Tag: Kekerasan

Peserta Aksi May Day Mengalami Tindakan Kekerasan Fisik dan Kekerasan Seksual, TAUD Buat Laporan ke Mabes POLRI

Jakarta, 16 Juni 2025 – Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) bersama sejumlah korban membuat Laporan Polisi (LP) kepada Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) atas adanya tindak pidana kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian. Tak hanya itu, TAUD juga melaporkan dugaan pelanggaran etik ke beberapa unit lain di internal Polri yaitu; Biro Pengawas dan Penyidikan (Rowassidik), dan Divisi Profesi dan Keamanan (Propam) Mabes Polri.

Pelaporan dan pengaduan ini dilakukan karena TAUD menemukan fakta terdapatnya tindakan kekerasan pada saat aksi Hari Buruh Internasional (May day) 1 Mei 2025 yang dilaksanakan di wilayah Jakarta sekitaran Gedung DPR/MPR. TAUD menemukan sejumlah peserta aksi may day yang menjadi  korban tindak kekerasan dan kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh aparat Kepolisian. Adapun tindakan yang mereka alami antara lain berupa intimidasi, dipiting dan dipukul hingga mengalami pelecehan seksual secara verbal dan fisik. Korban tersebut meliputi mahasiswa/i, masyarakat sipil, dan juga paramedis. 

Tindakan kekerasan tersebut terjadi saat situasi demonstrasi yang chaos dan para peserta aksi meninggalkan lokasi titik aksi peringatan Hari Buruh Internasional. Setelah lebih dari 1 kilometer para peserta meninggalkan lokasi aksi, para peserta aksi mendapatkan represifitas dan tindakan brutal yang diduga kuat dilakukan oleh sejumlah aparat kepolisian di sekitar kolong jembatan layang (flyover) Jl. Gerbang Pemuda..

Tindakan kekerasan yang dilakukan tersebut jelas telah melanggar dan memenuhi unsur yang diatur dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang pengeroyokan, yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama dan terang-terangan terhadap orang atau barang. Serta, Pasal 351 KUHP yang mengatur mengenai tindakan penganiayaan, yaitu tindakan yang menyebabkan rasa sakit, luka, atau merusak kesehatan orang lain. 

Selain itu, tindakan kekerasan seksual dialami oleh salah satu perempuan paralegal dari tim medis (perempuan pembela HAM), yang diteriaki ‘lonte’, ‘pukimak’, ‘telanjangin-telanjangin’ hingga menarik baju dalam korban yang diduga dilakukan juga oleh aparat kepolisian. Hal ini jelas melanggar ketentuan Pasal 11 UU TPKS Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f UU TPKS dan Pasal 5 Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f UU TPKS dan Pasal 6 Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang mana menyebutkan bahwa tindakan kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual secara fisik maupun non-fisik yang dilakukan oleh aparat sebagai pejabat negara dengan tujuan persekusi, menuduh hal yang dicurigai, mempermalukan dan merendahkan martabat perempuan merupakan tindakan penyiksaan seksual dengan tidak terbatas pada ruang privat namun juga di ruang publik. Sehingga, menimbulkan dampak perlukaan fisik dan psikososial yang mempengaruhi hak atas rasa aman korban di ruang publik. 

Dari apa yang dialami oleh seluruh korban, TAUD meyakini telah memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 170 KUHP, Pasal 351 KUHP, Pasal 11 UU TPKS, Pasal 5 dan Pasal 6, Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f UU TPKS. Setelah diminta untuk berkonsultasi dengan Perwira Piket dan Petugas SPKT pada Mabes Polri yang memakan waktu sekitar 9 jam, akhirnya Mabes Polri menerima 4 (empat) Laporan Polisi yang dilaporkan oleh para korban. Laporan ini didasarkan oleh bukti-bukti terjadinya tindak pidana yang dihimpun oleh TAUD berupa foto dan video.

Adapun Laporan Polisi (LP) yang telah tercatatkan pada SPKT Badan Reserse Kriminal Republik Indonesia pada Mabes Polri adalah sebagai berikut:

  1. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/280/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 16 Juni 2025;
  2. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/284/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 16 Juni 2025;
  3. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/285/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 16 Juni 2025;
  4. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/286/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 17 Juni 2025.

