Skip to content

Author: admin lbhm

Rilis Pers – Pemerintah Indonesia di CND: Sebuah Adiksi pada Perang terhadap Narkotika

Jakarta, 17 Maret 2016

LBH Masyarakat mengkritik pernyataan pemerintah Indonesia di sidang Commission on Narcotic Drugs (CND), Vienna, Selasa silam.[i] LBH Masyarakat memandang bahwa apa yang disampaikan oleh perwakilan pemerintah Indonesia di forum tersebut hanya untuk menjustifikasi pendekatan lama yang usang dan tidak berhasil, tanpa sebuah niat politik untuk melakukan terobosan kebijakan yang progresif.

“Pernyataan delegasi Indonesia di Vienna kemarin tidak lebih dari ikrar kesetiaan pada perang terhadap narkotika, yang terbukti gagal dan justru lebih berbahaya bagi manusia daripada narkotika itu sendiri. Rezim pelarangan terhadap narkotika atau prohibisionis justru menempatkan narkotika di tangan para sindikat perdagangan gelap yang tidak peduli pada apapun selain keuntungan finansial,” ujar Yohan Misero, Analis Kebijakan HAM LBH Masyarakat.

“Kami melihat bahwa pemerintah masih bebal dengan menggunakan pendekatan yang utopis mengenai dunia yang bebas dari narkotika. Hal ini dapat disimpulkan dari pernyataan-pernyataan pemerintah yang condong pada penguatan langkah-langkah pencegahan dan penegakan hukum yang kemudian mendorong situasi yang punitif dan represif,” tambahnya.

Lebih lanjut, Yohan menjelaskan, “Bahkan ketika berbicara tentang perawatan, pemerintah dengan bangga menceritakan soal IPWL, Institusi Penerima Wajib Lapor, yang mana, dengan meminjam kata-kata pemerintah sendiri di Vienna, adalah ‘sebuah upaya rehabilitasi paksa’. Bentuk perawatan yang demikian melanggar berbagai aspek hak asasi manusia, tidak efektif, dan bahkan sudah berulang kali ditentang oleh banyak badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).”

“Pemerintah dengan amat halus menyebutkan bahwa untuk mengatasi permasalahan narkotika perlu ada langkah-langkah serius yang luar biasa. Pernyataan ini kemudian juga disambung dengan penekanan prinsip non-intervensi. Dalam satu kaca mata, pernyataan ini menjadi pembenaran langkah-langkah pemerintah yang punitif dan tidak humanis dalam memerangi narkotika, seperti hukuman mati.”

“Pemerintah seharusnya memandang forum CND kali ini sebagai sebuah persiapan menuju Sesi Khusus Sidang Umum PBB tentang Permasalahan Narkotika, UNGASS, pada April nanti. UNGASS dipercepat pelaksanaannya karena permintaan beberapa negara Amerika Latin yang lelah menyaksikan kondisi kawasannya yang semakin kisruh karena perang terhadap narkotika. Semestinya, pemerintah melihat sebuah kebutuhan akan perubahan, bukannya terus memegang teguh pendekatan lama yang terbukti gagal,” Yohan menjelaskan.

“Untuk mengatasi permasalahan narkotika, Indonesia, seperti banyak negara lain, memerlukan metode dan alternatif baru yang berbasis ilmiah dan mengedepankan hak asasi manusia. Dengan cara-cara yang Indonesia lakukan hari ini, justru telah memenjarakan banyak orang hanya karena konsumsi dan kepemilikan narkotika skala kecil; meningkatkan angka kematian akibat narkotika karena pemakai narkotika enggan dan tidak dapat mengakses perawatan dalam situasi kebijakan narkotika yang mencekam; menyuburkan praktik korupsi di lingkungan penegakan hukum; serta melanggar hak asasi manusia seperti: hukuman mati, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, dan rehabilitasi paksa.”

“Dokumen akhir UNGASS masih terbuka untuk perubahan sampai di New York, April nanti. LBH Masyarakat masih berharap bahwa pemerintah mau mendengar, membuka diri, dan mendukung mosi reformasi kebijakan narkotika global. Ini adalah momentum perubahan yang kami harap pemerintah tidak sia-siakan. Namun, kita tak bisa menutup mata bahwa ini juga bisa menjadi momentum penahbisan metode-metode brutal dalam mengatasi masalah narkotika, baik di tingkat global maupun nasional,” tutup Yohan.

