Month: June 2023

[Siaran Pers Hari Narkotika Internasional 2023] KUHP Baru: Melanggengkan Hukuman Bagi Pengguna Narkotika

KUHP yang disahkan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masih bermasalah yang mengancam kebebasan sipil, demokrasi dan hak untuk hidup terutama rumusan yang mengatur jerat pidana bagi pengguna narkotika. Rumusan dalam KUHP Baru terkait narkotika yang termuat dalam Pasal 609 beberapa rumusannya merupakan materi yang serupa dengan Pasal 111 dan Pasal 112 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (UU Narkotika) yang mengatur tentang memiliki, menguasai, menyediakan, menyimpan narkotika. Duplikasi pasal dalam KUHP Baru dari UU Narkotika pada dasarnya mengulangi kembali kegagalan yang dibuat UU Narkotika yang berujung pada terulang kembalinya overcrowding penjara.

Di sisi lain, KUHP Baru mengatur mengenai tindakan rehabilitasi bagi terdakwa narkotika yang tercantum dalam Pasal 105. Namun pasal ini tidak mengurangi kewenangan aparat penegak hukum untuk menangkap dan menahan terlebih dahulu pengguna narkotika, sebagaimana praktik yang terjadi saat ini dalam UU Narkotika yang masih melakukan upaya paksa penangkapan dan penahanan bagi pengguna narkotika. Model pengaturan seperti ini berarti pasal-pasal narkotika dalam KUHP Baru masih menjadi ancaman kriminalisasi bagi pengguna narkotika.

Di samping itu juga, pasal-pasal narkotika dalam KUHP Baru berpeluang tumpang tindih dengan revisi UU Narkotika yang saat ini sedang dibahas di DPR. Disharmoni antara aturan umum (KUHP Baru) dan aturan sektoral (UU Narkotika) mengakibatkan pasal-pasal narkotika menjadi multitafsir. Dalam arti lain, tak ada jaminan kepastian hukum hingga implementasi tidak berjalan efektif. Persoalan ini melanggengkan bentuk pelanggaran dan penyalahgunaan kewenangan.

Sepanjang 2 (dua) tahun dari 2022-2023, LBHM mendokumentasikan bentuk pelanggaran dari sistem hukum narkotika yang brutal dan tidak manusiawi serta merampas hak untuk hidup. Dari 803 warga binaan pemasyarakatan (WBP), terdapat 159 individu mengaku mengalami penyiksaan di tingkat penyidikan, 85 individu mengalami pemerasan. Selain itu, dari 803 individu, LBHM juga menemukan 711 individu yang tidak mendapatkan akses bantuan hukum di penyidikan dan 687 di tingkat pengadilan. Bahkan sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi, Indonesia telah melakukan 3 (tiga) gelombang eksekusi mati yang menyasar 18 orang terpidana mati yang berasal dari kasus narkotika. Meskipun sejak 2016 sampai sekarang, tidak ada eksekusi mati namun tren vonis pidana mati tidak pernah turun dan dominan berasal dari kasus narkotika.

Problem hukum narkotika yang punitif mengingkari semangat Sustainable Development Goals (SDGs) yang menjamin pemenuhan hak atas kesehatan dan akses terhadap keadilan dengan prinsip “No One Left Behind” yang berarti tidak ada seorang yang tertinggal, termasuk bagi pengguna narkotika yang masih terstigma dan diskriminasi dan jauh dari pelayanan kesehatan dan sosial yang berbasis hak asasi manusia.

Dalam konteks pengurangan dampak buruk (harm reduction) terhadap narkotika dalam perspektif keagamaan sebagai narasi yang mendominasi persoalan narkotika masih tidak sinkron, sehingga terjadi kesenjangan antara institusi keagamaan dengan pengguna narkotika, seperti perspektif keagamaan yang tumpul mengedukasi pemenuhan kesehatan pengguna narkotika di fasilitas kesehatan. Kondisi ini secara struktural terjadi akibat tidak masuknya agenda pendekatan kesehatan pengguna narkotika dalam perspektif keagamaan yang secara kelembagaan merupakan tanggung jawab Kementerian Agama.

