Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Rilis Pers – Koalisi Masyarakat Sipil Meminta Dasar Pemerintah Menolak Rekomendasi WHO terkait Ganja Medis untuk Dibuka ke Publik

Koalisi Masyarakat Sipil yang diwakili oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH Masyarakat) meminta agar bukti ilmiah terhadap klaim-klaim penelitian terkait ganja medis dibuka kepada publik. Koalisi yang diwakili oleh LBH Masyarakat pada 7 Juli 2020 secara resmi telah mengajukan permohonan informasi publik yang ditujukan kepada BNN, Polri, dan Kemenkes.

Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Kesehatan mempertanyakan sikap Pemerintah yang menolak rekomendasi WHO terkait penggunaan ganja untuk kesehatan. Sebelumnya, pada Juni 2020 Pemerintah yang diwakili oleh Badan Narkotika Nasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kementerian Kesehatan mengadakan rapat untuk menyiapkan jawaban resmi untuk Komite Ahli Ketergantungan Obat WHO dan berkesimpulan bahwa sikap Indonesia berada pada posisi menolak penggunaan ganja untuk kepentingan kesehatan.

Hal ini menyebabkan pertanyaan besar, khususnya tentang riset yang dijadikan dasar oleh BNN untuk menolak pemanfaatan ganja dalam bidang medis.

Untuk membaca rilis lengkapnya teman-teman dapat silahkan klik di sini

Rilis Pers – GERAK Perempuan

Beberapa waktu lalu RUU PKS dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Dikeluarkannya RUU P-KS ini karenakan pemabahasan yang katanya sulit (?), Padahal sudah banyak korban dari kekerasan seksual yang sulit bahkan tidak pernah mendapatkan keadilan.

Ketiadaan payung hukum bagi korban kekerasan seksual merupakan suatu hal yang mestinya diperhatikan oleh legislatif (DPR). Keengganan pihak legislatif untuk membahas dan segera mengesahkan RUU P-KS bisa dibilang sebagai sikap pengabaian terhadap mereka yang telah menjadi korban kekerasan seksual.

Maka dari itu GERAK Perempuan Menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) Dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 & Mengajak teman-teman untuk bersolidaritas mengawal proses Legislasi hingga diundangkan serta Ajakan Membangun Kolektif sebagai Sistem Dukungan.

Untuk membaca rilis lengkapnya silahkan klik link berikut

Rilis Pers – Bebaskan Reyndhart Siahaan di Kasus Ganja Medis

Kembali lagi terjadi kasus hukum akibat menggunakan narkotika jenis tanamanan (ganja) untuk kebutuhan Medis. Setelah kasus ganja medis yang sempat populer yakni kasus Fidelis Arie di tahun 2017 karena menggunakan ganja untuk mengobati istirinya yang mengidap Syringomyelia. Kini kasus hukum terkait ganja medis, menimpa Reynhardt Siahaan yang didakwa atas penggunaan ganja yang kini menunggu vonis dari Pengadilan Negeri (PN) Kupang. Seperti diberitakan di berbagai media, Reynhardt mengalami gangguan saraf terjepit di 2015. Di 2018, penyakit tersebut kembali kambuh. Kemudian dia menggunakan ganja untuk meredakan rasa sakitnya. Kini Renyhardt harus menghadapi proses hukum.

Walaupun dalam UU Narkotika kita melarang penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan (Pasal 8 ayat 1), namun perlu diingat bahwa original intent dari UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) justru bertujuan untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk pelayanan kesehatan, sebagaimana tertulis dalam tujuan dari UU Narkotika pada Pasal 4 huruf a UU Narkotika.

Sebagaimana kita tahu jika UU Narkotika Indonesia masih kerap mengkriminalisasi penggunaan narkotika. Dalam kasus yang menimpa Fidelis, dan kini dialami Reynhart, sudah seharusnya pemerintah serta Majelis Hakim (dalam kasus Reynhart) mengedepankan prinsip hak atas kesehatan danmengutamakan asas keadilan dan kemanfaatan hukum.

