Skip to content

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Hukum yang Bipolar, Melindungi atau Memasung?

Masalah kesehatan bukan hanya soal apa yang tampak secara fisik tetapi juga secara psikis. Pada tahun 2013, riset kesehatan dasar memperkirakan bahwa kira-kira 1,7 permil rumah tangga Indonesia memiliki anggota keluarga yang memiliki gangguan jiwa berat.[i] Gangguan ini berpotensi mengganggu kualitas hidup seseorang dan hubungan sosial mereka apabila tidak ditangani secara tepat dan cepat. Penanganan ini bukan hanya dengan memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas, tetapi juga perlindungan hukum.

Orang yang memiliki masalah kejiwaan seringkali tidak bisa mengakses layanan-layanan publik akibat stigma dan diskriminasi. Masyarakat seringkali menganggap mereka berbahaya, tidak rasional, tidak bisa bertanggung jawab terhadap urusan-urusan domestik, dan tidak mampu untuk bekerja. Akhirnya, kehadiran mereka pun dianggap menjadi sebuah gangguan dan eksistensi mereka disingkirkan ke lembaga-lembaga penahanan, seperti tempat rehabilitasi, rumah sakit jiwa (RSJ) dan penjara.

LBH Masyarakat menaruh perhatian khusus kepada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang sedang berhadapan dengan hukum, terutama mereka yang disangkakan melakukan tindak pidana. Perhatian kami ini dilatarbelakangi oleh masih mudanya usia perangkat hukum yang mengatur masalah ODGJ di dalam sistem peradilan pidana.[1] Apabila perlindungan hukum tidak diberikan sejak tahap penangkapan, terbuka kemungkinan sangat besar ODGJ menjalani proses peradilan dan mendapatkan penghukuman yang akan memperparah gangguannya.

Pelaku penyingkiran ODGJ bukan hanya dilakukan melalui sistem peradilan pidana, melainkan juga dalam praktik hidup sehari-hari. Praktik pemasungan adalah salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat yang masih jamak terjadi di Indonesia.[ii] Selain pasung, ODGJ juga rentan untuk mendapatkan bentuk-bentuk kekerasan lainnya.

Atas dasar inilah, kami mendokumentasikan kasus-kasus pidana yang diduga dilakukan oleh ODGJ serta praktek-praktek kekerasan terhadap ODGJ di sepanjang tahun 2016. Upaya pendokumentasi ini juga sebetulnya tidak lepas dari peristiwa kehilangan. Pada tahun 2015, LBH Masyarakat kehilangan klien sekaligus teman: Rodrigo Gularte, warga Negara Brazil yang didiagnosis memiliki gangguan jiwa berat dan kemudian dibunuh atas nama hukum melalui eksekusi hukuman mati. Kami menjadi saksi bagaimana pria itu tidak pernah diberikan baik layanan kesehatan memadai maupun akses terhadap hukum yang setara sejak awal proses peradilan sampai tubuhnya ditembus peluru. Maka, sekalipun berita mengenai Rodrigo Gularte sudah reda pada tahun 2016, laporan ini kami dedikasikan kepadanya dan ODGJ lain yang masih berada di belakang jeruji, baik di penjara asli ataupun penjara belakang rumah. Selamat membaca!

Teman-teman dapat mengunduh laporannya di tautan ini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Diskriminasi HIV, Stigma yang Mewabah

Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia tercatat paling tinggi di antara kawasan Asia Tenggara, dengan jumlah kumulatif dari tahun 2005 hingga 2015 sebesar 191.073 kasus HIV dan 77.121 kasus AIDS. Selama sepuluh tahun terkahir, berbagai upaya penanggulangan dilakukan pemerintah mulai dari program harm reduction di tahun 2006, pencegahan penularan melalui transmisi seksual (PMTS), pencegahan penularan ibu ke anak (PPIA), hingga Strategic Use of ARV (SUFA) pada tahun 2013. Namun, program-program tersebut masih belum bisa mengatasi permasalahan HIV/AIDS sepenuhnya di Indonesia.

Salah satu penyebab kurang efektifnya program penanggulangan HIV/AIDS adalah masih tingginya stigma dan diskriminasi kepada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan populasi yang beresiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS (umumnya dikenal dengan sebutan ‘populasi kunci’). Direktur Eksekutif UNAIDS mengemukakan bahwa stigma merupakan tantangan terbesar yang menghambat kegiatan penanggulangan di tingkat masyarakat, nasional, dan global. Anggapan mengenai perilaku berisiko sebagai sesuatu yang melanggar norma dan nilai lokal sering kali menjadi dasar kekeliruan pandangan dalam menyikapi HIV/AIDS. Di Indonesia, populasi kunci yang beresiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS adalah pengguna narkotika jarum suntik, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, serta pelaku seks berisiko. Sebagian besar masyarakat masih memiliki mispersepsi terhadap populasi kunci sebagai orang dengan perilaku amoral atau asusila. Pemarginalan ODHA dan populasi kunci seakan terlegitimasi sebagai sanksi sosial.

