Category: Publikasi

Publikasi LBHM

Laporan Pelanggaran HAM – Ancaman Bagi Kesehatan Populasi Kunci HIV dan TB

Virus HIV dan TB rentan menjangkit kelompok-kelompok yang termarjinalkan di masyarakat, seperti pengguna narkotika, waria, laki-laki gay, pekerja seks, tahanan, dan orang-orang yang kurang mampu secara ekonomi. Karenanya, tidak jarang mereka mendapatkan stigma berganda yang kerap kali menghalangi upaya mereka untuk hidup sehat dan bermanfaat.

Penelitian ini melakukan dokumentasi terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM yang dialami oleh para populasi kunci HIV dan TB di 14 distrik di Indonesia selama periode waktu 2016-2017. Penelitian ini menemukan 387 kasus pelanggaran HAM dan perlakuan buruk yang semuanya memberikan kerugian materil bagi mereka dan menambah risiko mereka semakin sulit mengakses layanan kesehatan.

Populasi kunci paling sering mengalami pelanggaran HAM di lingkungan kesehatan. Pelanggaran ini terjadi karena negara tidak bisa memenuhi aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas dari layanan kesehatan. Bentuk-bentuk pelanggaran yang mereka terima contohnya seperti tidak tersedianya tenaga kesehatan, tidak tersedianya obat, penolakan ketika mendapatkan pelayanan tertentu, dan ketidakramahan petugas kesehatan ketika mereka mengakses layanan. Selain itu terdapat juga tindakan pemaksaan perlakuan medis yang melanggar aspek kebebasan pasien.

Karena ketakutan mendapatkan stigma dan diskriminasi, para populasi kunci seringkali menyembunyikan status mereka sebagai ODHA, pengidap TB, pekerja seks, pengguna narkotka, ataupun homoseksual. Sayangnya, privasi ini masih sering dibocorkan oleh aktor-aktor negara yang seharusnya menyimpan rahasia mereka, seperti tenaga kesehatan atau penegak hukum. Tidak sedikit korban pembocoran status yang mengalami diskriminasi lanjutan di tempat kerja atau lingkungan ketetanggaan.

Beberapa anggota populasi kunci seperti pengguna narkotika dan pekerja seks seringkali harus berhadapan dengan penegak hukum. Pada saat berhadapan inilah, mereka kerap kali mendapatkan penyiksaan. Para populasi kunci seperti LSL dan pekerja seks yang sering menjadi korban tindak pidana pun seringkali mendapatkan pembatasan ketika mengakses peradilan pidana.

Pihak penyedia jasa pendidikan dan penyedia lapangan pekerjaan yang dikelola oleh negara turut melakukan pelanggaran HAM terhadap populasi kunci. Mereka dianggap sakit-sakitan, berdosa, atau menjadi ancaman bagi orang lain sehingga ditolak dan didiskriminasi ketika hendak belajar atau bekerja.

Populasi kunci juga menghadapi kendala dalam mengakses hak untuk bebas bergerak dan memilih tempat tinggal. Beberapa pengidap HIV dan TB menghadapi pengusiran yang difasilitasi oleh kepala wilayah tempatnya bermukim.

Selain menghadapi ancaman dari negara, anggota populasi kunci juga tetap mendapatkan kecaman dari masyarakat sipil. Mereka menjadi korban stigma, diskriminasi, dan kekerasan di lingkungan ketetanggaan dan lingkungan privat. Negara seharusnya bisa hadir di sana untuk menjaga agar tindakan-tindakan semacam ini tidak terjadi.

Dokumentasi yang ada di hadapan Anda ini adalah sebuah upaya untuk memperlihatkan betapa pelanggaran HAM sanggup untuk menghalangi upaya pemulihan kesehatan populasi kunci. Pelanggaran HAM harus secara cepat dan menyeluruh ditanggulangi oleh negara sehingga korban mendapatkan keadilan dan pelanggaran berikutnya bisa dicegah.

Infografis oleh: Astried Permata

Anda dapat mengunduh laporan ini dengan klik link berikut.

Kertas Kebijakan: Penentuan Kapasitas Mental dalam Hukum Pidana dan Perdata

Tulisan ini menjabarkan studi mengenai kapasitas mental dalam hukum pidana dan hukum perdata Indonesia, serta kaitannya dengan hukuman mati di Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa (UUKJ) menyediakan sebuah kerangka hukum baru untuk isu kesehatan jiwa yang bertujuan untuk melindungi hak Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Pasal 71-73 UUKJ mencoba memperjelas kerangka hukum untuk mengevaluasi kapasitas mental dalam hukum perdata dan pidana. Kapasitas mental adalah kemampuan untuk ‘memahami karakter dan konsekuensi dari tindakannya [dan keputusannya]’. Kapasitas merujuk pada ‘penilaian  kemampuan seseorang untuk membuat sebuah keputusan, bukan penilaian atas keputusan yang mereka buat’. Penilaian kapasitas mental seseorang sangat penting untuk menentukan posisi mereka dalam lingkup hukum pidana, hukum perdata, dan kaitannya dengan kasus hukuman mati.

