Author: lbhm admin

Rilis Pers – Sebagai Kelompok Rentan, Pengguna dan Pecandu Narkotika Harus Segera Dikeluarkan dari Rutan/Lapas

Menurut keterangan Kementerian Hukum dan HAM per 22 April 2020 diketahui bahwa Kementerian Hukum dan HAM telah melakukan pengeluaran dan pembebasan terhadap 38.822 orang Warga Binaan Penjara (WBP) sebagai upaya penanggulangan penyebaran Covid-19 di rutan dan lapas di Indonesia. Kami mengapresiasi kerja pemerintah untuk mencegah penyebaran masif Covid-19 di rutan dan lapas di Indonesia.

Pemerintah juga harus selanjutnya harus mempersiapkan pembebasan terhadap mereka yang termasuk dalam kelompok rentan (para lanjut usia (lansia), ibu hamil atau dengan anak, Anak, WBP dengan penyakit bawaan atau yang sedang dalam kondisi sakit kritis/serius, WBP dengan kondisi gangguan jiwa yang serius, serta pengguna narkotika di dalam rutan dan lapas).

Pandemik Covid-19 seharusnya bisa jadi momentum bagi Pemerintah untuk memperbaiki kebijakan narkotika yang masih menggunakan penghukuman, dan menjadikan narapidan narkotika sebagai penyumbang overcrowd di penjara terbesar. Per Maret 2020 jumlah penghuni rutan dan lapas di Indonesia mencapai 270.466 orang. Padahal, kapasitas rutan dan lapas hanya dapat menampung 132.335 orang–55% WBP berasal dari tindak pidana narkotika, yakni 38.995 orang.

Salah satu yang harus dilakukan Pemerintah adalah melakukan assessment atau penilaian kesehatan termasuk penilaian derajat keparahan penggunaan napza dan resiko yang akuntabel dan komprehensif, termasuk penilaian adiksi dan risiko pada semua WBP yang berasal dari kebijakan “rancu” narkotika. Dalam hal ini, banyak pengguna dan pecandu narkotika dijerat dengan pasal penguasaan dan kepemilikan UU Narkotika yang menyebabkan mereka diklasifikasikan sebagai “bandar” dan dijatuhi hukuman di atas 5 tahun penjara.

Lalu apalagi yang harus dilakukan Pemerintah? Simak rilis lengkapnya here

Rilis bersama oleh ICJR, IJRS, LBH Masyarakat (LBHM), MaPPI FHUI, Rumah Cemara dan Yakeba

Laporan Tahunan 2019

Tahun 2019 sudah dilewati dengan segala permasalahan di dalamnya, tahun 2019 juga bukanlah tahun yang mudah untuk LBHM dan lembaga masyarakat sipil lainnya yang bergerak di isu HAM. Kita menyaksikan betapa konstentasi elektoral di Indonesia telah mengesampingkan Hak Asasi Manusia (HAM) dan menumpulkan akal sehat. Di tahun yang sama pula eksekutif dan legislatif bersekongkol untuk meloloskan sejumlah RUU bermasalah, yang akhirnya menimbulkan problematik serta penolakan dari masyarakat, yang dituangkan dalam aksi massa besar di depan gedung DPR RI–brutalitas pun diperlihatkan oleh aparat penegak hukum dalam mengamankan aksi massa yang memakan korban dari rekan-rekan mahasiswa dan masyarakat sipil. Tidak luput juga upaya kriminalisasi terhadap teman-teman aktivis, pembiaran tindakan diskriminasi dan stigma terhadap kelompok rentan masih kerap terjadi hingga saat ini.

Namun, LBHM terus bekerja keras melakukan pendampingan (hukum dan non hukum), menyusun strategi advokasi, terus meneliti, dan memproduksi narasi. Publikasi ini adalah refleksi kerja-kerja LBHM satu tahun kebelakang. Kami menemukan tantangan dan meraih beberapa pencapaian. Semuanya, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah kami.

