Month: December 2024

Kertas Kebijakan: Mendorong Komutasi Pidana Mati dan Penjara Seumur Hidup yang Efektif, Berkeadilan, dan Bermartabat

Indonesia telah mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada tanggal 2 Januari 2023. Biasa dirujuk sebagai KUHP Baru, produk ini mulai berlaku tiga tahun sejak tanggal diundangkan. Artinya KUHP Baru akan berlaku mulai 2 Januari 2026. Melalui KUHP Baru, Indonesia memperkenalkan sejumlah ketentuan dengan tujuan restriksi atau melimitasi penggunaan pidana mati.

Pertama, pidana mati merupakan pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 67 juncto Pasal 98 KUHP Baru. Pengancaman pidana mati secara alternatif bertujuan sebagai “upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat.”

Kedua, “hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan (a) rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau (b) peran terdakwa dalam tindak pidana.”, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 100 ayat (1). Apabila selama masa percobaan tersebut terpidana mati menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana matinya dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden, setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA).

Ketiga, Pasal 101 KUHP Baru menambahkan, “jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden. Walau KUHP Baru menyediakan tiga pendekatan yang intensinya membatasi penggunaan pidana mati, KUHP Baru sesungguhnya masih mempertahankan pidana mati.

Selain pidana mati, KUHP Baru juga masih mempertahankan pidana penjara seumur hidup. Serupa dengan komutasi pidana mati, KUHP Baru memungkinkan pidana penjara seumur hidup diubah menjadi pidana penjara 20 tahun dalam hal seorang narapidana seumur hidup telah menjalani pidana penjara paling singkat 15 tahun, melalui Keputusan Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung.

Ketentuan mengenai tata cara perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 20 tahun dan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 621 KUHP Baru menyebutkan bahwa peraturan pelaksana KUHP Baru harus ditetapkan paling lama dua tahun terhitung sejak KUHP Baru diundangkan. Artinya, Peraturan Pemerintah yang mengatur tata cara komutasi pidana penjara seumur hidup dan pidana mati tersebut harus diundangkan paling lambat 2 Januari 2025.

Baca kertas kebijakan LBHM dan PBHI terkait Peraturan Pemerintah mengenai tata cara komutasi pidana penjara seumur hidup dan pidana mati yang harus diperhatikan oleh pemerintah melalui link di bawah ini:

Habis Amnesti Terbitlah Milisi: Problematik atau Solutif?

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengapresiasi upaya Presiden Prabowo Subianto yang baru-baru ini menyetujui pemberian amnesti atau pengampunan hukuman kepada 44 ribu narapidana di Indonesia.[1] Berdasarkan keterangan Prabowo, amnesti itu diberikan atas dasar kemanusiaan dan keadilan, sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk mengurangi angka over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) hingga 30%, dan mendorong rekonsiliasi di beberapa wilayah.[2]

Beberapa kategori narapidana yang mendapatkan amnesti tersebut di antaranya narapidana perkara tindak pidana ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) tentang penghinaan kepada kepala negara, warga binaan pengidap penyakit berkepanjangan dan mengalami gangguan jiwa, narapidana kasus makar tidak bersenjata di Papua, serta narapidana yang merupakan pengguna narkotika, yang seharusnya dilakukan rehabilitasi.[3]

Sepintas, upaya ini menunjukkan langkah positif untuk menyelesaikan permasalahan overkapasitas di Lapas. Tapi, ketika ditelaah, langkah positif itu punya ‘kepentingan terselubung’ yang berpotensi melanggar hak asasi manusia para narapidana yang mendapatkan amnesti.

Menurut keterangan berbagai pihak, ketika pemberian amnesti itu telah dilakukan, narapidana yang masuk ke dalam kategori usia produktif akan diusulkan untuk ikut ke dalam Komponen Cadangan (Komcad), selain mengikuti program swasembada pangan (jadi petani).[4]   

“Padahal, telah banyak pihak yang mengkritik keberadaan Komcad. Kebijakan Prabowo yang memberikan amnesti kepada 44 ribu narapidana tapi diusulkan untuk menjadi bagian dari Komcad tidak lebih dari memindahkan satu masalah ke masalah lain. Kerangka berpikir seperti ini tidak menyelesaikan akar masalah yang terjadi di masyarakat,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Albert Wirya, Selasa, (17/12/2024), di Jakarta.

