Month: June 2025

Terbukti Disabilitas Mental: Kuasa Hukum MAS Minta Negara Kedepankan Keadilan Restoratif untuk Pemulihan MAS, Bagaimana Riwayat Penanganan Kasusnya?

Proses hukum anak dengan disabilitas mental, MAS (15), telah memasuki babak akhir; menunggu putusan hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Pengadilan). Saat menghadapi persidangan pokok perkara di Pengadilan, MAS didampingi oleh Tim Kuasa Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) bersama Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum dan Pilihan Penyelesaian Sengketa (LKBH-PPS) Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Dalam pembelaannya, Tim Kuasa Hukum MAS menekankan pentingnya mengedepankan penegakan keadilan restoratif dalam penanganan kasus MAS. 

Sebelumnya, pada 19 Mei 2025, Tim Kuasa Hukum mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Pengadilan). Praperadilan itu diajukan karena proses hukum kasus ini terkatung-katung sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi MAS, termasuk adanya penelantaran oleh negara dalam pemenuhan akses pengobatannya. 

Persidangan perdana permohonan praperadilan dijadwalkan pada tanggal 2 Juni 2025. Sayangnya, setelah sidang perdana digelar, Hakim Praperadilan harus menunda persidangan 2 minggu pada tanggal 16 Juni 2025, karena ketidakhadiran para termohon yakni, Kepala Kepolisian Jakarta Selatan selaku Termohon 1, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak selaku Termohon 2. 

Namun, pada 17 Juni 2025, permohonan praperadilan harus gugur menurut hukum, karena ternyata sidang pokok perkara dan praperadilan kasus MAS berlangsung secara bersamaan di hari tersebut. Gugurnya praperadilan ini tidak terlepas juga dari kelalaian Pengadilan yang menunda persidangan praperadilan terlalu lama, meskipun telah kami ingatkan pada persidangan perdana agar tidak menunda sidang praperadilan terlalu lama karena perkara ini menyangkut perkara anak berhadapan dengan hukum yang harus diperiksa dengan cepat.

Pada 17 Juni 2025 sidang pokok perkara MAS kemudian mulai digelar secara tertutup di Ruang Sidang Anak, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Agenda sidang pada saat itu adalah Pembacaan Surat Dakwaan, dan Pembuktian. Dalam surat dakwaannya, Jaksa menyatakan kalau MAS telah melakukan tindak pidana kumulatif alternatif berlapis berdasarkan Pasal 340, 338, dan Pasal 338 jo. 53 dan 340 jo. 53 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau UU KDRT Pasal 44 ayat (3) dan Pasal 44 ayat (2).

Setelah Jaksa membacakan surat dakwaannya, Tim Kuasa Hukum MAS mengajukan permohonan keadilan restoratif. Permohonan ini tidak terlepas dari adanya surat pernyataan orang tua MAS yang telah memaafkan MAS dan menginginkan agar MAS segera diberikan pengobatan. Surat tersebut sebelumnya dikirimkan kepada kuasa hukum MAS pada tanggal 13 Juni 2025. Setelah itu, agenda pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan Pembuktian.

Pada tanggal 17-20 Juni 2025 sidang dengan agenda pembuktian MAS telah digelar Pengadilan. Dalam agenda Pembuktian, Jaksa mengupayakan membuktikan dakwaannya terkait peristiwa pidana yang terjadi pada tanggal 30 November 2024. Dalam melakukan pembuktian Jaksa mengajukan alat bukti berupa keterangan saksi sebanyak 8 orang dan keterangan ahli sebanyak 2 orang. 

Sementara itu, Tim Kuasa Hukum dalam agenda pembuktian mengajukan 2 orang ahli. Tim Kuasa Hukum menghadirkan 1 orang Ahli Psikiatri Forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta sekaligus Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Dr. dr. NATALIA WIDIASIH, Sp. KJ(K), M.PD.KED. Tim Kuasa Hukum juga menghadirkan 1 orang Ahli dari Dosen Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Aristo Marisi Adiputra Pangaribuan, S.H., LL.M., PH.D. 

