Author: lbhm admin

Rilis Pers – Menggugat Kebijakan COVID-19 Pemerintah Indonesia

Indonesia secara resmi mengakui merebaknya wabah COVID-19 pada 2 Maret 2020 dengan diumumkannya dua pasien pertama oleh Presiden Joko Widodo. Sejak itu, peningkatan jumlah pasien positif COVID-19 terus meningkat di Indonesia. Hingga 13 Maret 2020 , pernyataan resmi pemerintah menyebutkan terdapat 35 orang yang positif terinfeksi, 3 orang dinyatakan sembuh dan 2 orang meninggal dunia. Seiring dengan makin luasnya korban, makin besar pula kekhawatiran kami menyangkut cara pemerintah merespons COVID-19:

Pertama, saat pertama kali virus ini muncul di China dan menyebar ke kawasan lain di negara tetangga, pemerintah menganut premis yang sama sekali keliru. Alih-alih mengantisipasi secara serius ancaman virus ini, pemerintah melalui pernyataan para pejabat dan elitnya cenderung meremehkan dan menyiratkan seakan-akan orang Indonesia kebal terhadap serangan virus ini. Prediksi dari Universitas Harvard yang menyebutkan bahwa virus itu sudah sampai di Indonesia, ditolak mentah-mentah, dan bukannya dijadikan landasan untuk mempersiapkan kebijakan kesehatan publik yang kuat dan efektif untuk menghadapi virus ini. Sikap meremehkan dan cenderung anti-sains ini sedikit banyak telah membuat pemerintah tergagap manakala virus ini benar-benar datang. Sementara para pemimpin negara-negara tetangga jauh-jauh hari sudah mempersiapkan negaranya masing-masing: memperluas kampanye layanan masyarakat, menyiapkan rumah sakit, menetapkan prosedur dan protokol di pelbagai sarana publik, Pemerintah Indonesia terlihat minim inisiatif dan ketinggalan.

Kedua, kegagapan ini nampak dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan baik oleh pejabat pemerintah pusat, maupun daerah. Koordinasi yang lemah antara pemerintah pusat dan daerah, miskomunikasi antara Kementerian Kesehatan dengan instansi lainnya nampak dalam bagaimana kasus pertama diumumkan, termasuk pelanggaran hak privasi pasien. Nampak jelas bahwa pemerintah cenderung mendahulukan citra ketimbang kemaslahatan pasien dan keselamatan publik yang lebih luas.

Ketiga, premis yang keliru dalam merespon wabah COVID-19 juga nampak sangat jelas dalam kebijakan pemerintah di awal virus ini masuk. Ketimbang mencurahkan perhatian dan dana untuk mengantisipasi dan menangani virus, pemerintah malah memberikan insentif yang tak masuk akal untuk industri pariwisata termasuk membayar buzzer, bukannya mengucurkan dana untuk fasilitas kesehatan. Sementara negara-negara lain mengetatkan pintu masuk untuk menghindari perluasan virus, Indonesia malah membuka diri lebar-lebar dengan alasan melindungi industri pariwisatanya.

Keempat, kesalahan premis dan kegagapan ini makin diperparah dengan kebijakan pemerintah yang secara sengaja membatasi informasi mengenai ancaman dan perkembangan penyebaran COVID-19 di Indonesia. Pemerintah berulang kali menyerukan ancaman hoaks. Sayangnya kekhawatiran akan penyebaran hoaks, tidak disertai dengan upaya untuk membangun komunikasi dan informasi publik yang terpercaya dan komprehensif. Ini terlihat dari minimnya informasi mengenai daampak virus ini terhadap pasien dan lokasi-lokasi penularannya. Kebijakan ini sangat bertolak belakang dengan praktik di negara lain yang sama-sama sedang menanggulangi COVID-19. Pemerintah Korea Selatan misalnya, secara berkala menyiarkan bukan hanya kasus tetapi juga lokasi dari ditemukannya kasus. Informasi yang terang, disertasi dengan kepekaan untuk mencegah kepanikan dan stigma terbukti sangat bermanfaat untuk membangun kewaspadaan dan mekanisme kehati-hatian publik. Ketertutupan informasi, justru akan memberikan sinyal dan arah yang keliru untuk publik, menurunkan kewaspadaan yang bisa berakibat pada perluasan penularan wabah. Dalam banyak pengalaman sejarah, informasi yang asimetris justru merupakan penyebab dari parahnya bencana.

