MEANINGFUL MANIPULATION RUU KUHAP: RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HARAPAN PALSU

Jul 9, 2025 Siaran Pers

REFLEKSI PROSES LEGISLASI DAN PERJALANAN ADVOKASI RUU KUHAP

Pada 23 Juni 2025, pemerintah resmi menandatangani naskah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) untuk Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) saat ini Komisi III akan melakukan kick off pembahasan RUU KUHAP setelah mengundang pemerintah untuk menerima DIM dalam waktu dekat.

Sebelumnya, selama proses awal hingga saat ini Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP konsisten mengawal dan memberikan masukan sampai kritik untuk penyusunan RUU KUHAP ini.

NoTanggalAgenda
19 Februari 2025Menanggapi masuknya RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ke dalam Prolegnas Prioritas 2025 sebagai RUU usul dari DPR RI serta wacana penyusunan RUU KUHAP oleh Badan Keahlian DPR dan Komisi III DPR RI, maka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menyampaikan beberapa catatan terkait pembahasan RUU KUHAP melalui konferensi pers.
210 Februari 2025Memberikan catatan kritis dan surat terbuka koalisi untuk penyusunan draf RUU KUHAP kepada Komisi III DPR RI secara simbolik.
311 Februari 2025Koalisi mendapatkan undangan RDPU untuk 12 Februari 2025, namun dibatalkan oleh Komisi III kurang dari sehari.
419 Februari 2025Mengirim permohonan informasi publik untuk draf dan naskah akademik RUU KUHAP, namun hingga saat ini tidak ada respons dan balasan.
58 April 2025Koalisi menghadiri undangan informal pertemuan tertutup dari ketua Komisi III DPR RI, pertemuan tersebut hanya membahas proses penyusunan tanpa masuk pada pembahasan substansi, mengingat belum ada draf yang dipubliksikan DPR RI. Namun, anehnya pertemuan tersebut justru diklaim menjadi RDPU.
627 Mei 2025Koalisi menghadiri undangan penyusunan DIM oleh pemerintah yang intinya hanya mendengar catatan perwakilan masyarakat sipil, namun, pertemuan tersebut menjadi yang pertama dan terakhir karena kemudian tidak ada penjelasan tindak lanjut dari masukan dan tidak ada satupun masukan koalisi yang diakomodir. Pertemuan tersebut menjadi sebatas formalitas.

 

Namun  sampai  DIM  rampung  dikerjakan  oleh  pemerintah,  kami  merasa  usulan  dan masukan  masyarakat  sipil  tidak  diakomodir  sedikitpun.  Selain  itu,  proses  penyusunan hingga pembahasan ini sangat terburu-buru dan jauh dari nilai reformasi hukum dan pertimbangan suara rakyat. Dalam konferensi pers yang dilakukan oleh Komisi III, RUU KUHAP harus segera diselesaikan dalam 2 (dua) kali masa sidang dan berencana sah sebelum  bulan  Januari  2026.1   Hal  ini  tentu  sepantasnya  dipersoalkan.  Pada berbagai kesempatan Koalisi mengingatkan pentingnya materi muatan RUU KUHAP secara komprehensif menghormati dan memenuhi hak warga negara yang berhadapan dengan sistem  peradilan pidana dalam kapasitas sebagai pelapor/pengadu, saksi, korban, ahli, tersangka/terdakwa. RKUHAP mestinya disusun secara cermat dan hati-hati sehingga mampu menjawab permasalahan jaminan perlindungan HAM yang gagal dipenuhi dalam KUHAP lama.Sementara itu, RUU KUHAP 2025 belum memenuhi hal tersebut, bahkan lebih buruk dari draft RUU KUHAP 2012.

Kami mencermati proses penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP cenderung memiliki pola yang sama seperti penyusunan dan pembahasan RUU bermasalah lainnya, seperti misalnya Revisi UU KPK, UU Minerba, UU MK, UU IKN, UU TNI, UU CK (Omnibus Law) dan undang-undang lainnya yang juga bermasalah selama prosesnya. Hal tersebut menjadi bagian dari strategi sistemik untuk melemahkan demokrasi. Legislasi tak lagi bertujuan untuk melindungi rakyat, namun menjadi alat penguasa.

