Skip to content

Author: admin lbhm

[Laporan Penelitian] Dalam Rangka Menegakkan Tibum: Sebuah Asesmen terhadap Konsep dan Implementasi Ketertiban Umum di Indonesia

Beragamnya peraturan-peraturan normatif tentang ketertiban umum menyebabkan tiadanya satu definisi yang padu tentang ketertiban umum di Indonesia. Pendefinisian ketertiban umum sangat tergantung dari kepentingan penguasa yang tercermin dari aspek politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain.

Definisi ketertiban umum yang tidak bulat tersebut menyebabkan variasi jenis-jenis ketertiban. Totalnya ada 48 jenis tertib di mana satu jenis tertib umumnya menjabarkan beberapa jenis aktivitas yang dilarang. Beberapa aturan ketertiban umum pada level lokal pun mengulang peraturan pada tingkat nasional.

Ragam-ragam ketertiban umum mampu menghambat pemenuhan HAM orang dengan HIV dan populasi kunci HIV. Salah satu jenis ketertiban yang umumnya mendisiplinkan ODHIV dan populasi kunci HIV adalah ragam tertib sosial yang umumnya mengkategorikan apa yang dimaksud dengan tindakan asusila. Sayangnya, tindakan asusila sering kali didefinisikan secara bebas, sepihak, dan luas.

Misalnya, Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 7 Tahun 2016 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, menyamakan tindakan asusila sebagai menjajakan diri di jalan, bercumbu, berciuman dan aktivitas seksual lainnya.

Untuk itu, penelitian ini berusaha untuk melihat bagaimana konsep ketertiban umum didefinisikan serta bagaimana dampak penegakannya bagi penghormatan, pelindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.

Kalian dapat membaca hasil penelitian tersebut melalui link di bawah ini:

Menyikapi Hukuman: Risiko dan Imbalan dalam Perdagangan Gelap Obat-obatan di Indonesia

The Death Penalty Project dan LBH Masyarakat bekerja sama melakukan penelitian tentang penggunaan hukuman mati untuk tindak pidana obat-obatan – khususnya, untuk membangun bukti empiris dan pengetahuan tentang siapa yang dihukum karena pidana obat-obatan dan untuk mengungkap faktorfaktor yang memengaruhi perilaku mereka. Kami ingin menggali apa yang memotivasi individu untuk melakukan tindak pidana tersebut dan sejauh mana ancaman hukuman yang keras menjadi faktor dalam pengambilan keputusan mereka, serta untuk melihat seperti apa sesungguhanya efek hukuman mati dalam mencegah seseorang terlibat dalam perdagangan obat-obatan terlarang. Ini adalah faktor-faktor penting untuk dapat secara akurat menilai efektivitas hukuman yang keras.

Laporan ini – yang kami tugaskan untuk dilakukan Death Penalty Research Unit di University of Oxford dan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya – adalah tahap pertama dari penelitian kami. Penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai sampel non-acak dari 57 narapidana yang saat ini menjalani hukuman untuk tindak pidana obat-obatan di suatu Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II di Jakarta.

Silakan membaca laporannya melalui tautan di bawah ini:

GRASI PRESIDEN KEPADA MERRI UTAMI: KOMUTASI SETENGAH HATI

Pada 27 Februari 2023, Presiden Jokowi akhirnya memutuskan grasi Merri Utami (MU) melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor: 1/G Tahun 2023 tentang Pemberian Grasi, yang berbunyi: “mengubah pidana dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup”.
Dari Keppres tersebut, meski ini sebuah kemenangan, kami sesungguhnya menyayangkan sikap Presiden yang masih setengah hati dalam memberikan komutasi pidana mati terhadap MU.

Laporan Monitoring dan Dokumentasi Media Orang dengan HIV dan Populasi Kunci 2021-2022 [ID/EN]

Kebijakan penanggulangan HIV Indonesia dalam kalkulasi di atas kertas memang mengagumkan. Namun, kebijakan normatif itu ompong dalam implementasi. Laporan yang dihadirkan di hadapan Anda saat ini menyajikan temuan itu dalam narasi dan data yang aktual. Meskipun permasalahan dari waktu ke waktu dalam penanggulangan HIV selalu berulang, yaitu langgengnya stigma dan diskriminasi, tetapi dalam laporan ini diuraikan secara komprehensif dari level hulu hingga hilir dari satu aktor ke aktor lain, baik yang berada di skala nasional atau lokal dalam konteks kebijakan dan praktik lapangan penanggulangan HIV. Oleh karena itu, dengan menyelami laporan ini, kita akan memahami kemelut persoalan HIV dari berbagai aspek.

