Category: Publikasi

Publikasi LBHM

Karpet Merah bagi Koruptor dan Penjahat HAM, Bahaya Kriminalisasi bagi Pengguna Narkotika: Legal Opinion tentang Pidana Khusus dalam KUHP

Tahukah kamu, Sobat Matters? Kalau sejak awal pembahasan draft KUHP Baru oleh DPR bersama Presiden saat itu sudah menimbulkan potensi overlap (tumpang tindih) dengan undang-undang asalnya. Banyak pasal-pasal yang kontra-produktif dengan karakteristik tindak pidana khusus yang berbeda dengan tindak pidana umum.

Meskipun tim perumus KUHP Baru saat itu mengadopsi skema bridging article yang menjembatani tindak pidana khusus dalam ketentuan asal dengan ketentuan dalam KUHP Baru, yang terlihat justru pasal-pasal copy-paste dalam KUHP Baru. Bahkan, penarikan tindak pidana khusus ke dalam KUHP Baru merevisi pemidanaan dalam ketentuan asal.

Seharusnya, KUHP Baru mengembangkan berbagai rumusan yang belum diatur dalam ketentuan asal, sehingga karakteristik dari tindak pidana khusus semakin terlihat dan bervariasi, khususnya dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan korupsi, hak asasi manusia, hingga pengguna narkotika.

Bagaimana subtansi aturan dalam KUHP Baru itu yang cenderung melemahkan karakteristik pidana khusus? Selengkapnya baca Legal Opinion mengenai hal tersebut melalui link di bawah ini:

Pembatasan oleh Negara yang Melampaui Batas: Legal Opinion tentang Hak Kebebasan Berpendapat dalam KUHP

Tahukah kamu, Sobat Matters? Kalau pada tahun 2023 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang (UU).

Pengesahan RKUHP ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru).

Meskipun telah disahkan menjadi undang-undang, KUHP Baru itu masih banyak menuai kontroversi dari masyarakat. Salah satu kontroversi itu berkaitan dengan delik kebebasan berpendapat, seperti Pasal 218-220, Pasal 240-Pasal 241, dan Pasal 353-Pasal 354.

Mengapa pasal-pasal itu menuai kontroversi di masyarakat? Selengkapnya baca Legal Opinion mengenai hal tersebut melalui link di bawah ini:

Penggerusan Eksistensi Hukum Adat di tengah Gempuran Positivisme dan Dominasi Negara di Ranah Privat: Legal Opinion tentang Hukum Adat dan Kesusilaan dalam KUHP

Tahukah kamu, Sobat Matters? Kalau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru yang sudah diundangkan pada 2 Januari 2023 lalu ternyata menyisakan banyak kontroversi, di antaranya mengenai hukum adat dan pasal-pasal terkait kesusilaan.

Kontroversi itu, misalnya, tidak konsisten dengan asas legalitas, negara menggerus kesakralan hukum adat atas nama kepastian hukum, mudahnya negara merespon persoalan dengan pendekatan pidana, memantik implementasi atau melahirkan aturan diskriminatif di tingkat daerah, hingga persoalan kesiapan Aparatur Penegak Hukum (APH) untuk mengimplementasikan aturan itu di tahun 2026 mendatang.

Mengapa segudang masalah itu penting untuk diperhatikan oleh pembuat undang-undang dan pemangku kebijakan? Selengkapnya baca Legal Opinion mengenai hal tersebut melalui link di bawah ini:

LAPORAN-KEUANGAN-660x330

RILIS PERS – Amicus Curiae untuk Terdakwa Ferdy Sambo, Penjatuhan Pidana Mati Wajib Berefikasi pada Reformasi Polri

Sebagai organisasi masyarakat sipil yang berkomitmen mendorong penghapusan hukuman mati di seluruh tindak pidana di sistem hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengirimkan Amicus Curiae pada 4 Juli 2023 untuk Pemeriksaan Tingkat Kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 53/PID/2023/PT.DKI jo. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 796/PID.B/2022/PN.JKT.SEL a.n. Terdakwa Ferdy Sambo, S.H., S.I.K., M.H.