Narahubung:

Yohan Misero (085697545166)

[i]

Rilis Pers – Tes Urine Dadakan Kepala Daerah: Mengukuhkan Stigma Terhadap Pemakai Narkotika

Jakarta, 16 Maret 2016

LBH Masyarakat menentang rencana Pemerintah Indonesia melakukan tes urine dadakan kepada semua kepala dan wakil kepala daerah di Indonesia. LBH Masyarakat memandang bahwa tes yang dilakukan tanpa didahului pemberitahuan tersebut secara tidak langsung telah mengukuhkan stigma buruk terhadap pemakai narkotika.

Tertangkapnya Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi,[i] Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan, pada awal minggu ini telah menjadi momentum bagi pemerintah untuk meneriakkan kembali slogan-slogan perang terhadap narkotika yang tidak efektif tersebut. Hal ini memunculkan gagasan dari Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia,  Komisaris Jenderal Budi Waseso, yang kemudian disetujui oleh Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, untuk melakukan tes urin dadakan pada pemimpin-pemimpin daerah.[ii]

“Apa yang dicanangkan oleh Kepala BNN ini akan mengukuhkan stigma buruk terhadap pengguna narkotika. Kepala dan wakil kepala daerah seharusnya dinilai dari prestasinya selama menjabat atau apakah ia korup atau tidak. Pemakaian narkotika adalah masalah kesehatan dan oleh karena itu tidak sepatutnya dijadikan landasan untuk menstigma atau menilai seseorang,” ujar Analis Kebijakan HAM LBH Masyarakat, Yohan Misero.

“Jika seorang kepala daerah saja harus dinilai dari hal seperti ini, masyarakat akan memiliki pemahaman untuk juga menghakimi sesama warga masyarakat dengan hal yang sama. Seseorang yang menggunakan narkotika akan dipandang sebagai seseorang yang bermasalah, tidak cocok bergaul di tengah masyarakat, harus dijauhkan, serta tidak dapat menjadi seorang manusia yang produktif. Padahal dalam kenyataannya yang kita temui justru sebaliknya, banyak sekali pemakai narkotika yang dapat menjadi warga yang produktif dan berkontribusi pada masyarakat di sekitarnya. Pemerintah seharusnya mendorong kebijakan atau situasi yang lebih merangkul pemakai narkotika. Disadari atau tidak, inisiasi tes dadakan ini akan memperburuk stigma terhadap pemakai narkotika,” kata Yohan.

“Memang dalam kenyataannya, di negara ini konsumsi narkotika adalah suatu aktivitas yang ilegal, namun tidak serta merta hal tersebut menjadi justifikasi terhadap rencana ini. Sebagaimana di banyak belahan dunia, Indonesia sudah saatnya memikirkan ulang soal kriminalisasi pemakaian narkotika, yang mana terbukti buruk bagi situasi kesehatan masyarakat umum, meningkatkan stigma, serta memenuhi rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan lebih dari kapasitas yang seharusnya,” Yohan menjelaskan.

LBH Masyarakat juga menyesalkan sikap BNN yang memproses Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi secara pidana.[iii] “BNN seharusnya melihat riwayat pemakaian narkotika seseorang dan sejauh apa ia terlibat dalam perdagangan gelap narkotika. Jika ia hanya seorang konsumen, seharusnya seseorang diberikan perawatan bukannya dimasukkan ke dalam penjara,” ujar Yohan.

Sebagai penutup, Yohan juga mengingatkan kepada media massa untuk melakukan pemberitaan secara berimbang, “Berita soal seorang kepala daerah memakai narkotika memang amat renyah dan mudah dijual, namun di sisi lain media juga seharusnya tidak lupa untuk memposisikan seorang pemakai narkotika sebagai seorang korban kebijakan, bukannya seorang penjahat yang harus ditangkap dan dipenjara. Dalam kasus ini, wajar ada kemarahan karena kita sedang berurusan dengan pejabat. Namun ketika narasi punitif yang sedang didengungkan oleh pemerintah ini justru menimpa orang-orang terdekat kita, haruskah saat itu baru kita berpikir ulang?”