Namun, UUKJ masih baru dan efektivitasnya belum dapat dipastikan. Membandingkan dengan peraturan serupa di negara-negara lain adalah langkah yang bijak guna menentukan metode implementasi terbaik ke depannya. Kertas kebijakan ini berupaya menunjukkan bagaimana perangkat hukum di Indonesia memosisikan ODGJ dan bagaimana perbandingannya dengan negara lain.

Kertas Kebijakan berjudul “Penentuan Kapasitas Mental dalam Hukum Pidana dan Perdata” yang ditulis oleh Codey J. Larkin, mahasiswa Universitas La Trobe, Melbourne, selama menjalani masa magang di LBH Masyarakat ini bisa diakses di tautan ini.

Policy Paper: Overdosis Pemenjaraan, Tinjauan Singkat atas Kebijakan Pidana Bagi Pengguna Narkotika

Di tahun 2017 ini Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah memasuki tahun ke-delapan. Tentu ketika UU Narkotika ini dibuat, harapan para pembuat kebijakan sangat tinggi terhadap kesuksesan UU Narkotika dalam menjawab tantangan peredaran gelap narkotika di Indonesia. Apalagi, seiring berjalannya waktu, lembaga-lembaga pemerintah lain yang memiliki peran dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika telah mengeluarkan beberapa kebijakan internal yang ditujukan untuk mengoptimalkan implementasi UU Narkotika itu sendiri. Pada faktanya, bukan hanya angka pengguna narkotika yang meningkat, tetapi juga jumlah terpidana kasus narkotika, baik yang dipidana dengan label ‘pengguna’ maupun ‘pengedar’ – sebuah pengkategorian yang tidak tepat, yang menjadi bukti dari ketidakjelasan peraturan hukum dalam membedakan pengguna narkotika dengan pelaku peredaran gelap narkotika.

Persoalan ketidakjelasan aturan hukum dalam membedakan pengguna dengan pelaku peredaran gelap narkotika ini berujung pangkal pada penggunaan terminologi pengguna pada UU Narkotika. UU Narkotika menggunakan tiga terminologi, ‘penyalahguna’, ‘korban penyalahguna’, dan ‘pecandu’. Dengan menggunakan konstruksi logika seperti ini, UU Narkotika telah gagal melihat luasnya spektrum tipe pemakai narkotika. Kegagalan ini berujung pada keterbatasan akses rehabilitasi bagi mereka yang sebaiknya mendapatkan pendekatan kesehatan, serta kebijakan kriminalisasi yang berlebihan. Kebijakan kriminalisasi yang berlebihan ini berdampak besar pada tingginya tingkat kelebihan muatan (overcrowd) di penjara, yang saat ini telah mencapai 74% lebih banyak daripada daya tampungnya.

Saat ini sedang terjadi beberapa upaya perubahan regulasi yang akan berpengaruh besar terhadap situasi kebijakan narkotika di Indonesia. Upaya tersebut diantaranya adalah revisi UU Narkotika, revisi RKUHP, serta revisi PP No. 99 tahun 2012. Masyarakat sipil, termasuk kelompok pengguna narkotika, memiliki peran besar dalam memastikan perubahan regulasi ke arah yang lebih baik, yang lebih humanis, serta mengutamakan pendekatan kesehatan dalam menjawab tantangan peredaran gelap narkotika.

Dalam kertas posisi ini, LBH Masyarakat menegaskan kembali posisinya terhadap kebijakan pemidaan bagi pemakai narkotika, membedah potensi serta tantangan yang muncul dari serangkaian kebijakan internal lembaga terkait dengan pemakai narkotika yang berhadapan dengan hukum, serta memberikan rekomendasi guna memaksimalkan upaya perubahan regulasi ke arah yang lebih baik dengan mengedepankan pendekatan kesehatan. Kertas posisi ini merupakan yang pertama dari beberapa kertas posisi lainnya terkait dengan regulasi narkotika di Indonesia yang akan kami sajikan secara bertahap.

 
Infografis oleh: Astried Permata
 

Akses policy brief ” Overdosis Pemenjaraan: Tinjauan Singkat atas Kebijakan Pidana Bagi Pengguna Narkotika” , yang ditulis oleh Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat, Yohan Misero pada tautan ini.