Melalui Amicus Curiae yang LBHM kirimkan, harapannya Hakim dapat membaca kemarahan publik dan mengejawantahkannya kepada keadilan yang mampu mendorong untuk melakukan reformasi Polri, dan juga sekaligus memberikan restitusi kepada korban atau keluarga korban, dan pihak-pihak lain yang turut serta, menjadi pihak yang dirugikan dalam kasus ini.

Berikut catatan LBHM kepada Yang Mulia Majelis Hakim Pemeriksa Tingkat Kasasi terhadap Terdakwa Ferdy Sambo:

  1. Mempertimbangkan tidak adanya kejadian atau kondisi spesifik yang memberatkan Terdakwa.
  2. Mempertimbangkan tidak adanya keberulangan tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa.
  3. Menjatuhkan Terdakwa dengan pidana penjara seumur hidup atau waktu tertentu.
  4. Membebankan Terdakwa biaya restitusi terhadap keluarga Korban dan terhadap pihak-pihak lain yang telah dirugikan oleh perbuatan Terdakwa.
  5. Memerintahkan untuk melakukan reformasi Institusi Polri yang terukur, sistematis, dan transparan untuk mencegah keberulangan.

Silakan membaca Amicus Curiae tersebut melalui pranala di bawah ini:

Link Download

Buku Laporan Penelitian \”Tinjauan Kebijakan Orang dengan Disabilitas Psikososial\” dan Policy Brief \”Hak-Hak Disabilitas Psikososial di Indonesia\”

Penyusunan kebijakan tentang disabilitas di Indonesia memang mengalami perkembangan pesat dan tersebar di setiap institusi pemerintah pusat atau daerah juga swasta. LBHM menemukan hampir 300 peraturan tentang disabilitas dibanyak sektor misalnya pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hukum, perlindungan sosial yang dibuat pemerintah sampai saat ini dengan jenis peraturan perundang-undangan yang berbeda. Keberadaan peraturan-peraturan ini menunjukan komitmen dalam mengakui dan memahami situasi disabilitas saat ini ke arah yang responsif.

Dalam studi ini LBHM meninjau ratusan peraturan yang eksisting tapi belum berhasil menjawab kebutuhan ragam disabilitas, terutama disabilitas psikososial. Di samping itu peraturan yang spesifik terhadap disabilitas psikososial masih mengandung hambatan dalam implementasinya. bahkan jenis-jenis peraturan tersebut cenderung disharmoni satu sama lain secara vertikal atau horizontal dan juga masih ditemukan kekosongan hukum dalam menjamin kesetaraan di hadapan hukum, non diskriminasi dan perlindungan terhadap akses keadilan bagi disabilitas psikosial.

Meskipun LBHM juga menilai dibeberapa institusi pemerintah memiliki peraturan yang terbilang komprehensif seperti di Direktorat Jenderal Peradilan Umum pada Mahkamah Agung namun aturan ini belum menginternalisasi di tingkat pengadilan bawah seperti pengadilan negeri, terlebih pengadilan negeri merupakan pengadilan yang dibutuhkan oleh disabilitas mental mendapatkan keadilan.

Persoalan internalisasi terhadap institusi pusat yang memiliki struktur organisasi sampai level Kota dan Kabupaten merupakan kendala besar dalam singkronisasinya. Bahkan dengan konsep otonomi daerah yang memberikan kewenangan setiap Kabupaten dan Kota menyusun peraturan daerah masing-masing, persoalan disabilitas menghadapi jalan terjal mengingat sebaran disabilitas terdapat di mana-mana. Dengan kondisi seperti ini upaya menghadirkan penanganan disabilitas yang responsif masih menghadapi tantangan yang cukup berat.

Namun dengan hadirnya studi ini, pemerintah bisa memperbaiki perkembangan hukum saat ini yang sudah dicapai ke arah yang digariskan dalam Konvensi Hak Orang Disabilitas (CRPD) yang telah diratifikasi 2016 lalu sebagai wujud komitmen kuat Indonesia dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak disabilitas.