Setelah membuat Laporan Polisi (LP), TAUD juga mengirimkan pengaduan ke Biro Pengawas dan Penyidikan (Rowassidik). Hal ini berkaitan dengan adanya pelanggaran hukum acara pidana yang dilakukan oleh Polisi Ditreskrimum Polda Metro Jaya terhadap keempat belas klien kami. Mulai dari pelanggaran prosedur dalam penangkapan, jangka waktu penangkapan, penetapan tersangka yang tidak sah, serta mekanisme “pemeriksaan” ilegal yang tidak diatur dalam KUHAP.

TAUD juga membuat pengaduan kepada Divisi Profesi dan Keamanan (Propam) Mabes Polri berdasarkan Surat Penerimaan Surat Pengaduan Propam Nomor: SPSP2/002676/VI/2025/BAGYANDUAN tertanggal 16 Juni 2025. Hal ini berkaitan dengan adanya pelanggaran kode etik dan perilaku kepolisian berupa kekerasan yang dilakukan kepada masyarakat, pelanggaran hukum dalam proses hukum acara pidana, serta penyebaran berita bohong atau informasi yang keliru oleh pejabat kepolisian dalam proses penanganan kasus yang melibatkan keempat belas korban kekerasan tersebut.

Atas tindakan kekerasan fisik dan seksual yang dialami para korban serta dugaan pelanggaran kode etik dan dugaan pelanggaran hukum dalam proses penyelidikan/penyidikan terhadap 14 orang klien kami, TAUD mendesak:

1. Bareskrim Polri menerima dan memproses laporan sebagai bentuk komitmen Polri dalam menindaklanjuti setiap pengaduan dari masyarakat sipil demi menegakkan keadilan bagi korban.

2. Divisi Propam Mabes Polri menerima pengaduan, melakukan Audit Investigasi dan pemeriksaan terhadap setiap dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku kepolisian (KEPP) pada serangkaian proses penangkapan sampai dengan tahap penyidikan.

3. Kepala Biro Pengawasan Penyidik Mabes Polri melakukan pemeriksaan terhadap seluruh rangkaian proses penyelidikan-penyidik perkara klien kami;

4. Kapolri untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap aparat yang diduga terlibat dalam kekerasan fisik dan seksual pada peringatan May Day 1 Mei 2025, dengan melakukan pemeriksaan internal secara menyeluruh dan transparan.

5. Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk segera melakukan penyelidikan independen terhadap tindakan kekerasan yang terjadi dalam aksi May Day, serta mengeluarkan rekomendasi pemulihan dan jaminan ketidak berulangan.

6. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan perlindungan atas keamanan para korban dan para saksi serta memfasilitasi restitusi penderitaan fisik, mental dan/atau kerugiaan ekonomi yang dialami para korban dengan melakukan koordinasi dengan penyidik yang menindaklanjuti laporan.

7. Pemerintah dan institusi Polri  untuk menjamin kebebasan berekspresi dan berkumpul sesuai dengan amanat konstitusi, serta menghentikan praktik kekerasan dan kriminalisasi terhadap peserta aksi.

8.  Adanya mekanisme pemulihan dan reparasi bagi para korban, baik secara psikologis, hukum, maupun material, yang harus difasilitasi oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia.

 

Hormat kami,

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)

 

Pemuda Bekasi Dianggap Teroris: Penegakan Hukum Spekulatif Oleh Densus 88 Anti Teror Polri

Jakarta, 10 April 2020 – Pada 16 Februari 2022, Jon Sondang Saito Pakpahan ditangkap karena dituduh melakukan pelemparan molotov terhadap Pos Polisi di sekitar kolong Tol Jatiwarna, Bekasi, Jawa Barat. Warga yang melihat aksi Jon kemudian menangkapnya. Setelahnya, ia diserahkan kepada petugas kepolisian yang kebetulan sedang berpatroli untuk dibawa ke Polres Metro Bekasi Kota.

