Skip to content

Rilis Pers – Tiada Penanggulangan HIV Tanpa Penghapusan Stigma dan Diskriminasi

Dalam rangka peringatan Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Desember setiap tahunnya, LBH Masyarakat mendesak pemerintah Indonesia mencabut segala kebijakan diskriminatif yang menghambat upaya penanggulangan HIV di Indonesia; dan menghormati hak-hak orang dengan HIV maupun populasi kunci[1].

Sejak kasus HIV pertama ditemukan di Indonesia, sampai pada hari ini, terdapat sejumlah perkembangan penanggulangan HIV yang positif. Salah satunya adalah dengan diadopsinya kebijakan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) dengan tiga jenis intervensi di kota/kabupaten se-Indonesia sejak tahun 2015. Terlepas dari tantangan geografis penyediaan layanan pencegahan dan pengobatan di seluruh wilayah Indonesia, adanya komitmen untuk memperluas jangkauan layanan guna mencapai target 90-90-90[2] perlu mendapatkan apresiasi.

Namun demikian, LBH Masyarakat menyayangkan ketiadaan situasi lingkungan yang kondusif yang dapat mendukung optimalisasi layanan HIV. LBH Masyarakat mencatat setidaknya terdapat 4 (empat) persoalan mendasar yang menghalangi upaya penanggulangan HIV secara efektif.

Pertama, pembubaran Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Dengan dibubarkannya KPAN, maka upaya koordinasi antar instansi pemerintah dan kerjasama dengan masyarakat sipil menjadi lebih lambat dan tidak efektif. Kedua, sosialisasi informasi ataupun pendidikan ke masyarakat mengenai penularan HIV yang tidak didasarkan pada bukti ilmiah. Sosialisasi cenderung dilakukan dengan pendekatan moral yang menyudutkan orang dengan HIV dan populasi kunci, serta didasarkan pada ketakutan akan HIV yang tidak beralasan. Pemberitaan di sejumlah media pun cenderung bermuatan negatif, tidak berimbang, dan menakut-nakuti. Ketiga, adanya peraturan-peraturan daerah yang mengkriminalisasi transmisi HIV maupun perilaku berisiko. Keberadaan perda ini justru bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi seperti Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), UU Kesehatan, maupun UUD 1945. Keempat, maraknya persekusi terhadap kelompok masyarakat yang memiliki perilaku beresiko. Persekusi terhadap populasi kunci justru akan membuat mereka yang rentan terkena HIV semakin ‘hilang’ (underground) sehingga menyulitkan upaya penjangkauan dan perawatan HIV.

Keempat persoalan di atas yang saling berkelit-kelindan hanya akan melanggengkan stigma HIV yang sudah mengakar kuat di masyarakat dan, sering kali, berujung pada kriminalisasi dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV dan kelompok masyarakat yang memiliki perilaku beresiko. Artinya, keempat persoalan tersebut bukan hanya tidak berpihak pada kelompok masyarakat yang termarjinalkan, tetapi juga diskriminatif dan justru kontra-produktif dengan program penanggulangan HIV yang efektif maupun komitmen internasional Indonesia.

Dalam kaitannya dengan Hari AIDS Sedunia 2018, peringatan tahun ini mengambil tema ‘Ketahui Status Anda’. Ironisnya, kebijakan yang diskriminatif dan hambatan hukum yang ada akan membuat orang-orang takut mengetahui statusnya. Ketakutan tersebut bukanlah karena tidak ada obatnya, sebab, HIV sudah ada obatnya. Tetapi takut menjadi korban stigma, diskriminasi, dipecat dari pekerjaannya, dikucilkan dari masyarakat, dan dikeluarkan dari sekolah – seperti yang baru-baru ini dialami oleh tiga orang anak dengan HIV di Samosir. Ketakutan inilah yang menjauhkan orang dengan HIV dari pencegahan dan pengobatan HIV.