Laporan Tahunan LBH Masyarakat Tahun 2016

Seperti berada dalam lorong gelap” , potongan kalimat ini dikutip dari catatan Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan ketika menggambarkan posisi LBH Masyarakat sepanjang tahun 2016. Di tahun itu, LBH Masyarakat kembali kehilangan sahabat karena pemerintah Indonesia  -sekali lagi- melaksanakan perayaan eksekusi mati. Dilanda sendu, LBH Masyarakat tetap berusaha bangkit untuk terus menjadi setitik harapan bagi masyarakat Indonesia yang terlanggar haknya. Atas keteguhannya, LBH Masyarakat meraih beberapa pencapaian. Kami rangkum perjalanan LBH Masyarakat sepanjang tahun 2016 dalam laporan tahunan yang dapat diunduh pada tautan ini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Adiksi pada Strategi yang Wanprestasi

Perang bukanlah kata yang manis. Ia hadir dengan beragam implikasi. Walau Indonesia kini hidup di zaman damai, bukan berarti tidak ada lagi perang di negeri ini, setidaknya menurut pemerintah. Sebuah perang yang saat ini dihadapi oleh pemerintah adalah perang terhadap narkotika, sebuah jargon yang kerap kali digunakan untuk meningkatkan sentimen negatif masyarakat terhadap narkotika dan penggunaannya.

Dalam perang ini, salah satu alat yang paling penting adalah kebijakan. Setelah seruan perang terhadap narkotika yang diserukan oleh Presiden Joko Widodo di awal periode ia menduduki kursi kepresidenan, penegak hukum kemudian makin memasifkan duapendekatan guna merespon situasi perang ini. Sayangnya, kedua respon ini, yaitu pemenjaraan dan hukuman mati, sejauh ini belum memperlihatkan hasil signifikan terhadap perbaikan situasi. LBH Masyarakat, dengan tahun-tahun pengalamannya dalam menangani kasus narkotika, memandang upaya perang terhadap narkotika ini sebagai sesuatu yang usang.

Upaya ini telah dicoba berbagai negara, bahkan dilengkapi dengan tiga kovenan internasional yang khusus mengatur mengenai narkotika. Namun semua ini belum berhasil mengentaskan perdagangan gelap narkotika. Selayaknya perang-perang lainnya, perang terhadap narkotika juga dilengkapi dengan sebaran propaganda. Propaganda tersebut didatangkan langsung ke telepon genggam kita dalam wujud berita dalam jaringan (daring). LBH Masyarakat mencoba melakukan monitoring dan dokumentasi media daring terhadap dua isu terkait dengan narkotika.

Isu pertama mengenai penangkapan skala besar (yang untuk selanjutnya kami sebut sebagai PSB), dan isu kedua mengenai pengendalian narkotika dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (yang untuk selanjutnya kami sebut sebagai PDL). Pemilihan kedua isu ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa pemantauan media terhadap kedua isu ini dapat menunjukkan tingkat efektivitas dari kedua pendekatan keras yang diambil pemerintah, serta elemen-elemen lain yang menarik yang terlibat dalam upaya penegakan hukum tersebut.

Kami berharap hasil pemantauan ini dapat bermanfaat dalam proses dialog menuju perubahan kebijakan narkotika yang lebih baik. Kami pun sepakat bahwa peredaran gelap narkotika perlu negara atasi. Tetapi, kebijakan narkotika – sama halnya seperti kebijakan negara lainnya – haruslah menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia, serta berbasis bukti.

Teman-teman dapat mengunduh laporannya di tautan berikut.

Diskusi Publik UNODC dan BNN tentang Pasal 54 dan 127

Pada 6 April 2017, UNODC bekerjasama dengan BNN mengadakan diskusi publik mengenai implementasi Pasal 54 dan Pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Acara yang diadakan di Morrissey Hotel ini bertujuan untuk mendukung rencana pemerintah sehubungan dengan revisi UU Narkotika. Untuk menjawab harapan penyelenggara agar diskusi tersebut dapat mengidentifikasi tantangan dan memperoleh rekomendasi sebagai bahan pertimbangan proses revisi UU Narkotika, LBH Masyarakat melalui perwakilannya pada diskusi itu menyampaikan masukan melalui dokumen tertulis. Berikut adalah analisa dan rekomendasi kami yang telah kami berikan pada perwakilan UNODC dan Direktur Hukum BNN, Bapak Darmawel Aswar.

Input LBH Masyarakat untuk Diskusi Publik UNODC dan BNN RI tentang Pasal 54 dan 127 UU Narkotika

LBH Masyarakat menyambut baik upaya diskusi publik yang diselenggarakan UNODC dan BNN ini. Forum besar yang mempertemukan BNN, dalam konteksnya sebagai penegak hukum, dan masyarakat sipil yang terdampak langsung bukanlah forum yang sering terjadi. Kami berharap hal-hal yang kami sampaikan di sini dapat bermanfaat untuk rekan-rekan BNN dalam menyikapi momen-momen perubahan regulasi narkotika yang akan datang.