Sebagai lembaga yang memiliki fokus dalam hal pemenuhan hak asasi manusia bagi masyarakat, termasuk ODHA dan populasi kunci, LBH Masyarakat memandang perlu untuk melakukan pemantauan stigma dan diskriminasi yang dilakukan terhadap ODHA dan populasi kunci. Cara yang diambil oleh kami adalah melalui pemantauan dan dokumentasi media daring (online) terkait berita-berita yang mengandung unsur stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap ODHA dan populasi kunci di sepanjang tahun 2016. Kami berharap pemantauan yang kami lakukan ini dapat membantu memetakan situasi terkini mengenai permasalahan stigma dan diskriminasi HIV/AIDS di Indonesia.

Teman-teman dapat mengunduh laporannya di tautan ini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: LGBT = Nuklir? Indonesia Darurat Fobia

Dalam budaya yang patriarkis, LGBT menjadi entitas liyan yang diasingkan oleh komunitas yang heteronormatif. Pengasingan ini menimbulkan stigma dan diskriminasi. Pandangan umum masyarakat mengenai LGBT sebagai sesuatu yang melawan kodrat dan bertentangan dengan nilai relijiusitas mayoritas menyumbang pada suburnya homofobia dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT. Dalam konteks Indonesia, situasi ini diperburuk dengan vakumnya instrumen hukum yang menjadi titik lemah perlindungan Negara terhadap kelompok LGBT. Hal ini diperparah dengan pengabaian pemerintah akan persoalan stigma dan diskriminasi yang dihadapi kelompok LGBT.

Sejatinya, jaminan perlindungan terhadap kelompok LGBT tidak benar –benar kosong. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD 1945, pada Pasal 27 ayat (1) telah menegaskan bahwa  setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di muka hukum, oleh karenanya perlindungan hukum berhak diperoleh semua warga negara, termasuk kelompok LGBT.  Prinsip non-diskriminasi ini juga dapat ditemukan pada Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Walaupun Konstitusi  dan peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak menyebut secara eksplisit mengenai larangan diskriminasi berbasis identitas dan orientasi seksual, namun pada prinsipnya Negara tetap berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya dari pembedaan perlakuan yang berdampak pada berkurangnya atau hilangnya hak asasi seseorang, termasuk kelompok LGBT. Kewajiban Indonesia untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan memegang teguh prinsip kesetaraan dan non diskriminasi sesuai dengan komitmennya ketika meratifikasi kovensi-konvensi internasional seperti Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Culture), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women), dan perjanjian internasional lainnya yang memuat jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.  Berdasarkan konvensi-konvensi tersebut, Indonesia memiliki tiga kewajiban, yakni kewajiban untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak setiap warga negaranya terutama mereka yang rentan dan marjinal.

Sayangnya, kesetaraan dan perlindungan hak asasi kelompok LGBT di Indonesia masih jauh dari harapan. Stigma, homophobia, dan diskriminasi masih menjadi persoalan utama yang dihadapi oleh kelompok LGBT.Oleh karena itu, LBH Masyarakat berinisiatif untuk melakukan pemantauan dan pencatatan terkait stigma dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT di Indonesia melalui media selama tahun 2016. Pemantauan ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan advokasi untuk melihat persoalan stigma dan diskriminasi terhadap LGBT di Indonesia.

Teman-teman dapat mengunduh laporannya di tautan ini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Kematian Tahanan, Kegagalan Pemidanaan

Lahirnya penjara dianggap sejalan dengan perubahan tujuan penghukuman dari asas pembalasan (retaliation) menjadi pembinaan (rehabilitation). Pelaku kejahatan tidak hanya dianggap orang yang telah menimbulkan penderitaan, tetapi juga seseorang yang telah melakukan kesalahan dan mampu dibina kembali. Akan tetapi, implementasi kebijakan pemenjaraan akhirnya seringkali mengkhianati cita-cita ini.

Berbagai permasalahan yang ditemukan seperti terlalu padatnya penjara, tidak terpenuhinya hak-hak asasi manusia, terbentuknya budaya kekerasan dalam penjara, tingginya angka residivisme, serta putusnya hubungan sosial antara narapidana dan keluarganya, menunjukkan bahwa diskursus penghukuman lewat penjara masih bersifat kontradiktif dengan tujuan awal penjara. Rasionalitas lahirnya penjara menjadi putus atau diskontinyu akibat kontradiksi dan irasionalitas situasi ini. Di antara persoalan tersebut, boleh jadi, masalah kematian di dalam penjara adalah ciri paling kontradiktif dari diskursus pemenjaraan. Kematian seperti menyempurnakan absurditas penjara.

Selain alasan sentimental retoris bahwa tidak ada orang yang mau mati di dalam penjara, kematian juga menimbulkan kontradiksi dari tujuan rehabilitatif penjara. Pembinaan yang selama ini dijalankan oleh narapidana – kecuali untuk narapidana hukuman seumur hidup – menjadi tidak ada gunanya/sia-sia/hilang karena tidak sempat dipraktikkan di tempat tujuan, yakni masyarakat di luar dinding penjara. Alih-alih berfungsi sebagai tempat sementara/peralihan, penjara menjadi stasiun pemberhentian terakhir bagi tahanan itu, karena di sanalah mereka mencapai kodrat manusiawinya: kematian.