Dalam kesempatan kali ini, LBH Masyarakat mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menghentikan stigma dan diskriminasi HIV. Secara khusus, LBH Masyarakat mendesak negara untuk (1) menghapus segala kebijakan yang diskriminatif; (2) mengkaji secara mendalam setiap kebijakan yang akan diambil agar berbasis bukti ilmiah dan tidak menghambat upaya penanggulangan HIV, (3) memastikan aparat pemerintah memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai HIV dan AIDS. Dengan demikian, langkah menuju Indonesia bebas stigma dan diskriminasi HIV akan semakin terwujud.

 

Jakarta, 30 November 2018

Ajeng Larasati – Koordinator Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat

 

[1] Individu-individu yang rentan terkena HIV

[2] Di akhir 2020, 90% orang dengan HIV mengetahui status HIV mereka; 90% orang yang terdiagnosis dengan infeksi HIV akan mendapatkan terapi antiretroviral-nya (ARV); dan 90% orang dengan HIV yang menjalani terapi ARV, laju virus HIV-nya dapat tertahan.

Rilis Pers – Menyoroti Perilaku Jaksa dan Wajah Peradilan Indonesia

Baru-baru ini publik ramai membicarakan kasus Ibu Baiq Nuril yang divonis bersalah oleh Mahkamah Agung (MA). Padahal, yang bersangkutan adalah korban pelecehan seksual. Di antara banyak persoalan hukum yang muncul di kasus tersebut, perilaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) patut menjadi catatan. Di kasus tersebut, JPU sangat berhasrat untuk memenjarakan Ibu Nuril. Karena di pengadilan tingkat pertama Ibu Nuril telah divonis bebas, JPU kemudian langsung mengajukan kasasi. Semangat JPU untuk memenjarakan tersebut berbanding terbalik dengan keseriusan JPU untuk melakukan penuntutan dalam persidangan pada tingkat pengadilan negeri. Hal ini tercermin, misalnya, dari tidak adanya barang bukti berupa ponsel dan rekaman percakapan asli yang dihadirkan oleh jaksa ke persidangan.

Ketidakseriusan JPU dalam melakukan penuntutan sebenarnya bukan hanya di kasus Ibu Nuril saja. Sadikin Arifin, klien LBH Masyarakat yang saat ini tengah menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, mengalami persoalan serupa. Bahkan dalam persidangan Sadikin, JPU secara eksplisit menyatakan tidak sanggup untuk menghadirkan bukti rekaman percakapan dan transkrip percakapan, yang LBH Masyarakat minta untuk dihadirkan di persidangan. Padahal bukti rekaman percakapan tersebut memegang peranan yang sangat krusial menyangkut pembuktian perkara yang dituduhkan kepada terdakwa.

Selain itu, dalam persidangan yang saat ini LBH Masyarakat tengah jalani, JPU telah menunda agenda persidangan untuk pembacaan surat tuntutan sebanyak enam kali. Bahkan di penundaan yang terakhir JPU dengan Hakim mencari justifikasi untuk melakukan penundaan pembacaan surat tuntutan dengan alasan ketidaklengkapan Majelis Hakim yang bersidang. Perilaku JPU yang terus menunda-nunda persidangan dan tidak profesional itu sesungguhnya telah menyandera persidangan. Hal ini juga bertentangan dengan Pasal 50 KUHAP yang mengamanatkan agar seorang tersangka/terdakwa dapat menjalani proses hukum dengan segera tanpa penundaan yang tak beralasan (undue delay).

Mengingat tindakan jaksa yang sewenang-wenang dan tidak profesional, maka perlu dilakukan upaya koreksi terhadap perilaku jaksa. LBH Masyarakat meyakini ketidakprofesionalan jaksa baik di kasus Ibu Nuril maupun Sadikin adalah sedikit dari sekian banyak kasus yang tidak banyak terangkat atau tersorot media. Atas dasar hal tersebut, LBH Masyarakat akan melayangkan somasi kepada Jaksa Agung, sebagai bentuk teguran sekaligus pengingat bahwa tindakan kesewenangan jaksa harus berhenti. Hal tersebut kami lakukan juga dengan harapan agar Jaksa Agung dapat segera mengembalikan marwah institusi Kejaksaan ke arah tegaknya keadilan, demi terselenggaranya negara hukum yang melindungi harkat dan martabat manusia, sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi.