Diskusi publik ini memberikan fokus pada implementasi Pasal 54 dan Pasal 127 UU Narkotika. Dua pasal yang digadang-gadang menjadi tulang punggung pemberian rehabilitasi entah dalam rupa diskresi ketika tahap penyidikan ataupun putusan hakim.

Kami yakin bahwa kawan-kawan yang ada di sini dapat memberikan masukan tentang praktik penerapan Pasal 54 dan Pasal 127. Namun, ada baiknya kita bahas juga kedua pasal tersebut. Apakah kedua pasal ini memang menjamin hak atas kesehatan yang dibutuhkan oleh rekan-rekan pemakai narkotika? Atau, justru istilah ‘pasal rehab’ itu hanyalah retorika yang menginterpretasi UU Narkotika agar lebih terkesan humanis dan ramah pada pemakai narkotika?

Pertama, perlu diperhatikan bahwa Pasal 54 berada di Bab IX UU Narkotika yang membicarakan tentang Pengobatan dan Rehabilitasi sedangkan Pasal 127 berada di Bab XV tentang Ketentuan Pidana. Terpisah jauhnya kedua pasal ini tentu secara tidak langsung menunjukan bahwa situasi hukum yang ingin dicapai oleh kedua pasal ini sebenarnya terpisah.

Pasal 54 UU Narkotika menyatakan bahwa “Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial”. Pasal ini tidak serta merta berarti bahwa pecandu narkotika dan penyalahguna berhak atas rehabilitasi. Pasal ini justru meletakan beban pada pecandu dan korban penyalahguna untuk memiliki kewajiban menjalani rehabilitasi. Sebuah hal yang jika ditinjau dari kacamata hak atas kesehatan sebenarnya tidak sesuai karena seharusnya negara yang mengemban tanggung jawab untuk memberikan layanan kesehatan bukannya memaksa rakyatnya untuk mengakses layanan.

Pasal 127 sendiri, sebagaimana kita semua tahu, ayat pertamanya berisi pemidanaan bagi penyalahguna narkotika. Kesempatan rehabilitasi seakan datang melalui ayat 2 yang mengatakan bahwa dalam memeriksa perkara Pasal 127 hakim harus memperhatikan Pasal 54, 55, dan 103 UU Narkotika. Pasal 54 dan 55 pada dasarnya memberikan pengecualian pada penyalahguna yang sudah melaporkan diri ke negara. Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 128 ayat 3 yang menyatakan bahwa mereka yang sudah melaporkan diri tidak dipidana. Pasal 103 di sisi lain memberikan wewenang pada hakim untuk dapat memutus rehabilitasi.

Masalah pertama yang ditemukan dalam struktur ini adalah permasalahan terminologi. Pasal 54 menggunakan pecandu dan penyalahguna, Pasal 55 dan Pasal 103 memakai pecandu, Pasal 127 ayat 1 penyalahguna, Pasal 127 ayat 3 malah menyebut penyalahguna yang kemudian diketahui sebagai korban penyalahguna.

Tentu kami paham bahwa setiap pasal ada maksudnya. Konstruksi yang dibangun oleh skema ini adalah pecandu dan penyalahguna dapat direhabilitasi sedangkan penyalahguna dipidana. Konstruksi ini dalam pandangan kami perlu dievaluasi karena tidak dapat menjawab pemenuhan hak atas kesehatan kepada setidak-tidaknya 3 kelompok: (1) Orang yang memakai narkotika untuk pertama-tama atau masih coba-coba atau orang yang memakai narkotika sekali-sekali saja, tanpa permasalahan ketergantungan, (2) orang yang memakai narkotika setelah menjalani dua kali masa perawatan, sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 128, dan (3) orang yang memakai narkotika untuk kepentingan medis tanpa resep dokter.

Untuk kelompok pertama, ada argumen bahwa kelompok ini masih dapat dikategorikan pecandu mild bila memenuhi beberapa kriteria pada DSM V. Namun argumentasi ini rawan akan pengkhianatan intelektual karena si konselor adiksi atau orang yang memberikan assessment akan memiliki kecenderungan untuk meningkatkan status seseorang yang sebenarnya tidak memiliki masalah adiksi menjadi seorang pecandu untuk bersesesuaian dengan ketentuan UU agar si klien tidak dipenjara. Kelemahan berikut dari argumentasi ini juga, jika dikaitkan dengan konstruksi yang dibangun UU ini, adalah, jika mereka yang baru coba-coba atau hanya menggunakan narkotika sekali-kali dianggap pecandu, maka siapakah yang disebut penyalahguna?