Wacana ini bermasalah karena beberapa hal, yakni:

Pertama, pemberian amnesti belum diikuti perubahan politik hukum. Terdapat 3 (tiga) kriteria tindak pidana yang diusulkan bisa mendapatkan amnesti yakni, tindak pidana penghinaan terhadap kepala negara, tindak pidana makar yang tidak bersenjata di Papua, dan tindak pidana narkotika yang berkaitan dengan penggunaan narkotika. Kesemua tindak pidana tersebut sampai saat ini masih diberlakukan sebagai delik pidana dalam hukum pidana nasional Indonesia.

Seyogianya, jika ke semua delik pidana tersebut sudah dianggap tidak relevan lagi oleh pemerintah sehingga layak diberikan amnesti, pemberian amnesti harus juga diikuti perubahan politik hukum. Caranya adalah dengan merevisi segala peraturan perundang-undangan terkait yang menjadi dasar hukum pemberlakuan ke semua delik pidana tersebut. 

Kedua, potensi penyalahgunaan anggaran Komcad. Pendanaan untuk Komcad yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) rawan diselewengkan. Dugaan ini muncul setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah masalah dalam laporan keuangan Kementerian Pertahanan (Kemhan) Tahun Anggaran 2021, khususnya yang berhubungan dengan program Komcad. Ada penggunaan anggaran ratusan miliar rupiah yang dinilai menyalahi peraturan perundang-undangan.[5]

BPK menemukan berbagai kegiatan yang menelan anggaran sebesar Rp531,96 miliar. Sekitar Rp235,26 miliar di antaranya digunakan untuk pembentukan Komcad. Namun penggunaan anggaran itu sepenuhnya tidak didukung APBN 2021.[6]

Ketidakjelasan dalam proses penganggaran juga bisa menjadi pintu masuk bagi tindakan maladministrasi. Seharusnya pemerintah bisa belajar dari hal ini agar persoalan serupa tak terulang kembali pada kemudian hari.

Ketiga, keberadaan Komcad mengancam konflik horizontal di masyarakat. Pengaturan yang luas dan tidak jelas dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.

Hal ini disebabkan oleh kemungkinan penafsiran yang berbeda-beda atas ancaman yang dihadapi, yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk kepentingan

mereka sendiri. Keberadaan Komcad ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba).

Keempat, potensi pelanggaran hak atas pekerjaan. Syarat keikutsertaan warga binaan dalam Komcad atau program swasembada pangan akan membuat warga binaan tidak bisa memberikan pilihan bebas tentang hidup mereka pasca pemenjaraan. Belum ada kriteria yang jelas juga berapa lama keikutsertaan mereka dalam program tersebut dan apa keuntungan yang bisa mereka dapatkan dalam program tersebut. Tanpa adanya kompensasi yang sesuai, program ini berpotensi untuk meningkatkan angka perbudakan modern dalam bentuk kerja paksa.

LBHM tetap mengapresiasi dan mendorong pemerintah Indonesia untuk merealisasikan pemberian amnesti kepada 44 ribu narapidana, dengan catatan sebagai berikut:

  1. Proses amnesti besar-besaran tetap penting dijalankan untuk mengoreksi pendekatan punitif yang selama ini terjadi dalam kasus-kasus narkotika dan kebebasan berpendapat;
  2. Amnesti harus dipandang sebagai hak terpidana yang mengalami ketidakadilan akibat penghukumannya. Dengan demikian, sepatutnya tidak perlu ada kewajiban-kewajiban yang perlu dilakukan oleh terpidana setelah ia menerima amnesti, seperti ikut serta dalam Komcad atau program swasembada pangan;
  3. Jika pemerintah hendak memberikan akses terhadap pekerjaan bagi para terpidana yang akan diberikan amnesti, pemerintah hendaknya memastikan bahwa terpidana bisa memberikan pilihan bebas apakah mereka akan mau menerima pekerjaan itu atau tidak, serta memastikan pekerjaan yang diberikan sesuai dengan standar peraturan ketenagakerjaan dan di sektor usaha yang tidak merusak lingkungan atau menimbulkan konflik horizontal;
  4. Praktik amnesti tidak akan cukup untuk mengatasi permasalahan overcrowding secara tuntas. Perlu ada reformasi kebijakan pemidanaan, salah satunya reformasi kebijakan narkotika yang mendekriminalisasi pengguna narkotika, penghapusan delik pidana penghinaan kepada kepala negara, dan pembatasan tindak pidana makar hanya bisa diberlakukan ketika ada penggunaan kekuatan bersenjata yang telah diwujudkan ke dalam perbuatan yang konkrit.

