Skip to content

Author: admin lbhm

Panduan Pertolongan Pertama Psikologis bagi Pembela HAM LGBTIQ+

Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) adalah salah satu kelompok yang sering mendapatkan ancaman keselamatan ketika sedang menjalankan tugas-tugasnya. Persekusi dari aktor negara ataupun aktor privat berdampak pada kesehatan fisik dan psikis dari para pembela HAM. Hal yang sama terjadi kepada pembela HAM yang fokus pada individu-individu LGBTIQ+ di Indonesia. Tingginya kasus krisis yang dialami oleh individu LGBTIQ+— paralegal Konsorsium CRM mencatat 51 kasus pada tahun 2021—menimbulkan beban fisik dan mental bagi pembela HAM LGBTIQ+/

Berangkat dari hal tersebut, Konsorsium CRM bersama dengan Jaringan Transgender Indonesia dan perEMPUan melalui dukungan Program Voice Indonesia memproduksi Panduan Pertolongan Pertama Psikologis bagi Pembela HAM LGBTIQ+ di Indonesia. Kami berharap panduan ini bisa digunakan seluas-luasnya ketika pembela HAM LGBTIQ+ mengalami dampak negatif stress ketika menjalankan tugasnya. Selain memberikan panduan praktis untuk mencegah timbulnya gangguan kesehatan mental yang lebih buruk, panduan ini juga memberikan kontak layanan lanjutan kesehatan mental yang ramah LGBTIQ+ di Indonesia.

Unduh laporan selengkapnya dengan menekan tautan di bawah:

Panduan Pertolongan Pertama Psikologis bagi Pembela HAM LGBTIQ+ di Indonesia

PENGUMUMAN PESERTA LIGHTS 2022 TERPILIH

LBHM mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh pihak yang telah mengirimkan aplikasi untuk turut serta dalam Living the Human Rights (LIGHTS) 2022. Sebuah keputusan sulit bagi kami menyeleksi aplikasi-aplikasi yang luar biasa bagus, tapi dengan segala keterbatasan kami hanya dapat memilih 12 nama peserta yang dalam turut serta dalam LIGHTS 2022. Berikut adalah 12 nama peserta yang terpilih:

  1. Kevin Aryatama
  2. Rajendra Amira
  3. Osan Ramdan
  4. Dararima Sani
  5. Ahmad Faiz Muzaki
  6. Suparno
  7. Ayu Dio Nuril Istihgfara
  8. Thalita Avifah Yuristina
  9. Nikita Mas Berlian Situmeang
  10. Yamanan
  11. Raham Abyasa Dirgantara
  12. Zana Chobita Eretusa

Kematian Brigadir J: Proporsionalitas ancaman pidana mati terhadap Brigadir RR

Ancaman hukuman mati di kasus tewasnya almarhum Brigadir J menyeret aktor baru yaitu Brigadir RR sebagai ajudan atau sopir istri FS. Brigadir RR ditetapkan sebagai tersangka oleh Timsus pada Minggu, 7 Agustus 2022 dengan tuduhan pasal pembunuhan berencana (Pasal 340 Jo. Pasal 55 Jo. Pasal 56 KUHP) dengan ancaman pidana mati.

Pidana mati masih diakui dalam hukum pidana di Indonesia tetapi penerapannya kontradiktif dengan norma hak asasi manusia, yaitu hak hidup. Meskipun kasus ini menyebabkan terenggutnya nyawa Brigadir J, pemberian ancaman hukuman mati bukan sebagai saluran balas dendam. Terlebih Brigadir RR justru rentan menjadi pihak yang diperdaya oleh aktor utama yang memiliki kewenangan dan kekuasaan memberi perintah.

Penggunaan ancaman pidana mati terhadap Brigadir RR seolah menjadi solusi jitu untuk kasus ini. Padahal, kepastian akan peran Brigadir RR dalam kematian Brigadir J masih menjadi polemik di tengah ketidakjelasan keberadaan pelaku lain yang mungkin menjadi dalang dalam perkara ini. Belum jelas apakah ada pelaku lain dan bagaimana relasi pelaku tersebut dengan Brigadir RR. Di tengah ketidakjelasan ini, bukan tidak mungkin Brigadir RR memiliki peranan minor yang tingkat kesalahannya jauh di bawah pelaku utama.