Masalah kedua yang kami lihat dari skema UU ini adalah bahwa semua penentuan status dan pidana kepada pecandu, penyalahguna, atau korban penyalahguna dibebankan pada institusi kehakiman. Hal ini jelas terlihat pada Pasal 127 ayat 2 dan Pasal 103 yang dengan terang benderang menyebut ‘hakim’ dalam ketentuannya. Hal ini bermasalah karena hakim adalah ahli hukum, bukan kesehatan apalagi soal adiksi. Sebagai contoh, pada penelitian kami terhadap putusan-putusan PN di Jabodetabek pada 2014, ada seorang hakim yang memutus rehabilitasi selama 28 bulan lamanya. Selain bahwa proses rehabilitasi selama itu rawan tak efektif, angka putusan itu juga menyalahi rekomendasi SEMA No. 4 Tahun 2010 yang mematok batasan rehabilitasi sampai satu tahun saja paling lama. Beban berat yang diberikan pada sistem peradilan ini juga tak pelak membebani rekan-rekan yang bekerja di Puskesmas, rumah sakit, atau lembaga rehabilitasi. Berkebalikan dengan situasi hakim sebelumnya, rekan-rekan ini adalah ahli kesehatan dan adiksi, mereka bukan ahli hukum. Namun skema yang demikian memaksa mereka untuk mampu menulis surat keterangan atau memberikan keterangan di hadapan penegak hukum. Kemampuan demikian tidak dimiliki secara merata oleh rekan-rekan petugas kesehatan, kalau tidak mau kita bilang kurang. Berhadapan dengan penegak hukum tetaplah tantangan bagi petugas kesehatan dan tidak semuanya mau dan mampu untuk itu.

Masalah ketiga yang kami lihat adalah skema yang tidak jelas dari UU ini membuat beberapa instansi  membentuk semacam peraturan internal agar, setidaknya bagi instansi tersebut, mereka memiliki panduan yang jelas untuk menuntut atau memutus rehabilitasi. Kejaksaan Agung misalnya mengeluarkan SEJA No. B-601/E/EJP/02/2013 untuk memberikan kriteria pada Penuntut Umum agar dapat menuntut rehabilitasi. Problem yang muncul dari SEJA ini sama persis dengan Pasal 103, yakni menggunakan kata ‘dapat’ bukannya menggunakan kata yang lebih kuat untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan bagi rekan-rekan pemakai narkotika. Mahkamah Agung bahkan sejak 2010 mengeluarkan SEMA No. 4 Tahun 2010 yang memberikan kriteria-kriteria bagi hakim untuk memutus rehabilitasi. Kriteria-kriteria ini yang kemudian diambil oleh Kejaksaan Agung untuk membentuk SEJA tadi.

Tidak boleh juga kita lupa bahwa skema pemberian rehabilitasi tersebut juga dirusak oleh keberadaan pasal-pasal yang memidana penguasaan[1] dan pembelian[2] narkotika, hal-hal yang umum dilakukan oleh pemakai narkotika. Untuk mengatasi permasalahan ini, Mahkamah Agung bahkan melangkah jauh dengan mengeluarkan SEMA No. 7 Tahun 2012 dan SEMA No. 3 Tahun 2015 yang keduanya seirama menyebut bahwa jika hakim menduga kuat bahwa si terdakwa adalah pemakai narkotika belaka namun tidak didakwa dengan Pasal 127, hakim dapat menerobos pidana minimum pasal yang dikenakan kepada si terdakwa.

Permasalahan dengan surat-surat edaran ini yang paling jelas adalah soal kekuatan hukum, baik dari segi wording dan ketaatan internal pada ketentuannya. Kemudian adalah soal kepastian hukum. Seharusnya rekan-rekan penyidik dan juga parlemen dapat melihat bahwa ada kejenuhan serta kebingungan dari Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung dalam menangani pemakai narkotika dan memberikan rehabilitasi. Surat-surat edaran ini, di luar segala kekurangannya, secara tidak langsung mengambil arah sendiri, yang menurut hemat kami, jauh lebih humanis dari UU Narkotika.

Pada akhirnya, sebagaimana dikatakan dalam undangan, ini waktunya kami memberikan rekomendasi untuk menyikapi beberapa upaya perubahan regulasi ke depannya, antara lain untuk RKUHP dan upaya revisi UU Narkotika. Berikut rekomendasi kami:

  1. Agar BNN berperan aktif di DPR RI untuk segera menghilangkan ketentuan tindak pidana narkotika di RKUHP terutama tindak pidana yang berkaitan dengan pemakai narkotika. Hal ini kami minta bukan karena kami tidak ingin melakukan perubahan melalui RKUHP. Namun, di luar bahwa sejauh ini tindak pidana narkotika hanya copy paste dari UU Narkotika, menurut kami narkotika seharusnya diatur secara terpisah karena materi yang diatur sangat luas dan terpisahnya tindak pidana dari UU Narkotika akan membuat regulasi mengenai narkotika tidak komprehensif. Lebih penting dari itu, dimasukannya tindak pidana narkotika ke RKUHP memiliko risiko tinggi akan tidak terpenuhinya hak atas kesehatan bagi pemakai narkotika. Hal ini disebabkan karena baik PP No. 25 Tahun 2011 tentang Wajib Lapor, Peraturan Bersama 7 Institusi, dan surat-surat edaran Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, dan peraturan-peraturan lain yang terkait pemberian rehabilitasi menjadikan UU Narkotika sebagai batu pijakan. Ketika batu pijakan itu tidak ada, kemudian bagaimana nanti nasib teman-teman pemakai narkotika?
  1. Melakukan revisi terhadap UU Narkotika yang mengedepankan intervensi kesehatan bukannya sistem peradilan. Kami pikir sudah waktunya rekan-rekan penegak hukum berhenti dari ketersesatan pemilihan terminologi antara korban penyalahguna, penyalahguna, dan pecandu. Inisiatif Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung yang menggunakan gramatur sebagai pembeda antara pemakai narkotika dan mereka yang terlibat peredaran gelap merupakan sebuah hal yang dapat dijadikan contoh. Apa yang sudah ditawarkan oleh SEMA dan SEJA tersebut tentu perlu diperbaiki nafasnya dengan menempatkan rehabilitasi sebagai layanan yang negara berikan bukan kewajiban pemakai narkotika, diteliti dengan baik dan disesuaikan lagi penentuan berat dan zatnya, dan kemudian tentu diperkuat melalui legislasi di parlemen.

LBH Masyarakat tentunya sangat senang apabila rekan-rekan BNN mau membuka pintu dialog seperti ini. Dalam minggu-minggu ke depan, kami akan menerbitkan serangkaian policy paper terkait kebijakan narkotika Indonesia hari ini. Kami harap BNN tetap mau membuka pintu dialog agar bersama-sama kita dapat mewujudkan kebijakan narkotika yang lebih humanis. Dunia pasti akan memberikan hormatnya ketika BNN jelas bersikap bahwa di Indonesia, bagi pemakai narkotika, penjara bukan solusi.

Yohan Misero

Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

[1] Pasal 111, 112, 117, 122 UU Narkotika

[2] Pasal 114, 119, 124 UU Narkotika

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Hukum yang Bipolar, Melindungi atau Memasung?

Masalah kesehatan bukan hanya soal apa yang tampak secara fisik tetapi juga secara psikis. Pada tahun 2013, riset kesehatan dasar memperkirakan bahwa kira-kira 1,7 permil rumah tangga Indonesia memiliki anggota keluarga yang memiliki gangguan jiwa berat.[i] Gangguan ini berpotensi mengganggu kualitas hidup seseorang dan hubungan sosial mereka apabila tidak ditangani secara tepat dan cepat. Penanganan ini bukan hanya dengan memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas, tetapi juga perlindungan hukum.

Orang yang memiliki masalah kejiwaan seringkali tidak bisa mengakses layanan-layanan publik akibat stigma dan diskriminasi. Masyarakat seringkali menganggap mereka berbahaya, tidak rasional, tidak bisa bertanggung jawab terhadap urusan-urusan domestik, dan tidak mampu untuk bekerja. Akhirnya, kehadiran mereka pun dianggap menjadi sebuah gangguan dan eksistensi mereka disingkirkan ke lembaga-lembaga penahanan, seperti tempat rehabilitasi, rumah sakit jiwa (RSJ) dan penjara.

LBH Masyarakat menaruh perhatian khusus kepada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang sedang berhadapan dengan hukum, terutama mereka yang disangkakan melakukan tindak pidana. Perhatian kami ini dilatarbelakangi oleh masih mudanya usia perangkat hukum yang mengatur masalah ODGJ di dalam sistem peradilan pidana.[1] Apabila perlindungan hukum tidak diberikan sejak tahap penangkapan, terbuka kemungkinan sangat besar ODGJ menjalani proses peradilan dan mendapatkan penghukuman yang akan memperparah gangguannya.

Pelaku penyingkiran ODGJ bukan hanya dilakukan melalui sistem peradilan pidana, melainkan juga dalam praktik hidup sehari-hari. Praktik pemasungan adalah salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat yang masih jamak terjadi di Indonesia.[ii] Selain pasung, ODGJ juga rentan untuk mendapatkan bentuk-bentuk kekerasan lainnya.