Yang semakin memperburuk kondisi ini adalah apabila kematian itu tidak terjadi secara wajar, seperti akibat kecelakaan dalam penjara, pembunuhan, bunuh diri, dan overdosis zat. Di Amerika Serikat, negara yang memiliki populasi tahanan paling banyak di dunia, sebanyak 967 tahanan penjara meninggal pada tahun 2013. Sekitar 34% dari total kematian disebabkan oleh bunuh diri.

Mengingat penjara adalah sebuah fasilitas negara – paling tidak di Indonesia – maka penanggungjawab utama ketika terjadi kematian tidak wajar di dalam penjara adalah negara, yang diwakilkan oleh Direktorat Jendral Pemasyarakatan. Sekalipun kematian bisa disebabkan oleh narapidana sendiri, institusi pemasyarakatan adalah manager yang bertugas untuk menjamin keberadaan penjara dapat memenuhi tujuan awal sebagai media pembinaan, termasuk diataranya dengan mengatur agar kerusuhan tidak terjadi dan peristiwa bunuh diri bisa terhindarkan.

Terlepas dari absurditas pelaksanaan pemenjaraan, praktik ini tetap dianggap penting untuk dipertahankan karena Indonesia tidak memiliki penghukuman alternatif yang sudah berjalan dengan baik. Akan tetapi, bukan berarti praktik irasional dalam pemenjaraan yang akhirnya menyebabkan kematian tidak perlu untuk ditantang dan diperbaiki. Karena itulah, LBH Masyarakat berusaha untuk melakukan dokumentasi dan monitor atas peristiwa kematian dalam lembaga pemasyarakatan sepanjang tahun 2016. Dokumentasi ini kami harap bisa membuka kejelasan dari situasi absurd dari kematian dalam lembaga pemasyarakatan Indonesia.

Teman-teman bisa mengunduh laporan ini selengkapnya di tautan ini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Hukuman Cambuk dalam Bilangan dan Kepelikan

Pemerintahan daerah telah diberi amanat langsung oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Melalui otonomi ini, pemerintah daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengurus sendiri pemerintahan terutama dalam sejumlah bidang, yaitu pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, penataan ruang, perumahan rakyat, kawasan pemukiman, ketertiban umum, dan masalah sosial. Selain otonomi yang berlaku di seluruh daerah, beberapa daerah memiliki otonomi khusus untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri. Salah satu contoh daerah yang diberikan otonomi khusus ini adalah Provinsi Aceh, melalui Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Aceh diberikan keistimewaan untuk menyelenggarakan kehidupan beragama berdasarkan Syariat Islam dalam bidang ibadah, ahwal al-syakshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayat (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Keseluruhan penyelenggaraan kehidupan beragama ini diatur dengan Qanun Aceh.iv Salah satu qanun yang banyak menimbulkan kontrovesi terkait dengan legalitas dan pelaksanaannya adalah Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat (Qanun Jinayat). Qanun Jinayat mengatur perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam (jarimah) dan penerapan hukuman (‘uqubat) bagi pelakunya. Salah satu jenis hukuman tersebut ialah cambuk.

Pemberlakuan hukuman cambuk tersebut menuai kritik karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Pelapor Khusus untuk Penyiksaan, Manfred Nowak, menyatakan bahwa hukuman cambuk yang diterapkan di Aceh adalah pelanggaran terhadap kewajiban negara untuk mencegah terjadinya hukuman corporal. Amnesty Internasional menyebut hukuman cambuk sebagai suatu kemunduran bagi penegakan HAM di Indonesia. Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah (JMSPS) juga menolak dengan tegas pemberlakuan hukuman cambuk diberlakukan di Aceh karena dinilai tidak manusiawi. Permohonan keberatan atas Qanun Jinayat kepada Mahkamah Agung juga pernah diajukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang menilai penggunaan hukuman cambuk masuk dalam kategori penyiksaan, hukuman kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Padahal sistem pemidanaan di Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukuman cambuk. Mahkamah Agung menolak permohonan ini karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang dijadikan dasar dalam permohonan keberatan uji materiil sedang diproses pengujiannya pada Mahkamah Konstitusi.

Terhadap persoalan hukuman cambuk ini, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) memiliki posisi yang sama dengan para pengkritik hukuman cambuk. LBH Masyarakat menilai pelaksanaan hukuman cambuk merupakan penodaan bagi penegakan HAM di negera ini. Pelaksanaan hukuman cambuk adalah pelanggengan terhadap hukuman badan yang sudah tidak sesuai dengan arah pemidanaan modern. Berdasarkan atas keyakinan ini, kami melakukan monitoring dan dokumentasi media sepanjang tahun 2016 agar dapat mengetahui lebih jauh tentang praktek pelanggaran HAM melalui pelaksanaan hukuman cambuk dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Teman-teman bisa mengunduh laporan ini selengkapnya di tautan ini.