Pada Rabu, 18 Juni 2025 Komisi III DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Umum Pendapat (RDPU) mengenai RUU KUHAP. Dalam kesempatan tersebut Ketua Komisi III DPR RI

Habiburokhman berpendapat bahwa RUU KUHAP sebagai RUU paling partisipatif dalam proses penyusunannya. Komisi III DPR-RI mengklaim telah melakukan RDPU kurang lebih sebanyak 50 kali, termasuk dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP.2 Hal ini tentu merupakan klaim sepihak yang patut dipersoalkan. Mengingat Koalisi tidak pernah menghadiri RDPU resmi untuk menyampaikan pandangan.

Kami menegaskan bahwa partisipasi publik yang bermakna bukan sekadar mendengarkan pendapat/usulan.   Bahwa   meaningful   participation   pada   pengertiannya   yang   paling mendasar, perlu juga merespons pendapat/usulan secara serius, antara lain dengan memberikan penjelasan atau jawaban yang rasional atas setiap pendapat/usulan yang diberikan. Tidak hanya itu. Agar publik dapat berpartisipasi dan memberikan pendapat/usulan yang berarti, hak keterbukaan atas keterbukaan informasi dan transparansi segala  perkembangan  dokumen pembahasan yang dapat diakses publik, adalah suatu keniscayaan yang mutlak perlu. Selama ini yang terjadi jauh dari ideal. Di banyak kesempatan, Koalisi harus mengingatkan dan mengajukan surat permohonan agar draft RUU KUHAP dapat diakses oleh publik. Tidak sedikit pihak dan kelompok masyarakat memberikan  komentar  atau tanggapan atas RUU KUHAP, tanpa sebelumnya diberikan akses untuk membaca dan mencermati pasal demi pasal draf RUU KUHAPnya. Lantas bagaimana mungkin ada partisipasi, ketika transparansi sebagai prasyaratnya pun tidak ada.

Lebih lanjut, proses ini membahayakan masa depan sistem hukum Indonesia. Bagaimana mungkin reformasi sistem peradilan pidana dilakukan tanpa kritik publik dan tanpa suara korban serta pembela HAM? Dalam konteks meningkatnya kriminalisasi terhadap pembela HAM dan aktivis, RUU KUHAP yang dibahas secara diam-diam adalah ancaman langsung terhadap kebebasan sipil. Sementara itu, proses yang mengabaikan hak-hak dasar menunjukkan upaya menghancurkan prinsip negara hukum.


CATATAN KRITIS ATAS DRAF RUU KUHAP: MEMPERTANYAKAN ULANG 9   POIN PENGUATAN RUU KUHAP VERSI PEMERINTAH

Pemerintah melakukan penandatanganan DIM RUU KUHAP secara simbolik pada Senin, 23 Juni 2025, yang di dalamnya mencakup 9 (sembilan) poin penguatan RUU KUHAP, yaitu:

  1. memuat mengenai jaminan hak-hak tersangka, terdakwa, dan terpidana;
  2. perlindungan khusus bagi saksi, korban, perempuan, dan penyandang disabilitas;
  3. penegasan  mekanisme   upaya   paksa,   termasuk   penetapan   tersangka   dan pemblokiran aset;
  4. perluasan ruang lingkup praperadilan;
  5. pengaturan tentang restorative justice;
  6. ketentuan tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi;
  7. penguatan peran advokat dan pengaturan saksi mahkota;
  8. aturan pidana untuk korporasi; dan
  9. integrasi sistem informasi peradilan pidana berbasis teknologi digital.

Kami hendak merespons secara kritis sebagian poin RUU KUHAP yang menjadi perhatian pemerintah sebagai berikut:

Kesatu, pengaturan jaminan perlindungan hak setidak-tidaknya harus terdiri dari 2 (dua) aspek:  1)  apa  saja  hak-hak  tersangka,  terdakwa,  terpidana,  saksi,  korban;  dan  2) bagaimana cara mengakses hak tersebut. Bahwa tiap aturan tentang hak-hak tersangka, terdakwa,  terpidana,  berikut  hingga  hak-hak  khusus  bagi perempuan dan penyandang disabilitas, pada akhirnya akan sia-sia dan percuma apabila tidak dilengkapi dengan jalur komplain/keberatan/gugatan   atas   pelanggaran   hak,   prosedur   pemeriksaan   ada tidaknya pelanggaran hak, dan apa konsekuensi ketika terbukti terdapat pelanggaran hak. Misalnya, draf RUU KUHAP telah menyebutkan, antara lain, bahwa tersangka/terdakwa setiap waktu berhak mendapat bantuan juru bahasa yang dibutuhkannya. Pertanyaannya, bagaimana jika seorang tersangka yang tidak mengerti bahasa Indonesia diinterogasi tanpa dibantu dengan juru bahasa yang ia butuhkan? Kepada siapa tersangka yang bersangkutan dapat mengajukan komplain/keberatan atas pelanggaran hak ini? Dan, apabila pelanggaran hak ini nantinya terbukti, apakah konsekuensinya: pemeriksaannya diulang, tersangka diberikan ganti rugi, atau bagaimana? Contoh lain misalnya, bahwa perempuan yang berhadapan dengan hukum berhak untuk didengar keterangannya melalui audio visual jarak jauh, apabila dirinya diliputi rasa takut/trauma psikis yang didasarkan pada penilaian dokter/psikolog. Pertanyaannya, bagaimana jika hak ini tidak terpenuhi? Bagaimana jika ternyata, permohonan pemeriksaan melalui audio visual jarak jauh ini tidak disetujui, dan hal ini menimbulkan dampak yang begitu buruk bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum   tersebut?  Kemana  ia  dapat  mengakses  haknya?  Kepada  siapa  dia  dapat mengajukan komplain/keberatan atas pelanggaran hak tersebut? Dan, apabila pelanggaran hak ini nantinya terbukti, apa konsekuensinya? Ini baru contoh 2 (dua) hak dari sekian banyak  hak-hak  lainnya!  Tetapi  dari  kedua  ilustrasi ini saja kita dapat melihat, bahwa pengaturan tentang daftar hak-hak, serinci dan sedetail apapun itu, akan sia-sia dan percuma apabila tidak dilengkapi dengan prosedur hukum acara yang dapat menjamin pemenuhan hak-hak tersebut.

Kedua, pengaturan upaya paksa setidak-tidaknya harus terdiri dari 3 (tiga) aspek: 1) apa saja syarat untuk dapat dilakukannya upaya paksa; 2) prosedur upaya paksa (jangka waktu, pelaksanaan, dll); dan 3) mekanisme uji keabsahan upaya paksa. Tanpa adanya syarat dan prosedur   upaya   paksa   yang   jelas,   pelaksanaan   upaya   paksa   akan   berpangku diskresi-subjektif  penegak  hukum  belaka,  yang  pada  akhirnya  berpotensi  dilakukan secara sewenang-wenang. Misalnya, mengenai jangka waktu penangkapan. Draf RUU KUHAP menyebutkan bahwa penangkapan dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari. Dalam keadaan tertentu, penangkapan dapat dilakukan lebih lama dari jangka waktu tersebut. Pertanyaannya, “lebih lama” dari jangka waktu ini maksudnya berapa lama? Apakah 3 (tiga) hari,  30  (tiga  puluh)  hari,  atau  300  (tiga  ratus)  hari,  RUU  KUHAP  tidak memberikan kejelasan sama sekali. Belum lagi tentang “keadaan tertentu” yang dapat menyebabkan perpanjangan masa penangkapan. Pertanyaannya, siapa yang menentukan “keadaan tertentu” ini? Apakah semata-mata hanya berpijak pada diskresi-subjektif penegak hukum, atau bagaimana? Kemudian, lantas bagaimana cara kita dapat menguji sah atau tidaknya penangkapan, ketika RUU KUHAP sendiri menyerahkan (perpanjangan) penangkapan pada penilaian subjektif aparat penegak hukum? Contoh lain misalnya, draf RUU KUHAP menyebutkan bahwa di tahap penyelidikan dapat dilakukan beberapa kewenangan investigasi khusus, antara lain pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery). Tapi, draf RUU KUHAP sama sekali tidak mengatur apapun, baik itu tentang persyaratan, prosedur, dan mekanisme uji dari kewenangan-kewenangan   investigasi   khusus.   Dari   kedua   contoh   ini   saja,   kami bertanya-tanya tentang di mana letak penegasan pengaturan tentang upaya paksa (dan kewenangan investigasi khusus) di dalam RUU KUHAP ini?