Awalnya, oleh Polres Metro Bekasi Kota Jon ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pembakaran. Namun tiba-tiba, Polres Metro Bekasi menyerahkan Jon ke Densus 88. Tindakan Jon dianggap sebagai terorisme yang kemudian membuatnya mendekam dalam sel Rutan Cabang Mako Brimob Cikeas atas dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan/atau 9 UU Terorisme dengan ancaman pidana mati.

Untuk memastikan keadaan Jon dan mengkonfirmasi apa yang dilakukannya, keluarga telah berulang kali datang ke Rutan Cabang Mako Brimob Cikeas, namun tidak diizinkan bertemu. Tak sampai disitu, keluarga telah menghubungi penyidik hingga menyurati Kepala Densus 88 AT Polri agar dapat bertemu dengan Jon. Namun, tidak mendapat respons apa pun. Keluarga juga tidak mendapatkan kepastian apakah Jon telah mendapatkan bantuan hukum dan berkualitas dalam proses hukum tersebut.

Berdasarkan kondisi di atas, Koalisi Reformasi Anti Teror mengecam keras tindakan Densus 88 AT Polri yang menggunakan UU Terorisme dengan dalih penegakan hukum tindak pidana terorisme terhadap Jon beserta berbagai pelanggaran HAM dalam prosesnya.

Pertama, Densus 88 AT secara serampangan menerapkan UU Terorisme terhadap Jon. Tidak ada suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas; atau korban yang bersifat massal yang ditimbulkan akibat perbuatan Jon sebagaimana unsur dalam Pasal 6 dan 9 UU Terorisme. Perbuatan Jon hingga saat ini bahkan masih simpang siur. Kuat dugaan bahwa dilakukan oleh Densus 88 AT ini merupakan kriminalisasi, karena sebelumnya Jon ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pembakaran oleh Polres Metro Bekasi Kota. Namun, tiba-tiba ia diserahkan kepada Densus 88 AT.

Kedua, Penggunaan UU Terorisme akan menjadi tren buruk penegakan hukum tindak pidana terorisme yang menyasar aksi-aksi protes terhadap kebijakan dan tindak tanduk Pemerintah. Ancamannya tak main-main, pidana mati. Hal ini kian menunjukkan ekses pemberlakuan UU Terorisme yang sejak awal telah dikritik oleh masyarakat sipil. Sejak pembahasannya, masyarakat sipil khawatir bahwa UU Terorisme berpotensi memberangus orang atau kelompok yang kritis terhadap kekuasaan ketimbang menyasar organisasi teroris.

Ketiga, terjadi pelanggaran hak Jon sebagai tersangka untuk dikunjungi oleh keluarganya sebagaimana dijamin oleh Pasal 61 KUHAP. Pelanggaran tersebut merupakan bentuk incommunicado detention (penahanan tanpa akses terhadap dunia luar) yang membuka ruang bagi penyiksaan dan bahkan penghilanggan orang secara paksa. Praktik-praktik kuno macam ini seharusnya sudah tidak mendapat ruang dalam penegakan hukum di Indonesia.

Keempat, Dalam hal bantuan hukum, Jon tidak mendapatkan bantuan hukum yang laik. Padahal, Pasal 14 ayat (3) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Republik Indonesia melalui UU 12 Nomor 2005  menetapkan jaminan minimal bagi setiap orang yang sedang dalam proses hukum, salah satunya adalah akses terhadap bantuan hukum. Lebih lanjut Pasal 54 KUHAP memberikan jaminan pemenuhan hak bagi setiap tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum di setiap tingkatan proses peradilan pidana. Pelanggaran hak atas bantuan hukum ini justru merupakan pintu masuk ke dalam praktik-praktik peradilan sesat.

