesusilaan.
  2. Setelah proses wawancara yang kurang transparan, akuntabel dan partisipatif, proses pengumuman CHA yang lolos ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak dipublikasikan oleh Komisi Yudisial.

B. Kebutuhan Mahkamah Agung atas Hakim Agung dan Kaitannya dengan Pelaksanaan Sistem Kamar di Mahkamah Agung

1. Keadaaan Perkara dan Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung
Persyaratan utama sistem kamar adalah tersedianya hakim agung yang memiliki spesialisasi atau keahlian yang sesuai dengan kebutuhan penanganan perkara pada Kamar. Saat ini beban perkara di Mahkamah Agung masih tergolong tinggi.

Jumlah perkara yang ditangani Mahkamah Agung tidak sedikit jumlahnya. Salah satu cara untuk meminimalisir banyaknya perkara berada di Mahkamah Agung adalah mempercepat proses penanganan perkara melalui jumlah hakim agung yang mendukung pada setiap kamar. Jumlah beban perkara seharusnya berbanding lurus dengan jumlah hakim agung pada kamar. Namun, saat ini jumlah perkara belum seimbang dengan jumlah hakim agung dan spesialisasinya pada kamar-kamar.

2. Mekanisme Penentuan Kebutuhan Pengisian Jabatan Hakim Agung

  • Parameter Kebutuhan Pengisian Jabatan Hakim Agung
    Undang-undang hanya mengatur pengisian jabatan untuk hakim agung yang akan pensiun tetapi tidak mengatur untuk pengisian dengan alasan hakim agung meninggal dunia atau kebutuhan Mahkamah Agung terkait penerapan sistem kamar. Secara ideal, KPP memandang parameter kebutuhan pengisian jabatan hakim agung harus melihat 3 (tiga) faktor, yaitu:
  1. Hakim agung yang akan memasuki usia pensiun dalam waktu dekat;
  2. Hakim agung yang meninggal dunia;
  3. Komposisi jumlah hakim agung dan jumlah beban perkara dalam setiap kamar.

Ketiga faktor tersebut akan menjadi valid sebagai ukuran pengisian jabatan hakim agung ketika diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait seleksi calon hakim agung serta menjadi pedoman Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan DPR yang terlibat dalam proses seleksi.

  • Pihak yang Berwenang Menentukan Kebutuhan Pengisian Jabatan Hakim Agung dan Menyatakan Diadakannya Seleksi Calon Hakim Agung
    Secara ideal, Mahkamah Agung seharusnya adalah pihak yang menentukan kebutuhan pengisian jabatan hakim agung. Hal ini didasari alasan Mahkamah Agung adalah rumah hakim agung dan seharusnya mengetahui kebutuhannya dalam menjaga kesatuan hukum.

    Meskipun Mahkamah Agung adalah pihak yang seharusnya berwenang menentukan kebutuhan, peran Komisi Yudisial tidak bisa dikesampingkan. Komisi Yudisial seharusnya ikut dalam menganalisis kebutuhan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial seharusnya berkoordinasi mengenai kebutuhan pengisian jabatan hakim agung dengan tetap mengacu pada parameter yang ada. Sebagai pintu awal seleksi, Komisi Yudisial pada dasarnya dapat memberikan masukan kepada Mahkamah Agung terkait kebutuhan pengisian jabatan hakim agung.

C. Rekomendasi

  1. Komisi Yudisial menyelenggarakan proses seleksi Calon Hakim Agung secara terbuka dan dapat diakses oleh publik secara tatap muka (offline) dan daring (online).
  2. Memilih Calon Hakim Agung yang memiliki profil:
    • CHA yang memiliki visi dan misi yang jelas sebagai Hakim Agung;
    • CHA yang tidak memiliki catatan integritas yang buruk;
    • CHA yang memiliki harta kekayaan yang wajar;
    • CHA yang memiliki pemahaman mumpuni mengenai hukum dan peradilan sesuai kamar perkara yang dipilih;
    • CHA yang berkomitmen untuk berperan aktif dalam reformasi peradilan khususnya di Mahkamah Agung;
  1. CHA yang memahami peran hakim dan pengadilan dalam pemenuhan HAM sesuai kedudukan pengadilan dalam konsep negara hukum; serta
  2. CHA yang memiliki keberpihakan pada kelompok rentan, yaitu perempuan, anak, masyarakat miskin dan kelompok minoritas, serta perlindungan lingkungan hidup.
  3. Komisi Yudisial sebaiknya terus mengupdate database calon hakim agung yang bisa dijaring ketika proses seleksi calon hakim agung akan dimulai.
  4. Dibutuhkan forum rutin antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk membahas seleksi calon hakim agung. Mulai dari membahas kebutuhan hakim agung, kondisi MA, sampai dimulainya pelaksanaan seleksi.