Untuk membaca publikasi tentang perjalanan kami sepanjang tahun 2019, teman-teman dapat mengunduh laporan tahunan kami di sini.

Rilis Pers – Tunda Pembahasan RUU Bermasalah di DPR: Negara Harus Fokus Pada Perlindungan Kelompok Rentan Dalam Penanganan Covid-19!

Informasi dari rapat paripurna DPR 2 April 2020 yang digelar terbuka mengejutkan masyarakat sipil. Hal itu sehubungan dengan kabar bahwa RKUHP akan segera disahkan. Padahal sampai saat ini saja, tata tertib DPR tentang tindak lanjut dari Surat Presiden terkait carry over belum diketahui kejelasannya oleh masyarakat luas. Berita tentang rencana DPR mengesahkan RKUHP dalam sepekan di masa darurat Covid-19 ini akan menambah catatan buruk DPR dan Pemerintah. Sikap terburu-buru yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR saat ini menunjukkan aji mumpung di kala pandemic Covid-19 sedang berlangsung. Langkah tersebut jelas tidak menunjukkan niat baik Pemerintah maupun DPR untuk serius mengedepankan kesehatan warga negaranya.

Tidak hanya RKUHP yang kualitas substansinya akan dikesampingkan jika disahkan saat pandemi berlangsung. Namun ada beberapa RUU lain yang juga akan menjadi polemik, seperti RUU Ketahanan keluarga dan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja. Besar kemungkinan bahwa beberapa RUU tersebut diatas akan mengandung ketentuan yang tidak relevan bagi konteks sosial masyarakat Indonesia kedepan. Selain itu, masih banyak masalah yang timbul dari pasal-pasal yang seharusnya dibahas lebih dalam dan menyeluruh, terutama terkait dengan perempuan dan kelompok marjinal.

Untuk membaca rilis lengkapnya teman-teman dapat mengunduhnya here

Laporan: Pengajuan ke United Nations Working Group tentang Penahanan Sewenang-wenang tentang penahanan dalam konteks kebijakan narkotika, sesuai dengan Resolusi Dewan Hak Asasi Manusia 42/22

LBH Masyarakat (LBHM) bersama dengan dua lembaga lainnya yakni Institue Criminal for Justice Reformr (ICJR) dan Harm Reduction International (HRI) menyambut resolusi 42/22 dari Dewan Hak Asasi Manusia yang memperbaharui mandat Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang (WGAD); dan meminta Kelompok Kerja ini untuk menyiapkan dan menyajikan laporan tentang penahanan sewenang-wenang terkait kebijakan narkotika.

Pengajuan berikut ini memberikan informasi tentang penahanan dalam konteks kebijakan narkotika di Singapura Indonesia, mengikuti struktur kuesioner yang diedarkan oleh WGAD pada 4 Februari 2020.

Laporan utuh dapat dilihat di sini.

Rilis Pers – Pemerintah Tidak Jelas Soal PSBB, Tindakan Kepolisian Melakukan Penangkapan atas dasar PSBB Melanggar Hukum

Diketahui Polda Metro Jaya menangkap 18 orang di Jakarta Pusat pada Jumat malam 3 April 2010. Menurut keterangan Kabid Humas Polda Metro Jaya mereka diduga melanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Pasal 93 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan/atau Pasal 218 KUHP. Terhadap ke-18 orang tersebut dilakukan penangkapan. Dalam keterangannya di pemberitaan, pihak humas polda metro jaya menyatakan “Ketika PP-nya telah resmi dikeluarkan oleh pemerintah, maka pihak kepolisian sebagaimana amanat bapak Presiden tidak boleh ragu, harus tegas melakukan tindakan upaya penegakan hukum.”

Hal ini tidak berdasar hukum. Apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian dengan melakukan penangkapan adalah tindakan sewenang-wenang karena belum ada ketentuan pidana yang dapat diterapkan.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai jika ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta ketidakjelasan Pemerintah terkait status PSBB.