 

Jakarta, 18 November 2018

Ma’ruf Bajammal – Pengacara Publik LBH Masyarakat

Pembantaran: Pemenuhan Hak atas Kesehatan Tahanan

Di 2017, LBH Masyarakat mendokumentasikan setidaknya ada 89 tahanan meninggal. Paling tinggi penyebab kematiannya adalah sakit, yakni 60.2%. Temuan juga menyebutkan 7 kasus kematian tahanan terjadi di tahanan kepolisian. Kasus-kasus ini adalah sebuah ironi di tengah semangat penahanan yang dilakukan guna merehabilitasi orang bukan tempat pencabutan nyawa.

Kasus kematian tahanan karena sakit semestinya bisa dicegah apabila pihak kepolisian melakukan identifikasi dini berupa pemeriksaan medis fisik dan jiwa terhadap tersangka atau tahanan. Jika hasil pemeriksaan medis menunjukkan bahwa kondisi kesehatan tahanan buruk, maka disarankan untuk melakukan penahanan alternatif.

Paper ini membahas bagaiamana aturan mengenai penahanan alternatif dan perannya sebagai upaya kewajiban negara dalam memenuhi hak asasi manusia tahanan selama menjalani proses hukum, khususnya hak atas kesehatan mereka.

Anda bisa membaca paper ini dengan mengunjungi tautan berikut.

Dibutuhkan: Pengacara Publik Perempuan sebagai Bertha Justice Fellow

LBH Masyarakat dengan bangga menyelenggarakan Program Bertha Justice Fellowship untuk periode 2019 – 2020. Program Bertha Justice Fellowship memberikan peningkatan kapasitas bagi generasi penerus pengacara hak asasi manusia dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan keadilan sosial di dunia. Didanai melalui Bertha Foundation, yang berjuang demi dunia yang lebih adil melalui dukungan-dukungan bagi aktivis, pendongeng, dan pengacara, Program ini memberikan kesempatan fellowship selama 2 tahun bagi pengacara muda di organisasi-organisasi terbaik di dunia yang melakukan kerja-kerja untuk kepentingan publik.

Selama fellowship, para fellow akan mendapatkan pengalaman praktis bekerja bersama para professional dan membangun jaringan dengan orang-orang dengan minat yang sama dari seluruh dunia, serta mendapatkan mentoring dari pengacara senior. Para fellow juga akan terlibat kerja-kerja pergerakan sosial dan berkolaborasi dengan aktivis untuk membangun strategi dan langkah hukum, serta untuk menggunakan media sebagai alat untuk memajukan kampanye advokasi hukum. Dalam 10 tahun ke depan, Program Bertha Justice Fellowshop menargetkan akan melatih 1.000 pengacara yang memiliki motivasi kuat untuk bekerja bersama pendongeng dan aktivis untuk mendorong negara dan korporasi yang lebih akuntabel.

Untuk informasi dan syarat pendaftaran silahkan lihat pengumuman perekrutan dengan klik tautan berikut.

Rilis Pers – Moratorium Hukuman Mati, Upaya Diplomasi Menyelamatkan Ratusan Pekerja Migran

LBH Masyarakat mengecam keras eksekusi mati terhadap Tuty Tursilawati, seorang pekerja migran Indonesia, oleh Saudi Arabia, tanggal 29 Oktober 2018 kemarin.