Kami menyesalkan dan mengugat cara pemerintah menghadapi pandemi COVID-19 ini. Kami menilai apa yang dilakukan pemerintah sama sekali jauh dari pemenuhan hak-hak konstitusional rakyat yang memerintahkan negara untuk ‘melindungi segenap tumpah darah Indonesia’. Komunikasi publik pemerintah memang bisa mencegah kepanikan, tapi tidak bisa memberikan keamanan dan perlindungan atas ancaman yang nyata. Oleh karena itu kami menuntut:

Pertama, pemerintah harus mengubah dan memperbaiki mekanisme respon atas pandemik ini dengan cara:

1. Menyediakan informasi publik yang benar, lengkap dan berkala menyangkut penyebaran dan risiko penularan.
2. Respons darurat yang cepat, kompeten dan dapat dijangkau masyarakat yang merasa sakit.
3. Menjamin mutu manajemen penelusuran kasus yang teliti dan transparan. Identifikasi klaster-klaster yang positif, lacak orang-orang yang berpotensi tertular atau jadi carrier. Bila perlu lakukan upaya ‘partial isolation’.
4. Pemantauan yang cermat.
5. Kebijakan kesehatan publik yang rasional, dapat dijangkau dan tepat.
6. Uji laboratorium yang luas, tidak boleh dimonopoli Kemenkes, dengan juga memperbanyak testing. Mendukung upaya pemerintah daerah melakukan uji laboratorium untuk pengujian pasien.
7. Manajemen kasus yang baik untuk menghindari stigma terhadap pasien.
8. Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi yang cermat, terpercaya. Manajemen keramaian publik termasuk melarang acara publik.

Respon pemerintah yang cepat, akurat dan bertanggung jawab justru akan berdampak positif karena akan memulihkan kepercayaan publik dan meningkatkan kesiapan warga.

Kedua, membenahi manajemen komunikasi publik dengaan membatasi dan bila perlu melarang semua bentuk komunikasi publik dari para pejabat yang tidak memiliki relevansi dan/atau kepakaran di bidang medis, atau kesehatan publik. Termasuk media, sebaiknya juga tidak perlu mencari narasumber/pendapat dari pejabat atau orang-orang yang tidak memiliki keahilian di bidang kesehatan.

Ketiga, pemerintah harus tetap menjaga hak privasi warga. Pengungkapan kasus, informasi tentang penularan bisa dilakukan tanpa harus membuka identitas pasien.

Keempat, mengingat potensi stigma dan diskriminasi yang tinggi terhadap orang yang bisa saja memiliki COVID-19, pemerintah harus memastikan upaya untuk meminimalisir stigma dan diskriminasi.

Kelima, pemerintah harus turun tangan secara nyata untuk mengatasi kelangkaan masker dan sabun antiseptik supaya tersedia di masyarakat dengan harga yang terjangkau.

Jakarta, 13 Maret 2020

AJAR, Amnesty International Indonesia, KontraS, Lokataru, Migrant Care, LBH Masyarakat,
P2D, PKBI, PSHK, YLBHI, YLKI, WALHI

Narahubung:
Ricky Gunawan +681210677657
Anis Hidayah +6281578722874

Seri Monitoring dan Dokumentasi 2019: Tembak Mati Di Tempat – Membunuh Negara Hukum Indonesia

Praktik Tembak Mati di Tempat dalam kasus narkotika di tahun 2017 menjadi diskursus yang hangat dibicarakan di dalam ruang publik. Di tahun berikutnya isu ini mulai surut dalam gegap gempita menjelang kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden periode 2019-2024. Sekalipun isu ini surut di tahun 2018, Namun, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) tetap konsisten melakukan pemantauan dan dokumentasi media dalam jaringan (daring) terkait praktek tembak di tempat terhadap seseorang yang diduga melakukan peredaran gelap narkotika. Berdasarkan pemantauan media daring yang LBHM lakukan, pada tahun 2018 terdapat penurunan jumlah kasus tembak di tempat yaitu sebanyak 159 kasus, dengan jumlah korban total 199 orang.

Tindakan sewenang-wenang ini telah mencoreng Indonesia sebagai negara hukum, Penegasan Indonesia sebagai negara hukum tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) yang dirumuskan pada Pasal 1 ayat 3 yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam konteks kehidupan bernegara, gagasan negara hukum menekankan pada prinsip supremasi hukum atas orang, dan bahwa pemerintah terikat oleh hukum.