Dari agenda pembuktian dengan mendengarkan keterangan ahli justru terungkap jika MAS tidak dapat bertanggung jawab secara pidana berdasarkan ketentuan Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Lebih jauh lagi, dari agenda pembuktian persidangan MAS para ahli memberikan penilaian penting bahwa MAS terindikasi memiliki disabilitas mental dan alih-alih perbuatannya harus dipertanggungjawabkan secara pidana, justru menurut pendapat para ahli, MAS direkomendasikan untuk diberikan pengobatan dan dukungan untuk pemulihannya.

Beberapa poin penting yang disampaikan Ahli di antaranya:

Keterangan Ahli Psikologi Forensik dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yang juga Ketua Umum Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor), Nathanael Elnadus Johanes Sumampouw, Ahli menyampaikan; 

Pertama, Ahli menyatakan jika berdasarkan hasil pemeriksaan psikologis, MAS memiliki disabilitas mental yang perbuatannya dilatarbelakangi oleh suatu ide yang irasional.

Kedua, indikasi trauma, disabilitas mental, tingkah laku antisosial, dan simptom negatif, sehingga MAS masih membutuhkan dukungan.

Keterangan Ahli Psikiatri Forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta sekaligus Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Dr. dr. NATALIA WIDIASIH, Sp. KJ(K), M.PD.KED, Ahli menyampaikan; 

Pertama, bahwa ahli telah melakukan pemeriksaan terhadap MAS selama 1 (satu) bulan lebih.

Kedua, Ahli melihat MAS mengalami kondisi mental yang disebut gangguan psikotik, yaitu kondisi di mana MAS kesulitan dalam membedakan antara hal yang nyata dengan yang tidak (gangguan daya nilai realita) nyata berupa halusinasi auditorik (pendengaran) yaitu mendengar suara-suara tanpa sumber. Ahli juga menjelaskan kalau terhadap diri MAS terdapat berbagai faktor risiko biopsikososial yang saling berinteraksi dan berkontribusi yang mana menyebabkan MAS mengalami gangguan psikotik.

Ketiga, Ahli berpendapat jika intervensi dari pemerintah tidak memadai, MAS berisiko tinggi mengalami kekambuhan atau residivisme, baik dalam bentuk perilaku kekerasan impulsif maupun penurunan kemampuan adaptasi sosial. 

Keempat, Ahli menyarankan agar pemerintah melakukan pendekatan rehabilitatif yang mengedepankan terapi psikiatri, intervensi psikoterapeutik terstruktur, serta penguatan dukungan sosial dan lingkungan sebagai sarana pemulihan klinis dan stabilisasi kondisi psikologis MAS.

Keterangan Ahli Aristo Marisi Adiputra Pangaribuan, S.H., LL.M., PH.D., dosen Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,  Ahli menyampaikan; 

Pertama, terdapat 2 (dua) kondisi/karakteristik khusus yang perlu diperhatikan dalam perkara ini, yakni status anak yang masih di bawah umur (minor) dan adanya indikasi masalah kesehatan mental.

Kedua, kondisi kesehatan mental yang dialami MAS menyebabkan ketidakmampuan membedakan antara realita dan imajinasi serta tindakannya didorong oleh halusinasi yang tidak terkendali. Hal ini menunjukkan bahwa unsur kesengajaan dan perencanaan dalam Pasal 340 KUHP tidak terpenuhi secara utuh. Pengakuan MAS bahwa perbuatannya “tidak direncanakan” dan hanya “terbesit”, serta motifnya yang tidak rasional, menguatkan pandangan bahwa tindakan tersebut merupakan akibat dari kondisi psikotik, bukan hasil perencanaan sadar.

Ketiga, Ahli menekankan bahwa keberadaan Surat Visum et Repertum Psychiatricum yang menunjukkan kecenderungan MAS mengalami permasalahan mental seharusnya menjadi dasar penting bahwa pendekatan rehabilitatif lebih sesuai ketimbang pemidanaan. Negara, dalam hal ini, memiliki kewajiban untuk memastikan tersedianya fasilitas medis dan layanan rehabilitasi jiwa bagi MAS.