Kemungkinan adanya relasi kuasa atas nama perintah atasan dapat memaksa Brigadir RR yang berstatus sebagai ajudan atau sopir istri FS bertindak bukan atas dasar kehendak dan nuraninya sendiri. Pada tahap ini, pelaku-pelaku minor seharusnya mendapat perlindungan agar dapat membantu mengungkap pelaku utama, daripada mengancam mereka dengan pidana mati secara tidak proporsional.

Berdasarkan uraian di atas, LBHM mendesak:
1. Kapolri untuk menghentikan penerapan pasal dengan ancaman pidana mati terhadap Brigadir RR dalam kasus kematian Brigadir J;
2. Timsus segera mengungkap kemungkinan adanya pelaku lain dan menjelaskan relasinya dengan Brigadir RR;
3. Memberikan perlindungan kepada saksi dan keluarga korban kasus pembunuhan Brigadir J untuk membantu mengungkap kejelasan perkara;
4. Menghormati standar hak asasi manusia dalam proses penyidikan kematian Brigadir J dan melakukan penyidikan secara transparan serta berbasis scientific crime investigation:
5. Melakukan investigasi secara proporsional dengan tidak hanya menyasar pelaku-pelaku pembantu dengan peran minor.

Jakarta, 8 Agustus 2022
LBHM

Pernyataan Bersama Merespons Eksekusi Mati Pembela HAM di Myanmar

Jakarta, 27 Juli 2022 – Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat mengecam ekesekusi mati yang dilakukan oleh Pemerintahan Junta Militer Myanmar terhadap tiga orang aktivis prodemokrasi, yakni TMP Phyo Zeya Thaw, Kyaw Min Yu, Hla Myo Aung dan Aung Thura Zaw, pada tanggal 25 Juli 2022. Pernyataan sikap ini kami ajukan bersama dengan Anti-Death Penalty Asia Network (ADPAN), Capital Punishment Justice Project, (CPJP), Eleos Justice, Monash University, Malaysians Against Death Penalty and Torture (MADPET), Odhikhar, Taiwan Alliance to End the Death Penalty, ECPM (Together Against the Death Penalty) dan Transformative Justice Collective.

Eksekusi yang dilakukan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Bukan hanya merampas nyawa orang lain, pemerintah Myanmar juga tidak memberikan hak atas peradilan yang adil berupa hak untuk mendapatkan bantuan hukum dan hak untuk melakukan banding. Kami mendesak Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dan komunitas internasional untuk bersama-sama mengecam eksekusi tersebut dan melakukan advokasi bagi orang-orang yang terancam dengan eksekusi mati di Myanmar.

Baca pernyataan lengkap kami pada tautan berikut:

Anti-Death Penalty and Human Rights organisations outraged by the execution of human rights defenders by the Myanmar Military Junta

Rantai Panjang Pelanggaran Fair Trial – Pendokumentasian di Tiga Rutan

Hak atas peradilan yang jujur dan adil (fair trial) merupakan prinsip dasar dan bentuk manifestasi dari perlindungan hak asasi manusia. Prinsip ini mutlak harus menjadi pondasi dalam berjalannya sistem peradilan pidana secara terpadu di Indonesia sebagaimana yang telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Sayangnya, fakta dan realitas justru berkata lain. Berbagai hak dasar seorang tersangka maupun terdakwa yang berhadapan dengan proses hukum kerap terlanggar, mulai dari pemeriksaan tingkat kepolisian sampai dengan tingkat pengadilan. Pandemi COVID-19 yang menyebabkan penumpukan jumlah tahanan di Rutan Kepolisian turut berkontribusi pada pelanggaran hak-hak ini.

Pada semester pertama tahun 2021, LBHM telah mempublikasi hasil dokumentasi kegiatan penyuluhan dan konsultasi hukum di 2 (dua) rumah tahanan di Jakarta, yakni Rumah Tahanan Kelas I Cipinang (Rutan Cipinang) dan Rumah Tahanan Kelas IIA Jakarta Timur (Rutan Pondok Bambu). Publikasi kali ini merupakan kelanjutan dari hasil kegiatan penyuluhan hukum yang terakumulasi pada periode kedua, yakni bulan Juli sampai dengan Desember 2021, yang mengumpulkan 350 responden.