Kelima, kasus ini menambah daftar panjang pelanggaran prosedur dalam penegakan hukum tindak pidana terorisme yang diduga dilakukan Densus 88 AT Polri.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menurut kami tindakan-tindakan tersebut bukan merupakan penegakan hukum, melainkan tak lebih dari aksi mempertontonkan kekuasaan. Untuk itu kami mendesak agar:

  1. Kapolri memerintahkan Kadensus 88 AT Polri untuk memerintahkan jajarannya yang melakukan penyidikan dalam kasus ini untuk segera membuka akses keluarga untuk berkunjung serta memenuhi hak Jon untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum yang ia tunjuk sendiri;
  2. Kapolri segara melakukan evaluasi terhadap tugas, fungsi, dan kerja-kerja Densus 88 AT Polri secara objektif dan menyeluruh, serta melibatkan seluas-luasnya partisipasi masyarakat sipil dalam prosesnya;
  3. Presiden dan DPR segera melakukan revisi terhadap UU Terorisme yang masih memuat ketentuan-ketentuan pidana dengan ancaman pidana mati yang berpotensi menyasar orang atau kelompok yang melakukan aksi-aksi protes terhadap Pemerintah serta melakukan revisi terhadap “Pasal-Pasal Guantanamo” dalam UU Terorisme yang memungkinkan adanya penahanan tanpa akses terhadap dunia luar dan penghalang-halangan akses bantuan hukum;
  4. Komnas HAM, Ombudsman RI, dan Kompolnas secara aktif melakukan pemantauan dan pemeriksaan terhadap dugaan-dugaan pelanggaran HAM, Maladministrasi, dan berbagai pelanggaran prosedur lainnya pada kasus ini.

Koalisi Reformasi Anti Teror
LBH Jakarta dan LBH Masyarakat

Rilis Pers – Arif Pulang Malam Ini, Terima Kasih Majelis Hakim!

LBH Masyarakat mengapresiasi Majelis Hakim yang memeriksa perkara klien kami, Arif Fauzi Fadillah (Arif), di Pengadilan Negeri Jakarta Timur atas putusannya, pada Kamis, 14 Desember 2017 kemarin, yang cermat terhadap lemahnya fakta persidangan dan berani untuk membebaskan klien kami dari segala tuduhan. Putusan Majelis Hakim, yang terdiri dari Dwi Dayanto, S.H., M.H. (Ketua Majelis); Abdul Bari A. Rahim, S.H., M.H.; dan Antonius Simbolon, S.H., M.H., telah memenuhi hak klien kami atas peradilan yang jujur dan adil juga mengembalikan Arif pada keluarga yang merindukannya.

Arif adalah klien LBH Masyarakat, yang bersama beberapa warga jatiwaringin lainnya, dituding oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Timur melakukan pembunuhan secara bersama-sama, melakukan pengeroyokan secara bersama-sama dan dituduh melakukan penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain secara bersama-sama. Kasus ini, secara keliru, sering dibingkai oleh beberapa liputan sebagai “Geng Motor Jatiwaringin” padahal para terdakwa justru adalah pihak-pihak yang melindungi kampung mereka dari ancaman geng motor yang dimaksud.

Dalam pendampingan hukum yang kami lakukan, kami menemukan bahwa dalam proses interogasi yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Timur terhadap Arif dan tujuh terdakwa terdapat perlakuan yang tidak manusiawi yakni pemukulan dan intimidasi. Perlakuan yang bertujuan untuk mendapatkan pengakuan ini adalah bentuk penyiksaan yang terang benderang.

Selain itu, di dalam persidangan kami juga menemukan beberapa kejanggalan: barang bukti tidak ada kaitannya dengan terdakwa, barang bukti yang dihadirkan tidak diperiksa di laboratorium, tidak ada saksi yang menyebutkan dan melihat terdakwa melakukan perbuatan yang dituduhkan kepada mereka, serta penyidik yang bertugas mengumpulkan barang bukti dan saksi verbalisan yang disebut terdakwa melakukan penyiksaan, tidak bisa hadir memberikan keterangan sebagai saksi dipersidangan.

Lemahnya fakta yang dikumpulkan dalam proses penyidikan dan penuntutan juga dilihat oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini. Hal tersebut membuat Arif dan tujuh terdakwa lainnya dinyatakan bebas dari segala tuduhan. Dalam putusannya, Majelis Hakim juga memerintahkan agar Arif dibebaskan dari tahanan.