Rilis Pers LBH Masyarakat – Jaksa Agung Harus Hentikan Persiapan Eksekusi Mati Gelombang Empat

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam pernyataan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang secara sepihak menyimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan mengenai pembatasan waktu pengajuan grasi adalah tidak berlaku surut.[i] Dengan penafsiran sepihak yang keliru ini, Pemerintah melalui Jaksa Agung, berpotensi mengulang pelanggaran hukum yang sama yang pernah dilakukan pada eksekusi mati gelombang ketiga (Juli 2016), yaitu mengeksekusi terpidana mati yang masih memiliki hak, atau tengah, mengajukan permohonan grasi. Jaksa Agung sendiri bahkan belum pernah secara resmi menjelaskan alasan yuridis dan non-yuridis yang menjadi dasar penundaan eksekusi 10 terpidana mati pada gelombang ketiga tersebut, sehingga menimbulkan tanda tanya di tengah masyarakat.[ii]

Putusan MK Nomor 107/PUU-XIII/2015 tertanggal 15 Juni 2016 menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[iii] Dengan demikian, semua terpidana, termasuk terpidana mati, yang belum mengajukan grasi masih memiliki hak untuk mengajukan grasi kapan pun tanpa dibatasi waktu. Terkait dengan dibatalkannya pembatasan waktu tersebut, Pasal 3[iv] dan Pasal 13[v] UU Grasi telah menjamin bahwa dalam hal pidana mati, permohonan grasi dapat menunda pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).[vi]

Jaksa Agung berasumsi bahwa Putusan MK tersebut di atas tidak berlaku surut, seakan-akan terpidana mati yang putusannya sudah berkekuatan hukum tetap dan melewati jangka waktu 1 tahun sebelum Putusan MK dibacakan, sudah gugur hak mengajukan grasinya oleh karena keberlakuan Pasal 7 ayat (2) UU Grasi. Padahal, pernyataan ini tidak memiliki dasar yang kuat dan berpotensi melanggar hak hukum terpidana mati untuk mengajukan grasi.

Asumsi tersebut juga bertentangan dengan fakta dikabulkannya permohonan grasi Antasari Azhar. Putusan pidana Antasari Azhar telah berkekuatan hukum tetap sejak permohonan kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) pada 21 September 2010. Sehingga, jika mengikuti logika berpikir Jaksa Agung, seharusnya hak mengajukan grasi Antasari sudah gugur pada tanggal 21 September 2011 oleh keberlakuan Pasal 7 ayat (2) UU Grasi.

Namun, oleh karena Putusan MK membatalkan pasal tersebut di atas, Antasari dapat mengajukan grasi kepada Presiden pada tanggal 8 Agustus 2016.[vii] Terhadap pengajuan grasi ini, Presiden bukan saja menerima permohonan grasi tersebut secara prosedural, namun juga mengabulkannya, sebagaimana termuat dalam Keputusan Presiden Nomor I/G/2017. Hal ini menunjukkan bahwa Jaksa Agung telah salah menafsirkan Putusan MK di atas. Kesalahan tersebut jika dikaitkan dengan eksekusi gelombang ketiga, tidak hanya memperlihatkan bahwa Jaksa Agung telah mengangkangi kewenangan konstitusional Presiden untuk mengabulkan permohonan grasi, tetapi juga melakukan pelanggaran hukum yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. LBH Masyarakat menilai potensi terulangnya pelanggaran hukum oleh Jaksa Agung tersebut sangat besar.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, LBH Masyarakat mendesak Pemerintah dalam hal ini Presiden Republik Indonesia untuk:

  1. Menghentikan segala bentuk persiapan eksekusi mati dalam rangka mengeliminasi kemungkinan pelanggaran hukum oleh aparat penegak hukum;
  2. Membentuk tim independen untuk melakukan investigasi terhadap indikasi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Jaksa Agung dalam eksekusi mati yang telah dilaksanakan; dan juga meninjau kembali kasus-kasus terpidana mati yang belum dieksekusi;
  3. Segera menjelaskan ke publik alasan yuridis dan non-yuridis penundaan eksekusi mati terhadap 10 terpidana mati pada eksekusi Juli 2016 lalu;
  4. Mencopot Muhammad Prasetyo dari posisi Jaksa Agung dan secara cermat memilih Jaksa Agung yang berkompeten dalam bidang konstitusi, hukum, dan hak asasi manusia;
  5. Mematuhi dan melaksanakan Putusan MK yang membatalkan batasan waktu pengajuan grasi serta menghormati hak para terpidana mati untuk mengajukan upaya hukum;

Jakarta, 23 Februari 2017

Narahubung:

Ricky Gunawan

Direktur LBH Masyarakat

[i] Kejagung Tengah Persiapkan Eksekusi Mati Jilid IV, Kompas.com, http://nasional.kompas.com/read/2017/02/22/15530571/kejagung.tengah.persiapkan.eksekusi.mati.jilid.iv, diakses 22 Februari 2017.