Atas dasar inilah, kami mendokumentasikan kasus-kasus pidana yang diduga dilakukan oleh ODGJ serta praktek-praktek kekerasan terhadap ODGJ di sepanjang tahun 2016. Upaya pendokumentasi ini juga sebetulnya tidak lepas dari peristiwa kehilangan. Pada tahun 2015, LBH Masyarakat kehilangan klien sekaligus teman: Rodrigo Gularte, warga Negara Brazil yang didiagnosis memiliki gangguan jiwa berat dan kemudian dibunuh atas nama hukum melalui eksekusi hukuman mati. Kami menjadi saksi bagaimana pria itu tidak pernah diberikan baik layanan kesehatan memadai maupun akses terhadap hukum yang setara sejak awal proses peradilan sampai tubuhnya ditembus peluru. Maka, sekalipun berita mengenai Rodrigo Gularte sudah reda pada tahun 2016, laporan ini kami dedikasikan kepadanya dan ODGJ lain yang masih berada di belakang jeruji, baik di penjara asli ataupun penjara belakang rumah. Selamat membaca!

Teman-teman dapat mengunduh laporannya di tautan ini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Diskriminasi HIV, Stigma yang Mewabah

Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia tercatat paling tinggi di antara kawasan Asia Tenggara, dengan jumlah kumulatif dari tahun 2005 hingga 2015 sebesar 191.073 kasus HIV dan 77.121 kasus AIDS. Selama sepuluh tahun terkahir, berbagai upaya penanggulangan dilakukan pemerintah mulai dari program harm reduction di tahun 2006, pencegahan penularan melalui transmisi seksual (PMTS), pencegahan penularan ibu ke anak (PPIA), hingga Strategic Use of ARV (SUFA) pada tahun 2013. Namun, program-program tersebut masih belum bisa mengatasi permasalahan HIV/AIDS sepenuhnya di Indonesia.

Salah satu penyebab kurang efektifnya program penanggulangan HIV/AIDS adalah masih tingginya stigma dan diskriminasi kepada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan populasi yang beresiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS (umumnya dikenal dengan sebutan ‘populasi kunci’). Direktur Eksekutif UNAIDS mengemukakan bahwa stigma merupakan tantangan terbesar yang menghambat kegiatan penanggulangan di tingkat masyarakat, nasional, dan global. Anggapan mengenai perilaku berisiko sebagai sesuatu yang melanggar norma dan nilai lokal sering kali menjadi dasar kekeliruan pandangan dalam menyikapi HIV/AIDS. Di Indonesia, populasi kunci yang beresiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS adalah pengguna narkotika jarum suntik, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, serta pelaku seks berisiko. Sebagian besar masyarakat masih memiliki mispersepsi terhadap populasi kunci sebagai orang dengan perilaku amoral atau asusila. Pemarginalan ODHA dan populasi kunci seakan terlegitimasi sebagai sanksi sosial.

Sebagai lembaga yang memiliki fokus dalam hal pemenuhan hak asasi manusia bagi masyarakat, termasuk ODHA dan populasi kunci, LBH Masyarakat memandang perlu untuk melakukan pemantauan stigma dan diskriminasi yang dilakukan terhadap ODHA dan populasi kunci. Cara yang diambil oleh kami adalah melalui pemantauan dan dokumentasi media daring (online) terkait berita-berita yang mengandung unsur stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap ODHA dan populasi kunci di sepanjang tahun 2016. Kami berharap pemantauan yang kami lakukan ini dapat membantu memetakan situasi terkini mengenai permasalahan stigma dan diskriminasi HIV/AIDS di Indonesia.

Teman-teman dapat mengunduh laporannya di tautan ini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: LGBT = Nuklir? Indonesia Darurat Fobia

Dalam budaya yang patriarkis, LGBT menjadi entitas liyan yang diasingkan oleh komunitas yang heteronormatif. Pengasingan ini menimbulkan stigma dan diskriminasi. Pandangan umum masyarakat mengenai LGBT sebagai sesuatu yang melawan kodrat dan bertentangan dengan nilai relijiusitas mayoritas menyumbang pada suburnya homofobia dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT. Dalam konteks Indonesia, situasi ini diperburuk dengan vakumnya instrumen hukum yang menjadi titik lemah perlindungan Negara terhadap kelompok LGBT. Hal ini diperparah dengan pengabaian pemerintah akan persoalan stigma dan diskriminasi yang dihadapi kelompok LGBT.

Sejatinya, jaminan perlindungan terhadap kelompok LGBT tidak benar –benar kosong. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD 1945, pada Pasal 27 ayat (1) telah menegaskan bahwa  setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di muka hukum, oleh karenanya perlindungan hukum berhak diperoleh semua warga negara, termasuk kelompok LGBT.  Prinsip non-diskriminasi ini juga dapat ditemukan pada Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Walaupun Konstitusi  dan peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak menyebut secara eksplisit mengenai larangan diskriminasi berbasis identitas dan orientasi seksual, namun pada prinsipnya Negara tetap berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya dari pembedaan perlakuan yang berdampak pada berkurangnya atau hilangnya hak asasi seseorang, termasuk kelompok LGBT. Kewajiban Indonesia untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan memegang teguh prinsip kesetaraan dan non diskriminasi sesuai dengan komitmennya ketika meratifikasi kovensi-konvensi internasional seperti Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Culture), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women), dan perjanjian internasional lainnya yang memuat jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.  Berdasarkan konvensi-konvensi tersebut, Indonesia memiliki tiga kewajiban, yakni kewajiban untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak setiap warga negaranya terutama mereka yang rentan dan marjinal.