 

Jakarta, 17 November 2024

Narahubung: Albert Wirya (+62 859-3967-6720)


[1] M Algredi, Presiden Prabowo Setujui Amnesti atas Dasar Kemanusiaan dan Stabilitas Sosial, padek.jawapos.com, 16 Desember 2024. Diakses di https://padek.jawapos.com/nasional/2365427500/presiden-prabowo-setujui-amnesti-atas-dasar-kemanusiaan-dan-stabilitas-sosial

[2] BPMI Setpres, Presiden Prabowo Setujui Pemberian Amnesti untuk Kemanusiaan dan Rekonsiliasi, presidenri.go.id, 13 Desember 2024. Diakses di https://www.presidenri.go.id/siaran-pers/presiden-prabowo-setujui-pemberian-amnesti-untuk-kemanusiaan-dan-rekonsiliasi/

[3] Hendrik Yaputra, Menteri HAM Ungkap Alasan Prabowo Beri Amnesti bagi Narapidana Kasus Papua dan ITE, tempo.co, 15 Desember 2024. Diakses di https://www.tempo.co/politik/menteri-ham-ungkap-alasan-prabowo-beri-amnesti-bagi-narapidana-kasus-papua-dan-ite-1181723

[4] Emir Yanwardhana, Ide Baru Prabowo: Usul Napi Dilatih Jadi Petani dan Tentara Cadangan, cnbcindonesia.com, 15 Desember 2024. Diakses di https://www.cnbcindonesia.com/news/20241215123347-4-596088/ide-baru-prabowo-usul-napi-dilatih-jadi-petani-dan-tentara-cadangan

[5] Seknas Fitra, Anggaran Komponen Cadangan Rawan Dikorupsi, 2 November 2022. Diakses di https://seknasfitra.org/anggaran-komponen-cadangan-rawan-dikorupsi/

[6] Ibid

Kertas Kebijakan: Pengarusutamaan Pengurangan Dampak Buruk dalam Kebijakan Narkotika di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan pendekatan punitif dengan narasi perang melawan narkotika (war on drugs). Deklarasi perang melawan narkotika setidaknya disampaikan pada tahun 2015 oleh mantan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Genderang perang ini kemudian diterjemahkan oleh aparat penegak hukum dengan melakukan penangkapan sampai dengan penjatuhan pidana dengan hukuman yang berat untuk menciptakan efek jera dan menekan angka kejahatan narkotika. Namun, setelah hampir satu dekade narasi ini digunakan, situasi kebijakan narkotika di Indonesia tidak kunjung mencapai cita-cita yang diharapkan, yakni Indonesia bebas narkotika. Sebaliknya, persoalan struktural justru timbul dan bahkan melanggar hak-hak dasar manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan negara dalam kerangka sistem peradilan pidana di Indonesia.

Pendekatan punitif dalam penanganan narkotika, yang mengandalkan sanksi keras, terbukti tidak efektif menurunkan angka kejahatan narkoba. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, memuat delik atau ketentuan pidana yang bias dalam menentukan peran antara seorang “pengguna” dan “pengedar”. “pengedar”. Hal tersebut jelas menghambat akses rehabilitasi medis dan/atau sosial yang telah diatur dalam UU Narkotika. Praktik ini juga berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penyiksaan dan pemerasan terhadap tahanan narkotika. Kondisi ini diperburuk dengan praktik penanganan kasus narkotika yang kerap kali menjadikan narasi perang melawan narkotika sebagai legitimasi perampasan hak-hak dasar orang yang berhadapan dengan hukum, secara khusus pengguna narkotika.