 

Narahubung:

Yohan David Misero   +62 856 9754 5166

 

[i] https://m.tempo.co/read/news/2016/03/14/063753389/positif-pakai-narkoba-bupati-ogan-ilir-dibawa-ke-bnn

[ii] http://nasional.kompas.com/read/2016/03/16/10502601/Mendagri.Izinkan.BNN.Tes.Urine.Kepala.Daerah.secara.Dadakan

[iii] https://news.detik.com/berita/3164559/buwas-bupati-nofiandi-bukan-korban-tapi-pemakai-narkoba-yang-sudah-lama

Perempuan Kurir Narkotika: Kerentanan yang Terlupakan

Hari ini, 8 Maret, adalah peringatan Hari Perempuan Internasional. Gagasan mengenai Hari Perempuan Internasional muncul pada tahun 1910 di Konferensi Internasional Pekerja Perempuan oleh Clara Zetkin, ketua Women’s Office untuk Partai Sosial Demokrat di Jerman.[1] Perayaan Hari Perempuan Internasional merupakan selebrasi global dan panggilan untuk kesetaraan jender.[2] Hingga hari ini masih banyak terdapat persoalan kesetaraan jender dan diskriminasi perempuan, tetapi masih ada satu persoalan yang sepertinya belum mendapat perhatian dari banyak pihak yakni perempuan yang terlibat dalam peredaran gelap narkotika sebagai kurir narkotika.

April 2015, Mary Jane Veloso, perempuan berkebangsaan Filipina nyaris dieksekusi oleh Indonesia karena dituduh terlibat dalam peredaran gelap narkotika sebagai kurir. Mary Jane telah menempuh segala upaya hukum, namun tidak ada ampunan kepadanya, bahkan dari Presiden Joko Widodo. Sebagian masyarakat Indonesia maupun komunitas internasional kemudian bersuara mendesak Presiden Joko Widodo agar Mary Jane tidak dieksekusi. Gerakan masyarakat pun menunjukkan kekuatannya. Pada detik-detik terakhir Mary Jane akan dieksekusi, Presiden Joko Widodo tiba-tiba membatalkan rencana eksekusi terhadap Mary Jane.

Mary Jane hanyalah satu dari daftar panjang perempuan yang telah dieksploitasi menjadi kurir narkotika. Pada bulan Januari 2015, Indonesia mengeksekusi mati Rani Andriani karena menjadi kurir narkotika dalam perjalanan menuju ke Thailand. Kemudian ada kasus Mut, EYS, I dan N.[3] Sampai hari ini, belum ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa daftar panjang ini akan berhenti. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) ketika itu, Anang Iskandar, menyatakan bahwa sepanjang tahun 2014 saja ada 4.297 perempuan Indonesia yang terlibat dalam peredaran narkotika. Umumnya mereka menjadi kurir narkotika baik di dalam maupun luar negeri.[4] Perekrutan perempuan menjadi kurir narkotika dilakukan dengan berbagai cara namun menggunakan pola yang sama: memanfaatkan kerentanan perempuan.

Hukum narkotika Indonesia yang mengadopsi paradigma ‘perang terhadap narkotika’ memberikan hukuman berat kepada kurir narkotika dengan pidana maksimal pidana mati. Sikap negara yang keras terhadap kurir narkotika dan hukum yang tidak peka terhadap jender semakin memojokkan perempuan yang sedari awal memiliki posisi tawar sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki karena relasi kuasa yang timpang. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menyatakan bahwa perempuan yang lemah secara pendidikan, ekonomi ataupun menjadi korban kekerasan seringkali dimanfaatkan oleh para sindikat dalam peredaran gelap narkotika.[5] Pola untuk merekrut kurir perempuan dilakukan dengan membentuk relasi personal dengan korban melalui hubungan pacaran ataupun pernikahan.[6] Dalam kondisi seperti ini sindikat memanfaatkan ketergantungan ekonomi dan psikologis perempuan ataupun dengan ancaman kekerasan.

Pola rekrutmen lainnya adalah di mana sindikat secara khusus memang mengincar perempuan yang miskin dan membutuhkan pekerjaan. Selain itu, pola rekrutmen dengan menjebak perempuan untuk membawa atau mengantarkan sejumlah narkotika tanpa sepengetahuan korban juga kerap kali dilakukan. Bisa dikatakan, pola pengeksploitasian perempuan semacam ini adalah suatu tindakan yang terencana dengan sistematis oleh sindikat. Sulistyowati Irianto, dkk. menyatakan bahwa pola rekrutmen perempuan narkotika yang sistematis dan terorganisir seperti itu merupakan bentuk perdagangan perempuan.[7] Adanya perekrutan atau transportasi perempuan dengan ancaman kekerasan; penipuan; pemaksaan dengan kekerasan; jeratan utang untuk tujuan menempatkan atau menahan perempuan, apakah dibayar atau tidak, dapat dikategorikan sebagai perdagangan perempuan.[8]

Dengan kacamatanya yang punitif, aparat penegak hukum pun tidak lagi melihat persoalan kerentanan perempuan ketika menangani dan memutus sebuah perkara narkotika. Sulistyowati Irianto, dkk., mengungkapkan bahwa ketika unsur pasal telah terpenuhi dalam memutus perkara perempuan kurir narkotika, hakim tidak lagi mempertimbangkan faktor kerentanan dan kemiskinan perempuan dalam putusan mereka.[9]

Perekrutan perempuan menjadi kurir narkotika, yang merupakan bagian dari perdagangan perempuan, diperparah dengan ancaman hukuman mati atau hukuman berat lainnya kepada perempuan kurir narkotika. Perempuan, akhirnya, menjadi salah satu kelompok masyarakat yang paling dirugikan dalam perang terhadap narkotika.