Selanjutnya, pada 23 Juni 2025, Hakim Anak memberikan kesempatan pada Jaksa Penuntut Umum membacakan Surat Tuntutannya kepada MAS. MAS dituntut oleh Jaksa telah melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 340 dan Pasal 340 jo. 53 dengan tuntutan pidana pembinaan dalam lembaga yaitu pada Sentra Handayani selama 2 (dua) tahun dan didampingi, dibimbing dan diawasi oleh Pembimbing Kemasyarakatan selama menjalani masa pembinaan serta melaporkan perkembangan MAS kepada Jaksa.

Setelah memberikan kesempatan pada Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan kepada MAS, pada 24 Juni 2025, Hakim Anak memberikan kesempatan kepada Tim Kuasa Hukum untuk mengajukan pembelaan. Pada saat mengajukan pembelaan, Tim Kuasa Hukum pada intinya justru menyampaikan jika MAS tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana sehingga harus dilepaskan secara hukum (Onslag van alle rechtsvervolging). 

Selain itu, dalam pembelaannya, Tim Kuasa Hukum menyampaikan poin-poin penting kepada Yang Mulia Hakim Anak yang memeriksa perkara ini agar dalam menjatuhkan putusan agar mempertimbangkan, diantaranya, hal-hal sebagai berikut:

Pertama, Surat Tuntutan Jaksa belum mempertimbangkan fakta persidangan secara menyeluruh, seperti keterangan Ahli yang menyampaikan mengenai dapat atau tidaknya seseorang dengan karakteristik khusus, dalam hal ini anak di bawah umur yang memiliki permasalahan kesehatan mental, untuk dimintai pertanggungjawaban hukum atas perbuatan yang telah dilakukannya.

Kedua, Surat Tuntutan Jaksa tidak mempertimbangkan upaya perdamaian dan itikad baik MAS, karena sudah ada upaya perdamaian antara MAS dengan korban. Padahal berdasarkan Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2024, kesepakatan perdamaian harus dipertimbangkan dalam pengajuan tuntutan. Selain itu, prinsip keadilan restoratif tetap dapat diterapkan meskipun perkara sudah memasuki tahap persidangan.

Ketiga, oleh karena MAS telah terbukti adalah seorang anak dengan disabilitas mental, negara harus hadir dengan mewujudkan keadilan restoratif dengan memberikan alternatif penghukuman kepada MAS menjalani pengobatan. Dalam situasi demikian, negara wajib hadir bukan hanya sebagai penegak hukum semata, tetapi juga sebagai pelindung hak-hak anak, khususnya hak atas kesehatan dan rehabilitasi.

Selanjutnya, proses hukum kasus MAS ini direncanakan akan rampung pada tanggal 30 Juni 2025, dengan agenda pembacaan Putusan oleh Hakim Anak yang menangani perkara. 

 

Jakarta, 29 Juni 2025

Hormat kami,

Tim kuasa Hukum MAS

Maruf Bajammal

 

Narahubung:

Maruf Bajammal (Pengacara Publik LBH Masyarakat) – 0812 8050 5706

Peserta Aksi May Day Mengalami Tindakan Kekerasan Fisik dan Kekerasan Seksual, TAUD Buat Laporan ke Mabes POLRI

Jakarta, 16 Juni 2025 – Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) bersama sejumlah korban membuat Laporan Polisi (LP) kepada Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) atas adanya tindak pidana kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian. Tak hanya itu, TAUD juga melaporkan dugaan pelanggaran etik ke beberapa unit lain di internal Polri yaitu; Biro Pengawas dan Penyidikan (Rowassidik), dan Divisi Profesi dan Keamanan (Propam) Mabes Polri.

Pelaporan dan pengaduan ini dilakukan karena TAUD menemukan fakta terdapatnya tindakan kekerasan pada saat aksi Hari Buruh Internasional (May day) 1 Mei 2025 yang dilaksanakan di wilayah Jakarta sekitaran Gedung DPR/MPR. TAUD menemukan sejumlah peserta aksi may day yang menjadi  korban tindak kekerasan dan kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh aparat Kepolisian. Adapun tindakan yang mereka alami antara lain berupa intimidasi, dipiting dan dipukul hingga mengalami pelecehan seksual secara verbal dan fisik. Korban tersebut meliputi mahasiswa/i, masyarakat sipil, dan juga paramedis. 