Koalisi Pemantau Peradilan:
TII, LeIP, IJRS, PBHI, LBH Masyarakat (LBHM), ICEL, ICW, YLBHI, PUSKAPA, KontraS, ELSAM, LBH Jakarta, PSHK, Imparsial, LBH Apik Jakarta, PILNET Indonesia.

Dokumen Kebijakan – Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021

Jaksa Agung baru-baru ini mengeluarkan sebuah pedoman yang mengatur tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.

Pedoman ini dimaksudkan sebagai acuan penututan umum dalam penyelsaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika dengan pendekatan restoratif justice. Selain itu pedoman ini bertujuan untuk mengoptimalisasi penyelesaian penanganagn perkara tindak pidana narkotika melalui rehablitasi.

Baca dokumennya lengkapnya pada tautan di bawah ini:
Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021

Rilis Pers – Tanggapan atas Kerja Sama LPSK dan BNN

Sebagai lembaga yang memiliki fokus melindungi saksi dan korban sudah menjadi hal yang wajar jika Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) menjalin kerja sama untuk memberikan rasa aman bagi saksi maupun korban dalam tindak pidana narkotika. Kerja sama yang dituangkan dalam bentuk nota kesepahaman (MoU) sudah berlangsung lebih kurang sejak tahun 2016 dan berakhir pada September 2021. Pada 2 November 2021, LPSK dan BNN resmi memperjangan kerja sama di kantor BNN.

Selain itu, perpanjangan kerja sama ini juga adanya faktor desakan dari Komisi III DPR RI agar LPSK memiliki peran yang lebih besar dalam melakukan perlindungan saksi tindak pidana narkotika. Namun, jika ditinjau lebih lanjut, langkah ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan selama proses penyelesaian perkara pidana di tingkat peradilan dan cenderung belum tepat sasaran.

Dalam praktiknya, sering kali kita melihat saksi yang dihadirkan di persidangan dalam tindak pidana narkotika adalah pihak kepolisian maupun BNN yang melakukan penangkapan atau berstatus sebagai penyidik terhadap Terdakwa. Yang mana peran mereka sudah dilindungi dalam pasal 212 pada KUHP dan pasal 7 pada Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2010 tentang Hak-Hak Anggota Polri.

Berdasarkan pemantauan berita daring yang dilakukan oleh LBH Masyarakat (LBHM), pada tahun 2017, terdapat 183 kasus tembak di tempat terhadap terduga pelaku tindak pidana narkotika dengan jumlah korban total 215 orang. Sedangkan pada tahun 2018 terdapat penurunan jumlah kasus tembak di tempat yaitu sebanyak 159 kasus, dengan jumlah korban total 199 orang. Ditambah, praktik-praktik penyiksaan dalam lingkup pemeriksaan dan kekerasan dalam lingkup penahanan, serta pemerasan masih terus terjadi, khususnya di kasus narkotika. Hal ini lah yang seharusnya menjadi sorotan utama sebagai bentuk implementasi kerja sama yang baik antara BNN dengan LPSK.

Dalam kasus narkotika, tindakan penembakan justru menjadi instrumen dalam melakukan penegakan hukum, yang mana harus dipahami bahwa tindakan tersebut adalah sebagai wujud pengingkaran terhadap jaminan perlindungan hak asasi manusia. Kerja sama yang terjadi antara LPSK dan BNN masih dirasa belum tepat sasaran dan justru akan menjadi tameng bagi aparat penegak hukum terkait dalam melegitimasi tindakannya yang mengingkari jaminan perlindungan hak asasi manusia.