Di saat yang sama, kami juga menyesalkan lambannya kerja Kejaksaan Negeri Jakarta Timur dan Rumah Tahanan Negara Cipinang dalam memenuhi perintah Majelis Hakim dalam putusan untuk segera mengeluarkan Arif dari tahanan. Butuh waktu lebih dari 24 jam hingga akhirnya Arif dikeluarkan dari Rutan Cipinang pada malam hari ini, Jumat, 15 Desember 2017. Hal ini hendaknya menjadi catatan bagi Kejaksaan Agung dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam aspek peningkatan kualitas kerja.

Melalui rilis ini, kami juga meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya dan/atau Kepala Kepolisian Resort Metro Jakarta Timur untuk memeriksa penyidik dalam kasus klien kami, Arif, yang diduga kuat melakukan pelanggaran etik, profesi, dan disiplin sebagai anggota Polri.

Kami berterima kasih juga pada pendukung-pendukung kami yang juga telah menyerukan #PulangkanArif melalui media sosial. Melalui kasus ini, kami melihat betapa esensialnya pemantauan publik terhadap sistem peradilan pidana serta pentingnya keberadaan penasihat hukum yang kapabel untuk mengungkap insiden penyiksaan dan lemahnya pembuktian dari penegak hukum.

Kasus ini menunjukan masih eksisnya praktik penyiksaan dalam penegakan hukum di Indonesia. Sebuah hal yang patut menjadi catatan penting bagi kita semua. Mengingat masih punitifnya hukum di Indonesia, maka kita semua adalah korban potensial praktik penyiksaan. Praktik penyiksaan dan intimidasi adalah praktik yang sudah seharusnya dihentikan – karena, siapapun dia, setiap manusia: berharga.

Jakarta, 15 Desember 2017

Maruf Bajammal, S.H. – Pengacara Publik LBH Masyarakat

Rilis Pers – Presiden Joko Widodo, Hormati Supremasi Hukum!

LBH Masyarakat mengecam beberapa pernyataan Presiden Joko Widodo dalam acara Pencanangan Aksi Nasional Pemberantasan Obat Ilegal dan Penyalahgunaan Obat di Jakarta Timur pada hari ini (Selasa, 3 Oktober 2017).

Pernyataan-pernyataan kami pandang cenderung emosional, tidak berbasis bukti, tidak evaluatif terhadap kinerja pemerintah sendiri, dan cenderung berat ke aspek penegakan hukum. Pemerintahan Presiden Joko Widodo kerap melupakan berbagai aspek lain dalam urusan narkotika, di antaranya layanan kesehatan, distribusi obat, dan bahkan perlindungan anak.

Dalam kesempatan itu, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa dalam urusan penyalahgunaan obat, pemerintah harus kejam. Daripada kekejaman, kami memandang bahwa yang dibutuhkan agar sebuah pemerintah dapat berhasil dalam program-programnya adalah kecermatan, ketepatan, data yang baik, dan akuntabilitas. Namun penting melihat pernyataan ini sebagai sebuah cara komunikasi politik Presiden Joko Widodo untuk tampil tangguh dan kuat. Hal ini selaras dengan seruan menggebuk komunis oleh pemerintah akhir-akhir ini.

Presiden Joko Widodo juga menyiratkan perlunya menggebuk beramai-ramai seseorang yang terlibat peredaran gelap narkotika pada Kabareskrim Komjen Pol Ari Dono. Ketika seorang polisi dengan ribuan bawahan dihadapkan dengan respon semacam ini dari seorang kepala pemerintahan, besar kemungkinan ia akan mencoba menjawab harapan pimpinannya ini. Hal ini membuat risiko penyalahgunaan wewenang oleh penegak hukum baik di pusat dan di daerah akan meningkat. Penyalahgunaan wewenang ini antara lain: pemerasan, penyiksaan, tembak di tempat tanpa mengikuti prosedur yang benar, serta berbagai pengingkaran hak tersangka.