Tindakan kekerasan tersebut terjadi saat situasi demonstrasi yang chaos dan para peserta aksi meninggalkan lokasi titik aksi peringatan Hari Buruh Internasional. Setelah lebih dari 1 kilometer para peserta meninggalkan lokasi aksi, para peserta aksi mendapatkan represifitas dan tindakan brutal yang diduga kuat dilakukan oleh sejumlah aparat kepolisian di sekitar kolong jembatan layang (flyover) Jl. Gerbang Pemuda..

Tindakan kekerasan yang dilakukan tersebut jelas telah melanggar dan memenuhi unsur yang diatur dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang pengeroyokan, yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama dan terang-terangan terhadap orang atau barang. Serta, Pasal 351 KUHP yang mengatur mengenai tindakan penganiayaan, yaitu tindakan yang menyebabkan rasa sakit, luka, atau merusak kesehatan orang lain. 

Selain itu, tindakan kekerasan seksual dialami oleh salah satu perempuan paralegal dari tim medis (perempuan pembela HAM), yang diteriaki ‘lonte’, ‘pukimak’, ‘telanjangin-telanjangin’ hingga menarik baju dalam korban yang diduga dilakukan juga oleh aparat kepolisian. Hal ini jelas melanggar ketentuan Pasal 11 UU TPKS Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f UU TPKS dan Pasal 5 Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f UU TPKS dan Pasal 6 Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang mana menyebutkan bahwa tindakan kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual secara fisik maupun non-fisik yang dilakukan oleh aparat sebagai pejabat negara dengan tujuan persekusi, menuduh hal yang dicurigai, mempermalukan dan merendahkan martabat perempuan merupakan tindakan penyiksaan seksual dengan tidak terbatas pada ruang privat namun juga di ruang publik. Sehingga, menimbulkan dampak perlukaan fisik dan psikososial yang mempengaruhi hak atas rasa aman korban di ruang publik. 

Dari apa yang dialami oleh seluruh korban, TAUD meyakini telah memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 170 KUHP, Pasal 351 KUHP, Pasal 11 UU TPKS, Pasal 5 dan Pasal 6, Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f UU TPKS. Setelah diminta untuk berkonsultasi dengan Perwira Piket dan Petugas SPKT pada Mabes Polri yang memakan waktu sekitar 9 jam, akhirnya Mabes Polri menerima 4 (empat) Laporan Polisi yang dilaporkan oleh para korban. Laporan ini didasarkan oleh bukti-bukti terjadinya tindak pidana yang dihimpun oleh TAUD berupa foto dan video.

Adapun Laporan Polisi (LP) yang telah tercatatkan pada SPKT Badan Reserse Kriminal Republik Indonesia pada Mabes Polri adalah sebagai berikut:

  1. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/280/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 16 Juni 2025;
  2. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/284/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 16 Juni 2025;
  3. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/285/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 16 Juni 2025;
  4. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/286/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 17 Juni 2025.

Setelah membuat Laporan Polisi (LP), TAUD juga mengirimkan pengaduan ke Biro Pengawas dan Penyidikan (Rowassidik). Hal ini berkaitan dengan adanya pelanggaran hukum acara pidana yang dilakukan oleh Polisi Ditreskrimum Polda Metro Jaya terhadap keempat belas klien kami. Mulai dari pelanggaran prosedur dalam penangkapan, jangka waktu penangkapan, penetapan tersangka yang tidak sah, serta mekanisme “pemeriksaan” ilegal yang tidak diatur dalam KUHAP.

TAUD juga membuat pengaduan kepada Divisi Profesi dan Keamanan (Propam) Mabes Polri berdasarkan Surat Penerimaan Surat Pengaduan Propam Nomor: SPSP2/002676/VI/2025/BAGYANDUAN tertanggal 16 Juni 2025. Hal ini berkaitan dengan adanya pelanggaran kode etik dan perilaku kepolisian berupa kekerasan yang dilakukan kepada masyarakat, pelanggaran hukum dalam proses hukum acara pidana, serta penyebaran berita bohong atau informasi yang keliru oleh pejabat kepolisian dalam proses penanganan kasus yang melibatkan keempat belas korban kekerasan tersebut.