Selain itu pendekatan kriminal yang digunakan oleh pemerintah juga berdampak pada situasi pemasyarakatan yang tidak kunjung mampu menyelesaikan permasalahan kelebihan kapasitasnya (overcrowding).

Kebijakan pengendalian narkotika harus dipahami sebagai cara untuk mencapai tujuan yang lebih luas, termasuk perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak atas kesehatan, kesetaraan dan nondiskriminasi. Oleh karena itu “perang melawan narkotika” harus dihentikan dan berfokus pada perubahan transformatif – menyusun kebijakan narkotika yang ramah terhadap gender, berdasarkan bukti, dan menempatkan hak asasi manusia sebagai pendekatan utamanya.

Lihat kertas kebijakan selengkapnya melalui link berikut

BERIBADAH ADALAH HAK KAIN KECAM PERSEKUSI DAN DISKRIMINASI TERHADAP JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA

6 Desember 2024

Rabu (4/12), PJ Bupati Kuningan Agus Toyib, secara resmi menyatakan larangan terhadap kegiatan

Jalsah  Salanah  Jemaat  Ahmadiyah  Indonesia  yang  akan  diselenggarakan  pada  tanggal  6-8

Desember 2024 di Desa Manislor Kecamatan Jalaksana, Kuningan, Jawa Barat. Hal tersebut disampaikan melalui surat resmi Bupati Kuningan no. 200.1.4.3/4697/BKBP. Di dalam surat tersebut PJ Bupati Agus menyatakan bahwa kegiatan tersebut “dapat menyebabkan kondusifitas daerah terganggu”. Lebih lanjut, sebagaimana dilansir oleh kanal berita online, Kapolres Kuningan AKBP Willy Andrian juga meminta kegiatan Jalsah Salanah tersebut untuk tidak digelar demi “menjaga keamanan wilayah Kuningan”.

Atas peristiwa ini, Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) mengecam keras sikap intoleran dan aksi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemkab dan Polres Kuningan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

KAIN  menilai  pelarangan  pelaksanaan kegiatan keagamaan ini merupakan ancaman terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Padahal, perlindungan terhadap kebebasan setiap   warga   negara   untuk   memeluk   agama   dan   kepercayaannya   masing-masing   serta menjalankan  ibadah  berdasarkan  agama  dan  kepercayaannya  sudah  jelas  diatur  di  dalam Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945). Selain merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, larangan ini adalah bentuk pengabaian terhadap komitmen Indonesia untuk melindungi dan menghormati hak berekspresi serta hak berkumpul dari setiap warga negara Indonesia yang tertuang di dalam UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Tidak  hanya  itu,  pelarangan  ini  merupakan  bentuk  diskriminasi  yang  telah  dilakukan  oleh Pemkab dan Polres Kuningan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Selama ini, Jemaat Ahmadiyah Indonesia merupakan salah satu kelompok yang paling sering menerima diskriminasi dari negara, baik berupa penyegelan rumah ibadah hingga pelabelan terhadap pengikutnya.

KAIN berpandangan alih-alih melarang pelaksanaan kegiatan Jalsah Salanah tersebut, Pemkab dan Polres Kuningan seharusnya memastikan bahwa Jemaat Ahmadiyah dapat melangsungkan kegiatan keagamaannya dengan aman dan lancar, tanpa adanya intimidasi maupun kekerasan dari kelompok masyarakat lain.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka KAIN menuntut:

  1. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kepolisian Resor Kuningan untuk menjalankan kewajibannya menghormati dan melindungi hak asasi manusia Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk menjalankan kebebasan beragama dan berkeyakinan, berekspresi, serta berkumpulnya sebagaimana tertuang di dalam UUD 1945;
  2. Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan untuk mencabut larangan pelaksanaan kegiatan Jalsah Salanah dan memberikan jaminan keamanan dan keselamatan kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk melaksanakan kegiatan keagamaannya dengan khidmat;
  3. Pemerintah Pusat,   Provinsi,   Kota   dan   Kabupaten,   serta   masyarakat   luas   untuk menghentikan segala bentuk diskriminasi dan persekusi kepada JAI dan menindak dengan tegas para pelaku tindakan diskriminasi dan intoleransi terhadap JAI; serta
  4. Presiden Prabowo dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Diskriminasi Komprehensif (RUU PDK) guna memberikan perlindungan bagi seluruh kelompok rentan di Indonesia dari tindakan-tindakan diskriminatif.