Buku Laporan Penelitian Perspektif Keagamaan Narkotika

Masyarakat Indonesia menempatkan agama sebagai aspek penting dalam kehidupan. Oleh karena itu, aspek keyakinan merupakan potensi besar yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong institusi agama agar memberikan lebih banyak perhatian terhadap fenomena masalah penggunaan narkotika. Penelitian ini merupakan awal pergerakan kolaborasi unsur agama melalui institusi maupun tokoh agama dan masyarakat dalam menanggapi kegelisahan masalah narkotika di Indonesia.

Pidana Mati Ferdy Sambo: Simplifikasi Reformasi Kepolisian?

LBH Masyarakat (LBHM), dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
mengucapkan duka mendalam atas meninggalnya Brigadir Yosua dalam peristiwa
pembunuhan. Dalam kasus ini kami juga menyoroti langkah Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan yang menjatuhkan pidana mati terhadap terdakwa Ferdy Sambo pada 13
Februari 2023.


Kami mendukung penuh penjatuhan pidana terhadap kasus pembunuhan berencana yang
dilakukan oleh mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri untuk
memenuhi rasa keadilan bagi korban. Namun di sisi lain, penjatuhan pidana mati yang diberikan
kepada Ferdy Sambo tidak menyentuh problematika struktural di instansi Kepolisian, baik
terkait mekanisme pengawasan maupun sistem penjatuhan sanksi antara etik dan profesi
maupun pidana.


Dalam penjatuhan pidana mati di beberapa kasus (tidak hanya pada kasus Ferdy Sambo),
Pemerintah abai terhadap dorongan internasional yang selalu menjadi pembahasan di
Universal Periodic Review (UPR) sebagai mekanisme pemantauan situasi HAM di level
internasional, terlebih tren global yang terjadi di negara-negara di dunia telah menghapus
hukuman mati yang diterapkan di 109 negara.


Sejatinya, penerapan pidana mati dalam sistem hukum pidana di Indonesia jelas bertentangan
dengan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun
(non-derogable rights). Artinya, tidak ada seorang pun yang berhak untuk mencabut hak hidup
seseorang, termasuk dalam hal ini negara. Perlindungan hak hidup sendiri telah diatur dalam
berbagai instrumen hukum, baik itu yang nasional maupun internasional. Dalam instrumen
Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM (UU HAM).


Secara umum, negara melihat pidana mati masih dianggap sebagai bentuk hukuman yang
setimpal dengan perbuatan pelaku yang merugikan korban, dan bisa menimbulkan efek jera
serta memenuhi keadilan. Padahal, pemberlakuan pidana mati selain melanggar aspek-aspek
HAM di luar hak untuk hidup, juga lebih banyak kepentingan politik dan bahkan cenderung lebih
sering untuk menutupi pihak lain dan kejahatan lain yang ada di belakangnya. Terutama dalam
kasus-kasus narkotika, penerapan vonis pidana mati sebagai dalih efek jera malah tidak terbukti
menurunnya kasus-kasus narkotika serta gagal menyingkap aktor utama.


Pada sisi lain vonis pidana mati menyisakan persoalan yang khas yaitu fenomena deret tunggu
pidana mati (death row phenomenon) yang merusak psikologis dan mental terpidana mati
selama menuju eksekusi mati. Dalam catatan kami tergambar jelas dalam kasus perempuan
terpidana mati Merri Utami yang hingga saat ini menjalani pemenjaraan lebih dari 21 tahun
tanpa ada perlindungan hukum atas hukuman berlapis yang dijalani selama ini.


Di tengah persoalan rasa keadilan bagi korban dan intervensi negara dalam menerapkan
hukuman, vonis pidana mati cenderung menutupi boroknya penegakan hukum yang terjadi
sekaligus mengabaikan hak-hak dan harkat serta martabat terpidana mati.


Kami menilai penghapusan pidana mati bukan berarti mendukung tindakan kriminal, melainkan
usaha untuk mendorong perbaikan pada sejumlah sektor penegakan hukum, khususnya pada
pidana mati yang mana sampai saat ini masih menyimpan sejumlah persoalan. Selanjutnya,
kami juga turut menggarisbawahi bahwa kasus Ferdy Sambo secara tidak langsung
menunjukkan bahwa terdapat permasalahan dalam institusi kepolisian (e.g melibatkan anggota
kepolisian dalam tindak pidana, upaya menutupi suatu kasus, obstruction of justice dan lain
sebagainya).