Ketiga, berbicara tentang praperadilan sebagai forum uji keabsahan upaya paksa tidak terbatas  pada  perluasan  ruang  lingkup objek pemeriksaan praperadilan, yakni seluruh upaya paksa, penghentian penyidikan dan penuntutan, atau ganti rugi atau rehabilitasi. Kami mengidentifikasi  1 (satu) hal penting yang luput diatur dalam draf RUU KUHAP, yaitu mengenai beban pembuktian sah tidaknya upaya paksa. Bahwa segala tindakan aparat penegak hukum adalah didasarkan pada kewenangan hukum publik, sehingga pembuktian tentang sah tidaknya tindakan publik tersebut pada prinsipnya dibebankan kepada pihak yang  memiliki  kewenangan  publik  tersebut.  Artinya, ketika seorang tersangka/terdakwa merasa bahwa suatu tindakan upaya paksa telah dilakukan secara melawan hukum, maka yang mesti membuktikan bahwa tindakan upaya paksa tersebut telah dilakukan secara sah adalah aparat penegak hukum sebagai pemangku kewenangan upaya paksa. Dengan kata lain, hukum pembuktian tentang keabsahan upaya paksa tidak berlaku prinsip pembuktian perdata “barangsiapa yang mendalilkan, dia yang membuktikan”. Tapi justru sebaliknya, barangsiapa yang memiliki kewenangan, dialah yang dibebankan kewajiban untuk membuktikan bahwa penggunaan kewenangan tersebut telah dilakukan secara legal. Tanpa pengaturan tentang prinsip pembuktian yang adil, pada akhirnya pengaturan tentang perluasan ruang lingkup objek pemeriksaan praperadilan sampai detail prosedur hukum acara pemeriksaannya, tetap akan sia-sia dan percuma.

Keempat, draf RUU KUHAP salah kaprah dalam memaknai  restorative justice sebagai paradigma baru hukum pidana, dengan mengartikan restorative justice sebatas pada mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan (afdoening buiten process). Padahal, filosofi restorative justice berpangku pada hak dan kepentingan korban untuk dipulihkan dari dampak-dampak yang ditimbulkan tindak pidana; sedangkan penyelesaian perkara di luar persidangan (afdoening buiten process) berpangku pada kepentingan negara dalam mengelola  kelebihan  beban  kerja peradilan (criminal justice overload) dan kepentingan pelaku untuk diselesaikan perkaranya sedini mungkin. Ini jelas keliru. Sekalipun restorative justice dimaknai dengan mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan, sungguh membingungkan apabila draf RUU KUHAP membuka ruang penyelesaian perkara di luar persidangan pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Apa yang mau diselesaikan, ketika perbuatan pidananya sendiri belum ada? Bagaimana mungkin suatu tindak pidana mau diselesaikan di luar persidangan, ketika penyidikan atas tindak pidana tersebut juga belum tuntas? Bukankah “pilihan” untuk menyelesaikan perkara pidana di luar persidangan baru lahir ketika suatu perkara telah selesai disidik (“P-21”) dan sudah siap dilimpahkan ke persidangan?

Kelima, peran advokat dalam suatu perkara akan sangat esensial bagi siapapun yang berurusan dengan proses hukum. Hal paling pertama dan terutama yang diharapkan pada seorang advokat adalah, bagaimana ia dapat diandalkan untuk dapat memberikan pembelaan yang optimal, sehingga terbangun keberimbangan antara kepentingan penegak hukum dengan pembelaan diri tersangka/terdakwa (equal of arms). Kami percaya, asas keberimbangan dalam acara pidana akan menuntun kita pada proses peradilan yang adil. Masalahnya, dalam praktiknya, untuk kepentingan pembelaan kliennya, advokat baru dapat mengetahui  dan  mengakses  bukti-bukti  yang  dikumpulkan  penegak  hukum  seketika sebelum perkaranya disidangkan (Pasal 143 ayat (4) KUHAP 1981). Padahal, hak untuk mengakses dan menelusuri bukti-bukti yang sedang dikumpulkan penegak hukum di tahap pra-ajudikasi (pre-trial discovery rights) sangat amat esensial bagi tersangka/terdakwa dan advokatnya untuk menyusun pembelaan yang optimal. Sayangnya, tidak ada kebaruan apapun dalam draf RUU KUHAP yang memperluas jangkauan advokat untuk mengakses dan menelusuri bukti-bukti tersebut. Tanpa pengaturan ini, maka tugas utama advokat untuk memberikan pembelaan yang optimal akan terhambat, menyisakan pendampingan hukum dari advokat berakhir sebagai simbolis belaka, yang selalu tertinggal beberapa langkah di belakang penegak hukum lainnya.