Keterangan para responden memberikan indikasi pelanggaran hak atas bantuan hukum, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk peradilan yang adil dan bersih. Selain itu, masifnya penindakan perkara narkotika pada periode ini turut membuat kita berpikir ulang apakah sistem penegak hukum telah secara serius berupaya mengedepankan keadilan restoratif dan mengatasi kelebihan kapasitas di penjara-penjara Indonesia.

Publikasi ini dapat dibaca lebih lanjut pada tautan berikut:

Rantai Panjang Pelanggaran Fair Trial: Pendokumentasian Kegiatan Penyuluhan dan Konsultasi Hukum di Tiga Rumah Tahanan Wilayah DKI Jakarta Sepanjang Tahun 2021

Hakim dan Panitera ditangkap kasus narkotika: BNN dan Mahkamah Agung saatnya reformasi kebijakan narkotika

Jakarta, 23 Mei 2022 – Dua Hakim dan seorang Aparatur Pengadilan Negeri Rangkasbitung ditangkap oleh BNN Provinsi Banten. Informasi penangkapan ini menunjukan bahwa kasus narkotika telah juga menyentuh sampai pengetok palu keadilan.

Potret penanganan kasus narkotika yang menimpa Hakim dan aparatur Pengadilan Negeri Rangkasbitung menunjukan realitas lapangan bahwa perang terhadap narkotika (war on drugs) telah gagal menyelamatkan aparatur penegak hukum (APH) dari jerat narkotika. Realitas ini seyogyanya dijadikan bahan evaluasi pendekatan penanganan narkotika yang selama ini lebih mengedepankan penegakan hukum daripada kesehatan.

Pada sisi lain, penangkapan yang menyasar Hakim dan Aparatur Pengadilan Negeri Rangkasbitung menunjukan bahwa persoalan narkotika dapat menyasar kalangan manapun, termasuk institusi Pengadilan atau APH lainnya. Dengan demikian, pimpinan Mahkamah Agung sebagai atasan dari Hakim dan Aparatur Pengadilan ini tidak bisa menghindar dari kasus ini.

Lebih mendasar dari itu, persoalan orang dengan ketergantungan narkotika yang menjalani proses hukum sangat erat kaitannya dengan menguatnya perkembangan paradigma sosial yang melabeli narkotika, termasuk penyalahgunaan narkotika sebagai sesuatu yang negatif dan dikategorikan melanggar hukum. Kondisi ini khawatir memberikan justifikasi, terutama APH untuk menggunakan sanksi tinggi. Dalam konteks kasus dua Hakim dan aparatur Pengadilan Negeri Rangkasbitung ini berpotensi menambah berat hukuman yang diterapkan, mengingat berprofesi sebagai APH di Pengadilan.

Penanggulangan narkotika yang diterapkan seperti itu akan berdampak terhadap stagnannya perubahan kebijakan narkotika yang saat ini sedang direvisi oleh DPR. Padahal berkaca temuan lapangan, kebijakan narkotika saat ini telah terbukti gagal karena hanya memberikan social cost yang tinggi dengan berkontribusi terhadap beban penegakan hukum dan overcrowding penjara, yang faktanya didominasi kasus-kasus narkotika. Oleh karena itu, Mahkamah Agung sebagai salah satu pengampu sistem peradilan pidana, perlu mengedepankan formula penanggulangan narkotika yang bukan menghukum.

Basis hukum yang dimiliki Mahkamah Agung pada saat ini sesungguhnya cukup memadai sebagaimana termaktub dalam SE Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial dan Peraturan Bersama yang disusun oleh Ketua Mahkamah Agung, Kepala Polri, Jaksa Agung, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, dan Menteri Hukum dan HAM Tahun 2014 Tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi. Pertanyaannya, apakah regulasi tersebut akan diimplementasikan secara konsisten?

Berdasarkan uraian di atas, LBHM mendesak:

Pertama, BNN mengungkap secara rinci dan transparan kepada publik terkait penanganan kasus yang menimpa dua Hakim dan seorang Aparatur Pengadilan Negeri Rangkasbitung; dan

Kedua, Mahkamah Agung melakukan pembinaan terhadap dua Hakim dan seorang Aparatur Pengadilan Negeri Rangkasbitung yang terlibat penyalahgunaan narkotika dengan mengedepankan pendekatan kesehatan dibandingkan proses hukum.