Atas tindakan kekerasan fisik dan seksual yang dialami para korban serta dugaan pelanggaran kode etik dan dugaan pelanggaran hukum dalam proses penyelidikan/penyidikan terhadap 14 orang klien kami, TAUD mendesak:

1. Bareskrim Polri menerima dan memproses laporan sebagai bentuk komitmen Polri dalam menindaklanjuti setiap pengaduan dari masyarakat sipil demi menegakkan keadilan bagi korban.

2. Divisi Propam Mabes Polri menerima pengaduan, melakukan Audit Investigasi dan pemeriksaan terhadap setiap dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku kepolisian (KEPP) pada serangkaian proses penangkapan sampai dengan tahap penyidikan.

3. Kepala Biro Pengawasan Penyidik Mabes Polri melakukan pemeriksaan terhadap seluruh rangkaian proses penyelidikan-penyidik perkara klien kami;

4. Kapolri untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap aparat yang diduga terlibat dalam kekerasan fisik dan seksual pada peringatan May Day 1 Mei 2025, dengan melakukan pemeriksaan internal secara menyeluruh dan transparan.

5. Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk segera melakukan penyelidikan independen terhadap tindakan kekerasan yang terjadi dalam aksi May Day, serta mengeluarkan rekomendasi pemulihan dan jaminan ketidak berulangan.

6. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan perlindungan atas keamanan para korban dan para saksi serta memfasilitasi restitusi penderitaan fisik, mental dan/atau kerugiaan ekonomi yang dialami para korban dengan melakukan koordinasi dengan penyidik yang menindaklanjuti laporan.

7. Pemerintah dan institusi Polri  untuk menjamin kebebasan berekspresi dan berkumpul sesuai dengan amanat konstitusi, serta menghentikan praktik kekerasan dan kriminalisasi terhadap peserta aksi.

8.  Adanya mekanisme pemulihan dan reparasi bagi para korban, baik secara psikologis, hukum, maupun material, yang harus difasilitasi oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia.

 

Hormat kami,

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)

 

Negara Harus Mengusut Pelanggaran HAM serta Menindak Tegas Pelaku Kekerasan terhadap Warga Sipil di Yuguru, Nduga, Papua Pegunungan

Jakarta, 13 Juni 2025 – Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus HAM di Yuguru mengecam keras tindakan penyiksaan dan pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) terhadap seorang warga sipil Papua bernama Abral Wandikbo (27 tahun), asal Kampung Yuguru, Distrik Mebarok, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan. Tindakan keji ini diduga dilakukan oleh aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 22–25 Maret 2025 ketika menjalankan operasi militer di Kampung Yuguru.

Abral  Wandikbo  bukanlah  anggota  kelompok  bersenjata,  kelompok pro-kemerdekaan Papua, dan tidak memiliki keterlibatan apapun dalam aktivitas bersenjata. Justru sebaliknya, almarhum dikenal aktif membantu aparat dalam pembangunan kembali lapangan terbang Yuguru, demi memfasilitasi mobilitas masyarakat.

Namun, pada 22 Maret 2025, Abral ditangkap secara sewenang-wenang oleh aparat TNI saat memeriksa rumah warga satu per satu. Dia ditangkap tanpa alasan yang jelas dan tanpa bukti yang sah serta tanpa didampingi kuasa hukum. Ia kemudian dibawa ke pos TNI di lapangan terbang Yuguru dan tidak pernah kembali.

Baru pada 25 Maret 2025, Abral ditemukan telah meninggal dunia dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Tubuhnya termutilasi, telinga, hidung, dan mulut hilang, kaki dan betis melepuh serta kedua tangan terikat dengan borgol plastik (plasticuff). Koalisi menduga kuat bahwa Abral menjadi korban penyiksaan berat sebelum akhirnya dibunuh. Ironisnya, sebelumnya aparat TNI menyampaikan kepada keluarga bahwa Abral akan dipulangkan dalam keadaan hidup, namun kemudian menyebarkan narasi menyesatkan bahwa korban “melarikan diri”.