Dalam perang terhadap narkotika, perempuan yang sudah rentan dieksploitasi harus berhadapan dengan hukuman mati dan puluhan tahun penjara karena posisinya yang lemah. Oleh karena itu, negara harus menimbang ulang kebijakan narkotikanya yang punitif dan menghapus hukuman mati untuk tindak pidana narkotika sebagai langkah awal perlindungan hukum terhadap perempuan. Negara harus melihat perempuan sebagai bagian dari korban perdagangan perempuan bukan pelaku utama peredaran narkotika. Sebab, hukum dan kebijakan negara haruslah responsif terhadap jender dan memberikan perlindungan terhadap perempuan, bukannya justru merugikan perempuan.

 

Penulis: Arinta Dea Dini Singgi, Staf Pengembangan Program LBH Masyarakat yang memiliki minat di isu perempuan dan narkotika. Tulisan penulis lainnya dapat diakses melalui arintadds.wordpress.com

Editor: Yohan Misero

 

[1] Lihat misalnya http://www.internationalwomensday.com/About untuk mengetahui tentang Hari Perempuan Internasional.

[2] Ibid.

[3] Penulis sengaja tidak mencantumkan nama lengkap mereka karena kasusnya yang sedang berjalan di Indonesia.

[4] “4.297 Wanita Indonesia Kurir Narkoba Internasional”, https://nasional.tempo.co/read/news/2014/12/22/063630260/4-297-wanita-indonesia-kurir-narkoba-internasional. Menariknya dan ironisnya, pemerintah – dalam hal ini BNN dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) – sudah mengakui bahwa perempuan seringkali dimanfaatkan sebagai kurir narkotika, tetapi belum ada upaya komprehensif pemerintah untuk mengatasi persoalan ini. Lihat misalnya, “Perempuan Rentan Jadi Kurir Narkoba”, http://www.indopos.co.id/2014/09/perempuan-rentan-jadi-kurir-narkoba.html.

[5] Satgas PBB untuk Kejahatan Internasional Lintas Negara dan Perdagangan Narkotika sebagai Ancaman terhadap Keamanan dan Stabilitas, “A Gender Perspective on the Impact of Drug Use, the Drug Trade, and Drug Control Regime”, Juli 2014.

[6] Khoirun Hutapea, “Pola-pola Perekrutan, Penggunaan dan Kegiatan Kurir dalam Jaringan Peredaran Narkoba Internasional”, Juni 2011, hal. 64.

[7] Sulistyowati Irianto, dkk., “Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran Narkotika”, 2005, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

[8] Aliansi Global Melawan Perdagangan Perempuan, “Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan: Panduan untuk Membantu Perempuan dan Anak yang Diperdagangkan, 1999, hal. 11-12.

[9] Op.Cit.

Relawan Media Monitoring Maret-Juni 2016

Jika kamu tertarik dengan persoalan narkotika, penghukuman, LGBT, stigma dan diskriminasi HIV, dan kesehatan jiwa, LBH Masyarakat sangat ingin mengenalmu!

Berdiri sejak 2007, LBH Masyarakat adalah sebuah organisasi non-pemerintah nirlaba yang menyediakan bantuan hukum cuma-cuma, melakukan penelitian dan analisis, serta melakukan upaya advokasi kebijakan untuk membela hak-hak masyarakat yang terpinggirkan. Saat ini kami berkonsentrasi pada komunitas pemakai narkotika, LGBT, pekerja seks, orang dengan gangguan jiwa, orang dengan HIV/AIDS, tahanan/narapidana, serta mereka yang terancam hukuman mati/eksekusi.

Kami sedang membutuhkan relawan (volunteer) yang bersedia meluangkan waktunya setidak-tidaknya 20 jam setiap minggunya hingga Juni 2016. Ini adalah kesempatan yang sangat menarik buat kamu yang tertarik untuk memiliki karir di jalur hak asasi manusia atau aspek non-profit lainnya. Pengalaman yang kamu dapat dari masa kamu menjadi relawan juga akan bermanfaat saat kamu bekerja, apa pun pilihan karir kamu nanti.