Berangkat dari situ LBHM menilai jika praktek ini menciderai hukum di Indonesia yang memegang teguh prinsip ‘asas praduga tak bersalah’, sebagaimana kami sampaikan dalam laporan terdahulu. Mereka yang mendapatkan penghukuman harus melewati proses peradilan pidana. Sayangnya, korban tembak di tempat yang meninggal tidak pernah menjalani proses tersebut.

Untuk melihat laporan lengkapnya silahkan unduh di sini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2019: Disabilitas Psikososial dalam Sengkarut Hukum HAM

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa (UU Keswa) telah dibuat, perbuat stigma dan diskriminasi masih kerap kali terjadi terhadap Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODP). Selain stigma dan diskriminasi, ODP kerap mengalami tindakan kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Setidaknya ada 18.000 orang yang dipasung karena penyakitnya dianggap sebagai kutukan atau kerasukan, padahal pemerintah sudah melarang pemasungan 1977.

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dikombinasi dengan data rutin dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) menunjukkan gejala depresi dan kecemasan sudah diidap orang Indonesia sejak usia 15 tahun. Presentasinya pun cukup banyak, untuk penderita depresi saja ada sekitar 14 juta orang, sedang prevalansi gangguan psikososial berat, seperti skizophrenia ada sekitar 400 ribu orang. Jumlah yang tinggi ini tidak dibarengi dengan layanan fasilitas yang mencukupi dan memadai.

Menurut data Kementrian Kesehatan (Kemenkes), Indonesia baru memiliki 48 rumah sakit jiwa, 50%-nya berlokasi di 4 (Empat) provinsi. Data lainnya, menunjukkan hanya 30% dari 9.000 puskemas di seluruh Indonesia yang memiliki program layanan kesehatan jiwa. Selain itu, hanya ada 249 (dua ratus empat puluh sembilan) dari total 445 (empat ratus empat puluh lima) rumah sakit umum di Indonesia yang bisa melayani segala macam perawatan kesehatan jiwa. Ditambah ada delapan provinsi di Indonesia yang belum melayani pasien gangguan psikososial.

Fasilitias dan pelayanan kesehatan yang langka pun memicu terjadinya pelanggaran hak-hak dasar para penyadang disabilitas psikososial. Misalnya, menempatkan pasien perempuan dan laki-laki di bangsal yang berdekatan dan ini berpotensi menimbulkan pelecehan, selain itu juga penyuntikkan alat kontrasepsi tanpa adanya persetujuan klien, dan juga tindak kekerasan yang dilakuka di lembaga pelayanan kesehatan jiwa yakni dengan melakuka pembatasan fisik (pemasungan).

Hak atas kebebasan semestinya diperoleh oleh setiap orang tanpa terkecuali, baik itu kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi, maupun kesehatan. Hal ini diatur dalam instrumen perlindungan Hak Asasi Manusia dan tersebar dalam beberapa Pasal. Misalnya, Pasal 28 G ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), serta Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Instrumen yang signifikan tentang Hak ODP terdapat dalam Pasal 42 UU HAM.

LBH Masyarakat (LBHM) mengeluarkan laporan Monitoring dan Dokumentasi (Mondok) untuk memperkaya pemahaman dan pengayaan terkait isu Kesehatan Jiwa, agar dapat bermanfaat untuk merumuskan kebijakan yang tepat sasaran, efektif dan berpijak padan norma-norma HAM.

Untuk melihat laporan penuh silahkan unduh here

Yang Sering Terabaikan

“Aku tidak peduli dengan perempuan ini”. “Bagaimana dengan ibumu?” “Tentu aku sangat mencintainya”. Menjadi adil memang sulit.

Semasa kecil aku suka bertanya-tanya: kenapa kalau ibu yang sakit, rumah tampak berantakan sekali. Tumpukan baju dan piring yang tidak dicuci, lantai yang kotor, hingga tidak ada makanan yang siap disantap. Suatu waktu, untuk mengobati rasa penasaran, aku bertanya pada seorang teman, “Kalau ayahmu yang sakit kondisi rumahmu juga begitu?” Dia menggeleng.