Atas uraian di atas, LBHM mendesak untuk:

  1. Mencabut pasal-pasal bermasalah dalam KUHP Baru, diantaranya pasal-pasal tentang narkotika;
  2. Mendorong revisi UU Narkotika yang berbasis pendekatan kesehatan dan sosial dalam kerangka hak asasi manusia;
  3. Menghapus pasal pidana mati dalam KUHP Baru dan UU Narkotika;
  4. Mendorong keterlibatan berbagai sektor stakeholder dalam pengurangan dampak buruk terhadap pengguna narkotika.

Jakarta, 23 Juni 2023

Narahubung:

  1. Kiki Marini (+62 896-3970-1191)
  2. Awaludin Muzaki (+62 812-9028-0416)

Buku Laporan Penelitian \”Tinjauan Kebijakan Orang dengan Disabilitas Psikososial\” dan Policy Brief \”Hak-Hak Disabilitas Psikososial di Indonesia\”

Penyusunan kebijakan tentang disabilitas di Indonesia memang mengalami perkembangan pesat dan tersebar di setiap institusi pemerintah pusat atau daerah juga swasta. LBHM menemukan hampir 300 peraturan tentang disabilitas dibanyak sektor misalnya pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hukum, perlindungan sosial yang dibuat pemerintah sampai saat ini dengan jenis peraturan perundang-undangan yang berbeda. Keberadaan peraturan-peraturan ini menunjukan komitmen dalam mengakui dan memahami situasi disabilitas saat ini ke arah yang responsif.

Dalam studi ini LBHM meninjau ratusan peraturan yang eksisting tapi belum berhasil menjawab kebutuhan ragam disabilitas, terutama disabilitas psikososial. Di samping itu peraturan yang spesifik terhadap disabilitas psikososial masih mengandung hambatan dalam implementasinya. bahkan jenis-jenis peraturan tersebut cenderung disharmoni satu sama lain secara vertikal atau horizontal dan juga masih ditemukan kekosongan hukum dalam menjamin kesetaraan di hadapan hukum, non diskriminasi dan perlindungan terhadap akses keadilan bagi disabilitas psikosial.

Meskipun LBHM juga menilai dibeberapa institusi pemerintah memiliki peraturan yang terbilang komprehensif seperti di Direktorat Jenderal Peradilan Umum pada Mahkamah Agung namun aturan ini belum menginternalisasi di tingkat pengadilan bawah seperti pengadilan negeri, terlebih pengadilan negeri merupakan pengadilan yang dibutuhkan oleh disabilitas mental mendapatkan keadilan.

Persoalan internalisasi terhadap institusi pusat yang memiliki struktur organisasi sampai level Kota dan Kabupaten merupakan kendala besar dalam singkronisasinya. Bahkan dengan konsep otonomi daerah yang memberikan kewenangan setiap Kabupaten dan Kota menyusun peraturan daerah masing-masing, persoalan disabilitas menghadapi jalan terjal mengingat sebaran disabilitas terdapat di mana-mana. Dengan kondisi seperti ini upaya menghadirkan penanganan disabilitas yang responsif masih menghadapi tantangan yang cukup berat.

Namun dengan hadirnya studi ini, pemerintah bisa memperbaiki perkembangan hukum saat ini yang sudah dicapai ke arah yang digariskan dalam Konvensi Hak Orang Disabilitas (CRPD) yang telah diratifikasi 2016 lalu sebagai wujud komitmen kuat Indonesia dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak disabilitas.

Silakan membaca hasil penelitian dan policy brief yang telah LBHM lakukan melalui link di bawah ini:

Buku Laporan Penelitian ” Tinjauan Kebijakan Terkait Orang dengan Disabilitas Psikososia Tinjauan Kebijakan Terkait Orang dengan Disabilitas Psikososial” :

Policy Brief ” Hak-Hak Disabilitas Psikososial di Indonesia” :

Fact Sheet Know Your Rights

Di fact sheet ini, kita akan melihat sejauh apa manfaat partisipasi publik, bagaimana dampaknya jika partisipasi publik tidak berjalan, dan nantinya kedua hal itu berkaitan dengan istilah Kota Ramah HAM.

Yuk Sobat Matters, kita berkenalan dengan poin-poin penting itu supaya lebih memahami hak kita sebagai warga negara dan bisa mendorong para pemangku kebijakan seandainya mereka membuat kebijakan atau peraturan yang sifatnya diskriminatif di daerah kita masing-masing.

Kalian bisa mengakses fact sheet tersebut melalui link di bawah ini ya:

Skip to content