Kami mencari mahasiswa yang:

  • Memiliki ketertarikan pada hak asasi manusia dan komunitas yang terpinggirkan
  • Internet-savvy
  • Dapat menggunakan Microsoft Word dan Microsoft Excel
  • Dapat bekerja secara independen
  • Memiliki motivasi tinggi

Deskripsi tugas utama kamu sebagai relawan: memantau dan mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia melalui penelusuran media, serta memantau perkembangan hukum dan kebijakan yang berkaitan dengan konsentrasi isu LBH Masyarakat.

Segera kirim CV terbaru dan Application Letter kamu ke faotari@lbhmasyarakat.org paling lambat tanggal 18 Maret 2016.

“Love is the answer, and you know that for sure; Love is a flower, you\’ve got to let it grow.”

― John Lennon

Our Contribution for UNGASS 2016

Special Session of the United Nations General Assembly (UNGASS) on the World Drug Problem will be held in New York on 19-21 April 2016. Then, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) develops a system for civil society to contribute by sending books, research reports, movies, letters, etc. as references for discussions in the UNGASS.

On 3 March 2016, we have sent our contribution which later also published in UNGASS 2016 official website. You could also download our contribution through this link: 000316_A Proposal for UNGASS 2016_The Momentum for Change_LBHMasyarakat.

Kontribusi Kami untuk UNGASS 2016

Sesi Khusus Sidang Umum PBB (UNGASS) 2016 mengenai permasalahan narkotika akan segera diadakan di New York pada 19-21 April 2016 nanti. Kantor PBB untuk Urusan Narkotika dan Kriminal (UNODC) membangun sebuah sistem di mana masyarakat sipil dapat memberikan kontribusi  sebagai bahan serta rujukan diskusi untuk UNGASS 2016 ini, dalam berbagai bentuk seperti buku, laporan penelitian, film, surat, dan lain-lain.

Pada 3 Maret kemarin, kami telah mengirimkan kontribusi kami dan sudah dimuat juga di situs resmi UNGASS 2016. Teman-teman sekalian juga dapat mengunduh kontribusi kami tersebut melalui tautan berikut: 000316_A Proposal for UNGASS 2016_The Momentum for Change_LBHMasyarakat.

Para Pendekar di Sudut-Sudut Gelap Kota

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa…Pengadilan Negeri… telah menjatuhkan Putusan sebagai berikut…Mengadili…menyatakan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah… menjatuhkan hukuman… penjara.”

Melakukan pekerjaan-pekerjaan hukum di ibukota secara umum menjanjikan beberapa hal yang menyenangkan: uang, jabatan, atau, setidak-tidaknya, ketenaran. Jakarta adalah pusat pemerintahan dan juga pusat ekonomi. Bayangkan betapa banyak kepentingan yang berseliweran di ruas-ruas jalannya.  Bayangkan apa yang orang rela lakukan demi mengecap sedikit kejayaan. Hukum, kemudian, dapat menjadi alat yang sempurna untuk meraih banyak hal. Dari sana, para pekerja hukum, sebagai prajurit-prajurit kepentingan, berargumen, berdebat, bersidang, melakukan apa pun yang diperlukan untuk memenangkan pertandingan.

Di luar riuhnya semua janji-janji Jakarta, ada beberapa insan yang tak memperdulikan semua itu dan memberikan waktu dan ilmunya bagi kepentingan yang tak mampu memberinya uang, jabatan, dan ketenaran. Insan-insan yang menemukan dirinya dalam pengabdian. Insan-insan yang memperoleh kesadaran bahwa ada yang lebih indah daripada gemerlapnya ibukota.

Kepentingan-kepentingan yang mereka perjuangkan tidak selaras dengan yang masyarakat percaya sebagai sesuatu yang pantas diperjuangkan. Kepentingan-kepentingan yang mereka perjuangkan bahkan, dalam taraf tertentu, diperangi oleh negara.

Pun demikian, mereka tak gentar. Walau masih jauh di ujung jalan, mereka tidak mundur teratur melainkan maju bertarung. Meski sulit, mereka meyakinkan diri bahwa perubahan, bagaimana pun bentuknya, akan, terus, dan pasti terjadi. Mereka tepis anggapan utopis, terus optimis meski dipandang sinis.