Kemudian dia bilang, peran ibu sangat penting, makanya kalau ibu sakit pasti terasa. Jawaban ini sedikit melegakan, meski aku tidak benar-benar tahu apa peran ibu sebenarnya. Bahkan aku sama sekali tidak pernah menyoalkan kenapa ibu bangun lebih pagi daripada anggota keluarga yang lain. Bagiku semata-mata inisiatif dan kerelaan ibu yang membuatnya membiasakan diri untuk bangun lebih awal.

Di umurku yang 13 tahun itu, aku masih belum paham kalau ibu adalah pemilik beban terbanyak di rumah. Tanggung jawab ibu yang ganda, di luar dan dalam rumah, sama sekali tidak pernah kulihat sebagai hal yang berat. Juga ketika ibu memutuskan untuk fokus urusan domestik, aku tidak menganggap pekerjaan ibu sama bobotnya dengan yang ayah lakukan.

Belum lagi para perempuan yang bekerja karena himpitan ekonomi. Aku tidak bisa membayangkan, para perempuan yang bekerja seharian, tidak mendapat upah yang sepadan dengan teman kerja laki-lakinya. Sementara, sudah tidak lagi punya suami dan harus menanggung kebutuhan anak-anaknya. Ah, membicarakan ini mengingatkanku pada seorang teman yang ibunya single parent.

Waktu itu sekitar 2012 temanku ini sakit di sekolah, ibunya datang menjemput dengan sepeda motor. Kepalang bannya kempes dan berjarak sekitar 4 km untuk menemukan tukang tambal. Adik bungsunya yang datang bersama diminta tetap duduk di atas sepeda motor, sementara dia diminta jalan sambil berpegangan.

Sekali waktu aku datang berkunjung ke rumahnya, dia cerita kalau adiknya beberapa hari lalu menangis, minta sepatu mahal bergambar Frozen yang lagi marak.  Kendati tak ada anggaran lebih untuk pengeluaran di bulan itu, ibunya tetap membelikannya. “Ibu mau anak-anak ibu bahagia dan merasa tercukupi, seperti teman-temannya yang punya orang tua lengkap”, ucapnya menirukan kalimat ibunya. Aku hanya bisa terdiam tanpa kata mendengarnya.

Dari kejadian ini, aku bertambah respect terhadap kaumku sendiri. Namun aku belum bisa membawa ‘pisau’ ini untuk melihat keadaan seluruh perempuan. Ya, aku harus mengakui ini. Beberapa waktu lalu, aku sempat ogah-ogahan ketika diminta untuk menangani kasus perempuan yang terlibat tindak pidana narkotika. “Dia memang mau menjual narkotika. Bagian mana yang harus kubela”, gumamku saat itu.

Aku seakan tak mau tahu, faktor dan latar belakang yang mendorongnya berbuat pidana. Untungnya meski tidak terlalu semangat, aku tetap datang berkunjung ke rumah tahanan dan memintanya bercerita. Sungguh tidak sesederhana yang aku pikirkan. Pendidikan dan kemampuan finansial yang rendah, korban kekerasan seksual, tidak merasa aman di rumah, adalah bagian-bagian penting yang jarang diperhitungkan. Beban gender yang berlapis berkelindan dengan pagannya kultur patriarki seolah menenggelamkan harapan akan keadilan baginya.

Majelis hakimnya yang didominasi oleh perempuan, tidak menjamin untuk sensitif terhadap persoalan perempuan. Alih-alih mempertimbangkan hal di luar tindak pidananya, malah sibuk memberi cap untuk perbuatannya. Sesekali aku putus asa dan tidak jarang merasa sia-sia. Sulit memang mengajak seseorang untuk melihat penderitaan orang lain, apalagi ketika ia sudah mendapat ‘surga’ dari lahir atau akses apapun yang istimewa.

Namun ada sedikit kabar baik, setidaknya menjadi obat, ada teman yang juga mau bersama-sama berjuang di jalan ini. Dan teman berjuangku bukan hanya satu orang. Desember 2019 lalu untuk pertama kalinya di Indonesia, bahkan di Asia Pasifik, para perempuan berkumpul, membicarakan perempuan dan kerentanannya terjerat tindak pidana yang terancam hukuman mati. Kami juga bersepakat menyalakan harapan. Tidak pernah sebangga ini aku menjadi perempuan.

Bersama Death Penalty Worldwide di Cornell University dan Harm Reduction International, LBH Masyarakat mengorganisir pertemuan tersebut. Di sana aku belajar soal kerentanan perempuan yang selalu menjadi sasaran sindikat kejahatan. Di antaranya trauma kekerasan rumah tangga masa lalu, besarnya tanggungan keluarga, pengaruh dan iming-iming pasangan, dan bekerja jauh ke negara asing tanpa bekal pengetahuan, bahasa yang mencukupi maupun pertemanan.