Teman-teman dapat melihat rilis lengkapnya here

Surat Laporan Khusus: Perlindungan dan Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Fisik dan Kesehatan Jiwa Selama Darurat Covid-19, Bagi Orang yang Menggunakan Narkotika.

LBH Masyarakat (LBHM) bersama Harm Reduction International, Canadian HIV/AIDS Legal Network, Eurasian Harm Reduction Association (EHRA), International Drug Policy Consortium (IDPC), International Network of People who use Drugs (INPUD), Release, dan Rights Reporter Foundation, membuat pernyataan sikap bersama melalui Special Rapporteur dan prosedur khusus lainnya tentang adopsi tindakan darurat untuk menanggapi pandemi COVID-19, dan juga mendorong negara-negara tetap mempertahankan penggunaan pendekatan HAM dalam mengatur pandemik ini.

Darurat Covid-19 ini menunjukkan permasalahan yang belum pernah terjadi sebelumnya, terciptanya kerentanan dan memperburuk keadaan yang sudah ada. Salah satunya orang yang menggunakan narkotika yang terdampak dan menghadapi risiko baru seperti kriminalisasi, stigma, permasalahan kesehatan, pengucilan sosial, serta kerentanan ekonomi dan sosial yang lebih tinggi, termasuk kurangnya akses ke perumahan dan layanan kesehatan yang memadai.

Jika hal ini dibiarkan saja tanpa ada penanganan yang baik dan serius, tentunya akan menimbulkan dampak buruk bagi kelompok rentan. Maka dari itu, berdasarkan bukti yang ada, kelompok rentan harus menjadi prioritas dalam respon darurat untuk mengurangi penyebaran pandemik.

Rekomendasi dari Laporan Khusus ini dapat dilihat di sini.

Rilis Pers – Darurat Kesehatan Masyarakat, Bukan Darurat Sipil!!!

Pada tanggal 30 Maret dalam pernyataannya yang tersebar luas Presiden Joko Widodo menyebut Pembatasan Sosial Berskala Luas perlu didampingi adanya kebijakan Darurat Sipil untuk mengatasi Covid-19. Atas pernyataan tersebut kami menyatakan bahwa Darurat Sipil adalah langkah yang salah untuk menangani pandemik Covid-19 yang merupakan masalah kesehatan masyarakat.

Beberapa kalangan menilai penetapan Darurat Sipil ini tidak mempunyai dasar hukum yang kuat, padahal Pemerintah lebih baik menetapkan Darurat Kesehatan Masyarakat ketimbang Darurat Sipil yang dapat membahayakan keamanan dan kesehatan masyarakat.

Darurat sipil juga memberikan peluang besar aparat keamanan untuk melakukan tindak represif kepada masyarakat yang tentunya dapat menyebabkan pelanggaran HAM.

Simak Rilis Pers Koalisi Masyarakat Sipil here

Rilis Pers – Penetapan Karantina Wilayah Harus Berdasar Hukum dan Menjamin Kebutuhan Dasar Warga

Sehubungan dengan status Covid-19 di Indonesia yang per 29 Maret 2020, 14:45 WIB, telah terdapat 102 orang meninggal dunia, dan 1.1155 orang terinfeksi (rasio mortalitas 8,8%), dan Pemerintah memiliki rencana sebagaimana disampaikan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, Keamanan, Mahfud MD, jika Pemerintah sedang mempersiapkan Peraturan Pemerintah tentang Karantina Wilayah.

Indonesia sebenarnya sudah mempunyai Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Berdasarkan Pasal 53 ayat (1) juncto Pasal 49 ayat (3), Karantina Wilayah (KW) merupakan bagian respons dari Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM), yang ditetapkan oleh Menteri – dalam hal ini Menteri Kesehatan. Di pasal yang lain, yakni Pasal 10 ayat 1, status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) ditetapkan dan dicabut oleh Pemerintah Pusat. Namun, hingga 29 Maret 2020, Pemerintah Pusat tidak pernah menetapkan KKM secara terbuka.