Mereka adalah pendekar. Seorang sakti yang memberi dirinya untuk masyarakat. Para pendekar ini hadir di sudut-sudut gelap ibukota. Mereka hadir untuk orang-orang yang mengklaim otonomi atas tubuh sendiri dan diancam dimasukan ke dalam penjara atas nama Undang-Undang Narkotika. Mereka hadir untuk orang-orang yang dibedakan oleh masyarakat karena identitas dan orientasi seksual yang berbeda. Mereka hadir bagi mereka yang berusaha membeli nasi esok hari lewat tubuh. Mereka hadir bagi mereka yang diancam dibunuh atas nama efek jera dan keadilan. Mereka hadir bagi mereka yang tak memiliki sumber daya untuk membela diri sendiri. Mereka hadir.

Mereka hadir untuk melawan. Melawan sistem peradilan yang korup luar biasa. Melawan narasi umum di tengah masyarakat. Melawan nafsu-nafsu pribadi. Melawan cemooh orang-orang terdekat.

Kemanusiaan harus bersorak karena ia tetap nyata berkat hadirnya para pendekar ini. Mereka yang terus bekerja tanpa diiringi sorot kamera televisi dan tanpa dikejar-kejar kuli tinta. Mereka yang, setelah seharian jungkir balik dari Polsek sampai Mahkamah Agung, bersenda gurau di depan kantor, menikmati hidup yang getir lewat secangkir kopi di ujung bibir, serta menghembuskan segala kelelahan lewat tembakau.

Mereka mungkin bukan pendekar dengan pedang yang paling tajam. Mereka mungkin bukan pendekar dengan wajah paling tampan. Mereka tidak sempurna. Tapi hati mereka luar biasa lebar dan oleh karenanya ada baiknya kita berkata:

Terima kasih.

 

Ditulis oleh: Yohan David Misero

No One Should Be Executed for Drug Offenses

This piece was written by Claudia Stoicescu and Ricky Gunawan and was published in Al Jazeera America on 1 February 2016.

 

The use of society’s ultimate sanction, the death penalty, has been declining around the world for decades. In 1977, only 16 countries had abolished the death penalty; by 2015, 140 had either abolished it or for all practical purposes abandoned it. Nineteen American states and the District of Columbia have no death penalty, and in 2014, executions were carried out in only seven states.

However, over the same period, the number of countries applying the death penalty for drugs offenses hasincreased. In 1979 there were 10 countries that executed drug offenders. By 1985, that number had increased to 22; by 2000, to 36 (although it declined to 33 in 2012). Some years have seen as many as 1,000 drug-related executions, many of them in Iran, Singapore and China, where precise figures are unavailable. Thousands of individuals are on death row in Asia, the Middle East and parts of Africa for drug offenses.

Indonesia offers a particularly gruesome example. In 2015, 14 prisoners there, mostly foreign nationals, were killed by firing squad.

Indonesian President Joko Widodo took office in October 2014. He immediately declared that the country was facing a “drug emergency situation,” thus justifying the decision to carry out the executions in the face of concerted international pressure — notably from Australia, two of whose citizens were executed last year. He zealously pursued the death sentences, saying he would reject any appeal for clemency. According to Amnesty International, Indonesia held at least 121 people on death row in 2015, 54 of them for drug offenses.

As part of its intensified war on drugs, Indonesia has targeted drug users. The National Narcotics Agency recently revived compulsory treatment, pledging to place 100,000 drug users in treatment or rehabilitation centers last year. This month the new narcotics board chief, Budi Waseso, created an international furor by calling for a prison island for drug smugglers, surrounded by crocodiles and piranhas. He also called for the reinstatement of the late Indonesian dictator Suharto’s infamous program in which elite military personnel were authorized to conduct extrajudicial public killings of anyone the regime considered criminal. A week ago, police raids on drug-use hotspots in Jakarta and Medan left at least four people dead — two of them police officers.

One person executed in Indonesia last year was Brazilian citizen Rodrigo Gularte, who was caught with two friends trying to take cocaine hidden in surfboards into the country in 2004. He took responsibility for the seized drugs, allowing his companions to be released. He accepted a state-appointed lawyer and never received competent legal representation at trial. His first lawyer acknowledged that he used drugs. Today that might be accepted as a mitigating factor, but at the time, it merely helped the prosecution make its case and secure the death sentence.

The mitigating factor that should have protected him from the firing squad is that he was diagnosed with bipolar disorder as a teenager. He was often impulsive, which likely explains how he came to be smuggling drugs. In prison, his condition worsened, and he attempted suicide. Eventually he was further diagnosed with paranoid schizophrenia accompanied by delusions and hallucinations. It was widely reported that he understood he was going to be killed only as he was being led to the site of the execution.