Koalisi Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) merupakan sebuah koalisi yang terdiri dari 49 organisasi masyarakat sipil kelompok rentan di 28 Provinsi dan 90 Kabupaten/Kota. KAIN terbentuk dari 2021 dan berkomitmen untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dengan mendorong hadirnya legislasi anti diskriminasi yang komprehensif dan peraturan lainnya yang mengutamakan prinsip non-diskriminasi.

Narahubung: 085939676720 (Albert)

Dorong Percepatan Revisi Undang-Undang Narkotika, LBHM Menyelenggarakan Dialog Kebijakan

Pada Hari Rabu, 4 Desember 2024, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menyelenggarakan kegiatan Dialog “Reformasi Kebijakan Narkotika dan Penerapan Harm Reduction di Indonesia” di Jakarta untuk mendiskusikan rencana revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang telah masuk ke dalam dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. Acara yang dihadiri oleh kurang lebih 100 orang, baik secara luring dan daring ini menghasilkan beberapa kesepakatan penting.

Dalam pidato kuncinya, Edward Omar Sharif Hiariej, Wakil Menteri Hukum Republik Indonesia, memberikan apresiasi atas ruang dialog yang dibangun oleh masyarakat sipil ini untuk membangun kebijakan penanggulangan narkotika yang efisien dan efektif dengan merujuk pada bukti dan perkembangan dunia internasional. Ia juga menegaskan kembali semangat revisi UU Narkotika yang memberikan pendekatan kesehatan.

“Sejak 28 tahun yang lalu ketika saya menulis skripsi tentang narkotika dan psikotropika, saya memang sudah memberikan rekomendasi terhadap pengguna itu memang tidak dihukum tapi diobati,” ujarnya.

Pada sesi diskusi pertama, empat pembicara sama-sama menggarisbawahi urgensi pembahasan revisi UU Narkotika yang sudah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2025. Salah satu tujuannya adalah beralih dari kebijakan punitif yang ada sekarang. Hal inilah yang disampaikan oleh H. Adang Daradjatun, Anggota Komisi III, yang menyatakan, “Kita sepakati, baik dari Mahkamah Agung, dari teman BNN, bahwa memperluas akses rehabilitasi tanpa kriminalisasi ini sangat penting sekali.”

Pendekatan punitif yang sekarang dilakukan juga tidak mampu untuk membeda-bedakan pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan derajat kebersalahannya. Obsevasi ini disampaikan oleh Hakim Agung Sutarjo, Hakim Agung Kamar Pidana yang menyampaikan “Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, tidak memberikan parameter kriteria penyalahgunaan narkotika yang jelas dan yang benar. Yang dikatakan penyalahguna seperti apa, pengedar seperti apa, sebagai penjual, sebagai pembeli, itu yang parameternya tidak jelas.”

Toton Rasyid, selaku Direktur Hukum, Deputi Bidang Hukum dan Kerja Sama Badan Narkotika Nasional, menyatakan bahwa orientasi pendekatan rehabilitasi dalam UU Narkotika sekarang masih menempatkan rehabilitasi sebagai kewajiban. Ia menyampaikan, “Cuma masalahnya sekarang rezim hukum memang harus diubah Undang-Undang ini. Kalau kita bicara Undang-Undang 35/2009, di pasal 103 rehabilitasi itu bagian dari menjalani hukuman. Jadi kita masih seperti itu. Kalau teman-teman mengatakan ini, jangan, (karena) orang punya hak menentukan untuk direhab atau tidak, ya (revisi) Undang-Undang ini harus segera kita selesaikan.”

Desakan yang tegas untuk merevisi UU Narkotika juga datang dari elemen masyarakat sipil, diwakili oleh Maidina Rahmawati dari Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN). Ia menyoroti pembobotan yang lebih berat UU Narkotika pada penghukuman dan bukannya kesehatan. Revisi UU Narkotika ini menurutnya akan membenahi tata kelola narkotika. Ia menyampaikan: “Ke depannya kita butuh dorongan bersama kawal pembahasan revisi UU Narkotika. Pastikan intervensi kesehatan tersebut diperkenalkan dalam revisi Undang-Undang Narkotika.”