[ii] Pasca eksekusi gelombang ketiga, Jaksa Agung, menyatakan bahwa penundaan eksekusi terhadap 10 orang terpidana mati telah melalui pertimbangan yuridis dan non-yuridis, namun sampai sekarang tidak pernah menjelaskan apa saja pertimbangan tersebut.

Lihat Eksekusi 10 terpidana mati ‘akan ditentukan kemudian,’ BBC.com, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/07/160728_indonesia_penangguhan_eksekusi_kejagung, diakses 22 Februari 2017.

[iii] Putusan dapat diunduh melalui http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/107_PUU-XIII_2015.pdf. Pasal tersebut sebelumnya mengatur bahwa permohonan grasi hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 1 tahun sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

[iv] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, Pasal 3, menyebutkan: “permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan utusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.”

[v] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, Pasal 13, menyebutkan: “bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.”

[vi] Jaksa Agung pada eksekusi gelombang ketiga telah melakukan pelanggaran hukum dengan mengeksekusi mati Humphrey Ejike, Seck Osmane, dan Freddy Budiman yang pada saat itu masih dalam proses mengajukan permohonan grasi. Terhadap pelanggaran ini LBH Masyarakat bersama Koalisi Hapus Hukuman Mati telah melaporkan Jaksa Agung ke Ombudsman dan Komisi Kejaksaan.

Lihat, misalnya, Jaksa Agung Diduga Lakukan Maladministrasi Eksekusi Mati, CNNIndonesia.com, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808161735-12-149951/jaksa-agung-diduga-lakukan-maladministrasi-eksekusi-mati/, diakses 22 Februari 2017; dan, Koalisi Masyarakat Sipil Laporkan Jaksa Agung Prasetyo ke Komisi Kejaksaan RI, Kompas.com, http://nasional.kompas.com/read/2016/08/10/14002601/koalisi.masyarakat.sipil.laporkan.jaksa.agung.prasetyo.ke.komisi.kejaksaan.ri, diakses 22 Februari 2017.

[vii] Alasan Pengacara Antasari Azhar Sambangi Setneg Hari Ini, Liputan6.com, http://news.liputan6.com/read/2660314/alasan-pengacara-antasari-azhar-sambangi-setneg-hari-ini, diakses 22 Februari 2017.

Press Release – Indonesian Government Scholarship Programme Discriminates People Living With HIV/AIDS

Jakarta, 6 February 2017

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) condemns the requirement of HIV-free for applicants of Eastern Indonesia Scholarship Programme, managed by the Indonesia Endowment Fund for Education (LPDP).

In the booklet issued by the LPDP, applicants of the above scholarship programme must enclose a letter from healthcare providers stating that they are ‘free from HIV/AIDS, Tuberculosis, and drug use’. Such requirement is a direct discrimination against and violation of the right to education of people living with HIV/AIDS, as guaranteed by the Constitution of the Republic of Indonesia, and Indonesian regulations and laws.

Article 28 C Paragraph 2 of the Constitution, Article 12 of the Law Number 39 Year 1999 regarding Human Rights, and Article 4 Paragraph 1 of the Law Number 20 Year 2003 regarding National Education System guarantees that education must be carried out in a democratic and non-discriminatory manner; respecting human rights principles, religious and cultural values, as well as nation’s diversity. Thereby, the scholarship programme, as part of the implementation of education system, should be implemented in accordance with those principles. Further, it should not limit or hinder access or opportunity for anyone to scholarship, including those living with HIV/AIDS.

Education is an indispensable means of realizing other human rights. Therefore, the prohibition against discrimination on the right to education “is subject to neither progressive realization nor the availability of resources; it applies fully and immediately to all aspect of education.”[1] The Government of Indonesia, therefore, has no justification whatsoever to apply such requirement.

In addition to the discrimination on the basis of HIV/AIDS status, such requirement is also a direct discrimination against eastern Indonesians, as it applies only to applicants from the eastern part of Indonesia.

With regard to this matter, LBH Masyarakat urges the Government of Indonesia to:

  1. Repeal the requirement of ‘free from HIV/AIDS, Tuberculosis, and drug use’ for applicants of Eastern Indonesia Scholarship Programme;
  2. Guarantee the fulfilment of the right to education of people living with HIV/AIDS in any level and type of education, including in accessing domestic and international scholarship provided by the government;
  3. Reiterate the non-discriminatory principle in any Indonesian regulations and laws; and,
  4. Eliminate discriminatory practices and policies against people living with HIV/AIDS in any aspects of their lives.

Contact Persons:

Ajeng Larasati

Coordinator of Programme, Research, and Campaign

+62 812 1276 1876

Naila Rizqi Zakiah

Public Defender

+62 812 9373 2988

[1] General Comment No. 13: The Right to Education (Article 13 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), paragraph 31.

