Bulan: Agustus 2025

Catatan Kritis LBH Masyarakat atas Brutalitas Aparat dalam Penanganan Aksi Demonstrasi

Menyikapi demonstrasi yang terjadi di Jakarta minggu ini, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) melihat beberapa pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang perlu mendapatkan perhatian serius. Beberapa catatan kami yang juga dikonfirmasi oleh lembaga-lembaga lain mencakup:

1. Kekerasan Brutal dan Pembunuhan

Sepanjang pengamanan aksi demonstrasi selama ini, aparat polisi berulang kali melakukan perbuatan tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Kejadian pembunuhan kepada Affan Kurniawan tempo hari menjadi contoh kecil di tengah masifnya tindakan kekerasan dan brutalitas aparat pada saat demonstrasi. Selama ini, proses penyelesaian kekerasan aparat di  tengah demonstrasi ini jarang diselesaikan dengan proses pidana dan etik. Sepatutnya, kepolisian melakukan pemeriksaan etik dan pemeriksaan tindak pidana bagi aparat-aparat kepolisian yang melakukan tindakan eksesif kekerasan.

2. Brimob di Aksi Damai: Menebar Ketakutan dan Kontraproduktif

Dalam menjaga keamanan selama proses unjuk rasa, kepolisian masih mengutamakan Brigade Mobil (Brimob) dalam penanganan demonstrasi. Menurut Pasal 22 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2022, Korps Brigade Mobil memiliki tugas membina dan mengerahkan kekuatan guna menanggulangi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang berintensitas tinggi. Namun, kehadiran Brimob ketika unjuk rasa masih berjalan damai seharusnya tidak diperlukan. Malah, kehadiran Brimob dalam unjuk rasa damai akan bersifat kontraproduktif untuk keamanan karena malah menyebarkan ketakutan dan melakukan penindakan yang ‘keras’. Risiko ini terbukti dengan meninggalnya Affan Kurniawan.

3. Abuse of Power Kepolisian terhadap Anak

Dalam demonstrasi sepekan ini, aparat kepolisian dikabarkan melakukan ‘pengamanan’ atas peserta demonstrasi berusia anak. ‘Pengamanan’ ini kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan di kantor polisi, bahkan sampai masuk ke jenjang penyidikan. Padahal, siapapun, termasuk orang yang berusia anak, memiliki hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Selain itu, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengenal kewenangan ‘mengamankan’. Pengamanan yang diskriminatif kepada anak, menunjukkan adanya abuse of power dari aparat kepolisian selaku penegak hukum.

4. Tes Urin Paksa terhadap Massa Aksi

Aparat kepolisian juga banyak melakukan pemeriksaan urin secara paksa kepada massa aksi yang ditangkap. Senin 25 Agustus 2025, Polda Metro Jaya melakukan tes urine paksa terhadap 351 demonstran di depan Gedung DPR RI, yang kemudian menyebut tujuh orang di antaranya positif narkotika. Hal Ini merupakan kebiasaan pelanggaran hukum yang kebablasan karena dasar untuk melakukan tes urin tidak ada. Seharusnya tes urin untuk memeriksa penggunaan narkotika dilakukan jika ada kecurigaan seseorang terlibat dalam kasus narkotika, bukan memukul rata semua demonstran untuk dites narkotika. Tes urine dalam aksi demonstrasi juga seolah ingin menyebarkan stigma bahwa para pengunjuk rasa yang terlibat dalam demonstrasi adalah orang-orang yang salah dan tidak patut didengarkan karena mereka pengguna narkotika.

5. Penahanan Sewenang-Wenang Tanpa Prosedur

Salah satu praktik paling berbahaya yang dilakukan oleh anggota kepolisian dalam penanganan aksi demonstrasi belakangan ini adalah penangkapan dan penahanan sewenang-wenang tanpa prosedur administratif. Banyak massa aksi yang ditahan di kantor polisi (Polsek/Polres/Polda), tapi tak ada satupun dokumen resmi yang dibuat untuk mencatat tindakan tersebut. Tanpa administrasi, tindakan anggota kepolisian tidak tercatat dalam sistem hukum. Imbasnya, massa aksi yang ditahan tidak memiliki dasar hukum untuk menggugat atau melawan. Hak konstitusional mereka lenyap karena negara tidak mengakui sebagai “penahanan resmi”. Penahanan sewenang-wenang tanpa prosedur ini merupakan bentuk “kekerasan tak kasat mata” dan merampas kemerdekaan mereka.