YKKMP bersama koalisi masyarakat sipil pada Jumat, 13 Juni 2025 telah melakukan audiensi resmi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta untuk melaporkan kasus tersebut sebagai dugaan pelanggaran HAM berat, seperti yang diatur dalam konstitusi Indonesia dan standar internasional.

Hak korban untuk hidup, tidak disiksa, dan hak untuk merasa aman jelas-jelas dilanggar. Begitu pula hak korban untuk mendapat pendampingan hukum ketika ditangkap juga diabaikan begitu saja oleh aparat yang menangkapnya.

Selain pembunuhan di luar hukum atas korban, koalisi juga mendapat laporan bahwa sebelum terjadinya kasus tersebut, aparat TNI juga diduga merusak rumah-rumah warga dan fasilitas umum di wilayah tersebut. Sebelum kasus mutilasi Abral Wandikbo, investigasi YKKMP juga menemukan fakta-fakta bahwa anggota

TNI telah melakukan perusakan terhadap sejumlah rumah warga dan fasilitas publik di kampung tersebut. Warga melihat anggota TNI melakukan pembongkaran sembilan rumah warga dan satu puskesmas, untuk mengambil papan, kayu-kayu, dan peralatan lainnya, pada tanggal 22-23 Februari 2025. Kemudian sekolah juga digeledah oleh anggota TNI pada tanggal 24 Februari 2025 hingga peralatan belajar dihamburkan seperti buku-buku, ijazah, surat baptis, dan lain sebagainya. Ini jelas pelanggaran hak warga untuk merasa aman, begitu pula pelanggaran atas hak kesehatan, hak atas pendidikan dan hak anak.

Komnas HAM mencatat ada 113 peristiwa terkait hak asasi manusia terjadi di Papua sepanjang tahun 2024, 85 kasus di antaranya berdimensi konflik bersenjata dan kekerasan. Konflik ini menimbulkan dampak besar terhadap warga sipil, termasuk korban jiwa, luka-luka, dan pengungsi internal. Koalisi diterima oleh Ketua Komnas HAM Anies Hidayah dan Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Saurlin P Siagian.

Anis menyatakan keprihatinannya terhadap aksi kekerasan berupa pemukulan, pembunuhan dan mutilasi terhadap warga sipil di kampung Yuguru, Papua.

“Komnas HAM mengecam aksi kekerasan itu, karena hak.hidup adalah hak fundamental. Kami mendorong tidak terjadi impunitas atas kasus kekerasan di Papua,” kata Anis Hidayah

Atas tragedi kemanusiaan ini, Koalisi menyampaikan tuntutan sebagai berikut:

Pertama, Pemerintah dan TNI harus segera mengusut tuntas dugaan penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum terhadap Abral Wandikbo, serta dugaan perusakan rumah dan fasilitas umum di Yuguru. Aparat TNI di lapangan maupun pimpinan mereka di tingkat komando harus dimintai pertanggungjawaban hukum secara adil dan transparan.

Kedua, Pemerintah harus memberikan pemulihan menyeluruh kepada keluarga korban dan warga Kampung Yuguru yang turut terdampak. Pemerintah daerah juga harus merenovasi fasilitas publik seperti sekolah dan puskesmas yang rusak, serta memastikan kebutuhan pendidikan dan kesehatan warga terpenuhi.

Ketiga, Komnas HAM harus menetapkan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat dan segera memulai penyelidikan pro justitia sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Keempat, Pelaku penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan harus diadili secara terbuka di pengadilan sipil, bukan militer, demi menjamin keadilan dan akuntabilitas publik.

Kelima, Negara harus segera menghentikan pendekatan militeristik dalam penyelesaian konflik di Tanah Papua, yang selama ini makin memperparah kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap warga sipil.