Silakan membaca hasil penelitian dan policy brief yang telah LBHM lakukan melalui link di bawah ini:

Buku Laporan Penelitian ” Tinjauan Kebijakan Terkait Orang dengan Disabilitas Psikososia Tinjauan Kebijakan Terkait Orang dengan Disabilitas Psikososial” :

Policy Brief ” Hak-Hak Disabilitas Psikososial di Indonesia” :

Fact Sheet Know Your Rights

Di fact sheet ini, kita akan melihat sejauh apa manfaat partisipasi publik, bagaimana dampaknya jika partisipasi publik tidak berjalan, dan nantinya kedua hal itu berkaitan dengan istilah Kota Ramah HAM.

Yuk Sobat Matters, kita berkenalan dengan poin-poin penting itu supaya lebih memahami hak kita sebagai warga negara dan bisa mendorong para pemangku kebijakan seandainya mereka membuat kebijakan atau peraturan yang sifatnya diskriminatif di daerah kita masing-masing.

Kalian bisa mengakses fact sheet tersebut melalui link di bawah ini ya:

[Laporan Penelitian] Dalam Rangka Menegakkan Tibum: Sebuah Asesmen terhadap Konsep dan Implementasi Ketertiban Umum di Indonesia

Beragamnya peraturan-peraturan normatif tentang ketertiban umum menyebabkan tiadanya satu definisi yang padu tentang ketertiban umum di Indonesia. Pendefinisian ketertiban umum sangat tergantung dari kepentingan penguasa yang tercermin dari aspek politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain.

Definisi ketertiban umum yang tidak bulat tersebut menyebabkan variasi jenis-jenis ketertiban. Totalnya ada 48 jenis tertib di mana satu jenis tertib umumnya menjabarkan beberapa jenis aktivitas yang dilarang. Beberapa aturan ketertiban umum pada level lokal pun mengulang peraturan pada tingkat nasional.

Ragam-ragam ketertiban umum mampu menghambat pemenuhan HAM orang dengan HIV dan populasi kunci HIV. Salah satu jenis ketertiban yang umumnya mendisiplinkan ODHIV dan populasi kunci HIV adalah ragam tertib sosial yang umumnya mengkategorikan apa yang dimaksud dengan tindakan asusila. Sayangnya, tindakan asusila sering kali didefinisikan secara bebas, sepihak, dan luas.

Misalnya, Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 7 Tahun 2016 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, menyamakan tindakan asusila sebagai menjajakan diri di jalan, bercumbu, berciuman dan aktivitas seksual lainnya.

Untuk itu, penelitian ini berusaha untuk melihat bagaimana konsep ketertiban umum didefinisikan serta bagaimana dampak penegakannya bagi penghormatan, pelindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.

Kalian dapat membaca hasil penelitian tersebut melalui link di bawah ini:

Menyikapi Hukuman: Risiko dan Imbalan dalam Perdagangan Gelap Obat-obatan di Indonesia

The Death Penalty Project dan LBH Masyarakat bekerja sama melakukan penelitian tentang penggunaan hukuman mati untuk tindak pidana obat-obatan – khususnya, untuk membangun bukti empiris dan pengetahuan tentang siapa yang dihukum karena pidana obat-obatan dan untuk mengungkap faktorfaktor yang memengaruhi perilaku mereka. Kami ingin menggali apa yang memotivasi individu untuk melakukan tindak pidana tersebut dan sejauh mana ancaman hukuman yang keras menjadi faktor dalam pengambilan keputusan mereka, serta untuk melihat seperti apa sesungguhanya efek hukuman mati dalam mencegah seseorang terlibat dalam perdagangan obat-obatan terlarang. Ini adalah faktor-faktor penting untuk dapat secara akurat menilai efektivitas hukuman yang keras.

Laporan ini – yang kami tugaskan untuk dilakukan Death Penalty Research Unit di University of Oxford dan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya – adalah tahap pertama dari penelitian kami. Penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai sampel non-acak dari 57 narapidana yang saat ini menjalani hukuman untuk tindak pidana obat-obatan di suatu Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II di Jakarta.

Silakan membaca laporannya melalui tautan di bawah ini:

en_USEnglish