Sedihnya, derita para perempuan itu tak terhenti di sini. Kondisi penjara juga tidak memihak pada mereka. Seperti kunjungan keluarga yang terbatas, akses kesehatan yang jauh dari memadai, pemenuhan kebutuhan dasar yang minim, keterisolasian dalam penjara yang berdampak pada kesehatan jiwa, reniknya ruang privasi,belum lagi tindak pidana terancam hukuman mati menciptakan stigma dan bebannya sendiri.

Menjadi perempuan memang penuh dengan kerentanan, mudah mendapat cap buruk, dan kerap dinomorduakan. Sebab, lingkungan ini memang tidak banyak memihak perempuan: melanggengkan batas, mempersempit gerak, dan membungkam suara. Namun menjadi perempuan bukanlah sesuatu yang perlu disesali.

Semoga kegelisahanku, bisa menjadi kegelisahanmu, dan itu menjadi milik bersama. Semoga suara-suara perempuan terus terdengar dan bermunculan. Keadilan mereka yang terenggut, bisa terpenuhi. Ruang yang setara, bisa diciptakan. Juga bisa mengajak orang lain untuk peka dan peduli isu-isu perempuan lebih banyak lagi, terutama mereka yang berhadapan dengan regu penembak.

Penulis: Aisya Humaida
Editor: Ricky Gunawan

Seri Buku Saku LBHM: Hak Atas Kesehatan.

Hak atas kesehatan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), karena berkaitan erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Indonesia menjamin pemenuhan hak atas kesehatan melalui Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor. 36 Tahun 2009. Kebijakan ini menjadi bagian dari komitmen Indonesia dalam menjamin kesehatan masyarakatnya dengan menyediakan layanan kesehatan yang kompeten dan berasaskan non-diskriminasi.

Instrumen Internasional dan nasional sepakat bahwa pemenuhan hak atas kesehatan harus berasaskan non-diskriminasi. Sayangnya, dalam prakteknya diskriminasi masih kerap ditemui di layanan kesehatan. Kelompok rentan seperti perempuan, anak, dan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan kelompok rentan yang memiliki perilaku beresiko terinfeksi HIV kerap kali mendapat stigma dan diskriminasi oleh penyedia layanan kesehatan, yang mengakibatkan penghambatan dalam pencampaian target pemenuhan hak atas kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam instrumen nasional maupun internasional.

Maka dari itu LBHM membuat buku saku hak atas kesehatan, guna memberikan pemahaman dasar mengenai hak atas kesehatan serta relevansinya dalam isu HIV. Kalian dapat mengunduh buku saku ini here

Seri Buku Saku LBHM: Mekanisme Pengaduan.

Selama ini di masyarakat sendiri masih terjadi miskonsepsi seputar Human Immunodeficiency Virus (HIV), anggapan bahwa HIV merupakan penyakit yang mematikan malah menimbulkan presepsi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) dianggap membahayakan. Kesalahpahaman ini nantinya menciptakan stigma dan diskriminasi kepadapopulasi kunci. LBH Masyarakat (LBHM) dalam kurun waktu 2016-2018 menunjukkan bahwa praktek stigma dan diskriminasi terhadap populasi kunci HIV masih terjadi. Setidaknya terdapat 184 kasus yang terjadi pada populasi kunci HIV dan 138 diantaranya terindikasi sebagai pelanggaran HAM.

 Ironisnya, praktek stigma dan diskriminasi yang terjadi justru mayoritas dilakukan oleh mereka, yang seharusnya menerapkan asas non-diskriminasi dalam memberikan pelayanan, tidak hanya pemberi layanan bahkan masyarakat sipil, organisasi masyarakat dan media pun turut juga memberikan stigma dan diskriminasi. Banyak dari teman-teman populasi kunci HIV yang menjadi korban dari tindakan stigma dan diskriminasi yang tidak berani menindaklanjuti pelanggaran yang diterimanya karena ketidaktahuan mereka tentang hukum – kemana mereka harus melapor dan bagaimana cara pelaporannya. Stigma dan diskriminasi yang tidak diselesaikan dapat membuat korban menjadi enggan untuk mengakses layanan kesehatan maupun membuka status kesehatannya yang nantinya akan menghambat upaya penanggulangan HIV di Indonesia.