Keenam, Pemerintah wajib membuka akses seluas-luasnya bagi pemantau HAM independen, jurnalis, dan organisasi kemanusiaan ke wilayah Papua, termasuk ke Kampung Yuguru, sebagai bentuk transparansi dan jaminan hak atas informasi. Tanpa akses yang adil bagi media dan semua pemantau HAM independen di Papua, maka Papua akan terus berada dalam bayang bayang ketertutupan dan potensi pelanggaran HAM yang luput dari pengawasan publik akan terus terjadi.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus HAM di Yuguru: 
  1. Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua
  2. Amnesty International Indonesia
  3. Biro Papua PGI
  4. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  5. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
  6. Asia Justice and Rights
  7. LBH Masyarakat (LBHM)
  8. AJI Indonesia
  9. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
  10. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  11. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta

Living in Human Rights (LIGHTS)

Bergabung Bersama Kami Mewujudkan Keadilan bagi Kelompok Rentan!

Kamu resah melihat banyak ketidakadilan dan kebijakan yang ngawur di masyarakat, terlebih pada kelompok rentan? Kamu ingin belajar lebih banyak tentang situasi HAM dan cara advokasi yang tepat dan sesuai dengan kapasitasmu. Program LIGHTS adalah program yang tepat untukmu.

Apa itu LIGHTS?

Living in Human Rights atau biasa disingkat sebagai LIGHTS, merupakan program pengenalan Hak Asasi Manusia (HAM) intensif bagi mahasiswa/i yang sudah diadakan sejak tahun 2008 oleh LBH Masyarakat (LBHM). Lewat LIGHTS, LBHM membuka peluang terbuka bagi para peserta untuk bergabung dan menjadi bagian dari badan pekerja LBHM sebagai upaya menjaga keberlanjutan gerakan HAM yang telah kami lakukan selama lebih dari 17 tahun.

Mengapa Perlu Belajar HAM Lewat LIGHTS?

LBHM meyakini jika gerakan advokasi dan kampanye publik mengenai hak asasi manusia haruslah terlebih dahulu ditopang dengan pendidikan yang baik sejak dini, dan kehadiran LIGHTS berusaha memfasilitasi hal itu. Terlebih lagi, sebagai lembaga yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, LBHM juga merasa punya tanggung jawab dalam menyebarluaskan pengetahuan tentang hak asasi manusia dan demokrasi kepada masyarakat.

Siapa Saja yang Bisa Menjadi Peserta LIGHTS?

Program ini menargetkan para mahasiswa dan komunitas rentan yang haknya seringkali dilanggar dan partisipasinya jarang diperhitungkan dalam proses demokrasi dan pengambilan kebijakan. Sehingga, lewat pendidikan kritis yang diberikan kepada mereka, harapannya kami dapat membantu mereka dalam menciptakan iklim kebijakan yang lebih demokratis, berbasiskan pada nilai-nilai hak asasi manusia, dan berpihak pada kelompok rentan.

Apa Saja yang Dipelajari di LIGHTS?

Selama 14 hari (2 minggu), para peserta akan mendapatkan berbagai materi mengenai hak asasi manusia. Peserta akan mendapatkan kesempatan untuk mempelajari teori-teori HAM, implementasi pemenuhan HAM serta mengunjungi lembaga-lembaga negara dan organisasi masyarakat sipil yang juga memiliki perhatian besar pada pemenuhan HAM.

Kata Mereka tentang LIGHTS

Gimana sih pengalaman mereka belajar bareng di LIGHTS? Yuk lihat di sini:

NamaAsalTahun AngkatanTestimoni
Bima GilangFakultas Ilmu Pendidikan, Prodi Pendidikan Khusus, Universitas Negeri Jakarta2023Aku sangat senang mengikuti kegiatan LIGHTS yang diadakan LBHM. Sebelumnya aku betul-betul tidak paham dan tidak mengerti sedikitpun terkait HAM dan mengapa kita harus peduli serta menuntut perlindungan yang setara. Lewat pelatihan atau program LIGHTS aku juga menjadi paham bahwa semua orang berhak mendapatkan perlindungan tanpa memandang apapun latar belakangnya. LIGHTS tidak hanya berfokus pada teori-teori yang diajarkan di kelas namun kami juga diajak melihat langsung kelompok-kelompok rentan yang diadvokasi LBHM. Tentu saja itu membuka mata kami bahwa harapan itu ada, dan kami generasi muda harus menjaga nyala api harapan tersebut.
Intan ShabiraFakultas Ilmu Sosial dan Politik, Prodi Kriminologi, Universitas Indonesia2023Belajar HAM, gender, apalagi SOGIESC tuh enggak cukup kalau cuma 1 SKS, apalagi cuma 7 hari. Meski gitu, pelatihan ini bener-bener ngubah cara pandangku. Aku makin sadar bahwa banyak hal dalam hidup ini yang sebenarnya sedang direpresi—oleh sistem, norma, bahkan negara. Buatku, HAM itu bukan cuma soal hak. HAM itu sebuah privilese. Enggak semua orang punya akses buat baca, paham, atau bahkan sadar kalau mereka punya hak. Bahkan, enggak semua orang punya akses untuk sekadar baca atau mengerti tulisan ini. Jadi daripada ngirim orang ke barak militer, mendingan kirim pejabatnya aja ke pelatihan ini biar makin peka dan pa-HAM.
Novia PuspitasariFakultas Ilmu Hukum, Universitas Negeri Jember2018LIGHTS merupakan media edukasi bagi mahasiswa dan generasi muda mengenai demokrasi, hukum, dan Hak Asasi Manusia yang unik, mendalam, dan inklusif bagi beragam latar belakang peserta.   Forum ini dirancang untuk memfasilitasi pemahaman komprehensif peserta tentang demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia, baik secara teoritis maupun aplikatif.  Pemahaman konseptual yang saya peroleh di kelas kemudian dipertajam melalui analisis realitas sosial dan interaksi langsung dengan berbagai kelompok marginal.  Metodologi pembelajaran ini terbukti efektif bagi saya sehingga saya memiliki pemahaman yang lebih komprehensif tentang demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia, serta menumbuhkan empati terhadap kelompok-kelompok marginal.  Sesuai dengan namanya yang berarti cahaya, bagi saya LIGHTS berperan sebagai katalisator dan bekal untuk berpartisipasi aktif dalam membangun Indonesia yang lebih baik.
Teresa PrasetioFakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada2018LIGHTS merupakan salah satu pengalaman pengubah hidup bagi saya sebagai seorang mahasiswa dari Jogja. Melalui LIGHTS saya belajar kekayaan dimensi hak asasi manusia dan tantangannya dalam melindunginya demi kemanusiaan. Setelah dari LIGHTS, saya semakin yakin untuk berkarir di isu HAM. LIGHTS menjadi sarana yang tepat untuk tidak hanya untuk yang tertarik bekerja di isu HAM tapi juga memperkaya wawasan terhadap berbagai wajah kemanusiaan.

Pertanyaan Lebih Lanjut (Frequently Answer Question/FAQ)

  1. Apakah LIGHTS Memungut Biaya dari Peserta?

Tidak. Para peserta yang mengikuti LIGHTS tidak dipungut biaya.

  • Bagaimana metode pembelajaran dalam LIGHTS?

Pelaksanaan LIGHTS akan berlangsung selama 2 minggu atau 14 hari. Para peserta akan melakukan pembelajaran secara langsung di kantor LBHM, Jakarta, yang difasilitasi oleh Badan Pekerja LBM dan akan menghadirkan berbagai akademisi, praktisi, dan perwakilan kelompok rentan untuk memberikan pengetahuan tentang hak asasi manusia.

  • Bagaimana dengan Para Peserta LIGHTS yang Berasal dari Luar Jakarta?

Kami sebisa mungkin mencoba untuk memberikan beasiswa bagi peserta yang berasal dari luar Jabodetabek, tetapi jumlahnya sangat terbatas.

  • Apakah Peserta LIGHTS Mendapatkan Sertifikat?

Ya, peserta akan mendapatkan sertifikat dari LBHM.

  • Apakah Peserta LIGHTS Berpotensi Menjadi Bagian dari LBHM?

Sangat memungkinkan. Banyak alumni peserta LIGHTS yang menjadi staf tetap dari LBHM, banyak juga yang berkarya di organisasi sejenis. Namun, pembukaan pendaftaran staf baru juga mengikuti kesediaan lowongan dan submer daya LBHM.

Terus pantau media sosial dan website LBHM untuk mengetahui pendaftaran LIGHTS. 

en_USEnglish