Dalam catatan Komnas HAM dan Ombudsman pada tahun 2021 menyampaikan temuan yang
sama bahwa di tahun 2020, institusi kepolisian merupakan institusi yang paling banyak
dilaporkan oleh publik. Tragedi Kanjuruhan, merupakan potret problem kepolisian terhadap
mengakarnya budaya kekerasan dan penyelewengan kewenangan. Selain itu kokohnya
kewenangan kepolisian tanpa ditopang dengan mekanisme pengawasan yang efektif terutama
oleh Pemerintah dan DPR. Situasi tersebut mengakibatkan kepolisian menjadi institusi super
power tanpa pengawasan optimal. Sehingga tidak heran jika temuan Ombudsman dan Komnas
HAM tersebut menunjukan penyakit di tubuh kepolisian yang sangat kronis jika dibiarkan
berlarut tanpa penyelesaian.


Dalam kasus Ferdy Sambo, pidana mati justru tidak menjawab kebutuhan mendesak untuk
melakukan reformasi kepolisian tersebut, mengingat kasus yang menewaskan Brigadir Yosua
telah melibatkan banyak anggota polisi dari berbagai level. Padahal, sempat digadang-gadang
akan terkuak berbagai bentuk kejahatan terorganisir lainnya yang sempat diperiksa oleh
Propam di bawah Ferdy Sambo dkk. Kami khawatir bahwa pidana mati merupakan cara untuk
simplifikasi terhadap reformasi kepolisian.


Jakarta, 14 Februari 2023
LBH Masyarakat – PBHI
Narahubung:
LBHM : 0898 437 0066
PBHI : 0813 1496 9726

SIARAN PERS KOALISI REFORMASI ANTI TEROR

“Putusan Praperadilan Jhon Sondang Pakpahan Mengabaikan Fakta Persidangan, Mencerminkan Rapuhnya Lembaga Praperadilan”

(09/02/2023) Setelah ditunda pada tanggal 8 Februari 2023, Koalisi Reformasi Anti Teror (KRAT) menghadiri agenda sidang pembacaan putusan dalam perkara praperadilan JHON SONDANG SAITO PAKPAHAN melawan Densus 88 Anti Teror Polri. Dalam amar putusannya, hakim menolak seluruh permohonan JHON atas permintaan agar menyatakan upaya paksa berupa penggeledahan, penahanan, dan penetapan tersangka yang dilakukan oleh Densus 88 Anti Teror Polri dinyatakan tidak sah.

Pertama, kami sangat menyayangkan putusan hakim mengabaikan atau tidak mempertimbangkan serangkaian fakta pelanggaran hak yang dialami oleh JOHN sebagaimana fakta yang telah disampaikan dalam persidangan. Pelanggaran hak yang dialami JOHN diawali dari minimnya akses kunjungan keluarga dan intervensi bantuan hukum yang memadai selama menjalani penahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Mako Brimob, Cikeas. Pasca penangkapan, JOHN tidak menerima akses kunjungan secara fisik oleh keluarga selama 185 hari. Penolakan juga dialami oleh KRAT yang berupaya untuk bertemu dan berkomunikasi dengan JHON. Hal ini dibuktikan dari absennya tanggapan Densus 88 Polri atas seluruh bukti surat permohonan bertemu dan permintaan berkas perkara JHON, yang sejatinya telah dijamin dalam Pasal 60 dan Pasal 72 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

Kedua, penyidikan perkara ini telah jelas terbukti dilakukan dengan serangkaian prosedur yang bertentangan dengan hukum acara pidana. Diantaranya adalah tidak adanya penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada JOHN, sebagaimana kaidah hukum dalam Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang secara imperatif membebankan kewajiban bagi penyidik untuk memberitahukan dan menyerahkan SPDP kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan–termasuk kepada JHON sebagai tersangka, oleh karenanya sependapat dengan Putusan MK tersebut kami menilai tertundanya penyampaian SPDP oleh penyidik tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga merugikan hak konstitusional JOHN sehingga harusnya Hakim menerima dan mengabulkan serta menyatakan penyidikan tidak sah.