6. Pengawasan Tak Berjalan

Mekanisme pengawasan atas tindakan brutalitas di lapangan tidak berjalan. Meskipun kita tidak berkekurangan lembaga-lembaga pengawasan internal dan eksternal, seperti Kompolnas, publik tidak bisa melihat selama ini respon mereka atas pengekangan kebebasan berpendapat oleh aparat di lapangan. Pada demonstrasi-demonstrasi yang terjadi sebelumnya, seperti demonstrasi Hari Buruh tanggal 1 Mei, tidak ada tindakan yang dilakukan oleh Kompolnas atas upaya represi dan kriminalisasi orang-orang yang sedang menyampaikan pendapat secara damai. Badan-badan pengawasan internal dan eksternal seharusnya mampu untuk meredam aksi brutalitas aparat dan melakukan penyelidikan atas aparat-aparat yang melakukan tindakan tersebut.

7. Represif terhadap Jurnalis/Media

Selama proses demonstrasi, aparat kepolisian tidak hanya represif kepada orang-orang yang sedang menyampaikan pendapat, tetapi juga kepada personil media. Beberapa personil media mendapatkan larangan untuk merekam peristiwa yang terjadi. Tindakan represif ini juga diperkuat dengan Surat Imbauan Nomor 309/KPID-DKI/VIII/2025 tertanggal 28 Agustus 2025 dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi DKI Jakarta, yang meminta kepada 66 lembaga penyiaran untuk tidak menayangkan siaran/liputan unjuk rasa yang bermuatan kekerasan secara berlebihan. Hal ini menunjukkan bahwa hak kebebasan berpendapat dan kebebasan pers belum sepenuhnya dijamin. Publik memiliki hak atas informasi yang berimbang dan transparan, sehingga kehadiran personil media dan lembaga penyiaran yang bebas untuk mewartakan apa yang terjadi menjadi penting.

Atas poin-poin kesalahan ini, LBHM mendesak agar:

  1. Presiden Prabowo Subianto mencopot Kepala Kepolisian RI, Sigit Listyo Prabowo, sebagai bentuk akuntabilitas pemimpin atas pelanggaran hukum dan HAM para personilnya.
  2. Pemerintah dan DPR melakukan revisi KUHAP dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna untuk memastikan bahwa aturan-aturan pemeriksaan menjunjung tinggi hak asasi manusia orang-orang yang tengah berkonflik dengan hukum.
  3. Adanya pemeriksaan yang bersifat independen kepada seluruh aparat kepolisian yang melakukan kekerasan, termasuk pembunuhan yang dilakukan kepada Affan Kurniawan, dengan melibatkan berbagai lembaga pengawas internal dan eksternal Polri untuk memastikan pelaku mendapatkan sanksi etik dan pidana yang seadil-adilnya.

 

Putusan Pidana Mati Terhadap Kopda Bazarsah: Antara Pemenuhan Kebutuhan Korban atau Narasi Kegagahan Semata

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengkritik vonis mati Pengadilan Militer I-04 Palembang untuk Kopda Bazarsah karena dinilai hanya menunjukkan citra gagah negara tanpa memikirkan dampak lain. Vonis ini juga tidak menyembuhkan luka keluarga korban dan bertentangan dengan semangat reformasi peradilan pidana dalam KUHP baru.

Pada tanggal 11 Agustus 2025, bertempat di Pengadilan Militer I-04 Palembang, Sumatera Selatan, seorang anggota militer berpangkat Kopral Dua (Kopda), Bazarsah, dijatuhi pidana mati oleh Majelis Hakim Militer atas perbuatan pembunuhan yang dilakukannya terhadap 3 (tiga) orang polisi, yakni AKP (Anumerta) Lusiyanto (selaku Kapolsek Negara Batin), Aipda (Anumerta) Petrus Apriyanto (selaku Bintara Polsek Negara Batin), dan Bripda (Anumerta) M. Ghalib Surya Ganta (selaku Bintara Satreskrim Polres Way Kanan).

Tentunya penjatuhan pidana mati ini selaras dengan tuntutan yang disampaikan oleh Oditur Militer pada tanggal 21 Juli 2025. Oditur Militer menyatakan bahwa tindakan Kopda Bazarsah telah memenuhi unsur Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau melakukan perbuatan pembunuhan secara berencana. Tak hanya tuntutan pidana mati, Oditur Militer juga meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman tambahan berupa pemecatan dari dinas militer. Baik tuntutan pidana mati dan pemecatan dari dinas militer, hal itu dikabulkan oleh Majelis Hakim.

Namun, Majelis Hakim tidak sependapat dengan Oditur Militer yang menyatakan Kopda Bazarsah terbukti memenuhi unsur dalam Pasal 340 KUHP. Majelis Hakim lebih sepakat jika Kopda Bazarsah terbukti melakukan perbuatan dan memenuhi unsur dalam Pasal 338 KUHP karena melakukan pembunuhan tersebut tanpa rencana. Terlepas dengan pandangan tersebut, Majelis Hakim tetap menjatuhkan pidana mati terhadap Kopda Bazarsah. 

