Skip to content

Month: August 2017

Joint Statement – Indonesia: Government Should Immediately Establish Moratorium After Maladministration Surrounding Execution

The undersigned organizations urge the government of Indonesia to establish an official moratorium on all executions and review all death penalty cases with a view to the commutation of their sentences as immediate first steps towards abolition of the death penalty. The call follows the publication of the findings by the Ombudsman of Indonesia, confirming violations of legal procedures in the case of a prisoner executed in July 2016.

On 28 July 2017 the Indonesian Ombudsman concluded that the Attorney General had conducted the execution of Nigerian national Humphrey “Jeff” Jefferson Ejike in violation of Indonesia’s legal procedure. The Ombudsman’s decision was announced almost a year after Humphrey was executed on 29 July 2016 in Nusakambangan Island, Central Java, along with other three prisoners. All men had been convicted of and sentenced to death drug-related offenses, which do not meet the threshold of the “most serious crimes” to which the ultimate punishment must be restricted to, pending abolition, under the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), to which Indonesia is a state party.

Amnesty International, ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), KontraS (Commission for the Disappeared and Victims of Violence) and LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute) believe that the Ombudsman’s decision echoes the organizations’ findings documented in many other death penalty cases, which point to systemic flaws in the administration of justice in Indonesia. These include serious violations of the right to a fair trial and of other international safeguards that must be observed in all death penalty cases. We regret that the findings come a year too late, as the irrevocable punishment of the death penalty has already been implemented on Humphrey “Jeff” Jefferson Ejike.

The Ombudsman declared that the Attorney General should have not executed Humphrey “Jeff” Jefferson Ejike because his clemency request was still pending. The Attorney General should have followed the Constitutional Court decision delivered on 15 June 2016 that allowed any convicted person to request clemency beyond up to a year after the final decision being made by the Indonesia’s court. Further, the Ombudsman also declared that the Central Jakarta District Court there was an element of “discrimination” by not submitting Jeff’s case review request –the last available appeal in criminal cases− to the Supreme Court, while they submitted the appeals for case review by other death row prisoners to the Court.

Research findings by the National Commission on Human Rights (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komnas HAM) and additional research carried out by Amnesty International, ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) showed that defendants facing the death penalty did not have access to legal counsel at crucial stages of the process, whether from the time of arrest or at different stages of their trial and appeals. In some cases the police ill-treated them to make them “confess” to the crimes or countersign police investigation dossiers used as evidence in court. Several prisoners were brought before a judge for the first time only when their trials began, months after their arrest. Some of them did not receive legal assistance when appealing against their conviction or sentence, or did not even submit an appeal application because they were not informed by their lawyers of their right to do so.

In some cases in 2015 and 2016 executions went ahead despite the courts having accepted prisoners’ applications to submit appeals, which had not yet been heard by the courts. Despite the clear prohibition under international law on the use of the death penalty against persons who were below 18 years of age at the time of the offence, or who have a mental or intellectual disability, our organizations documented that claims which two prisoners made in relation to being under 18 and mental disability were not adequately investigated, resulting in the unlawful imposition of the death penalty and, in one of these cases, execution. The death penalty also continues to be used extensively for drug-related offences.

As of today, 105 countries have fully abolished capital punishment from their legislation and 141 in total—more than two-thirds of the world’s countries—have abolished the death penalty in law or in practice. In the Asia-Pacific region, 20 countries have abolished the death penalty for all crimes and a further seven are abolitionist in practice, following the abolition of the death penalty in Fiji and Nauru in 2015 and 2016, respectively, and in Mongolia last July. By continuing to resort to the death penalty, the government of Indonesia is setting the country against the global and regional trend towards abolition of the ultimate, cruel and degrading punishment.

The organizations above renew their calls on the country’s highest authorities to immediately review all death sentences with a view to their commutation, and to establish a moratorium on the implementation of the death penalty, as essential first steps towards its abolition.

Rilis Pers – Fidelis Sudah Berjuang dan Itu Lebih dari Cukup

LBH Masyarakat memandang cukup baik putusan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Sanggau yang memutus perkara Fidelis dengan pidana penjara 8 bulan ditambah denda 1 milyar rupiah subsider 1 bulan penjara.

Putusan hakim  ini lebih besar dari angka tuntutan Jaksa Penuntut Umum yakni 5 bulan ditambah denda 800 juta rupiah subsider 1 bulan penjara. Namun, Majelis Hakim telah melakukan sesuatu yang patut dipuji, yakni menerobos angka pidana minimum.

Meski dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum memandang bahwa yang terbukti adalah pasal 111 ayat 2 Undang-Undang Narkotika, namun Majelis Hakim memandang bahwa pasal yang terbukti ialah pasal 116 ayat 1 Undang-Undang Narkotika yang memiliki besaran pidana 5 tahun, minimum, sampai dengan 15 tahun penjara ditambah denda 1 milyar rupiah, minimum, sampai dengan 10 milyar rupiah. Pasal 116 ayat 1 sendiri adalah pasal yang memidanakan penggunaan atau pemberian narkotika golongan 1 pada orang lain secara tanpa hak atau melawan hukum.

Walau kami berharap Majelis Hakim bisa memutus di bawah atau setidaknya sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, namun keberanian Majelis Hakim untuk menerobos pidana minimum ini patut dipuji. Hal ini selaras dengan nilai yang coba dibangun melalui dua surat edaran Mahkamah Agung (No. 7 Tahun 2012 dan No. 3 Tahun 2015) yang secara literal membuka ruang penerobosan ini ketika dihadapkan dengan pemakai narkotika yang dikenakan pasal lain yang tidak pas.