Rilis lengkap dapat teman-teman lihat di tautan ini

Rilis Pers – Hentikan Rantai Kekerasan, Fokus Pada Korban (Menyikapi Kasus Perundungan Yang Dialami Ferdian Paleka)

Ferdian Paleka seorang konten kreator mengunggah video yang bertujuan untuk merendahkan derajat kelompok transpuan menuai kecaman dari publik. Perbuatan Ferdian termasuk dalam ujaran kebencian menyasar kelompok rentan yang sayangnya kita tidak memiliki payung hukum untuk menjawab persoalan tersebut. Aparat penegak hukum pun langsung merespon tindakannya tersebut direspon. Ferdian Paleka pun justru dijerat dengan pasal-pasal UU No 11 tahun 2008 tentan Informasi & Transaksi Elektronik (ITE)–UU berisi pasal-pasal karet yang kerap digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Sayangnya Ferdian (pelaku) mengalami tindakan perundungan yang diduga berada di Rumah Tahanan hal ini adalah preseden buruk yang terjadi berulang (repetatif) dala sistem peradilan pidana di Indonesia. Terlepas dari perlakuan keji yang telah dilakukan oleh tersangka dan dua temannya terhadap para korban transpuan, dalam hal ini negara tetap perlu mengambil langkah tegas dalam menjamin hak-hak tersangka di dalam tahanan.

Simak rilis pers lengkapnya di tautan berikut

Rilis bersama, Koalisi Pemantau Peradilan.
(IJRS, KontraS, PKBI, LBH Masyarakat, PSHK, YLBHI, ICJR, ELSAM, LBH Pers, PBHI, LBH Jakarta, LeIP, Institut Perempuan, LBH Bandung, HRWG, Imparsial)

Rilis Pers – Sebagai Kelompok Rentan, Pengguna dan Pecandu Narkotika Harus Segera Dikeluarkan dari Rutan/Lapas

Menurut keterangan Kementerian Hukum dan HAM per 22 April 2020 diketahui bahwa Kementerian Hukum dan HAM telah melakukan pengeluaran dan pembebasan terhadap 38.822 orang Warga Binaan Penjara (WBP) sebagai upaya penanggulangan penyebaran Covid-19 di rutan dan lapas di Indonesia. Kami mengapresiasi kerja pemerintah untuk mencegah penyebaran masif Covid-19 di rutan dan lapas di Indonesia.

Pemerintah juga harus selanjutnya harus mempersiapkan pembebasan terhadap mereka yang termasuk dalam kelompok rentan (para lanjut usia (lansia), ibu hamil atau dengan anak, Anak, WBP dengan penyakit bawaan atau yang sedang dalam kondisi sakit kritis/serius, WBP dengan kondisi gangguan jiwa yang serius, serta pengguna narkotika di dalam rutan dan lapas).

Pandemik Covid-19 seharusnya bisa jadi momentum bagi Pemerintah untuk memperbaiki kebijakan narkotika yang masih menggunakan penghukuman, dan menjadikan narapidan narkotika sebagai penyumbang overcrowd di penjara terbesar. Per Maret 2020 jumlah penghuni rutan dan lapas di Indonesia mencapai 270.466 orang. Padahal, kapasitas rutan dan lapas hanya dapat menampung 132.335 orang–55% WBP berasal dari tindak pidana narkotika, yakni 38.995 orang.

Salah satu yang harus dilakukan Pemerintah adalah melakukan assessment atau penilaian kesehatan termasuk penilaian derajat keparahan penggunaan napza dan resiko yang akuntabel dan komprehensif, termasuk penilaian adiksi dan risiko pada semua WBP yang berasal dari kebijakan “rancu” narkotika. Dalam hal ini, banyak pengguna dan pecandu narkotika dijerat dengan pasal penguasaan dan kepemilikan UU Narkotika yang menyebabkan mereka diklasifikasikan sebagai “bandar” dan dijatuhi hukuman di atas 5 tahun penjara.

Lalu apalagi yang harus dilakukan Pemerintah? Simak rilis lengkapnya di sini

Rilis bersama oleh ICJR, IJRS, LBH Masyarakat (LBHM), MaPPI FHUI, Rumah Cemara dan Yakeba

Rilis Pers – Tunda Pembahasan RUU Bermasalah di DPR: Negara Harus Fokus Pada Perlindungan Kelompok Rentan Dalam Penanganan Covid-19!

Informasi dari rapat paripurna DPR 2 April 2020 yang digelar terbuka mengejutkan masyarakat sipil. Hal itu sehubungan dengan kabar bahwa RKUHP akan segera disahkan. Padahal sampai saat ini saja, tata tertib DPR tentang tindak lanjut dari Surat Presiden terkait carry over belum diketahui kejelasannya oleh masyarakat luas. Berita tentang rencana DPR mengesahkan RKUHP dalam sepekan di masa darurat Covid-19 ini akan menambah catatan buruk DPR dan Pemerintah. Sikap terburu-buru yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR saat ini menunjukkan aji mumpung di kala pandemic Covid-19 sedang berlangsung. Langkah tersebut jelas tidak menunjukkan niat baik Pemerintah maupun DPR untuk serius mengedepankan kesehatan warga negaranya.