After Indonesia denied requests for Gularte to be transferred to a mental health facility in 2014, his cousin Angelita Muxfedlt went to Jakarta and appointed my office as his legal representative, together with other prominent legal and human rights groups. He was convicted despite the suspicious release of his co-defendants, despite his incompetent counsel and despite international outrage, especially from Brazil, where the last state execution took place in 1876. Even the diagnosis of his severe mental illness was not enough to earn him a reprieve.

Indonesia clearly violated international law by executing a prisoner with mental health issues. He should have received treatment for his multiple illnesses. Instead, in a stunning act of retribution, the state put him to death.

He can be considered a victim of the global war on drugs. But the punitive drug control regime that was built on international agreements like the 1961 Single Convention on Narcotic Drugs is coming under increasing pressure. In 2014, for example, the International Narcotics Control Board urged governments to abolish the death penalty.

There is growing recognition that sentencing someone to death for a drug offense is a violation of basic human rights. Around the world, the vast majority of death row prisoners are poor and often poorly educated or incapable of comprehending what they were getting involved in, like Gularte. They are often badly advised, living or dying on the whim of a capricious legal system.

As some countries relax their regulations against the recreational use of drugs like marijuana, the inconsistency across international jurisdictions is thrown into sharp focus. In at least 12 countries, some offenses related to marijuana and hashish are punishable by death. In Malaysia in 2010, the majority of those sentenced to death for drug-related crimes were convicted of marijuana or hashish offenses. While some countries look to alternative methods of managing drugs, including decriminalization, others continue to punish similar activities by execution.

There is no evidence that the death penalty works as a deterrent, which is the reason most often cited for its continued use. People are still taking drugs into Indonesia, and heroin seizures have not stopped in Iran.

This year’s United Nations special session on drugs should include discussion of the death penalty. The world must consign the death penalty to history, where it belongs.

Jokowi Should Halt Executions Under Indonesia’s Corrupt Judicial System

This piece was authored by Asmin Fransiska, was co-authored by Ricky Gunawan, and was published in The Conversation on 16 Februari 2015. 

 

In Indonesia, the fate of death row convicts lies largely in the hands of the country’s president, who can decide to spare their lives after examining their clemency requests.

Indonesian President Joko Widodo, popularly known as Jokowi, seemed to have made up his mind to kill more than 60 drug convicts as he pledged to reject their clemency requests even before they arrived. He argued it would be a “shock therapy” to solve a national drug “emergency”.

Last month, six drug convicts were shot dead as part of Jokowi’s anti-drug “therapy”. Another 11, including Bali Nine duo Andrew Chan and Myuran Sukumaran, face imminent executions.

Jokowi’s blanket rejection is a blatant violation of Article 6 of the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), to which Indonesia is a state party. It states that “anyone sentenced to death shall have the right to seek pardon or commutation of the sentence\”.

As president of a country with an imperfect and corrupted judicial system, Jokowi should know that the human cost of the death penalty is too high to be used as a solution for crimes. Taking someone’s life is irreversible.

Brutal murderers and drug kingpins should receive the heavy penalty. However, such punishment should be carried out humanely to reflect the degree of our human civilisation. Examples of unfair trials irrefutably show that in deciding the fate of a death row convict, Jokowi should firmly uphold human rights principles.

Pervasive unfair trials

In Indonesia, police torture and unfair trials are pervasive. This happens in cases that are punishable by the death penalty.

In 2004, a Nigerian – Tony (not his real name) – was convicted for drug dealing. When the police came to Tony’s home, he was not there. The police told Tony that they wanted to search his place.

Tony came voluntarily. Were Tony really involved in drug dealing, he could have escaped. Instead, he chose to come back to his place.

Tony said the police tortured him to confess that the drugs found in his place were his. He never had adequate legal representation throughout his legal proceedings, during which he had to contend with a poor interpreter and dubious evidence.

The court’s conclusion that Tony committed drug dealing was racially biased:

… black people from Nigeria are often monitored by the police because they often deal drugs in Indonesia in a neat and secretive way.

The court sentenced Tony to death.

In 2005, two Indonesians, Ruben Pata Sambo and his son Markus, were sentenced to death for premeditated murders. The case against them was highly fabricated. They were both tortured by the police to confess to a crime they never committed.

In 2006, the real perpetrators provided written testimonies that Ruben and his son were never involved in the murders. The two men are still on death row.

In 2013, a European national was arrested for drug offences. During police investigations, he was assisted by at least three different lawyers, all of whom only had interest in his money. The lawyers extorted money from him.