Maka dari itu LBHM menyusun buku saku mekanisme pengaduan yang berisi beragam mekanisme pengaduan hak dalam konteks pelayanan publik. Buku saku ini dapat di unduh di sini.

Liputan Media tentang Pekerjaan LBH Masyarakat di 2019

Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) kian hari kian kompleks. Tindakan-tindakan represif, pembungkaman kebebasan berekspresi, dan kriminalisasi belakangan ini semakin menjadi-jadi. Tidak jarang kita melihat isu HAM kerap kali dibungkam ketika berhadapan langsung dengan penguasa. Kondisi ini diperburuk dengan menjamurnya berita-berita hoaks yang semakin mengaburkan informasi terkait HAM.

Menghadapi situasi seperti inilah, LBH Masyarakat (LBHM) percaya bahwa media-media yang imparsial dan berkualitas mampu memberikan edukasi seputar isu-isu HAM kontemporer. Selain itu, LBHM memandang media adalah mitra strategis dalam memberikan informasi yang berbobot dan berimbang kepada masyarakat. Oleh karena itu, LBHM mengucapkan terima kasih atas bantuan teman-teman jurnalis dan pekerja media yang telah meliput kerja-kerja LBHM sehingga pesan-pesan kemanusiaan dapat tersampaikan ke publik dengan cepat dan tepat. Liputan Anda sangat berharga dalam kerja-kerja advokasi kami.

Kalian dapat mengunduh hasil kerja coverage media kami here

Infografis Coverage Media LBHM 2019

Rilis Pers – Lewat #HarapHAM, Mengubah Keniscayaan Menjadi Kenyataan.

Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengadakan sebuah festival satu hari berjudul #HarapHAM. Festival yang terbuka untuk umum ini memadukan beberapa acara kebudayaan, yakni lokakarya melukis, pembacaan puisi, diskusi santai, dan pertunjukan musik. Acara ini tidak untuk hura-hura seremonial belaka tapi ingin memantik kepekaan masyarakat umum bahwa kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

#HarapHAM dirancang sebagai medium berbagi keresahan dan kegerahan akan situasi keadilan yang semakin gersang. Sebulan sebelum pelantikan masa jabatannya yang kedua, Joko Widodo menjalankan sejumlah kebijakan yang bertolak belakang dengan semangat HAM dan justru mengkhianati janji HAM-nya. Melalui Kementerian Hukum dan HAM, ia menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK yang semakin mencekik kewenangan KPK dalam agenda pemberantasan korupsi. Bersama anggota DPR periode 2014-2019, ia juga hampir meneken pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berpotensi menyebabkan overkriminalisasi,terutama kepada kelompok marginal, seperti perempuan, anak, pengguna narkotika dan kelompok minoritas seksual.

Aparat pemerintah juga menunjukkan wajah brutal dan represifnya dalam menangani kasus demonstrasi #ReformasiDikorupsi yang berlangsung medio September 2019. Tim Advokasi untuk Demokrasi mencatat setidaknya terdapat 390 orang yang ditangkap tanpa status hukum yang jelas dan tanpa akses bantuan hukum memadai. Aparat melakukan kekerasan dan penyiksaan terhadap orang-orang yang mengutarakan pendapatnya secara bebas. Salah satu ekses negatif dari represi aksi demonstrasi ini menimpa Immawan Randy dan Yusuf Kardawi, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo yang tewas ditembak senjata polisi, tanpa diikuti dengan akuntabilitas yang transparan dan efektif.

Kelompok minoritas di Indonesia juga masih hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan persekusi, kekerasan, dan diskriminasi yang masih diabaikan oleh negara. Dari bulan Januari hingga September 2019, setidaknya ada 30 kasus diskriminasi terhadap kelompok Lesbian-Gay-Bisexual-Transgender yang menyebabkan tidak sedikit anggota kelompok minoritas seksual ini mengungsi dari rumah atau kotanya. Begitu juga dengan pengguna narkotika yang hidupnya penuh ketakutan mengingat sewaktu-waktu aparat penegak hukum bisa menciduk dan menjebloskan
mereka ke dalam penjara yang sudah sesak; dan bukannya menyediakan dukungan kesehatan. Di tahun ini, kami juga mendapatkan pengalaman berharga dari kasus Wendra, seorang dengan disabilitas intelektual yang diabaikan haknya ketika status disabilitasnya diragukan aparat penegak hukum.