Narahubung:
M. Afif Abdul Qoyim: 081320049060
Yosua Octavian: 081297789301

Pemuda Bekasi Dianggap Teroris: Penegakan Hukum Spekulatif Oleh Densus 88 Anti Teror Polri

Jakarta, 10 April 2020 – Pada 16 Februari 2022, Jon Sondang Saito Pakpahan ditangkap karena dituduh melakukan pelemparan molotov terhadap Pos Polisi di sekitar kolong Tol Jatiwarna, Bekasi, Jawa Barat. Warga yang melihat aksi Jon kemudian menangkapnya. Setelahnya, ia diserahkan kepada petugas kepolisian yang kebetulan sedang berpatroli untuk dibawa ke Polres Metro Bekasi Kota.

Awalnya, oleh Polres Metro Bekasi Kota Jon ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pembakaran. Namun tiba-tiba, Polres Metro Bekasi menyerahkan Jon ke Densus 88. Tindakan Jon dianggap sebagai terorisme yang kemudian membuatnya mendekam dalam sel Rutan Cabang Mako Brimob Cikeas atas dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan/atau 9 UU Terorisme dengan ancaman pidana mati.

Untuk memastikan keadaan Jon dan mengkonfirmasi apa yang dilakukannya, keluarga telah berulang kali datang ke Rutan Cabang Mako Brimob Cikeas, namun tidak diizinkan bertemu. Tak sampai disitu, keluarga telah menghubungi penyidik hingga menyurati Kepala Densus 88 AT Polri agar dapat bertemu dengan Jon. Namun, tidak mendapat respons apa pun. Keluarga juga tidak mendapatkan kepastian apakah Jon telah mendapatkan bantuan hukum dan berkualitas dalam proses hukum tersebut.

Berdasarkan kondisi di atas, Koalisi Reformasi Anti Teror mengecam keras tindakan Densus 88 AT Polri yang menggunakan UU Terorisme dengan dalih penegakan hukum tindak pidana terorisme terhadap Jon beserta berbagai pelanggaran HAM dalam prosesnya.

Pertama, Densus 88 AT secara serampangan menerapkan UU Terorisme terhadap Jon. Tidak ada suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas; atau korban yang bersifat massal yang ditimbulkan akibat perbuatan Jon sebagaimana unsur dalam Pasal 6 dan 9 UU Terorisme. Perbuatan Jon hingga saat ini bahkan masih simpang siur. Kuat dugaan bahwa dilakukan oleh Densus 88 AT ini merupakan kriminalisasi, karena sebelumnya Jon ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pembakaran oleh Polres Metro Bekasi Kota. Namun, tiba-tiba ia diserahkan kepada Densus 88 AT.

Kedua, Penggunaan UU Terorisme akan menjadi tren buruk penegakan hukum tindak pidana terorisme yang menyasar aksi-aksi protes terhadap kebijakan dan tindak tanduk Pemerintah. Ancamannya tak main-main, pidana mati. Hal ini kian menunjukkan ekses pemberlakuan UU Terorisme yang sejak awal telah dikritik oleh masyarakat sipil. Sejak pembahasannya, masyarakat sipil khawatir bahwa UU Terorisme berpotensi memberangus orang atau kelompok yang kritis terhadap kekuasaan ketimbang menyasar organisasi teroris.

Ketiga, terjadi pelanggaran hak Jon sebagai tersangka untuk dikunjungi oleh keluarganya sebagaimana dijamin oleh Pasal 61 KUHAP. Pelanggaran tersebut merupakan bentuk incommunicado detention (penahanan tanpa akses terhadap dunia luar) yang membuka ruang bagi penyiksaan dan bahkan penghilanggan orang secara paksa. Praktik-praktik kuno macam ini seharusnya sudah tidak mendapat ruang dalam penegakan hukum di Indonesia.

Keempat, Dalam hal bantuan hukum, Jon tidak mendapatkan bantuan hukum yang laik. Padahal, Pasal 14 ayat (3) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Republik Indonesia melalui UU 12 Nomor 2005  menetapkan jaminan minimal bagi setiap orang yang sedang dalam proses hukum, salah satunya adalah akses terhadap bantuan hukum. Lebih lanjut Pasal 54 KUHAP memberikan jaminan pemenuhan hak bagi setiap tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum di setiap tingkatan proses peradilan pidana. Pelanggaran hak atas bantuan hukum ini justru merupakan pintu masuk ke dalam praktik-praktik peradilan sesat.