Putusan ini membuat Fidelis harus menunggu sedikit lebih lama untuk kembali pada keluarganya yang mana melupakan aspek kepentingan terbaik dari anak. Putusan ini juga mempertimbangkan efek jera pada masyarakat agar tidak mengikuti perbuatan ini – sebuah hal yang kami pandang hanya bisa terselesaikan dengan baik apabila ada reformasi kebijakan narkotika yang mendasar.

Dari kasus ini, kita juga melihat sebuah aspek advokasi yang sungguh penting – yakni pemanfaatan narkotika golongan 1 untuk kesehatan. Namun hal-hal tersebut dapat ditunda sampai setidaknya muncul respon keluarga dan juga jaksa dalam menyikapi putusan ini, terutama dalam aspek upaya hukum – jika diperlukan.

Untuk analisis putusan secara keseluruhan, kami tentu akan menunggu salinan putusan yang akan diberikan pada kelaurga terlebih dahulu. Namun, secara garis besar, nilai-nilai keluarga dan kemanusiaan juga turut memberikan andil pada nilai putusan yang kita lihat hari ini.

LBH Masyarakat juga mengapresiasi atas dukungan dan perhatian publik yang luar biasa dalam kasus ini yang turut membantu memperlihatkan penting dan mendasarnya nilai-nilai kemanusiaan yang hadir di dalam kasus yang menimpa Fidelis dan keluarganya ini. Terima kasih sudah terlibat untuk #SaveFidelis, bantuan rekan-rekan berarti besar: mempersatukan lebih cepat sebuah keluarga yang terpisah karena kebijakan narkotika kita yang konservatif.

 

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

 

 

Rilis Pers – Putusan Fidelis: Semoga Hukum Menemukan Kemanusiaan

LBH Masyarakat berharap putusan yang akan dijatuhkan kepada Fidelis Ari Sidarwoto pada Rabu, 2 Agustus 2017, nanti dapat mengembalikan Fidelis ke kedua anaknya yang juga telah kehilangan ibunya, Yeni Riawati.

“Berbulan-bulan sudah kisah Fidelis diberitakan dan dibahas lewat berbagai media, saatnya kisah ini diakhiri dengan baik oleh Majelis Hakim dengan menyatukan kembali keluarga yang harus terpisah karena hukum narkotika kita yang paranoid ini,” ujar Yohan Misero, Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat.

Fidelis diproses hukum karena menanam ganja yang ia olah sendiri untuk mengobati penyakit langka yang diderita almarhum istrinya, Yeni. Fidelis dengan niat yang sangat baik berkonsultasi dengan pihak Badan Narkotika Nasional untuk mencari solusi atas upayanya tersebut. Niat baik yang sayangnya direspon dengan menegakan hukum positif oleh BNN. Respon BNN tersebut kemudian menghentikan suplai obat yang dibutuhkan Yeni hingga akhirnya ia meninggal dunia.

“Betapa kakunya pihak BNN dalam memandang UU Narkotika dalam kasus ini secara tidak langsung telah membuat sebuah keluarga bahagia kehilangan sosok ibu yang mereka cintai. Amat disayangkan bahwa sebuah peristiwa yang semata-mata wujud usaha seorang manusia mempertahankan keluarganya harus diproses hukum sejauh ini,” kata Yohan.

Yohan kemudian menambahkan, “Namun demikian kami mengapresiasi Kejaksaan yang menuntut jauh lebih kecil dari pidana minimum pasal yang dinyatakan terbukti oleh Jaksa Penuntut Umum.” Fidelis dituntut 5 bulan penjara dan denda 800 juta rupiah subsider 1 bulan penjara. Jaksa Penuntut Umum menuntut Fidelis dengan pasal 111 ayat 2 UU Narkotika yang memiliki pidana minimum 5 tahun penjara.

“Angka tuntutan ini menunjukan betapa besarnya aspek kemanusiaan dalam kasus ini. Jaksa bisa saja melangkah lebih jauh dengan menuntut bebas, lepas, atau angka tuntutan yang lebih kecil lagi dengan interpretasi peraturan yang lebih progresif. Namun kami tetap menghargai apa yang telah dilakukan Kejaksaan karena sistem kerjanya yang ada di bawah komando dan bergerak dalam rel penegakan hukum yang cenderung positivistik,” terang Yohan.

“Sekarang harapan masyarakat akan keadilan untuk Fidelis ada di pundak Majelis Hakim. Untuk persoalan narkotika, Mahkamah Agung telah mengeluarkan setidaknya tiga surat edaran. Dua di antara surat edaran tersebut menyebutkan bahwa hakim dapat memutus di bawah pidana minimum ketika menemukan seorang pemakai narkotika dikenakan pasal lain di luar Pasal 127, misalnya pasal penguasaan. Meski belum ada surat edaran spesifik untuk kasus yang menimpa Fidelis, namun surat edaran tersebut menunjukan bahwa Mahkamah Agung melihat problem dalam penegakan hukum narkotika dan membuka ruang kemanusiaan bagi hakim untuk menembus pidana umum yang ditentukan undang-undang. Nilai kemanusiaan ini yang kemudian kami harapkan dapat diterapkan juga oleh Majelis Hakim untuk Fidelis,” sambung Yohan.

Sebagai penutup Yohan menjelaskan, “Hukum tidak hanya soal kepastian, namun juga soal kebermanfaatan dan keadilan. Oleh karena itu, kami berharap aspek keadilan tidak dilupakan oleh Majelis Hakim ketika memutus kasus ini sebagaimana irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang ada di setiap putusan. Cinta seharusnya dirayakan – bukan dipenjarakan.”

 

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

 

en_USEnglish