Gambaran kelabu HAM di Indonesia inilah yang menjadi landasan bagaimana kami memilih para pengisi acara di festival #HarapHAM ini. Di siang hari, kami mengadakan lokakarya melukis yang dipandu oleh Bartega Studio karena kami percaya bahwa pesan kemanusiaan tidak melulu hadir lewat retorika tapi juga sketsa. Kami mengundang empat pembicara dalam diskusi publik di malam hari, yaitu Saras Dewi (Dosen Filsafat Universitas Indonesia), Puri Kencana Putri (Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia), Bivitri Susanti (Wakil Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera) dan, Ricky Gunawan (Direktur LBHM), untuk membagikan kesaksian bagaimana, bahkan setelah belasan tahun ‘dikhianati’ pemerintah, mereka tetap pantang menyerah dan akan terus menuntut pertanggungjawaban HAM kepada negara. Hadir pula di festival ini Anya Rompas, seorang penyair, yang mengingatkan tentang pentingnya kesehatan jiwa dalam bait-bait puisinya. #HarapHAM juga mendatangkan para musisi yang bukan hanya terkenal karena kualitas musiknya melainkan juga karena aktivisme yang mereka geluti dan menyuarakan kritik sosial. Ananda Badudu yang gigih memperjuangkan hak kebebasan berpendapat, Oscar Lolang yang aktif menggalang kepedulian untuk Papua lewat lagunya, dan Hindia yang kerap melantunkan dukungannya terhadap korban-korban kekerasan seksual dan ketidakadilan.

Melalui #HarapHAM, LBHM tidak hanya ingin memperlihatkan potret buram penegakan HAM di Indonesia, kami juga ingin menunjukkan potensi-potensi perbaikannya di masa mendatang. Potensi-potensi itu kami yakini ada, bukan cuma di orang-orang yang memiliki jabatan di pemerintah, melainkan juga di diri rakyat biasa lintas etnis, kepercayaan, tingkat pendidikan, gender, orientasi seksual, dan lain-lain. Keniscayaan bahwa setiap orang memiliki HAM akan berubah menjadi kenyataan bilamana sekumpulan orang-orang biasa berkumpul dan mengemban harapan yang sama. #HarapHAM adalah ruang untuk menghimpun kegeraman publik dan mengelolanya menjadi semangat kolektif untuk memperbaiki kemanusiaan dan keadilan di republik yang tengah retak.

Narahubung
Tengku M Raka (0896 3541 0046)

VACANCY: Researcher, for Academic Study of Opinions on the Death Penalty in Indonesia.

LBH Masyarakat (LBHM) and Death Penalty Project (DPP) are seeking qualified researcher(s) to take part in an Academic Study of Opinions on the Death Penalty in Indonesia.

The Death Penalty Project (DPP) is a legal action charity based in London. The DPP provides free legal representation to individuals facing the death penalty around the world. To complement our legal activities, we commission independent legal research on criminal justice issues, conduct capacity building activities, and engage in dialogue and consultation with policy makers and key stakeholders.

In association with the University of Indonesia, DPP and LBHM are currently conducting an academic study of opinions on the death penalty, the aim of which is to gather the views of influential opinion leaders on what steps might be taken, if any, in relation to the legal status and use of the death penalty in Indonesia. The DPP have commissioned a leading international academic, Professor Carolyn Hoyle (University of Oxford, UK), to design the questionnaire and analyse the responses.

Professor Hoyle will author the report based on a series of one-to-one interviews with Indonesian ‘opinion leaders’ – including policy makers, members of parliament, members of the judiciary, prosecutors, law enforcement officials/police, religious leaders, senior academics and the media. These interviews – to be conducted by the Researcher – will focus on attitudes towards the death penalty and the administration of justice in capital cases. The Researcher will be trained in the relevant research methodologies by Dr. Claudia Stoicescu.

Job description:

  • Conduct 20-25 one-to-one interviews. These will be predominantly based in Jakarta (no more than 10 interviews will be outside of Jakarta). All reasonable travel costs incurred during the fieldwork will be covered.
  • Transcription of interview records.

Deadline application:

Send your letter of application and most recent CV outlining relevant experience to rgunawan@lbhmasyarakat.org at the latest Wednesday, 20 November 2019, 17:00. Only shortlisted candidates will be called for interview.

For further information, such as criteria, length and salary please click this link.