Rilis Pers LBH Masyarakat – Beasiswa LPDP untuk Indonesia Timur Diskriminatif terhadap ODHA

LBH Masyarakat mengecam keras pemberlakuan syarat bebas HIV/AIDS bagi pendaftar beasiswa Indonesia Timur yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Republik Indonesia. Persyaratan ini adalah bentuk langsung diskriminasi dan pelanggaran hak atas pendidikan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA), sebagaimana telah dijamin dalam Konstitusi Republik Indonesia.

Dalam buku panduan (booklet) yang dikeluarkan oleh LPDP Republik Indonesia, tertulis bahwa salah satu persyaratan Beasiswa Indonesia Timur adalah ‘menyertakan surat keterangan sehat (bebas HIV/AIDS, TBC, dan narkoba) dari unit pelayanan kesehatan’.[1] Bebas HIV/AIDS yang dijadikan syarat untuk mendapatkan beasiswa tersebut tidak sesuai dengan prinsip non-diskriminasi terhadap pemenuhan hak atas pendidikan bagi setiap orang sebagaimana diatur dalam perundang-undangan di Indonesia.

Jaminan pemenuhan hak atas pendidikan tanpa diskriminasi dapat ditemukan pada Pasal 28 C ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Pasal 12 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lebih khusus, berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, penyelenggaraan pendidikan harus dilakukan secara demokratis, tidak diskriminatif, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Indonesia, baik beasiswa di dalam maupun ke luar negeri, adalah bagian dari proses penyelenggaraan pendidikan yang harus memenuhi prinsip penyelenggaraan tersebut. Dengan demikian, penyelenggaraan beasiswa dalam program apapun tidak boleh membatasi/mengurangi kesempatan setiap orang untuk mengakses beasiswa, termasuk bagi ODHA.

Selain melanggar Konstitusi dan peraturan perundang-undangan nasional, persyaratan bebas HIV ini juga mengingkari prinsip-prinsip dalam UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; serta Konvensi UNESCO mengenai Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan yang menyebutkan bahwa segala bentuk diskriminasi yang bertujuan untuk meniadakan atau merusak kesetaraan dalam pendidikan harus dihapuskan dalam tipe dan level pendidikan apapun. Pemenuhan hak atas pendidikan yang non-diskriminatif tidak bisa dilakukan setengah-tengah tetapi harus secara penuh dan seketika. Pemerintah Indonesia, dalam konteks ini, Kementerian Keuangan sebagai penyelenggara beasiswa LPDP seharusnya mencegah dan menghapus ketentuan diskriminatif dalam penyelenggaran program beasiswa sebagaimana diwajibkan dalam Kovenan di atas.

Selain diskriminatif terhadap ODHA, program beasiswa khusus Indonesia Timur ini juga diskriminatif terhadap warga negara Indonesia di bagian timur karena syarat bebas HIV ini hanya berlaku bagi Pendaftar Beasiswa Indonesia Timur dan tidak berlaku bagi Pendaftar program Beasiswa Pendidikan Indonesia lainnya.

Pemerintah Indonesia tidak memiliki justifikasi apapun untuk membatasi setiap orang, termasuk orang dengan HIV, mengakses pendidikan ataupun kesempatan beasiswa. Oleh karena itu, LBH Masyarakat mendesak Pemerintah untuk:

  1. Mencabut dan membatalkan persyaratan umum dalam Booklet Beasiswa Indonesia Timur pada poin 8 yang mensyaratkan Surat Keterangan yang menyatakan Pendaftar bebas dari HIV/AIDS, TBC, dan Narkoba;
  1. Menjamin terpenuhinya hak atas pendidikan bagi ODHA di setiap tipe dan level pendidikan apapun, termasuk akses terhadap beasiswa baik dalam maupun luar negeri;
  1. Menegaskan penyebutan prinsip non-diskriminasi bagi ODHA dalam setiap peraturan perundang-undangan maupun kebijakan pemerintah;
  1. Menghentikan praktik-praktik diskriminatif baik melalui peraturan dan kebijakan maupun perlakuan di setiap penyelenggaraan pemerintahan terhadap semua orang, termasuk ODHA;

Jakarta, 6 Februari 2017

Ajeng Larasati – Koordinator Program, Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat

Naila Rizqi Zakiah – Pengacara Publik LBH Masyarakat

[1] Buku panduan atau booklet dapat diunduh melalui tautan berikut ini: http://www.lpdp.kemenkeu.go.id/beasiswa/beasiswa-indonesia-timur/

Dibutuhkan: Relawan Penerjemah Bahasa Kanton dan Khek

LBH Masyarakat adalah organisasi non-pemerintah nirlaba yang menyediakan layanan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat kurang mampu dan terpinggirkan. LBH Masyarakat juga aktif melakukan advokasi terhadap isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Sehubungan dengan hal tersebut saat ini LBH Masyarakat membutuhkan relawan untuk menjadi penerjemah bagi WNA yang tidak dapat berbahasa Indonesia, dan hanya menggunakan bahasa Kanton (Cantonese) dan bahasa Khek. Selain penerjemahan dalam komunikasi lisan, relawan juga diharapkan dapat membantu penerjemahan tulisan.