Tidak hanya RKUHP yang kualitas substansinya akan dikesampingkan jika disahkan saat pandemi berlangsung. Namun ada beberapa RUU lain yang juga akan menjadi polemik, seperti RUU Ketahanan keluarga dan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja. Besar kemungkinan bahwa beberapa RUU tersebut diatas akan mengandung ketentuan yang tidak relevan bagi konteks sosial masyarakat Indonesia kedepan. Selain itu, masih banyak masalah yang timbul dari pasal-pasal yang seharusnya dibahas lebih dalam dan menyeluruh, terutama terkait dengan perempuan dan kelompok marjinal.

Untuk membaca rilis lengkapnya teman-teman dapat mengunduhnya di sini

Rilis Pers – Pemerintah Tidak Jelas Soal PSBB, Tindakan Kepolisian Melakukan Penangkapan atas dasar PSBB Melanggar Hukum

Diketahui Polda Metro Jaya menangkap 18 orang di Jakarta Pusat pada Jumat malam 3 April 2010. Menurut keterangan Kabid Humas Polda Metro Jaya mereka diduga melanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Pasal 93 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan/atau Pasal 218 KUHP. Terhadap ke-18 orang tersebut dilakukan penangkapan. Dalam keterangannya di pemberitaan, pihak humas polda metro jaya menyatakan “Ketika PP-nya telah resmi dikeluarkan oleh pemerintah, maka pihak kepolisian sebagaimana amanat bapak Presiden tidak boleh ragu, harus tegas melakukan tindakan upaya penegakan hukum.”

Hal ini tidak berdasar hukum. Apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian dengan melakukan penangkapan adalah tindakan sewenang-wenang karena belum ada ketentuan pidana yang dapat diterapkan.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai jika ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta ketidakjelasan Pemerintah terkait status PSBB.

Teman-teman dapat melihat rilis lengkapnya di sini

Rilis Pers – Darurat Kesehatan Masyarakat, Bukan Darurat Sipil!!!

Pada tanggal 30 Maret dalam pernyataannya yang tersebar luas Presiden Joko Widodo menyebut Pembatasan Sosial Berskala Luas perlu didampingi adanya kebijakan Darurat Sipil untuk mengatasi Covid-19. Atas pernyataan tersebut kami menyatakan bahwa Darurat Sipil adalah langkah yang salah untuk menangani pandemik Covid-19 yang merupakan masalah kesehatan masyarakat.

Beberapa kalangan menilai penetapan Darurat Sipil ini tidak mempunyai dasar hukum yang kuat, padahal Pemerintah lebih baik menetapkan Darurat Kesehatan Masyarakat ketimbang Darurat Sipil yang dapat membahayakan keamanan dan kesehatan masyarakat.

Darurat sipil juga memberikan peluang besar aparat keamanan untuk melakukan tindak represif kepada masyarakat yang tentunya dapat menyebabkan pelanggaran HAM.

Simak Rilis Pers Koalisi Masyarakat Sipil di sini

Rilis Pers – Penetapan Karantina Wilayah Harus Berdasar Hukum dan Menjamin Kebutuhan Dasar Warga

Sehubungan dengan status Covid-19 di Indonesia yang per 29 Maret 2020, 14:45 WIB, telah terdapat 102 orang meninggal dunia, dan 1.1155 orang terinfeksi (rasio mortalitas 8,8%), dan Pemerintah memiliki rencana sebagaimana disampaikan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, Keamanan, Mahfud MD, jika Pemerintah sedang mempersiapkan Peraturan Pemerintah tentang Karantina Wilayah.

Indonesia sebenarnya sudah mempunyai Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Berdasarkan Pasal 53 ayat (1) juncto Pasal 49 ayat (3), Karantina Wilayah (KW) merupakan bagian respons dari Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM), yang ditetapkan oleh Menteri – dalam hal ini Menteri Kesehatan. Di pasal yang lain, yakni Pasal 10 ayat 1, status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) ditetapkan dan dicabut oleh Pemerintah Pusat. Namun, hingga 29 Maret 2020, Pemerintah Pusat tidak pernah menetapkan KKM secara terbuka.