Ketiga, Putusan ini justru mereduksi pertimbangan-pertimbangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 yang telah memperluas objek praperadilan. Putusan tersebut sejatinya berupaya menjawab persoalan pada lembaga praperadilan, yang sebelumnya terjebak dalam pemeriksaan formil dan administrasi belaka. Mahkamah Konstitusi telah jelas menyatakan bahwa setiap tindakan penyidik yang tidak berpegang teguh pada prinsip kehati-hatian dan diduga melanggar hak asasi manusia, dapat dimintakan perlindungan kepada pranata praperadilan. Sehingga, kewenangan praperadilan tidak hanya mengawasi tindakan objektif dan administratif yang dilakukan oleh penyidik, namun juga mampu menjangkau subjektifitas penyidik dalam melakukan upaya paksa terhadap seseorang.

keempat, oleh karena itu kami menilai rencana Revisi KUHAP harus memastikan bahwa harus ada pengawasan pengadilan (judicial scrutiny) yang kuat sebagai upaya kontrol bagi upaya paksa yang dilakukan khususnya oleh Penyidik. Kebutuhan tersebut sangat mendesak agar pengadilan dapat memantau dan mengendalikan proses pra-persidangan dan melakukan pemeriksaan secara aktif terhadap semua upaya paksa yang dilakukan, termasuk memutus berdasarkan inisiatif dari pengadilan sendiri.

Hormat kami

Koalisi Reformasi Anti Teror

Narahubung:

  1. Fadhil Alfathan 081213151377
  2. Nixon Randy Sinaga 082241148034
  3. Teo Reffelsen 085273111161
  4. Yosua Octavian 081297789301

LAPORAN TAHUNAN LBH MASYARAKAT 2022

LBHM mendokumentasikan perjuangan dan pekerjaan kami dalam Laporan Kerja (2022). Laporan ini merupakan pertanggung jawaban LBHM kepada publik dalam menginformasikan kerja-kerja yang sudah dilakukan oleh LBHM sepanjang tahun 2022 — sekaligus juga menjadi refleksi kerja-kerja LBHM selama satu tahun kebelakang. Kami menganalisa situasi serta tantangan HAM selama 2022 dan tahun yang akan datang. Laporan ini dapat tersusun, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah LBHM.

Ganja Medis dan Pembubaran BNN

Kepala BNN tidak setuju ganja medis dilegalkan. Statement ini disampaikan Kepala BNN pada saat rapat kerja dengan Komisi III DPR, Rabu, 18 Januari 2023. . Berdasarkan hal tersebut koalisi masyarakat sipil Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) perlu menyikapi dan meluruskan tanggapan Kepala BNN tersebut.

Jika kita merujuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK), MK dalam putusan nomor 106/PUU-XVIII/2020 tanggal 20 Juli 2022 sama sekali tidak melarang narkotika, khususnya ganja, digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. MK justru memerintahkan agar pemerintah segera melakukan pengkajian dan penelitian jenis Narkotika Golongan I, termasuk ganja didalamnya, untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi.

MK mengamini bahwa narkotika golongan I, khususnya ganja, dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kesehatan, akan tetapi perlu dibarengi dengan penguatan sistem hukum dan kesehatan Indonesia sehingga infrastruktur yang ada bisa siap, jika hasil penelitian yang dilakukan pemerintah membuktikan jenis narkotika dalam golongan I dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pelayanan Kesehatan. MK dalam putusannya tidak pernah menyatakan menutup pemanfaatan ganja untuk medis.

Kepala BNN dalam Raker itu justru menunjukan sikap arogan dan emosional serta mengedepankan kepentingan personal yang anti science daripada tugas kelembagaan BNN itu sendiri. Jika kita terus mempertahankan kinerja BNN dengan kepemimpinan BNN yang ditunjukan oleh Kepala BNN saat ini, maka tidak ada bedanya keberadaan BNN dengan aparat penegak hukum lain dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). BNN perlu berbenah dan menyesuaikan diri terhadap kebutuhan perkembangan zaman, khususnya terkait kebutuhan masyarakat untuk pemanfaatan ganja medis. Jika BNN masih keras kepala dan tidak mau berbenah dan mengedepankan kebijakan yang tidak berbasis ilmu pengetahuan, maka tidak ada lagi pilihan selain membubarkan BNN.

Rilis selengkapnya ada di sini

en_USEnglish