Berdasarkan keterangan dari Kementerian Luar Negeri RI, eksekusi tersebut dilakukan oleh Saudi Arabia tanpa didahului dengan notifikasi oleh otoritas setempat kepada perwakilan Indonesia di Saudi Arabia. Eksekusi mati tersebut adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia sekaligus juga menciderai tata krama diplomasi internasional.

LBH Masyarakat mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengambil tindakan yang tegas untuk merespon kejadian tersebut, dan mengevaluasi hubungan kerja sama bilateral Indonesia-Saudi Arabia, termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan penempatan tenaga kerja migran Indonesia di Saudi Arabia.

LBH Masyarakat kembali mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk secara resmi menerapkan moratorium hukuman mati di Indonesia. Hal ini penting guna memaksimalkan upaya diplomasi Indonesia dalam rangka menyelamatkan ratusan tenaga kerja migran Indonesia yang masih berhadapan dengan hukuman mati dan eksekusi di luar negeri.

 

Jakarta, 30 Oktober 2018

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Rilis Pers – 10 Oktober, Hari Kesehatan Jiwa Sedunia: Hentikan Stigma, Sayangi Jiwa

Hari ini, 10 Oktober, adalah Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Sayangnya persoalan kesehatan jiwa di Indonesia masih menjadi isu marjinal. Diskursus tentang kesehatan jiwa seringnya diselimuti mitos, yang tak jarang menghasilkan stigma dan diskriminasi tak berkesudahan bagi orang dengan disabilitas psikososial (ODP).

Masyarakat masih sering menganggap orang dengan disabilitas psikososial sebagai individu yang tidak mampu berpikir rasional, sulit diajak bicara, dan membahayakan masyarakat atau kerap berbuat onar. Selain stigma, orang dengan disabilitas psikososial juga sering mengalami kekerasan. Temuan LBH Masyarakat tahun 2017 menunjukkan setidaknya terdapat 159 orang dengan disabilitas psikososial mengalami kekerasan. Bentuk kekerasannya pun beragam dan dampaknya begitu mengkhawatirkan dampaknya, antara lain pemerkosaan, pembunuhan, pengeroyokan yang menyebabkan kematian, penelantaran, pengamanan paksa, hingga pemasungan. Orang dengan disabilitas psikososial juga mendapat kekerasan dalam panti rehabilitasi yang seharusnya menjadi tempat mereka menjalani perawatan. Tercatat ada 17,6% korban yang mengalami kekerasan saat berada di panti sosial.

Meski pemerintah telah berkomitmen menciptakan Indonesia bebas pasung, nyatanya angka kekerasan berupa pasung masih menjadi yang tertinggi. Laporan LBH Masyarakat di 2017 juga menemukan bahwa terdapat korban pasung sebanyak 35,2%, di mana 6 kasus di antaranya merupakan kasus pemasungan anak-anak. Ada berbagai alasan keluarga melakukan pemasungan. Sebanyak 7,1% keluarga beralasan masalah finansial. Sementara 12,5% keluarga mengaku melakukan pasung untuk keselamatan korban, dan 62,5% untuk menjaga keselamatan orang lain. Alasan-alasan ini menunjukkan kurangnya informasi yang tepat dan masih abainya pemerintah terhadap permasalahan kesehatan jiwa.

Mengambil momentum 10 Oktober ini, LBH Masyarakat mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan kesehatan jiwanya, mulai dari memperhatikan hak-hak orang dengan disabilitas psikososial. Dengan adanya Undang-Undang Kesehatan Jiwa Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, sudah seyogyanya pemerintah menjamin penuh perlindungan hak orang dengan disabilitas psikososial. Jika hak atas kebebasan fisik dan bebas dari kekerasan saja tidak dapat dilindungi oleh negara, bagaimana kita bisa memastikan orang dengan disabilitas psikososial memiliki hak atas politik, pendidikan, kesehatan, kehidupan yang layak, atau bahkan menjamin hak-hak mereka ketika berhadapan hukum.