Melihat hal ini LBHM mengingatkan pemerintah, jika penetapan KKM yang diikuti oleh penetapan KW, seluruhnya harus sesuai dengan rule of law mengikuti ketentuan hukum yang berlaku, dideklarasikan secara terbuka, agar akuntabel. LBHM juga mendesak pemerintah, salah satu desakannya adalah untuk Mengambil keputusan bukan berdasarkan opini lingkaran Istana, tetapi harus berdasarkan pada pandangan para pakar, berbasis data, beorientasi pada menyelamatkan nyawa manusia, dan menyampaikannya kepada publik secara jujur.

Teman-teman dapat mengunduh rilis pers lengkapnya here

Subordinated Below Ground

By Will Doran & Natasha Slater

The legality of sex work in Indonesia can be described, at best, as murky. Whilst not specifically provided for under the criminal code (other than the attempted criminalisation of pimps under Article 296 and Article 506), penal provisions regarding crimes against morality and decency have been interpreted to extend to workers in this industry. Thus, there is a vacuum for sex work to be practiced, despite the cultural and social stigma blatantly present. Sex work occurs in numerous places around the country, most commonly in brothel complexes, or lokalisasi. Recently, members from LBH Masyarakat, a leading human rights organization in Indonesia, went to East Jakarta to meet with sex workers in one such location.

The journey began by talking with the local preman, who is paid 5,000 rupiahs ($.37) per worker per day for “protection”. This was followed by a walk along the train tracks until we stumbled upon the lokalisasi dug out of the earth. Upon descending a makeshift stairwell, we entered into a waiting room that also served as a bar and lounge, surprisingly clean considering its location. Almost as if the rumble of the train overhead was a cue, then entered the women whom we were there with to converse. The purpose of our visit was to inform the workers about their health and legal rights, but more importantly, to be informed by them on what it was they wanted, and ultimately what they needed. Perhaps the most striking element present was the sense of community these workers had with one another. There was a warm family dynamic, full of maternal support from the elders, mockery and familial banter among the younger workers (although no single worker was a child or teenager, which is becoming more prevalent in Indonesia), and a sense of solidarity and support all around.

Our trip enlightened us to the realities of the sex work industry, the lives of those affected by the profession, and about Indonesian society as a whole. The stories that we were told covered a myriad of topics, including police brutality. The legal ambiguity of sex work is routinely extorted by the police and it is common knowledge that officials conduct raids on brothels for the purpose of pocketing bail funds. And it is not just the police: politicians also have been witnessed entrapping sex workers. The women recalled stories of abuse and were received with nods and murmurs of affirmation by the others present. All workers could relate to a tale of coercion or harassment. It almost seemed like the women began trying to outdo the vilest story that had previously been told. One woman recounted a time law enforcement officials stomped on her stomach deliberately until she defecated herself. The sole reason for act: enjoyment by the perpetrator. Other horror stories consisted of workers being accosted by law enforcement on the street, sometimes physically harassing them, poking and prodding them with sharp objects until they acquiesced into stripping. This seemed commonplace, and each recount of abuse was told with an evident lack of hope that the practice would change.

Unequipped for the candor of the women in talking about their lives, we made basic inquiries into the number of shifts the women work daily, the number of working days, and how many guests were received. We were informed that every day was a workday, divided into one day and one night shift and that the latter session was preferred as it attracted a larger number of “guests”. The consensus amongst the workers was that three “guests” were commonly received in a day. It was agreed that the most any individual would be paid by a guest was 200,000 rupiahs ($14.65) and that realistically they could receive as little as 10,000 rupiahs ($.73) for their services. Mitigating factors as to their payment could include race, religion, and age. Women of Chinese descent or of a Christian religious affiliation were handicapped with regard to wages. Similarly, older workers tended to make less money than younger ones. For example, a sex worker over the age of 40 receives a maximum of 45,000 rupiahs ($3.29), thus highlighting the desire for “younger” women. Yet when asked what the diverse group needed, almost in unison they answered “condoms”.