Pada kesempatan ini pula, Presiden Joko Widodo mempromosikan penembakan untuk mengatasi peredaran obat-obatan ilegal. Setidaknya sudah ada dua kebijakan dalam hal peredaran gelap obat-obatan yang telah dilakukan rezim ini: yang pertama adalah hukuman mati dan yang kedua adalah tembak mati di tempat. Kedua hal ini adalah pelanggaran hak asasi manusia yang terang benderang, terutama untuk urusan hak hidup dan fair trial.

Namun di luar hal tersebut, bertindak keras terhadap peredaran gelap dengan senjata tanpa melakukan reformasi kebijakan yang menyeluruh maka hal tersebut tidak akan bermanfaat banyak. Hal ini dapat terlihat dari perang terhadap narkotika yang dilaksanakan di Amerika Tengah, Thailand, dan sekarang Filipina yang memakan banyak korban jiwa baik dari pihak sipil dan penegak hukum – namun kerap kali tidak menunjukan efektivitas.

Aksi nasional ini sendiri sedikit banyak juga dipengaruhi oleh insiden di Kendari beberapa waktu lalu yang memakan korban jiwa anak-anak. Obat yang dikonsumsi itu diberitakan luas sebagai PCC, walau ternyata memiliki kandungan zat lain di dalamnya. Insiden ini justru memperlihatkan beberapa pekerjaan rumah pemerintah:

  1. Jika ini obat PCC legal, maka sebenarnya sejak pelarangan PCC dahulu masih ada pasar yang mengonsumsi PCC. Melihat manfaat aslinya yang memang digunakan untuk situasi medis tertentu, ada baiknya pemerintah mengecek kebutuhan obat sejenis. Ketika peredarannnya diblok, mungkin ada pihak yang ingin mencari untung dari kekosongan pemasok di pasar.
  2. Jika ini obat PCC ilegal, maka pemerintah perlu mengecek betul bagaimana prekursor obat ini dapat beredar dengan mudah dan murah. BPOM dan Polri perlu bekerja lebih keras, bukan dengan bertindak lebih kejam – namun lebih tanggap dalam menghadapi upaya dari mafia peredaran gelap. Investasi lebih dalam soal teknologi kami pikir penting bagi rekan-rekan penegak hukum dalam hal ini.
  3. Maraknya anak-anak yang menggunakan narkotika sesungguhnya menjadi waktu bagi pemerintah untuk berpikir: sudahkah pemerintah memberikan kebutuhan anak-anak? Menyajikan tayangan bermutu bagi perkembangannya? Membangun sekolah dengan fasilitas budaya dan olahraga yang memadai agar anak-anak memiliki aktivitas? Memberikan akses internet murah dan aman agar mereka memiliki pengetahuan yang baik dan luas? Apakah Pemerintah memiliki program tertentu untuk mempersiapkan seseorang menjadi orangtua?

Kami tentu dalam posisi yang sangat mendukung upaya pemerintah dalam hal penegakan hukum dan pencegahan untuk menghindarkan upaya mafia peredaran gelap menjangkau anak-anak. Namun di sisi lain, ada kebutuhan anak yang nampaknya terlupakan hingga berpaling pada obat-obatan. Insiden ini menunjukan luasnya dimensi penggunaan obat – kami hanya ingin pemerintah menyadari betul hal tersebut.

Namun kami sepakat pada pernyataan Presiden Joko Widodo pada acara ini bahwa fenomena ini tidak bisa dianggap angin lalu saja. Ia menggambarkannya seperti puncak gunung es yang hanya tampak di permukaan. Kami harap pada akhirnya Presiden Joko Widodo juga mengerti bahwa untuk mengatasi peredaran gelap obat dibutuhkan perubahan kebijakan yang mendasar, berbasis bukti, serta memperhatikan standar HAM – bukan hanya membangun kesan tangguh tanpa arah.