 

Jakarta, 10 Oktober 2018

Astried Permata – Staf Komunikasi

Harapan Dewi Keadilan

Hukum memiliki sifat memaksa dan bertujuan mengatur tata tertib kehidupan masyarakat. Hukum juga tidak pandang bulu dalam menjatuhkan vonis. Itulah kenapa hukum disimbolkan dengan Dewi Keadilan yang matanya tertutup. Namun, privilese yang tidak dimiliki banyak orang, sebut saja tingkat ekonomi dan pendidikan, membuat hukum lebih sering menjerat kelompok yang lemah dan terpinggirkan. Dalam melawati prosesnya, kelompok marjinal akan sulit mendapatkan keadilan.

Mengingat sulitnya masyarakat yang buta hukum dan tertindas mendapatkan keadilan, peran Pemberi Bantuan Hukum (PBH/advokat) menjadi sangatlah vital, khususnya PBH pro-bono. Pasalnya, tarif yang dikenakan oleh PBH profit bisa mencapai sekitar 100 juta hingga miliaran rupiah per kasus.[1] Padahal, penghasilan masyarakat kecil hanya sekitar 500 ribu hingga satu juta rupiah. Tak heran apabila keberadaan PBH pro-bono sangatlah dibutuhkan oleh masyarakat. Sayangnya jumlah PBH pro-bono masih sangat terbatas. Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, Siti Ma\’zuma mengungkapkan, se­tiap tahun pihaknya menangani sekitar 400an kasus hukum. Sementara advokatnya hanya 5 orang.[2] Ini baru satu contoh saja. Untuk mengatasi hal tersebut, Organisasi Bantuan Hukum (OBH) memberdayakan komunitas sebagai paralegal untuk membantu kerja-kerja advokasi mereka.

Belum ada satupun undang-undang yang mengatur definisi paralegal. Namun biasanya definisi paralegal adalah orang awam yang tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum, tetapi mempunyai keterampilan hukum setelah menjalani pembekalan yang diberikan oleh organisasi hukum/hak asasi manusia. Peran paralegal dalam konteks hukum Indonesia dapat dilihat di Permenkumham No. 1 Tahun 2018, di mana Pasal 11 memperbolehkan paralegal untuk memberikan bantuan hukum litigasi dan non litigasi. Hal ini dapat dilakukan setelah paralegal tersebut terdaftar pada PBH dan mendapatkan sertifikat pelatihan paralegal tingkat dasar.[3] Bantuan litigasi yang paralegal lakukan adalah menjadi pendamping advokat pada lingkup PBH yang sama. Secara non-litigasi, paralegal melakukan bantuan hukum berupa penyuluhan hukum, konsultasi hukum, investigasi perkara (baik secara elektronik maupun nonelektronik), penelitian hukum, mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat, pendampingan di luar pengadilan, dan perancangan dokumen hukum. Bisa dibilang kerja paralegal selama ini adalah membantu menangani permasalahan hukum atas masalah struktural yang terjadi di masyarakat.Dalam kerja-kerjanya, paralegal berada di bawah bimbingan seorang pengacara atau orang berkemampuan hukum.[4]

Pembentukan paralegal diawali dengan pengorganisasian dengan metode pendekatan kasus struktural. Pendekatan isu-isu struktural yang digunakan yakni isu-isu yang sering ditemui di masyarakat miskin kota dan termarjinalkan atau yang dekat dengan lingkungan mereka. Mayoritas paralegal adalah mereka yang berasal dari komunitas/individu yang memang terkait isu tersebut. Setelah dipilih, kemudian paralegal dilatih dengan menggunakan metode pelatihan on sitetraining, yaitu pelatihan komunitas masyarakat atau menggunakan media yang telah terbentuk.[5]