Kami berpandangan apa yang dilakukan oleh Majelis Hakim dalam kasus ini adalah di luar dari kewenangan hukum yang berlaku. Vonis pidana mati yang diberikan kepada Kopda Bazarsah, sekalipun sesuai dengan harapan banyak pihak, menunjukkan permasalahan hukum yang lebih dalam. Ada tiga catatan kritis yang bisa kami sampaikan dalam kasus ini.

Pertama, apabila Hakim memosisikan seseorang telah terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang diatur dengan Pasal 338 KUHP, maka konsekuensi pidana yang dapat dikenakan terhadap orang tersebut adalah maksimal 15 tahun penjara. Dalam hukum pidana, memang masih memungkinkan Majelis Hakim memberikan pidana tambahan, seperti pidana denda, tetapi bukan dengan penambahan pidana penjara ataupun pidana mati. Penjatuhan hukuman di luar ketentuan maksimal akan berbahaya karena menimbulkan preseden bagi para hakim untuk memvonis di luar aturan hukum yang ada.

Kondisi penjatuhan pidana mati di Indonesia nampaknya masih tetap dan terus terjadi dalam beberapa kasus, seperti narkotika, pembunuhan berencana, kekerasan seksual terhadap anak, dan terorisme. Namun seiring dengan penjatuhan pidana mati yang terus dikeluarkan, apakah jumlah kasus terhadap tindak pidana tersebut berkurang? Data membuktikan tidak. Inilah yang kami sebut dengan cara menampilkan kegagahan semata tanpa memikirkan dampak lain yang sifatnya bisa menguntungkan.

Kedua, vonis pidana mati tidak serta merta menyembuhkan rasa sakit dan luka yang dialami oleh keluarga korban. Malah, dalam banyak kasus, vonis mati mengalihkan keluarga korban dari hak-haknya yang lebih dasar, seperti pemenuhan layanan psikologi dan ekonomi. Dalam kasus-kasus seperti ini di mana korban utama adalah tulang punggung keluarga, menjadi beralasan jika keluarga korban meminta tuntutan lain, seperti restitusi dari pelaku, untuk menanggung hidup mereka pasca kehilangan tiga orang penopang keluarga ini.

Sayangnya, dalam pidana mati, hak atas restitusi ini menjadi tidak bisa didapatkan. Hal ini disebabkan oleh bunyi Pasal 67 KUHP yang menyatakan bahwa “Jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, di samping itu tidak  boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu”. Hal ini mencangkup restitusi, sehingga tidak ada kemungkinan bagi seseorang yang dijatuhi dengan pidana mati untuk tetap melakukan kewajiban restitusinya terhadap keluarga korban. Keluarga korban tidak diberikan ruang untuk menuntut mendapatkan restitusi dari orang yang dijatuhi dengan pidana mati tersebut. 

Ketiga, vonis mati terhadap Kopda Bazarsah tidak sesuai dengan semangat reformasi peradilan pidana yang diusung oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru). Tidak sampai 5 bulan lagi, KUHP Baru akan berlaku dan digunakan. Aturan-aturan dalam KUHP Baru telah mencoba sedikit demi sedikit beralih dari pidana mati. Selain pidana mati dijadikan pidana alternatif, KUHP Baru juga memandatkan hakim memutus pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun. Harapannya adalah terdapat perubahan perilaku terhadap orang yang dijatuhi dengan pidana mati sehingga hukuman mereka dikomutasi menjadi pidana seumur hidup.

“Tampaknya banyak pengadilan, termasuk Pengadilan Militer I-04 Palembang, belum sepenuhnya mengerti pergeseran perspektif ini. Hal inilah yang menyebabkan narapidana deret tunggu terus bertambah dari tahun ke tahun, di mana per hari ini sudah mencapai 594 orang. Putusan-putusan mati ini juga tampak tidak belajar dari pengalaman-pengalaman yang sebelumnya untuk beralih dari model penghukuman yang sifatnya retributif seperti hukuman mati ke hukuman yang lebih rehabilitatif dan restoratif,” ungkap Koordinator Penanganan Kasus LBHM, Yosua Octavian.

Berkaitan dengan kasus Kopda Bazarsah ini, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) meminta kepada Pengadilan Tinggi Militer yang nantinya memeriksa dan mengadili perkara ini di tingkat banding untuk dapat: 

1. Mengutamakan pemenuhan layanan psikologi dan ekonomi bagi keluarga korban dengan mengutamakan kewajiban restitusi terhadap Kopda Bazarsah dibanding dengan penjatuhan pidana mati yang merupakan cara usang untuk menanggulangi kejahatan.