Persyaratan:

  1. Memiliki ketertarikan terhadap isu hak asasi manusia;
  2. Lancar dalam berbicara, menulis dan membaca dalam bahasa Khek atau bahasa Kanton (Ketentuan ini tidak berlaku kumulatif. Kami akan dengan senang hati menerima penerjemah yang menguasai 2 bahasa itu sekaligus. Namun apabila penerjemah yang bersangkutan hanya menguasai salah satunya, maka ia telah memenuhi kualifikasi dan kami harap tetap mendaftar);
  3. Diutamakan mahasiswa (namun tidak menutup kemungkinan bagi penerjemah berpengalaman yang ingin memberikan pelayanan pro bono);
  4. Berdomisili di Jakarta (atau kota-kota satelitnya);
  5. Bersedia mengunjungi kantor kepolisian, pengadilan dan rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan;

Kami tidak menyediakan honorarium tapi kami memberikan kesempatan bagi relawan untuk mendapat pengalaman untuk secara langsung dan aktif dalam kerja-kerja bantuan hukum secara langsung di lapangan.

Segera kirim CV terbaru anda ke abadar@lbhmasyarakat.org paling lambat tanggal 25 Februari 2017. Jika ada pertanyaan yang ingin diajukan, anda dapat menghubungi Sdr. Antonius Badar di nomor 0856 9799 8944 (HP) atau di 021 – 837 897 66

Rilis Pers – Pengendalian Perdagangan Gelap dari LP: Cerita Lawas, Pendekatan Usang

Perdagangan gelap narkotika dari dalam Lembaga Permasyarakatan (LP) di Indonesia semakin marak dan terus berulang, sekalipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasinya, termasuk penerapan hukuman mati dan eksekusi. Ketika persoalan terus berulang, sementara cara-cara yang ditempuh tidak efektif, LBH Masyarakat mendesak pemerintah untuk memikirkan ulang kebijakan narkotikanya dan mencari alternatif solusi.

Sebagaimana tajuk utama Harian Kompas, 3 Februari 2017, “Bisnis Narkoba Dikendalikan di 39 LP”, berita ini pada intinya menunjukkan betapa masifnya perdagangan gelap narkotika yang melibatkan narapidana di dalam LP. Namun di sisi lain, berita ini belum mengeksplor lebih dalam aspek-aspek yang membuat hal tersebut terjadi.

Masuknya telepon seluler ke dalam LP menjadi salah satu faktor yang perlu analisis lebih lanjut. Bagaimana dengan mudahnya telepon seluler dapat masuk ke dalam LP? Apakah karena disebabkan lemahnya pengawasan? Apakah menyuap sipir demi memiliki telepon seluler di dalam LP merupakan hal yang lumrah? Kesejahteraan sipir, kemudian, juga menjadi hal yang perlu diperhatikan untuk mengatasi hal-hal semacam ini.

Dari sudut pandang narapidana, juga perlu dilihat fakta bahwa hidup di penjara sungguh mahal. Hal ini terjadi dikarenakan budaya pungli (pungutan liar) yang sudah kronis. Setiap layanan (kamar, alat mandi, makanan, dan lain-lain) di dalam penjara juga memiliki harganya masing-masing. Hal ini membuat narapidana di satu sisi juga perlu memiliki sumber penghasilannya sendiri. Sumber penghasilan yang dibutuhkan ini mendorong narapidana untuk kembali melakukan hal-hal yang dilarang oleh hukum.

Mengenai faktor pengawasan, rekan-rekan sipir di LP tentu mengalami kesulitan untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh warga binaan. Hal ini dikarenakan sebagian besar LP di Indonesia saat ini terpaksa menampung narapidana dengan jumlah yang melebihi kapasitasnya. Fenomena overcrowded ini disulut oleh UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sendiri yang dengan kejam juga mengirimkan orang-orang yang sekedar pemakai narkotika ke dalam penjara.

Terhadap masalah-masalah ini, Pemerintah, di dalam berita itu, merencanakan setidaknya 2 (dua) langkah untuk mengatasinya. Yang pertama adalah pengadaan CCTV dan pemindai badan. Lebih dari soal pengadaan alat, yang terutama ialah man behind the gun. Jika CCTV dan pemindai badan tersebut disupervisi oleh orang yang juga korup dan terlibat dalam permainan gelap ini, maka semua pengadaan tersebut akan sia-sia.

Pada eksekusi mati April 2016 kita pelajari bersama hal tersebut. Fredi Budiman, melalui testimoni Haris Azhar, menyampaikan bahwa ada beberapa oknum Pemerintah yang menemui ia di Nusakambangan. Hal tersebut dapat dilihat melalui CCTV yang mengawasi kamarnya. Namun demikian, hasil daripada apa yang direkam di CCTV tersebut tidak pernah terungkap ke hadapan publik. Transparansi menjadi hal yang penting jika memang Pemerintah serius mengatasi problem ini. Sayangnya, kami tidak melihat hal itu, baik soal transparansi dan keseriusan, sampai hari ini.