Kerja paralegal tidak bisa dipandang sebelah mata. Paralegal paham dan mengerti keadaan dan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Salah satu kasus yang didampingi oleh LBH Masyarakat merupakan rujukan dari paralegal. Adalah LM, seorang perempuan posistif HIV yang ditangkap polisi karena dugaan tindakan kriminal. Kasus hukum yang menjeratnya pun tidak lepas dari buruknya persepsi tentang isu HIV di masyarakat sehingga membebani pikiran LM. Hal ini yang sebaiknya juga masuk dalam pertimbangan aparat penegak hukum. Sebaliknya, karena tidak sensitif terhadap isu HIV dan gender, JPU menuntut LM 20 tahun penjara. Namun berkat advokasi yang dikerjakan paralegal dan tim LBH Masyarakat, LM mendapatkan vonis 3 tahun dari hakim, 17 tahun lebih kecil dari tuntutan JPU. Selama proses hukum berlangsung, paralegal dan tim LBH Masyarakat gigih membantu LM mendapatkan layanan kesehatan sehingga ia tetap bisa mengakses ARV. Dalam hal ini paralegal mempunyai peran yang krusial. Sebagai orang yang berasal dari komunitas yang sama, paralegal lebih mudah memberi masukan-masukan hukum kepada korban. Di sisi lain, korban juga lebih percaya masukan yang diberikan oleh paralegal. Peran paralegal juga strategis karena sering membantu pengacara untuk mendapatkan informasi-informasi yang ditutupi oleh klien.

Sayangnya, kerja paralegal harus terhambat dengan adanya putusan Mahkamah Agung (2018) yang mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh sejumlah advokat terkait peran paralegal sebagaimana diatur di dalam Permenkumham ini. Mahkamah Agung setuju dengan argumen penggugat bahwa paralegal tidak dapat memberikan pendampingan hukum kepada pihak berperkara di pengadilan (jalur litigasi). Koordinator Penanganan Kasus LBH Masyarakat, Muhammad Afif mengatakan, putusan Mahkamah Agung tersebut berpotensi menyebabkan kesulitan bagi masyarakat tertentu untuk mendapatkan pendampingan hukum.

Selama ini banyak masyarakat yang menggunakan jasa paralegal dalam pendampingan kasus hukum, tidak semua masyarakat mampu menggunakan jasa advokat, oleh sebab itu putusan MA ini sangat disayangkan”, ujar Afif.

LBH Masyarakat juga memandang bahwa putusan tersebut tidak mencerminkan keadilan hukum kepada semua lapisan masyarakat. Keputusan tersebut mengabaikan realita bahwa kemampuan masyarakat dalam menggunakan jasa advokat tidak sama.[6]

Harus diakui paralegal telah memberikan kontribusi yang banyak dalam permasalah hukum. keberadaan paralegal justru jadi ‘angin segar’ di tengah absennya pemerintah menghadirkan keadilan bagi masyarakat.

Apakah putusan Mahkamah Agung tersebut adalah suatu hal yang dicita-citakan oleh Dewi Keadilan yang matanya tertutup itu?

Penulis: Tengku Raka

Editor: Ricky Gunawan

[1]Pramidia Arhando, “Benarkah Bayaran Pengacara di Indonesia Miliaran Rupiah?”, Kompas, diakses pada 30 Agustus 2018, melalui https://ekonomi.kompas.com/read/2018/02/01/060000426/benarkah-bayaran-pengacara-di-indonesia-miliaran-rupiah.

[2]Ogi Mansyah, “Warga Miskin Bakal Sulit Mendapat Bantuan Hukum”, Rmol, diakses pada 30 Agustus 2018, melalui http://www.rmolbengkulu.com/read/2018/07/13/9487/Warga-Miskin-Bakal-Sulit-Mendapat-Bantuan-Hukum-

[3]Permenkumham No. 1 Tahun 2018, Pasal 11

[4]Lalu Ramadhan, “Alasan MA Kabulkan Uji Materi Permenkumham tentang Paralegal”, Tirto, diakses pada 30 Agustus 2018, melalui https://tirto.id/alasan-ma-kabulkan-uji-materi-permenkumham-tentang-paralegal-cPlE