Melihat hal ini LBHM mengingatkan pemerintah, jika penetapan KKM yang diikuti oleh penetapan KW, seluruhnya harus sesuai dengan rule of law mengikuti ketentuan hukum yang berlaku, dideklarasikan secara terbuka, agar akuntabel. LBHM juga mendesak pemerintah, salah satu desakannya adalah untuk Mengambil keputusan bukan berdasarkan opini lingkaran Istana, tetapi harus berdasarkan pada pandangan para pakar, berbasis data, beorientasi pada menyelamatkan nyawa manusia, dan menyampaikannya kepada publik secara jujur.

Teman-teman dapat mengunduh rilis pers lengkapnya di sini

Rilis Pers – Kami Butuh Aksi Konkret dan Komprehensif Negara!

Siaran Pers Bersama Koalisi Masyarakat Sipil
Tentang Penanganan Covid-19 di Indonesia

Pasca diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, 13 Maret 2020 dan ditetapkannya COVID-19 sebagai bencana nasional non-alam pada 14 Maret 2020, respons pemerintah menangani COVID-19 masih terlihat buruk, kedodoran di lapangan, diperparah dengan manajemen informasi dan komunikasi antara pusat dan daerah yang tidak selaras.

Merespons makin luasnya penularan dan bertambahnya pasien positif COVID-19 (134 orang) serta angka kematian mencapai 5 orang (per 16 Maret 2020, 18:00 WIB), pemerintah mengeluarkan kebijakan Social Distancing dengan “belajar, bekerja, beribadah” dari rumah. Pemerintah Pusat akhirnya juga mengizinkan pemerintah daerah untuk mengambil inisiatif menyiarkan informasi kepada masyarakat mengenai kasus COVID-19 di daerah masing-masing dan melakukan uji laboratorium.

Social Distancing atau mengambil jarak dari aktivitas sosial dimaksudkan untuk menekan risiko penularan, dengan itu ledakan jumlah pasien bisa dicegah sehingga institusi kesehatan memiliki kesempatan lebih banyak untuk melakukan perawatan sambil meningkatkan imunitas warga. Sayangnya, sejumlah persoalan masih terus terjadi dan perlu mendapat perhatian:

Pertamasocial distancing tidak dikenal dalam ketentuan hukum Indonesia. Penetapan status bencana nasional itu merujuk pada UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, tetapi UU ini tidak mengenal konsep social distancing. Apabila yang dimaksud dengan social distancing adalah “pembatasan sosial”, hal itu dikenal di UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 59 UU 6/2018 menyebutkan “Pembatasan Sosial Berskala Besar” (PSBB) yang merupakan bagian dari “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat” (KKM). Tetapi, status KKM harus ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah. Sejauh ini, pemerintah menetapkan status “bencana nasional.” Kalau PSBB mau ditempuh, dia juga mencakup peliburan sekolah dan tempat kerja. Akhirnya, social distancing hanya bersifat himbauan saja kepada individual, dan tidak diikuti oleh tempat kerja/perusahaan. Imbasnya kebijakan social distancing tidak dapat berjalan efektif, sebagaimana diuraikan di bawah.

Kedua, kebijakan social distancing belum disertai dengan koordinasi yang baik antara pusat dan daerah serta sektor-sektor lain. Contoh nyata adalah penumpukan penumpang bus Trans Jakarta, dan MRT pada hari Senin, 16 Maret 2020, di Jakarta, pasca himbauan untuk social distancing oleh presiden. Penumpukan terjadi akibat: pertama, tidak ditaatinya anjuran untuk bekerja di rumah, dan kedua, adanya pengurangan layanan bus transjakarta secara ekstrem. Yang lebih buruk adalah, kami melihat ada komunikasi yang kurang sehat antara Presiden dengan Gubernur Jakarta. Kami mendesak, di masa krisis di mana keselamatan rakyat menjadi taruhannya, para pemimpin menahan dan menunda segala jenis persaingan individual/politik dan lebih berfokus untuk bersama-sama menangani bencana. Tanpa kebersamaan dan sikap satu suara, kebijakan apapun akan kandas. Kepentingan kemanusiaan harus berada di atas kepentingan politik.