Once every three months, a social worker from the health department comes to test the workers for HIV. If a worker is found to be HIV positive, she is usually banished from the lokalisasi. Not only does she become a pariah to the establishment, but without access to proper treatment or medicine, she poses a threat of transmission to others and to society at large.

The universal account from these women is that they had travelled from afar to the big city Jakarta in hope of a better life, most commonly from small towns around Java and Sumatra. Some of the women made the trek themselves, others were delivered by relatives. The underground back alley where we sat was their final destination, clearly so far from their aspirations of a prosperous life.

Friendly, funny, and familial. These are the words we would use to describe the workers we met. All the women were chatty and willing to tell their story with full transparency and openness, juxtaposed to their literally underground and ultimately clandestine place of work. The irony that the government wants nothing to do with this profession publicly, yet secretly use workers in this industry privately, is not lost on us. And although last year was supposed to see the abolishment of localised sex work in Indonesia, it is apparent this profession is not going anywhere.

What can be done to help sex workers in Jakarta and Indonesia? Contraceptives should be priority one. This includes allowing outreach workers to not be harassed when delivering condoms and contraceptives during routine visits to lokalisasis. Not only will contraceptives help curb infectious diseases, such as HIV/AIDS, but also decrease the chance of any unplanned pregnancies. This may seem like common sense, nevertheless, the Indonesian government prohibits family planning services to provide contraceptives to unmarried couples. Moreover, with some police forces in Indonesia going out of their way to confiscate condoms, it is perturbing to think of how inaccessible these contraceptives might be in the near future. Adding to this dire situation is that the Jokowi administration wishes to “update” the penal code, with amendments that include prohibiting sex outside of marriage (although it has been currently halted due to public outcry), and the situation seems even more pessimistic with regard to sex workers in Indonesia.

With condoms selling at an average price of 20,000 rupiahs ($1.46), these items considered essential by the Western world are often too expensive at a local convenience for the average person. Aside from the hefty price tag, Indonesian cultural customs and societal expectations often negate the opportunity for individuals to purchase contraception. Furthermore, only last year the government wanted to prohibit the advertisement of contraceptives, and further criminalise the non-medical sales of condoms, making their future accessibility even more uncertain. This is sharply contrasted with Western countries where sex education and access to health care, especially with regard to contraceptives, are considered the norm.

From a human rights perspective, access to sufficient health care should be considered a priority. As was reported to us, sex workers are often denied proper treatment for their basic needs due to the reputation of their profession. Furthermore, many of the women do not have state or federal identification cards, thus denying them access to government insurance. With such a low daily income, it is impossible for individuals to pay out of pocket for medications that would greatly improve their quality of life.

It is very difficult to escape the issue of morality when discussing sex workers in Indonesia. One can pontificate if the perception of sex workers will change in the near future, or if violence against women in this industry will abate. These questions are hard to answer when from nearly all angles (social, religious, political and economic) there exists a shadow over the women and men who make a living in this industry. For many in Indonesia, sex work is considered a moral offense, and therefore, elicits a negative response from society. It is important to remember that whilst sex workers are considered to be aliens on the fringe of society, in reality, their practice is woven into the lives of the political, the powerful and the pious.

Group photo before we left the prostitute.

Will Doran and Natasha Slater are interns at LBH Masyarakat. Will recently finished his Master’s degree at SOAS, University of London, while Natasha is currently a law student at the University of Adelaide.

Rilis Pers – Kami Butuh Aksi Konkret dan Komprehensif Negara!