[5]YLBHI, “Pemberdayaan Hukum Bagi Kaum Miskin”, Jakarta, 2007. Hal. 53

[6]Tribun Asia, “LBH Masyarakat: Putusan Mahkamah Agung Mengecewakan”, diakses pada 30 Agustsu 2018, melalui https://tribunasia.com/index.php/2018/07/14/lbh-masyarakat-putusan-mahkamah-agung-mengecewakan/

Rilis Pers – Menanti Keseriusan Negara Mengatasi Masalah Overdosis

LBH Masyarakat mengajak seluruh pihak untuk terus mendorong Pemerintah dan Parlemen untuk menciptakan kebijakan yang betul-betul mengatasi problem overdosis. Overdosis adalah situasi di mana konsumsi atas obat atu zat di atas dosis atau takaran yang semestinya. Hal ini dapat mengakibatkan kematian.

Hari ini, 31 Agustus, diperingati secara internasional sebagai International Overdose Awareness Day di mana kita mengenang mereka yang meninggal dunia akibat overdosis. Tentunya, tidak akan ada perubahan yang akan tercipta dengan sekedar mengenang, namun kenangan tersebut haruslah menjadi alasan yang cukup untuk perubahan kebijakan demi terciptanya situasi yang lebih baik.

Pemerintah Indonesia, melalui BNN dalam pimpinan Heru Winarko, terus mengampanyekan angka puluhan orang mati setiap tahunnya melalui berbagai kesempatan, misalnya acara-acara di televisi. Kampanye yang disaksikan banyak orang tersebut sesungguhnya dilandaskan pada penelitian yang sudah sering dikritisi oleh banyak akademisi, aktivis, dan peneliti baik di nasional maupun internasional karena metodenya yang bermasalah.

Andai pun angka-angka yang diproklamirkan Pemerintah itu benar adanya, sejauh apa sebenarnya Pemerintah sudah serius mengatasi problem overdosis?

Pemerintah tidak mengizinkan naloxone, yakni obat untuk mengatasi overdosis opioid untuk dapat digunakan rekan-rekan pekerja LSM di bidang pengurangan dampak buruk narkotika. Padahal obat tersebut sangat dibutuhkan agar rekan-rekan pemakai narkotika dapat menolong rekannya dengan cepat apabila muncul insiden overdosis.

Karena overdosis adalah problem kesehatan yang menyasar pada pemakai narkotika, maka sudah sepatutnya kita mengedepankan pendekatan kesehatan. Apa yang terjadi pada Fariz RM dan Richard Muljadi belakangan menunjukan hal yang berbeda. Ternyata yang dikedepankan untuk persoalan narkotika Indonesia masihlah instrumen hukum pidana. Bila seorang pemakai narkotika malah disodori penyidik, bukannya perawat atau konselor, bagaimana kita bisa berharap angka kematian akibat overdosis akan berkurang?

Meningkatnya eskalasi kekerasan akibat narasi war on drugs juga mengkhawatirkan. Riset LBH Masyarakat menunjukan bahwa sepanjang 2017, setidaknya ada 99 kematian karena tembak mati dalam penanganan kasus narkotika. Beberapa saat lalu di Aceh, ada seorang polisi yang meninggal dunia saat berhadapan dengan mafia peredaran gelap. Eskalasi kekerasan ini, selain berakibat fatal pada rekan-rekan penegak hukum, juga akan membuat intervensi kesehatan pada pemakai narkotika semakin sulit karena pemakai narkotika akan makin tersembunyi dari mata Pemerintah dan LSM.

Hal ini juga diperparah oleh hukum kita yang belum memberikan jaminan pada mereka yang memberikan pertolongan pada orang yang mengalami overdosis. Pasal 531 KUHP mengancam pidana seseorang yang tidak memberikan pertolongan pada orang yang terancam nyawanya namun di lain pihak Pasal 131 UU Narkotika mengancam pidana orang-orang yang mengetahui adanya tindak pidana narkotika namun tidak melapor pada penegak hukum. Untuk apa seseorang yang nyawanya terancam kita laporkan ke penegak hukum?