Kelima, kasus ini menambah daftar panjang pelanggaran prosedur dalam penegakan hukum tindak pidana terorisme yang diduga dilakukan Densus 88 AT Polri.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menurut kami tindakan-tindakan tersebut bukan merupakan penegakan hukum, melainkan tak lebih dari aksi mempertontonkan kekuasaan. Untuk itu kami mendesak agar:

  1. Kapolri memerintahkan Kadensus 88 AT Polri untuk memerintahkan jajarannya yang melakukan penyidikan dalam kasus ini untuk segera membuka akses keluarga untuk berkunjung serta memenuhi hak Jon untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum yang ia tunjuk sendiri;
  2. Kapolri segara melakukan evaluasi terhadap tugas, fungsi, dan kerja-kerja Densus 88 AT Polri secara objektif dan menyeluruh, serta melibatkan seluas-luasnya partisipasi masyarakat sipil dalam prosesnya;
  3. Presiden dan DPR segera melakukan revisi terhadap UU Terorisme yang masih memuat ketentuan-ketentuan pidana dengan ancaman pidana mati yang berpotensi menyasar orang atau kelompok yang melakukan aksi-aksi protes terhadap Pemerintah serta melakukan revisi terhadap “Pasal-Pasal Guantanamo” dalam UU Terorisme yang memungkinkan adanya penahanan tanpa akses terhadap dunia luar dan penghalang-halangan akses bantuan hukum;
  4. Komnas HAM, Ombudsman RI, dan Kompolnas secara aktif melakukan pemantauan dan pemeriksaan terhadap dugaan-dugaan pelanggaran HAM, Maladministrasi, dan berbagai pelanggaran prosedur lainnya pada kasus ini.

Koalisi Reformasi Anti Teror
LBH Jakarta dan LBH Masyarakat

Laporan Masyarakat Sipil: Universal Periodic Review Indonesia 2022 tentang Hukuman Mati

Selasa, 8 April 2022 – Pada hari Selasa, 29 Maret 2022 Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) mengirimkan laporan gabungan untuk Universal Periodic Review (UPR) Indonesia tahun 2002 tentang hukuman mati. Dalam laporan tersebut, Koalisi HATI melaporkan situasi hukuman mati di Indonesia sejak laporan terakhir di tahun 2017. Pada periode UPR sebelumnya, Indonesia mendapatkan 14 rekomendasi dari 27 negara terkait hukuman mati. Indonesia menerima 2 (dua) dari 14 rekomendasi UPR, yaitu rekomendasi nomor 141.52 dan 141.60 tentang moratorium dan pemantauan fair trial.

Di UPR 2022, Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati, menyampaikan beberapa masalah terkait praktik hukuman mati di Indonesia, di antaranya:

  • Rendahnya transparansi dan akuntabilitas data dan informasi terkati hukuman mati. Angka
    terpidana mati terus meningkat setiap tahunnya, angka ini dikumpulkan oleh kelompok
    masyarakat sipil melalui media monitoring karena minimnya akuntabilitas dari pemerintah
    terkait hukuman mati sehingga tidak ada data resmi yang akurat yang dapat diakses oleh publik
    sehingga pemenuhan hak-hak terpidana mati menjadi diragukan.
  • Pendekatan ” War on Drugs” didasarkan pada data yang tidak tepat sehingga malah hanya
    menambah jumlah vonis mati. Mayoritas terpidana mati adalah mereka dengan kejahatan narkotika.
    Tak hanya dalam kasus hukuman mati secara umum mayoritas penghuni Lapas juga mereka yang
    melakukan kejahatan narkotika. Karena itu, kebijakan “war on drugs” yang salah dan keliru itu
    hanya membuat penjara menjadi over kapasitas.
  • Hak-hak terpidana mati di dalam Lapas tidak terpenuhi. Terpidana mati di Lapas
    mengalami diskriminasi karena statusnya yang bukan sebagai “narapidana/ warga binaa”,
    sehingga banyak hak mereka yang tidak terpenuhi. Berdasarkan undang-undang Pemasyarakatan
    terpidana mati tidak bisa disebut sebagai narapidana. Sehingga mereka tidak mendapatkan
    Perhatian dari Lapas ketika mereka sedang menjalani masa tunggu eksekusi di lembaga
    pemasyarakatan. Keikutsertaan mereka dalam aktivitas seperti program pembinaan, olahraga atau
    berbagai pelatihan sangat bergantung pada kesadaran mereka sendiri. karena tidak diwajibkan,
    banyak terpidana mati yang menghabiskan waktu mereka dengan bermuram durja, menyendiri
    hingga berakhir pada depresi akut. Mereka juga tidak memiliki program yang memberikan
    kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik, maka dari itu tidak heran ketika terpidana mati yang
    berada di dalam Lapas kembali melakukan kejahatan yang sama.
  • Hukuman mati dijatuhkan melalui sidang virtual di masa pandemi yang memiliki banyak
    kelemahan untuk keadilan substansial. Persidangan virtual tentu saja memberikan ruang yang lebih
    besar untuk persidangan yang tidak adil, seperti kualitas bantuan hukum yang buruk yang dapat
    diberikan, cara penyampaian informasi yang terbatas, masalah teknis dengan internet dan perangkat
    yang digunakan di pengadilan, pembelaan yang tidak optimal, dan masih banyak lagi masalah.
  • Hukuman mati juga menyasar kelompok rentan: lansia, orang miskin, perempuan, buruh
    migran, dan anak-anak. Hukuman mati dilarang untuk diberikan kepada anak-anak. Namun di
    Indonesia masih terjadi penuntutan hukuman mati kepada usia anak seperti yang dialami oleh
    Mispo Gwijangge (MG) beberapa waktu yang lalu. Hukuman mati juga sering kali diskriminatif
    kepada mereka yang rentan seperti kelompok buruh migran Yang Tak jarang juga menjadi korban
    perdagangan orang. Saat ini ada seorang kakek bernama Isnardi berusia 76 tahun yang sedang
    menunggu eksekusi mati di Lapas Binjai karena terjerat kasus narkotika. Ini adalah kali pertama
    kakek Isnardi berurusan dengan hukum. Sehari-hari beliau bekerja sebagai pengembala sapi dan
    kambing milik orang lain. Kakek Isnardi, dan mungkin juga banyak kurir narkotika lainnya adalah
    korban kemiskinan dan situasi terdesak.
  • Kebijakan Grasi yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi tidak memiliki parameter yang jelas. UU Grasi tidak memberikan pedoman maupun standar kepada Presiden dan Mahkamah Agung dalam memutus permohonan Grasi. Dalam banyak perkara permohonan grasi, rekomendasi Mahkamah Agung terlihat hanya mengulang bunyi putusan proses hukum sebelumnya. Tidak adanya perbedaan pertimbangan rekomendasi MA untuk grasi dan putusan hukum sebelumnya membuat urgensi rekomendasi dari MA dalam sebuah grasi khususnya pidana mati perlu dipertanyakan.

Berangkat dari berbagai permasalahan diatas, kami koalisi untuk hapus hukuman mati mendorong Badan
HAM PBB untuk mendorong pemerintah Indonesia agar:

  1. Menandatangani dan meratifikasi Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil
    dan Politik, yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati;
  1. Membuat keputusan resmi untuk menetapkan secara de jure moratorium eksekusi dengan
    memerintahkan Jaksa Agung untuk tidak menuntut hukuman mati dalam penuntutan untuk semua
    jenis kejahatan dan tidak melakukan eksekusi;
  2. Mempublikasi data terkait perkara pidana mati oleh kejaksaan, pengadilan, dan direktorat jenderal
    pemasyarakatan secara berkala, baik diminta maupun tidak diminta;
  3. Menghentikan narasi “perang terhadap narkoba” yang berkontribusi pada tingginya angka
    hukuman mati dalam kasus narkoba dan mengedepankan kebijakan berbasis bukti dan memenuhi
    standar hak asasi manusia yang termasuk dalam pembahasan revisi undang-undang narkotika;
  4. Melakukan perubahan hukuman secara masal terhadap terpidana mati yang menjalani pidana
    penjara lebih dari 10 (sepuluh) tahun;
  5. Melakukan penelaahan terhadap rancangan revisi KUHP terkait dengan perubahan pidana mati
    yang dilakukan secara otomatis terhadap terpidana mati yang menjalani hukuman 10 tahun penjara;
  6. Memberikan pelatihan bagi hakim dan penuntut umum tentang hal-hal yang berkaitan dengan hak
    asasi manusia untuk mencegah, atau setidaknya meminimalkan, penerapan hukuman mati dan
    menghindari hukuman mati untuk dijatuhkan lebih dari satu kali;
  7. Meninjau kembali kebijakan pemidanaan di Indonesia agar tidak hanya fokus pada pidana penjara
    tetapi juga mencari alternatif pidana lain yang sesuai dengan prinsip dan standar HAM dan keadilan
    restoratif;
  8. Menghilangkan ketentuan pidana mati dalam revisi UU Narkotika karena tidak sesuai dengan
    ICCPR dan instrumen hukum internasional terkait narkotika;
  9. Menghentikan penuntutan dan eksekusi selama pandemi Covid-19 karena proses hukum yang
    terjadi selama pandemi Covid-19 tidak menjamin prinsip fair trial dijalankan dengan baik;
  10. Membangun sistem pengawasan dan jaminan peradilan yang adil untuk kasus-kasus yang
    berpotensi hukuman mati, termasuk dengan meningkatkan akses bantuan hukum dan memberikan
    bantuan hukum yang berkualitas, terutama bagi terdakwa yang diancam dengan hukuman mati,
    penyediaan bantuan juru bahasa dan konsuler;
  11. Mendorong terselenggaranya sidang secara daring yang dilakukan atas persetujuan terdakwa (tanpa
    paksaan) dan memastikan proses sidang daring tersebut berjalan secara adil, tanpa ada tekanan, dan
    menjamin hak-hak tersangka/terdakwa;
  12. Membuka akses kunjungan langsung maupun virtual bagi penasehat hukum, perwakilan
    diplomatik, juru bahasa, penasehat rohani, maupun keluarga di setiap tingkat pemeriksaan atau
    tempat penahanan terpidana mati;
  13. Menjamin bahwa hukuman mati tidak diterapkan pada kelompok rentan, terutama anak-anak, orang
    dengan gangguan kesehatan jiwa, wanita hamil, dan lainnya yang dilarang menurut ketentuan
    hukum internasional;
  14. Menciptakan penanganan kasus oleh aparat penegak hukum, khususnya Polri dan Badan Narkotika
    Nasional (BNN) yang tidak hanya mengejar kuantitas penanganan kasus tetapi juga sesuai dengan
    prinsip peradilan yang adil dan penghormatan terhadap hak asasi manusia;
  15. Mengubah pemidanaan bagi terpidana mati melalui skema grasi dengan membuka pertimbangan
    grasi yang diajukan oleh terpidana mati/perwakilan hukum/ keluarga/perwakilan diplomatik;
  16. Meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman
    Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau merendahkan martabat, dan membentuk mekanisme
    pencegahan nasional terhadap penyiksaan;
  17. Merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
    22 Tahun 2002 tentang Grasi untuk memberikan pedoman dan alat ukur yang jelas kepada
    Mahkamah Agung dan Presiden dalam pertimbangan pemberian grasi, khususnya kepada terpidana
    mati di Indonesia;
  18. Membentuk tim yang independen dan tidak memihak untuk mengevaluasi keputusan hukum
    terhadap semua kasus hukuman mati untuk tujuan permohonan grasi sebagai program pengurangan massal untuk kasus hukuman mati di Indonesia.

Koalisi HATI:
LBH Masyarakat, IMPARSIAL, HRWG, LBH Jakarta, YLBHI, Migrant Care, ICJR, ELSAM,
Yayasan Satu Keadilan, SETARA Institute, LBH Pers, IKOHI, KontraS, PBHI, dan INFID

Universal Periodic Review – Joint Stakeholders\’ Report on the 4th UPR of Indonesia on Issues Relating to the Death Penalty

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu dan permasalahan Hak Asasi Manusia yang terjadi.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Anti Hukuman Mati (Kohati), pada tanggal 31 Maret lalu sudah mengirimkan laporan temuan tentang pelanggaran HAM dalam isu hukuman mati di Indonesia.

Salah satu temuan dalam laporan ini adalah perihal kurangnya transparasi yang dilakukan pemerintah ketika menjalankan eksekusi mati, selain itu permasalahan hukuman mati pada kasus narkotika juga menjadi perhatian karena ” war on drugs” dijadikan alat untuk mendorong adanya hukuman mati dalam kasus narkotika di Indonesia, yang dimana banyak menyasar korban.

Laporan lengkapnya dapat dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review – Joint Stakeholders\’ Report on the 4th UPR of Indonesia on Issues Relating to the Death Penalty

Vonis Mati Herry Wirawan: Negara Lalai, Hak Korban Diabaikan!