Siaran Pers Bersama Koalisi Masyarakat Sipil
Tentang Penanganan Covid-19 di Indonesia

Pasca diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, 13 Maret 2020 dan ditetapkannya COVID-19 sebagai bencana nasional non-alam pada 14 Maret 2020, respons pemerintah menangani COVID-19 masih terlihat buruk, kedodoran di lapangan, diperparah dengan manajemen informasi dan komunikasi antara pusat dan daerah yang tidak selaras.

Merespons makin luasnya penularan dan bertambahnya pasien positif COVID-19 (134 orang) serta angka kematian mencapai 5 orang (per 16 Maret 2020, 18:00 WIB), pemerintah mengeluarkan kebijakan Social Distancing dengan “belajar, bekerja, beribadah” dari rumah. Pemerintah Pusat akhirnya juga mengizinkan pemerintah daerah untuk mengambil inisiatif menyiarkan informasi kepada masyarakat mengenai kasus COVID-19 di daerah masing-masing dan melakukan uji laboratorium.

Social Distancing atau mengambil jarak dari aktivitas sosial dimaksudkan untuk menekan risiko penularan, dengan itu ledakan jumlah pasien bisa dicegah sehingga institusi kesehatan memiliki kesempatan lebih banyak untuk melakukan perawatan sambil meningkatkan imunitas warga. Sayangnya, sejumlah persoalan masih terus terjadi dan perlu mendapat perhatian:

Pertamasocial distancing tidak dikenal dalam ketentuan hukum Indonesia. Penetapan status bencana nasional itu merujuk pada UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, tetapi UU ini tidak mengenal konsep social distancing. Apabila yang dimaksud dengan social distancing adalah “pembatasan sosial”, hal itu dikenal di UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 59 UU 6/2018 menyebutkan “Pembatasan Sosial Berskala Besar” (PSBB) yang merupakan bagian dari “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat” (KKM). Tetapi, status KKM harus ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah. Sejauh ini, pemerintah menetapkan status “bencana nasional.” Kalau PSBB mau ditempuh, dia juga mencakup peliburan sekolah dan tempat kerja. Akhirnya, social distancing hanya bersifat himbauan saja kepada individual, dan tidak diikuti oleh tempat kerja/perusahaan. Imbasnya kebijakan social distancing tidak dapat berjalan efektif, sebagaimana diuraikan di bawah.

Kedua, kebijakan social distancing belum disertai dengan koordinasi yang baik antara pusat dan daerah serta sektor-sektor lain. Contoh nyata adalah penumpukan penumpang bus Trans Jakarta, dan MRT pada hari Senin, 16 Maret 2020, di Jakarta, pasca himbauan untuk social distancing oleh presiden. Penumpukan terjadi akibat: pertama, tidak ditaatinya anjuran untuk bekerja di rumah, dan kedua, adanya pengurangan layanan bus transjakarta secara ekstrem. Yang lebih buruk adalah, kami melihat ada komunikasi yang kurang sehat antara Presiden dengan Gubernur Jakarta. Kami mendesak, di masa krisis di mana keselamatan rakyat menjadi taruhannya, para pemimpin menahan dan menunda segala jenis persaingan individual/politik dan lebih berfokus untuk bersama-sama menangani bencana. Tanpa kebersamaan dan sikap satu suara, kebijakan apapun akan kandas. Kepentingan kemanusiaan harus berada di atas kepentingan politik.

Ketiga, kebijakan social distancing juga belum disertai dengan peningkatan kapasitas dan ketersediaan pelayanan rumah sakit. Dalam pelbagai edaran, pemerintah memang telah mengumumkan sejumlah rumah sakit yang katanya disiapkan untuk menangani pasien COVID-19, namun kenyataan di lapangan menunjukkan hal-hal yang sama sekali bertentangan. Sejumlah laporan membeberkan betapa buruknya pelayanan dan respon rumah sakit di Jakarta terhadap warga yang bermaksud memeriksakan diri. Buruknya respon rumah sakit menunjukkan betapa rumah sakit-rumah sakit itu sama sekali tidak siap menangani pasien terutama para pasien dari kalangan rakyat biasa.