Hal kedua yang direncanakan Pemerintah ialah mengenai rotasi narapidana. LBH Masyarakat mengecam rencana ini. Ada beberapa alasan kami menolak cara ini. Pertama, pemindahan ini menjadikan narapidana berada jauh dari keluarga yang mana merupakan pengkhianatan terhadap hak narapidana  untuk dikunjungi oleh teman dan keluarga. Kedua, narapidana juga akan jauh dari kuasa hukumnya yang mana akan sangat merugikan narapidana apabila ingin melakukan upaya hukum atau langkah hukum lain yang ia butuhkan. Ketiga, hal ini tidak lebih sebagai shortcut yang diambil Pemerintah dalam soal pengawasan yang sayangnya tidak akan menolong keadaan. Idealnya melempar narapidana dari satu LP ke LP lain akan membuat si narapidana kesulitan beradaptasi dan akhirnya, dalam konstruksi Pemerintah, tidak mampu untuk membuat jaringan baru. Namun jika problem korupsi itu sendiri gagal diatasi, maka si narapidana tetap bisa mengatur ke mana ia akan dirotasi dan malahan sudah menyiapkan jaringan di kota yang baru.

Kami juga ingin menyikapi mengenai 4-CMC yang di dalam berita tersebut disebut sebagai narkotika jenis baru. Apabila Pemerintah mau memeriksa laporannya sendiri, dapat disaksikan bahwa stimulan menjadi kategori zat yang paling banyak dikonsumsi dalam beberapa waktu terakhir. Namun demikian, perlu disadari bahwa memasukan zat tertentu ke dalam daftar narkotika bukanlah sebuah jawaban. Hal tersebut hanya akan menjadi permainan tanpa akhir antara penegak hukum dan pasar gelap. Melihat permintaan yang tinggi akan narkotika dengan dampak tertentu, tentu pasar gelap akan merespon dengan menciptakan zat baru dengan dampak sejenis yang belum masuk di dalam daftar. Zat baru tersebut merupakan risiko karena kebaruannya membuat kita tidak memiliki data apapun tentangnya sehingga rawan akan dampak yang tidak kita mengerti. Berita ini menuliskan bahwa 4-CMC bisa mengakibatkan kematian namun tanpa menerangkan lebih lanjut tentang situasi seperti apa yang dapat menimbulkan kematian tersebut. Suatu zat selalu bisa mengakibatkan kematian jika konsumsi terhadap zat tersebut di atas yang jumlah yang sepatutnya. Hal ini juga berlaku untuk zat-zat umum yang biasa kita konsumsi, seperti air [1].

Respon pasar ini akan terus datang dan Pemerintah akan selalu ketinggalan. Oleh karena itu, sangat penting bagi Pemerintah untuk mencoba pendekatan baru dalam mengatasi persoalan narkotika. Penjara jelas bukan jawabannya. Untuk mengatasi dampak buruk fenomena zat psikoaktif baru seperti di atas, Pemerintah harus mampu mengedukasi khalayak ramai, termasuk juga pemakai narkotika, untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan zat tersebut. Sekarang, bagaimana pemerintah mau merangkul pemakai narkotika, entah untuk membongkar jaringan perdagangan gelap maupun untuk penyuluhan kesehatan, jika di saat yang sama Pemerintah juga mengancam mereka dengan penjara?

Oleh karena itu, untuk menyikapi hal-hal ini kami menyarankan kepada Pemerintah untuk:

  1. Mendekriminalisasi pemakaian dan kepemilikan narkotika dalam jumlah terbatas. Langkah ini akan dengan cepat, mengatasi problem overcrowded di dalam LP. Dengan jumlah narapidana yang sedikit di dalam LP akan memudahkan rekan-rekan sipir di LP melakukan pengawasan. Dekriminalisasi juga membuat rekan-rekan pemakai narkotika lebih nyaman berinteraksi dengan Pemerintah, termasuk di dalamnya penegak hukum dan petugas kesehatan, sehingga dapat membongkar jaringan lebih besar dan melakukan intervensi kesehatan lebih baik.
  2. Merapikan sistem yang ada sekarang daripada mencoba hal baru yang menghabiskan anggaran. Daripada melakukan pengadaan baru dan melakukan rotasi yang hanya bersifat tambal-sulam, Pemerintah seharusnya menantang dirinya untuk bisa mensterilkan LP dari telepon seluler yang masuk secara ilegal, memperbaiki situasi sel isolasi, dan menghapus budaya pungli.
  3. Meningkatkan kesejahteraan rekan-rekan sipir di LP. Hal ini dilakukan dengan maksud agar rekan-rekan sipir tidak melihat narapidana sebagai sumber pendapatan.

Narahubung: Yohan Misero (085697545166)

[1] Man dies of water overdose after drinking 17 pints in eight hours to soothe sore gums http://www.dailymail.co.uk/news/article-1032795/Man-dies-water-overdose-drinking-17-pints-hours-soothe-sore-gums.html

en_USEnglish