Oleh karena empat hal di atas, LBH Masyarakat melihat bahwa ada beberapa hal yang patut kembali diserukan pada hari ini untuk mengatasi problem overdosis di Indonesia hari ini:

  1. Mencabut aturan terkait pidana narkotika dari RKUHP karena pidana narkotika sangat berkaitan dengan intervensi dan urusan-urusan tentang kesehatan yang spesifik. Sifat RKUHP yang sangat umum tidak dapat memaktub hal tersebut;
  2. Merevisi UU Narkotika yang ada sekarang dengan mendekriminalisasi pembelian, penguasaan, dan pemakaian narkotika dalam jumlah terbatas agar Pemerintah dapat lebih mudah berkomunikasi dengan komunitas dan memberikan intervensi pengetahuan dan kesehatan yang diperlukan; dan
  3. Memastikan adanya jaminan hukum di tingkat undang-undang bahwa mereka yang membantu menyelamatkan nyawa orang lain, yang tengah mengalami overdosis misalnya, tidaklah dapat dijerat pidana.

 

Jakarta, 31 Agustus 2018

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

 

Pengumuman Peserta Terpilih LIGHTS 2018

Kami mengucapkan selamat pada nama-nama di bawah ini karena sukses lulus seleksi untuk menjadi peserta LIGHTS 2018.

Jalur Non-beasiswa:

  1. Ahmad Baihaqi (Universitas Indonesia)
  2. Judith Chanutomo (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
  3. Raina Raifika (Universitas Trisakti)
  4. Fadelia Deby Subandi (Universitas Indonesia)
  5. Renald Markus (Universitas Jenderal Soedirman)
  6. Maria Teresa Utami Prasetio (Universitas Gadjah Mada)

Jalur Beasiswa:

  1. Harry Wellsy Bakarbessy (Universitas Pattimura) (Ambon)
  2. Bunga Revina Palit (Universitas Sam Ratulangi) (Manado)
  3. Diki Rafiqi (Universitas Andalas) (Padang)
  4. Juwita Desry Anggraini (Universitas Malikussaleh) (Aceh)
  5. Lica Veronika (Universitas Bengkulu) (Bengkulu)
  6. Erick Jeremy Manihuruk (Universitas Sumatera Utara) (Medan)

Terima kasih untuk semua yang sudah mendaftarkan diri. Semoga semangat kawan-kawan sekalian untuk mempelajari hak asasi manusia terus membara.

Untuk peserta yang lulus, panitia (Ma\’ruf – 0812 8050 5706) akan segera menghubungi peserta dalam satu atau dua hari ke depan untuk mengonfirmasi keikutsertaan teman-teman yang lulus. Jika ada yang membatalkan atau tidak mengonfirmasi, maka panitia akan mengontak peserta lain. Oleh karena itu, teman-teman yang lulus diharapkan cepat merespon apabila dikontak panitia.

Dibutuhkan: Fundraising and Engagement Officer

LBH Masyarakat sedang membutuhkan seorang Fundraising and Engagement Officer. Posisi ini memiliki tanggung jawab utama untuk mengembangkan dan menjalankan serangkaian aktivitas dan program kerja terkait dengan strategi penggalangan dana publik (fundraising) LBH Masyarakat, guna meningkatkan jumlah pendanaan organisasi.

Jika anda tertarik mengisi posisi ini, silahkan mengirim surat lamaran dan CV terbaru kamu ke rekrutmen@lbhmasyarakat.org dengan subyek email: Aplikasi FEO_nama kamu

Aplikasi ini ditutup pada hari Jumat, 10 Agustus 2018, 17:00 WIB.

Untuk informasi lebih detil, silakan klik di sini.

 

en_USEnglish