Sayangnya, kesetaraan dan perlindungan hak asasi kelompok LGBT di Indonesia masih jauh dari harapan. Stigma, homophobia, dan diskriminasi masih menjadi persoalan utama yang dihadapi oleh kelompok LGBT.Oleh karena itu, LBH Masyarakat berinisiatif untuk melakukan pemantauan dan pencatatan terkait stigma dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT di Indonesia melalui media selama tahun 2016. Pemantauan ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan advokasi untuk melihat persoalan stigma dan diskriminasi terhadap LGBT di Indonesia.

Teman-teman dapat mengunduh laporannya di tautan ini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Kematian Tahanan, Kegagalan Pemidanaan

Lahirnya penjara dianggap sejalan dengan perubahan tujuan penghukuman dari asas pembalasan (retaliation) menjadi pembinaan (rehabilitation). Pelaku kejahatan tidak hanya dianggap orang yang telah menimbulkan penderitaan, tetapi juga seseorang yang telah melakukan kesalahan dan mampu dibina kembali. Akan tetapi, implementasi kebijakan pemenjaraan akhirnya seringkali mengkhianati cita-cita ini.

Berbagai permasalahan yang ditemukan seperti terlalu padatnya penjara, tidak terpenuhinya hak-hak asasi manusia, terbentuknya budaya kekerasan dalam penjara, tingginya angka residivisme, serta putusnya hubungan sosial antara narapidana dan keluarganya, menunjukkan bahwa diskursus penghukuman lewat penjara masih bersifat kontradiktif dengan tujuan awal penjara. Rasionalitas lahirnya penjara menjadi putus atau diskontinyu akibat kontradiksi dan irasionalitas situasi ini. Di antara persoalan tersebut, boleh jadi, masalah kematian di dalam penjara adalah ciri paling kontradiktif dari diskursus pemenjaraan. Kematian seperti menyempurnakan absurditas penjara.

Selain alasan sentimental retoris bahwa tidak ada orang yang mau mati di dalam penjara, kematian juga menimbulkan kontradiksi dari tujuan rehabilitatif penjara. Pembinaan yang selama ini dijalankan oleh narapidana – kecuali untuk narapidana hukuman seumur hidup – menjadi tidak ada gunanya/sia-sia/hilang karena tidak sempat dipraktikkan di tempat tujuan, yakni masyarakat di luar dinding penjara. Alih-alih berfungsi sebagai tempat sementara/peralihan, penjara menjadi stasiun pemberhentian terakhir bagi tahanan itu, karena di sanalah mereka mencapai kodrat manusiawinya: kematian.

Yang semakin memperburuk kondisi ini adalah apabila kematian itu tidak terjadi secara wajar, seperti akibat kecelakaan dalam penjara, pembunuhan, bunuh diri, dan overdosis zat. Di Amerika Serikat, negara yang memiliki populasi tahanan paling banyak di dunia, sebanyak 967 tahanan penjara meninggal pada tahun 2013. Sekitar 34% dari total kematian disebabkan oleh bunuh diri.

Mengingat penjara adalah sebuah fasilitas negara – paling tidak di Indonesia – maka penanggungjawab utama ketika terjadi kematian tidak wajar di dalam penjara adalah negara, yang diwakilkan oleh Direktorat Jendral Pemasyarakatan. Sekalipun kematian bisa disebabkan oleh narapidana sendiri, institusi pemasyarakatan adalah manager yang bertugas untuk menjamin keberadaan penjara dapat memenuhi tujuan awal sebagai media pembinaan, termasuk diataranya dengan mengatur agar kerusuhan tidak terjadi dan peristiwa bunuh diri bisa terhindarkan.

Terlepas dari absurditas pelaksanaan pemenjaraan, praktik ini tetap dianggap penting untuk dipertahankan karena Indonesia tidak memiliki penghukuman alternatif yang sudah berjalan dengan baik. Akan tetapi, bukan berarti praktik irasional dalam pemenjaraan yang akhirnya menyebabkan kematian tidak perlu untuk ditantang dan diperbaiki. Karena itulah, LBH Masyarakat berusaha untuk melakukan dokumentasi dan monitor atas peristiwa kematian dalam lembaga pemasyarakatan sepanjang tahun 2016. Dokumentasi ini kami harap bisa membuka kejelasan dari situasi absurd dari kematian dalam lembaga pemasyarakatan Indonesia.

Teman-teman bisa mengunduh laporan ini selengkapnya di tautan ini.

en_USEnglish