Pada sesi kedua setelah makan siang, diskusi dilanjutkan dengan pembahasan tentang bagaimana reformasi kebijakan narkotika melalui penuntasan amanat Prolegnas Prioritas 2025 turut bisa memperkuat kebijakan pengurangan dampak buruk (harm reduction) di Indonesia. Pembicara pertama sesi kedua, Nixon Randy Sinaga, pengacara publik LBHM memaparkan hasil penulisan kertas kebijakan menyoal kondisi kebijakan narkotika di Indonesia yang perlu mengintegrasi pendekatan pengurangan dampak buruk. Dia menyatakan, “Pengurangan dampak buruk adalah kebijakan yang mengarusutamakan hak atas kesehatan, yang berusaha untuk memitigasi dampak-dampak negatif dari penggunaan narkotika baik secara kesehatan, sosial, maupun aspek hukum dari penggunaan narkotika.Hal ini berangkat dari pemenuhan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.”

Rosma Karlina, Direktur Suar Perempuan Lingkar Napza Nusantara, menjelaskan bahwa program pengurangan dampak buruk yang didorong oleh masyarakat sipil adalah pendekatan yang sifatnya holistik dan inklusif. Ia menekankan pentingnya memahami kebutuhan pengguna narkotika yang bisa berbeda-beda. Rosma menjelaskan, “Kebijakan pengurangan dampak buruk yang belum responsif terhadap gender, mengakibatkan rasa takut akan diskriminasi dan kriminalisasi bagi perempuan pengguna narkotika.” Ia menceritakan kasus-kasus di mana perempuan pengguna narkotika mendapatkan kekerasan dan melapor ke polisi, tapi bukannya kasus kekerasan yang diselesaikan, polisi malah sibuk mengkriminalisasi mereka atas penggunaan narkotika.

Melihat skema intervensi kesehatan yang sekarang tersedia bagi pengguna narkotika, Elly Hotnida Gultom, menjelaskan upaya Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan akses layanan kesehatan. Ia menjabarkan bahwa Kementerian Kesehatan fokus untuk membangun layanan terapi kesehatan terpadu di lebih banyak Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia dengan penambahan sekitar 700 fasyankes Institusi Penerima Wajib Lapor. Namun, ia menegaskan bahwa tidak semua pengguna narkotika perlu untuk direhabilitasi. Ia menyatakan, “Dari World Drug Report itu, 1 banding 8 (pengguna) yang membutuhkan layanan kesehatan.”

Permasalahan rehabilitasi yang mencuat dalam diskusi sejak pagi hari juga ditangkap dengan sangat baik oleh Marsono, Koordinator Pokja Napza dan Analis Kebijakan pada Direktorat Rehabilitasi Korban Bencana dan Kedaruratan, Kementerian Sosial. Marsono menyatakan bahwa Kementerian Sosial memiliki visi untuk terus memperbaiki standar layanan rehabilitasi Lembaga Kesejahteraan Sosial. Pada closing statement-nya, ia menyatakan, “Saat ini, perlu penertiban-penertiban terhadap lembaga-lembaga yang memang belum terstandar. Itu wajib kita proses ke sana.”

Dalam kegiatan ini, Nixon dan Rosma menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah dan badan legislatif untuk mereorientasi kebijakan narkotika di Indonesia dengan pendekatan hak atas kesehatan dan mereduksi penggunaan sarana penal, secara khusus bagi pengguna narkotika. Agenda reformasi kebijakan narkotika harus berangkat dari penghormatan hak asasi manusia, inklusif, non-diskriminatif, partisipatif, dan mengakomodasi seluruh kelompok rentan seperti perempuan, keberagaman gender, anak, dan disabilitas. 

Acara ditutup jam 16.00 waktu setempat. Dialog semacam ini, yang menyatukan perwakilan pemerintah dan masyarakat sipil dalam satu ruangan, menjadi cara untuk menjunjung prinsip partisipasi publik dalam pembentukan kebijakan. Harapannya, akan ada diskusi-diskusi serupa supaya revisi Undang-Undang Narkotika yang akan disahkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

 

Narahubung

0896-3970-1191 (Kiki Marini)

Skip to content