Keenam, saksi mahkota pada prinsipnya adalah kesepakatan antara tersangka/terdakwa dengan penuntut umum, di mana di dalam kesepakatan tersebut tersangka/terdakwa bersedia  untuk  mengungkapkan  tindak  pidana  yang  dilakukan  orang  lain,  dan  oleh karenanya penuntut umum akan mengajukan keringanan tuntutan. Sungguh aneh apabila draf RUU KUHAP membuka ruang bagi penyidik untuk menetapkan saksi mahkota, sebab bagaimana  mungkin  penyidik  dapat  bersepakat dengan tersangka untuk menjadi saksi mahkota, ketika urusan berat ringannya hukuman (tuntutan) sama sekali bukan urusan dari penyidik? Pengaturan semacam ini berpotensi menimbulkan kerancuan dan kebingungan dalam praktik, yang tidak hanya akan merugikan para calon saksi mahkota, tetapi juga merugikan kepentingan penegakan hukum.

SIKAP & TUNTUTAN KAMI

Kami menilai bahwa klaim-klaim penguatan RUU KUHAP yang disampaikan pemerintah jauh dari konsep acara peradilan yang adil dan berprinsip pada penghormatan hak asasi manusia. Kami juga menilai bahwa model partisipasi publik yang sedang terjadi sangat jauh dari  pengertian  dasar  meaningful  participation.  Sebaliknya,  Komisi  III  DPR  RI  dan Pemerintah justru melakukan meaningful manipulation.

Draf yang disusun DPR RI maupun DIM yang disiapkan pemerintah masih belum mengakomodir tuntutan 9 isu krusial yang kami pandang perlu diakomodir dalam RUU KUHAP. Mengingat kepentingan yang besar untuk perlindungan hak warga negara dari ancaman penyalahgunaan kekuasaan melalui hukum acara pidana, Koalisi menyusun Draf Tandingan RUU KUHAP versi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP untuk mengakomodir terjaminnya due process of law dan perlindungan hak asasi manusia. Draf Tandingan RUU KUHAP ini disusun secara kolektif dan akan terus dikembangkan oleh lembaga anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP.  Selain itu, kami juga terus menyerukan agar pembahasan RUU KUHAP pada masa sidang saat ini dilakukan secara  mendalam  dan  substansial,  tidak  terburu-buru, cermat dan menerapkan prinsip partisipasi yang bermakna.

Akses  Draf  Tandingan  RUU  KUHAP  versi  Koalisi  Masyarakat  Sipil  untuk  Pembaruan KUHAP: https://reformasikuhap.id/rkuhap-tandingan/

  1. ICJR
  2. IJRS
  3. LeIP
  4. YLBHI
  5. LBH Jakarta
  6. IPP FPL
  7. Amnesty International Indonesia
  8. AJI Indonesia
  9. LBH Masyarakat
  10. SUAKA
  11. PJS
  12. LBH APIK Jakarta
  13. LBH Pers
  14. ELSAM
  15. HRWG
  16. PPMAN
  17. ICW
  18. YAPPIKA
  19. ICEL
  20. KontraS
  21. Trend Asia
  22. ILRC
  23. BEM FH UI
  24. CDS
  1. PBHI
  2. Koalisi RFP
  3. PUSKAPA FH UI
  4. AKSI Keadilan
  5. SAFEnet
  6. Setara Institute
  7. CRM
  8. IAC
  9. Lokataru

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

en_USEnglish