2. Mendorong aparat hukum yang berwenang untuk mengutamakan keselamatan bagi keluarga korban dan juga keluarga dari Kopda Bazarsah agar terhindar dari ancaman dan/atau tekanan dari pihak mana pun.

3. Mendesak institusi Tentara Negara Indonesia (TNI) untuk melakukan audit secara serius atas kepemilikan senjata api anggotanya dan keterlibatan anggota TNI dalam bisnis-bisnis yang dilarang untuk memastikan kejadian pembunuhan seperti yang dilakukan oleh Kopda Bazarsah tidak terulang lagi.

Jakarta, 12 Agustus 2025

Hormat kami,

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) 

Narahubung: 0898-437-0066

KERTAS KEBIJAKAN | Mekanisme Penegakan Hukum Internasional untuk Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan Elemen Pemaksaan Kejahatan

Indonesia masih menghadapi ancaman serius dalam hal tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Pada tahun 2023, Kepolisian mencatat 1.061 kasus dengan 3.363 korban.

Sementara itu, sepanjang tahun 2024, organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Nasional Anti TPPO mendampingi 248 kasus, menunjukkan betapa luas dan kompleksnya dampak perdagangan manusia di lapangan.

Salah satu modus yang kian mengemuka adalah perdagangan manusia dengan elemen pemaksaan kejahatan (forced criminality), di mana korban dipaksa melakukan tindak pidana. Sayangnya, dalam banyak kasus, korban justru dikriminalisasi alih-alih diperlakukan sebagai pihak yang harus dilindungi.

Laporan Pemerintah Amerika Serikat tahun 2024 menempatkan Indonesia pada Tingkat 2, artinya Indonesia telah melakukan upaya signifikan, namun masih belum memenuhi standar minimum perlindungan korban secara menyeluruh. Dalam konteks kejahatan lintas negara, upaya penegakan hukum internasional sangat penting untuk mencegah kerentanan WNI menjadi korban kriminalisasi dari TPPO di negara lain.

Simak selengkapnya melalui Kertas Kebijakan yang kami buat untuk menangani persoalan diatas.

Meninjau Kebijakan dan Praktik Rehabilitasi Narkotika dalam Skema Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia

Dalam wacana kebijakan publik, rehabilitasi narkotika seringkali dipromosikan sebagai solusi “kemanusiaan” untuk menangani pengguna narkotika. Dibanding pemenjaraan, rehabilitasi dianggap lebih ramah, lebih “sehat”, dan lebih berorientasi pada pemulihan individu. Namun, penelitian terbaru LBH Masyarakat (LBHM) justru menjungkirbalikan asumsi ini secara radikal: apa yang dijual sebagai pemulihan, dalam praktiknya justru bisa berubah menjadi ruang penyiksaan terselubung.

Klaim “pemulihan” itu terbentur oleh kenyataan lapangan yang suram: rehabilitasi dijalankan tanpa standar, tanpa persetujuan pasien, dan dalam banyak kasus, tanpa akuntabilitas hukum. Alih-alih dipulihkan, para pengguna narkotika justru mengalami pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan, bahkan eksploitasi ekonomi. Mereka ditahan secara ilegal, diperas secara finansial, dilarang dijenguk, dan dibiarkan dalam kondisi tidak manusiawi di bawah kedok “rehabilitasi”.

Kasus “kerangkeng manusia” milik mantan Bupati Langkat menjadi simbol betapa lemahnya negara dalam mengontrol praktik-praktik rehabilitasi narkotika. Di balik tembok rumah pejabat publik, puluhan orang disekap, dipaksa bekerja, dan dianiaya, bahkan “dihilangkan nyawanya” secara perlahan. Label “tempat pemulihan” digunakan untuk menormalisasi penyiksaan sistematis.

Namun Langkat bukanlah kasus tunggal. Riset ini menunjukkan bahwa praktik serupa tersebar luas, namun tak tercatat dan tersembunyi, seolah negara menutup mata terhadap kekerasan yang berlangsung dalam diam. Bahkan lembaga-lembaga berbasis keagamaan yang mengklaim menawarkan pemulihan spiritual, justru memperlakukan orang dengan disabilitas psikososial atau pengguna narkotika layaknya tahanan tanpa hak.

Riset ini juga membongkar bagaimana pendekatan hukum yang punitif terhadap pengguna narkotika justru memperbesar risiko pelanggaran hak asasi. UU Narkotika masih menempatkan pengguna sebagai pelaku kriminal, bukan individu yang membutuhkan bantuan kesehatan. Akibatnya, pengguna narkotika dianggap sebagai warga kelas dua: mudah disingkirkan, mudah disalahkan, dan mudah dieksploitasi.

Baca dan unduh penelitian ini untuk memahami alasan mengapa penyelenggaraan sistem rehabilitasi harus berbasiskan pada nilai-nilai dan prinsip HAM.