Keempat, kebijakan dan penanganan yang dilakukan pemerintah belum disertai kerja sama global yang intens dan efektif. Sebelum COVID-19 tiba di Indonesia, ia telah menyerang di pelbagai negara. Ada banyak negara yang telah berhasil menangani virus ini mulai dari China, Korea Selatan, Taiwan dan Singapore. Sudah semestinya pemerintah bisa memetik pelajaran dan melakukan upaya yang tanggap dalam hal kerjasama internasional termasuk menerima bantuan teknologi uji laboratorium, tenaga dan analisis medis, sehingga wabah ini bisa lebih cepat diatasi di Indonesia. Untuk mengatasi krisis dan menyelamatkan warga, bukan pada tempatnya memancang sikap gagah-gahan yang konyol.

Kelimasocial distancing memiliki implikasi politik kewargaan guna mendorong tumbuhnya solidaritas kemanusiaan. Pesan utama dari social distancing adalah dengan menjaga diri sendiri, Anda menjaga kesehatan orang lain! Untuk itu, social distancing mensyaratkan kepemimpinan yang efektif sekaligus peduli, guna melibatkan partisipasi pelbagai kelompok dan tokoh masyarakat yang seluas-luasnya.

Secara khusus kami juga menyoroti absennya kepemimpinan yang peka krisis, tanggap, dan efektif. Penularan yang terjadi terhadap para pejabat di lingkungan Istana, menunjukkan betapa berisikonya sikap yang menganggap enteng penyebaran virus ini. Salah satu pihak yang paling bertanggung jawab dalam soal ini adalah Menteri Kesehatan RI. Sejak awal Menkes menunjukkan sikap pongah, menganggap enteng, dan anti-sains, yang terus memandang rendah persoalan, namun berakibat pada hilangnya kewaspadaan. Dalam beberapa pekan terakhir kami mencatat sejumlah kesalahan mendasar yang dilakukan oleh Menkes:

  1. Pernyataan bahwa pasien yang sudah sembuh akan imun, di saat pengalaman negara lain menunjukkan sebaliknya;
  2. Gagal mengkoordinasi RS agar sigap melakukan pemeriksaan dan penanganan COVID-19, termasuk memastikan ketersediaan dana/anggaran dan alat; dan juga menjaga mutu/kualitas kerja tenaga kesehatan, tenaga administrasi, pusat data dan informasi di RS, terutama di waktu krisis sekarang;
  3. Masih dimonopolinya pemeriksaan sample hasil tes swab di Litbangkes Jakarta yang memperlambat respons tanggap darurat;
  4. Menggelar acara publik dan bukannya turut menerapkan social distancing.

Kami menilai risiko yang dihadapi Indonesia saat ini tidak akan dapat ditangani tanpa Menteri Kesehatan yang betul-betul memahami kebijakan kesehatan publik. Bagaimana mungkin rumah sakit akan bekerja secara serius apabila Menkesnya sendiri beranggapan COVID-19 ini sama dengan flu biasa dan bisa sembuh dengan sendirinya? Kami mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengganti Menkes Terawan dengan figur yang lebih paham kesehatan publik, punya kepekaan krisis, yang akan memandu kita melewati krisis kesehatan terburuk ini.

Sebagai wujud membantu warga yang kesulitan mendapatkan pelayanan medis seputar COVID-19 ini, kami menyediakan saluran pengaduan online melalui email: wargasadarcorona@gmail.com dan pengaduan via whatsapp di nomor: 081385412441 dan 089697820462.

Jakarta, 17 Maret 2020

KontraS, Lokataru, YLBHI, LBH Masyarakat, WALHI, PKBI, YLKI, P2D, Migrant Care, AJAR, Amnesty International Indonesia, PSHK

Narahubung:

Ricky Gunawan (LBH Masyarakat) – 0812 10 677 657

Anis Hidayah (Migrant Care) – 0815 7872 2874