Jakarta, 5 April 2022 – Herry Wirawan (HW) seorang terdakwa kasus perkosaan terhadap 13 anak santri di Bandung diputus pidana mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung pada 4 April 2022. Tidak dapat dipungkiri bahwa perbuatan HW mengundang perhatian dan gelombang amarah di kalangan masyarakat. Namun, secara prinsip LBHM memandang putusan tersebut tidak dapat dibenarkan, mengingat hak hidup yang bersifat prinsipil dan putusan tersebut cenderung bermuatan emosi publik semata. Perlu diingat dalam mengadili perkara tindak pidana kekerasan seksual, Aparat Penegak Hukum (APH) harus memberikan perhatian lebih terhadap kebutuhan korban, bukan kepada kemarahan yang tidak berdampak kepada korban.

Oleh karena itu, LBHM berpandangan sebagai berikut:

1. Vonis Pidana Mati Tidak Memberikan Efek Jera Terhadap Pelaku.
Indonesia merupakan salah satu negara yang rajin memberikan hukuman mati pada beberapa jenis tindak pidana, dimana vonis pidana mati paling banyak dijatuhkan terhadap kasus narkotika. Berdasarkan dokumentasi yang dilakukan oleh Reprieve, sepanjang 2017-2021 terdapat 367 vonis pidana mati untuk semua tindak pidana, dan sebanyak 279 vonis pidana mati adalah kasus narkotika. Namun tingginya vonis pidana mati dalam kasus narkotika tidak menyurutkan peredaran gelap narkotika. Berangkat dari konstruksi tersebut, vonis pidana mati yang dijatuhkan kepada HW yang diklaim sebagai efek jera sesungguhnya merupakan ilusi;

2. Kasus Perkosaan yang Menjerat HW merupakan Simbol atas Puncak Gunung Es.
Kasus perkosaan maupun kekerasan seksual nerupakan persoalan struktural yang tidak dapat dipandang selesai melalui penjatuhan hukuman mati. Sebab di akar rumput masih banyak kasus perkosaan yang bungkam untuk dilaporkan. Akar masalah atas hal ini karena korban perkosaan kerap mendapat stigma dan berpotensi dituntut balik oleh pelaku. Tantangan ini menciutkan nyali korban untuk melapor. Pada sisi lain, RUU TPKS yang saat ini dibahas menghilangkan beberapa kekerasan seksual yang dalam praktiknya berpotensi tidak mengakomodasi kebutuhan perlindungan korban;

3. Vonis Pidana Mati Terhadap HW Justru Menghilangkan Peran Negara Memberikan Jaminan Perlindungan Terhadap Ruang Aman yang Semakin Kesini Semakin Sulit.
Proses hukum dan perlindungan terhadap korban kekerasan dan pelecehan seksual masih dirasa sangat minim. Oleh karena itu vonis pidana terhadap HW bukan jawaban terhadap kebutuhan korban dan seharusnya kasus ini merupakan notifikasi bagi Pemerintah untuk lebih maksimal dalam merealisasikan perlindungan bagi korban, bukan dengan menjatuhkan vonis pidana mati. Dalam hal penjatuhan hukuman, hakim juga telah lalai dalam mempertimbangkan pasal 67 pada KUHP yang membatasi jenis pemidanaan apabila hukuman mati atau seumur hidup diberikan kepada pelaku tindak pidana. Akrobatik hukum yang dilakukan oleh majelis hakim dalam memutus perkara HW di tingkat banding ini justru mengaburkan prinsip-prinsip dasar hukum pidana di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, LBHM meminta:

  • Mahkamah Agung menguji kembali melalui upaya hukum untuk menolak tuntutan pidana mati oleh Penuntut Umum dan putusan Pengadilan Tinggi Bandung;
  • Pemerintah bersama DPR segera mengesahkan RUU TPKS yang akomodatif terhadap pemenuhan jaminan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual serta berpihak terhadap korban dalam mendapatkan hak atas keadilan;
  • APH tidak melakukan penolakan atas pengaduan tindak pidana kekerasan seksual oleh anak, perempuan dan kelompok minoritas lainnya, serta memberikan layanan yang ramah terhadap korban dan saksi tindak pidana kekerasan seksual melalui peraturan dan pedoman.

Narahubung:
Yosua Octavian: 0812 9778 9301
A’isyah Humaida: 0822 6452 7724

en_USEnglish