 

Jakarta, 3 Oktober 2017

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Rilis Pers – Pembubaran Porseni Bissu/Waria: Pengingkaran terhadap Keberagaman Budaya dan Seksualitas

LBH Masyarakat mengecam pembubaran paksa Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Waria/Bissu se-Sulawesi Selatan di Soppeng yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Kamis, 19 Januari 2017. Polisi tidak hanya menggagalkan Porseni tetapi juga menciptakan terror dan rasa takut dengan memberikan tembakan peringatan untuk membubarkan peserta. Pembubaran paksa ini menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan terhadap kelompok LGBTIQ+ di Indonesia. Insiden ini mengonfirmasi laporan Human Rights Watch yang menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2016 terjadi peningkatan kekerasan dan ancaman kekerasan, seperti pembubaran pondok pesanteran Waria di Yogyakarta.[1]

Pembubaran ini bertentangan dengan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul yang secara tegas disebutkan dalam konstitusi Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang juga dijamin dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik pada Pasal 21. Pemerintah juga telah melanggar hak kelompok LGBTIQ+ untuk hidup bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Pemerintah telah dengan sadar mengingkari asas non-diskriminasi di mana perlindungan dari negara berhak diterima setiap warga negara termasuk mereka yang merupakan kelompok minoritas,

Insiden ini memperlihatkan bahwa Pemerintah justru menjadi pelaku dan pelindung pelaku kekerasan serta diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ+. Seharusnya Pemerintah, dalam konteks ini Polda Sulawesi Selatan dan seluruh jajarannya, bertugas untuk melindungi kebebasan berekspresi dan berserikat dari ancaman pemberangusan ilegal seperti ini, bukannya tunduk pada tekanan ormas.

Dalam budaya Bugis, Bissu merupakan pemimpin besar agama Bugis pra-Islam yang memiliki dua elemen gender perempuan dan laki-laki yang berperan sebagai penghubung inter-dimensional antara manusia dan Tuhan.[2] Tradisi ini telah hidup jauh sebelum bangsa ini berdiri.

Porseni tahunan Bissu dan Waria yang sejatinya akan dilaksanakan dari tanggal 19 – 21 Januari 2017 ini terpaksa dibubarkan oleh pihak kepolisian karena adanya ancaman demonstrasi dari 16 ormas Islam di Sulawesi Selatan.[3] Porseni yang telah diselenggarakan sebanyak 19 kali ini merupakan media bagi para Bissu dan Waria untuk mengapresiasi dan mengekspresikan kekayaan budaya serta keragaman seksualitas dan gender nusantara. Acara ini berlangsung damai dan oleh karena itu negara tidak memiliki landasan apa pun untuk menghentikannya. Pembubaran acara ini telah secara langsung menciderai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, mengingkari keragaman budaya dan seksualitas, serta melukai nafas kehidupan berdemokrasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk:

  1. Memberikan sanksi yang tegas Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan yang telah membubarkan Porseni Bissu/Waria di Soppeng, Sulawesi Selatan;
  2. Menyatakan permintaan maaf kepada seluruh elemen yang terlibat pada penyelenggaraan Porseni Bissu/Waria di Soppeng, Sulawesi Selatan;
  3. Menghormati keberagaman budaya dan seksualitas tradisi Bissu di Sulawesi Selatan;
  4. Menindak tegas kelompok-kelompok intoleran yang melakukan tindak kekerasan serta diskriminasi kepada kelompok LGBTIQ+;
  5. Menjamin perlindungan dan kebebasan berserikat dan berkumpul bagi kelompok LGBTIQ+ dan memastikan kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari.

 

Naila Rizqi – Pengacara Publik LBH Masyarakat

 

[1] Human Rights Watch, “ Permainan Politik ini  Menghancurkan Hidup Kami” Komunitas LGBT Indonesia Dalam Ancaman. https://www.hrw.org/sites/default/files/report_pdf/indonesia0816bahasaindonesia_web_0.pdf

[2] http://ardhanaryinstitute.org/index.php/2016/04/09/eksistensi-calalai-dalam-budaya-sulawesi-selatan/

[3] Informasi mengenai kronologi kejadian dapat dilihat di http://aruspelangi.org/siaran-pers/bubar_porseni-waria-bissu-se-sulawesi-selatan/

en_USEnglish