Ketiga, kebijakan social distancing juga belum disertai dengan peningkatan kapasitas dan ketersediaan pelayanan rumah sakit. Dalam pelbagai edaran, pemerintah memang telah mengumumkan sejumlah rumah sakit yang katanya disiapkan untuk menangani pasien COVID-19, namun kenyataan di lapangan menunjukkan hal-hal yang sama sekali bertentangan. Sejumlah laporan membeberkan betapa buruknya pelayanan dan respon rumah sakit di Jakarta terhadap warga yang bermaksud memeriksakan diri. Buruknya respon rumah sakit menunjukkan betapa rumah sakit-rumah sakit itu sama sekali tidak siap menangani pasien terutama para pasien dari kalangan rakyat biasa.

Keempat, kebijakan dan penanganan yang dilakukan pemerintah belum disertai kerja sama global yang intens dan efektif. Sebelum COVID-19 tiba di Indonesia, ia telah menyerang di pelbagai negara. Ada banyak negara yang telah berhasil menangani virus ini mulai dari China, Korea Selatan, Taiwan dan Singapore. Sudah semestinya pemerintah bisa memetik pelajaran dan melakukan upaya yang tanggap dalam hal kerjasama internasional termasuk menerima bantuan teknologi uji laboratorium, tenaga dan analisis medis, sehingga wabah ini bisa lebih cepat diatasi di Indonesia. Untuk mengatasi krisis dan menyelamatkan warga, bukan pada tempatnya memancang sikap gagah-gahan yang konyol.

Kelimasocial distancing memiliki implikasi politik kewargaan guna mendorong tumbuhnya solidaritas kemanusiaan. Pesan utama dari social distancing adalah dengan menjaga diri sendiri, Anda menjaga kesehatan orang lain! Untuk itu, social distancing mensyaratkan kepemimpinan yang efektif sekaligus peduli, guna melibatkan partisipasi pelbagai kelompok dan tokoh masyarakat yang seluas-luasnya.

Secara khusus kami juga menyoroti absennya kepemimpinan yang peka krisis, tanggap, dan efektif. Penularan yang terjadi terhadap para pejabat di lingkungan Istana, menunjukkan betapa berisikonya sikap yang menganggap enteng penyebaran virus ini. Salah satu pihak yang paling bertanggung jawab dalam soal ini adalah Menteri Kesehatan RI. Sejak awal Menkes menunjukkan sikap pongah, menganggap enteng, dan anti-sains, yang terus memandang rendah persoalan, namun berakibat pada hilangnya kewaspadaan. Dalam beberapa pekan terakhir kami mencatat sejumlah kesalahan mendasar yang dilakukan oleh Menkes:

  1. Pernyataan bahwa pasien yang sudah sembuh akan imun, di saat pengalaman negara lain menunjukkan sebaliknya;
  2. Gagal mengkoordinasi RS agar sigap melakukan pemeriksaan dan penanganan COVID-19, termasuk memastikan ketersediaan dana/anggaran dan alat; dan juga menjaga mutu/kualitas kerja tenaga kesehatan, tenaga administrasi, pusat data dan informasi di RS, terutama di waktu krisis sekarang;
  3. Masih dimonopolinya pemeriksaan sample hasil tes swab di Litbangkes Jakarta yang memperlambat respons tanggap darurat;
  4. Menggelar acara publik dan bukannya turut menerapkan social distancing.

Kami menilai risiko yang dihadapi Indonesia saat ini tidak akan dapat ditangani tanpa Menteri Kesehatan yang betul-betul memahami kebijakan kesehatan publik. Bagaimana mungkin rumah sakit akan bekerja secara serius apabila Menkesnya sendiri beranggapan COVID-19 ini sama dengan flu biasa dan bisa sembuh dengan sendirinya? Kami mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengganti Menkes Terawan dengan figur yang lebih paham kesehatan publik, punya kepekaan krisis, yang akan memandu kita melewati krisis kesehatan terburuk ini.

Sebagai wujud membantu warga yang kesulitan mendapatkan pelayanan medis seputar COVID-19 ini, kami menyediakan saluran pengaduan online melalui email: wargasadarcorona@gmail.com dan pengaduan via whatsapp di nomor: 081385412441 dan 089697820462.

Jakarta, 17 Maret 2020

KontraS, Lokataru, YLBHI, LBH Masyarakat, WALHI, PKBI, YLKI, P2D, Migrant Care, AJAR, Amnesty International Indonesia, PSHK

Narahubung:

Ricky Gunawan (LBH Masyarakat) – 0812 10 677 657

Anis Hidayah (Migrant Care) – 0815 7872 2874

en_USEnglish