Saat ini, yang dibutuhkan dalam rangka melindungi saksi dan korban dalam kasus narkotika adalah membuat regulasi yang dapat memberikan perlindungan bagi pihak-pihak yang terdampak dari tindakan penegakan hukum yang melanggar hak asasi manusia. Jika LPSK menginginkan tujuan mulianya benar-benar tercapai, harus ada regulasi khusus untuk memberikan perlindungan hukum yang memungkin bagi LPSK membuka pintu pengaduan tersebut seluas-luasnya bagi masyarakat terdampak.

Berdasarkan hal tersebut di atas, LBHM mendesak agar:

  1. LPSK dan BNN mengutamakan perlindungan hukum dan keamanan bagi terduga pelaku dalam kasus narkotika;
  2. LPSK dan BNN menyepakati bahwa pengguna narkotika dan perempuan korban relasi kuasa dalam kasus narkotika merupakan korban yang patut dilindungi dan dijamin;
  3. LPSK bersedia memberikan pertimbangan kepada perempuan korban relasi kuasa dalam kasus narkotika sebagai saksi pelaku (justice collaborator).

Narahubung:
1. Kiki Marini Situmorang: 0896 3970 1191
2. Awaludin Muzaki: 0812 9028 0416

Hiring – Konsultan Video Jajak Pendapat ODP

Visual grafis menjadi salah satu medium kampanye yang dipakai untuk mendorong upaya-upaya advokasi serta mendapatkan empati dan dukungan dari publik terkait apa yang dikampanyekan. LBHM percaya jika semua orang dapat berkontribusi dalam memajukan HAM, salah satunya melalui bentuk Video.

LBHM saat ini sedang aktif mengkampanyekan hak-hak seorang disabilitas. khususnya Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) yang masih mengalami ragam diskriminasi dan stigma di kehidupan sosial. Berangkat dari hal tersebut, LBHM membuka kesempatan bagi teman-teman yang memiliki kemampuan dalam dunia sinematografi/videografi dan juga mempunyai kemampuan copywritting, serta memiliki pemahaman isu HAM (khususnya isu Kesehatan Jiwa) yang baik.

Jika, kalian memiliki semua kriteria seperti di atas, langsung aja segera daftarkan diri kalian atau tim kalian untuk menjadi Konsultan Pembuat Video. Untuk mendaftarkan diri silahkan teman-teman membaca kerangka acuan di bawah ini.

Unduh dokumennya di sini:
Pembuatan Video Jajak Pendapat tentang Orang dengan Disabilitas Psikososial

Surat Dukungan Publik Untuk Merri Utami

Merri Utami sudah memasuki usia pemenjaraan yang ke-20 tahun pada 31 Oktober 2021 yang lalu. Sudah 5 tahun permohonan grasi Merri Utami belum mendapatkan balasan sama sekali dari Presiden.

Pada momentum 20 tahun pemenjaraan Merri Utami, tim kuasa hukum (LBHM) bersama dengan anak dari Merri Utami, Devi Christa mendatangi Kantor Staf Presiden (KSP), untuk menyerahkan surat dukungan dari publik terkait jawaban atas grasi dari ibunya Devi Christa yakni Merri Utami. Surat dukungan ini juga dibuat untuk mendorong Presiden untuk segera memberikan jawaban dan mengabulkan permohonan grasi Merri Utami yang sudah diajukan sejak tahun 2016.

Selain surat dukungan yang sudah ditandatangani oleh lebih dari 100 organisasi masyarakat sipil, kami juga menyerahkan petisi dukungan yang sudah kami buat dan kumpulkan sejak tahun 2020. Setidaknya terdapat lebih dari 50.000 orang yang sudah menandatangani petisi dan sepakat untuk mendukung pemberian grasi terhadap Merri Utami. Momentum ini tidak hanya kami pakai untuk berdiplomasi dengan negara, kami juga mengekspresikannya lewat aksi simbolis dengan cara mimbar bebas, sampai dengan teatrikal sebagai bentuk ekspresi dan dukungan terhadap Ibu Merri Utami yang selama ini terampas hak-haknya.

Surat dukungan dapat teman-teman lihat dan unduh pada link berikut:

Surat Dukungan Publik Untuk Merri Utami

Skip to content