From the investigations up to the court hearings, the defendant was not assisted with a proper legal defence. The court sentenced him to death without him having meaningful legal assistance.

These cases shows how the Indonesian legal apparatus ignores minimum procedural and evidential guarantees of fair trials. Supporters of the death penalty may argue that these are a minority of cases, which do not represent the overall picture of death penalty cases in Indonesia. But that these cases exist and human lives are at stake in the face of corruption and unfair trials means that a closer examination of all death penalty cases in Indonesia is a must.

Moratorium on death penalty

Even though Jokowi firmly believes in the death penalty as a crime deterrent – at least for now – he must revise his policy on blanket rejection of clemency appeals. He must seriously and meticulously review all death penalty cases.

The UN Safeguards guaranteeing the protection of the rights of those facing the death penalty state:

Capital punishment may be imposed only when the guilt of the person charged is based upon clear and convincing evidence leaving no room for an alternative explanation of the facts.

Jokowi must conform to this standard. If there is a single doubt that a death row convict was sentenced to death because of weak evidence, case fabrication, torture, judicial extortion/bribery, no adequate legal aid, or no proper translation, the sentence should be commuted.

While a review is undertaken, Indonesia must apply a halt to executions. Through this careful review, Jokowi’s eyes may be opened to the ugly side of Indonesia’s justice system: that our system is so broken and dysfunctional that human life should never be the price.

Mass Executions of Drug Offenders Won’t Help Indonesia

This piece was written by Ricky Gunawan and Ajeng Larasati and was published in Open Society Foundation on 23 January 2015.

 

Indonesian President Joko “Jokowi” Widodo was elected in July 2014. Hailed as a man of the people, his campaign was built on a platform of human rights. He updated Jakarta’s drainage system, kick-started health care reform, and built a reputation as a leader who implements policies based on pragmatism and common sense.

But on January 18, Jokowi placed himself in a category of his own: he became the first president of Indonesia to execute six people in one night since the country’s democratic reformation in 1998.

The people sentenced to death were people convicted of drug trafficking. Five of the six were foreigners, which prompted a swift and emphatic international outcry. Three of the countries whose citizens were among the executed recalled their ambassadors from Indonesia, and several advocacy groups condemned the executions in no uncertain terms.

The uproar is well founded—using the death penalty to solve a country’s drug problems is not a solution at all. The Community Legal Aid Institution in Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), worked tirelessly to stop Sunday’s executions. On January 16, LBHM and the leaders of drug-user communities hand-delivered an open letter to the presidential palace.

In the letter they made it clear that Jokowi’s decision to employ the death penalty would not help alleviate Indonesia’s drug problems—in fact, it’s likely to make them worse. Since capital punishment for drug offenses was introduced in 1997, drug crimes have risen, not fallen. And those being executed aren’t the ones driving the illicit drug trade. Some of the traffickers who are sentenced to death are merely drug mules, many of them coerced into carrying the substances they were arrested with, or unaware that they were carrying them at all.

Furthermore, executing people used as drug mules only exacerbates the vulnerability of drug users, because when the state executes a drug mule, kingpins must find a new one. These new traffickers are consequently pulled further away from health services, harm reduction programs, and support—the very mechanisms that could help them reclaim their lives from addiction.

Despite all this evidence to the contrary, Jokowi has said that the executions represent his government’s firm commitment to the fight against drugs, and that more executions will follow. In addition, he’s vowed not to grant clemency to any of the 64 convicted traffickers on death row, even though a blanket rejection of clemency is a violation of Indonesia’s commitment under the International Covenant on Civil and Political Rights. A blanket rejection of clemency also breaches the core principle of criminal law, which requires every case to be considered on its individual merits.

Political observers have speculated that Jokowi’s hard line on executions—out of step with his relatively progressive agenda—is intended to satiate conservative elements of his government. If that’s truly the case, it represents a stunning display of opportunism, as people are literally sacrificed in the name of political maneuvering.

LBHM’s campaign is aligned with the UN Human Rights Committee, UN Office on Drugs and Crime, and UN Special Rapporteur on extrajudicial, summary, or arbitrary executions. All have stated that executions for drug offences are in violation of international human rights law.

We at LBHM feel the weight of these threatened executions acutely. Since 2008, we have assisted Francis (not his real name), a Nigerian citizen sentenced to death for possession of heroin. Francis has exhausted all his legal avenues of appeal and is relying on presidential clemency for his life—a hope that appears dim for those convicted under the Jokowi administration.

en_USEnglish