Penulis: admin lbhm

Job Vacancy – Staf Keuangan LBH Masyarakat (LBHM)

LBHM Membutuhkan Staf Keuangan

Semua kerja-kerja LBHM didukung oleh tim yang menakjubkan, salah satunya Tim Operasional. Selama hampir 12 tahun, tim yang terdiri dari Koordinator Operasional, Staf Keuangan, Staf Administrasi, dan Kepala Rumah Tangga, ini memastikan keuangan dan administrasi LBHM, baik keluar maupun ke dalam, berjalan baik. Melalui ini, kami mengajak teman-teman yang memenuhi syarat untuk bergabung bersama LBHM di Tim Operasional dan berkontribusi dalam kerja-kerja hak asasi manusia di Indonesia, sebagai Staf Keuangan.

Adapun spesifikasi yang dibutuhkan sebagai Staf Keuangan LBHM adalah sebaga iberikut:

  • Min SMA Akuntansi/Komputer Akuntansi
  • Memiliki pengalaman bekerja 1-2 tahun;
  • Jujur, teliti, mempunyai integritas dan loyalitas tinggi terhadap organisasi;
  • Menguasai program M Office (excel, word, dan powerpoint) dan program akuntansi ( Accurate, MYOB,dll);
  • Memahami perpajakan di Indonesia;
  • Berkomitmen, mau belajar, dan mampu bekerja dalam tim dan/atau individu, serta dapat bekerja dalam tekanan dengan supervisi yang minim;
  • Mempunyai kemampuan berkomunikasi dan presentasi yang baik;
  • Memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang memadai.

Bagi kamu yang merasa tertantang menyanggupi pekerjaan di atas serta tertarik menjadi salah satu anggota tim yang signifikan di LBHM, silahkan kirimkan: 

A. Surat Lamaran,
B. Curriculum Vitae (CV) terbaru 

Kirim ke alamat email ddkhaerudin@lbhmasyarakat.org dengan subyek email: Aplikasi SA_namakamu.

Batas waktu pengiriman aplikasi paling lambat Senin, 28 september 2020 pukul 23.59 WIB.

Untuk informasi lengkap terkait deskripsi pekerjaan dapat teman-teman unduh di link ini

Rilis Pers Konsorsium Crisis Respon Mechanism (CRM) – Kasus Penggrebekan Komunitas “Hot Space” Kuningan Jakarta Selatan: Meminimalisir Stigma Melalui Pemenuhan Hak Hak Tersangka

Kasus penggrebekan sebuah pesta di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, yang terjadi pada hari Sabtu, 29 Agustus 2020, saat ini sedang marak di media dan sedang proses pemeriksaan. Dari 56 orang yang menhadiri pesta tersebut, 9 orang diantaranya ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. Para tersangka dijerat dengan pasal 296 KUHP dan atau Pasal 33 Jo Pasal 7 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Berdasarkan informasi dan pemberitaan di media massa, cukup jelas terlihat bahwa penanganan perkara ini tidak mengindahkan hak-hak tersangka terhadap peradilan yang adil (fair trial) yang antara lain mencakup hak atas praduga tak bersalah dan hak untuk didampingi oleh pendamping hukum di setiap tahap pemeriksaan atas perkaranya, sebagaimana diatur di dalam UU No. 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional menganai Hak-Hak Sipil dan Politik. Lebih dari itu, penyidik kepolisian juga mempublikasikan status HIV dari salah satu tersangka, di mana hal ini sangat bertentangan dengan prinsip perlindungan atas privasi yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia tersangka pidana.

Kecerobohan dan kesewenang-wenangan dalam proses penyidikan tersebut berdampak juga terhadap maraknya pemberitaan dan diskursus publik terkait kasus ini yang bertendensi negatif baik di media massa dan media sosial. Hal ini berpotensi meningkatkan stigma dan kebencian terhadap tersangka dan kelompok keragaman seksual dan identitas gender di Indonesia.

Teman-teman dapat melihat tuntutan lengkapnya dengan mengklik link di sini

Rilis Pers Aliansi Masyarakat Sipil – Pidana dalam Kasus Jerinx Tidak Tepat, Kepolisian Harus Segera Hentikan Penyidikan

Rabu, 12 Agustus 2020, Jerinx, pemilik akun IG @jrxsid menurut pemberitaan sejumlah kanal media online resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan atas dugaan pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan/atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai ujaran kebencian dan pencemaran nama baik. Jerinx dilaporkan oleh IDI wilayah Bali atas postingannya yang menyebut IDI sebagai “kacung WHO” karena mewajibkan dilakukannya rapid test. Kami berpendapat, penggunaan pasal pidana UU ITE untuk menjerat Jerinx atas postingan yang dibuatnya ini tidaklah tepat. Lebih lanjut, penahanan yang dikenakan terhadapnya tidaklah perlu untuk dilakukan dan cenderung dipaksakan. Adapun pernyataan Jerinx terhadap penanganan COVID-19 yang kontraproduktif perlu menjadi pemicu untuk menghadirkan diskursus publik yang lebih sehat, ketimbang menggunakan jalur kriminalisasi melalui instrumen UU ITE.

Penggunaan Pasal 28 ayat (2) untuk menjerat Jerinx atas postingan yang dibuatnya jelas tidaklah tepat dan menyalahi makna dari ketentuan tersebut. Ketentuan tersebut pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk menjerat ekspresi-ekspresi yang termasuk ke dalam kategori incitement to hatred/violence/discriminate atau penghasutan untuk melakukan suatu tindakan kebencian/kekerasan/diskriminasi berdasarkan SARA. Elemen penting dalam ketentuan itu yakni “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Niat menjadi satu komponen yang paling penting untuk membedakan antara ekspresi yang sah (legitimate expression) dengan ekspresi yang termasuk ke dalam ujaran kebencian.

Menurut pandangan kami, ekspresi yang disampaikan oleh Jerinx di dalam postingan Instagramnya tersebut, yang merujuk kepada IDI sebagai “kacung WHO” sangat jauh untuk dapat dikatakan memenuhi unsur ini.

Untuk melihat rilis lengkap, silahkan klik link ini

Aliansi Masyarkat Sipil:
ICJR, Elsam, PIL-NET, IJRS, HRWG, DebtWatch Indonesia, IMPARSIAL, PBHI, YLBHI, LBH Pers, Greenpeace Indonesia, PSHK, Indonesia for Global Justice, Yayasan Satu Keadilan, ICEL, LeIP, LBH Masyarakat

Rilis Pers bersama Komunitas Pengguna Napza – BONGKAR KASUS PENYIKSAAN HENDRI BAKARI DI BATAM!

Kematian Hendri Alfred Bakari adalah insiden yang memalukan bagi penegakan hukum Indonesia. Kematian Hendri tidak hanya menunjukkan indikasi perilaku penyiksaan yang sudah membudaya namun juga keengganan institusi untuk melangkah menuju perubahan.

Hendri dibawa ke Polresta Barelang Batam pada 6 Agustus 2020. Pada 7 Agustus, petugas melakukan penggeledahan di rumah Hendri namun tidak ditemukan apapun. Di tanggal 8 Agustus, petugas menjemput istri dan paman Hendri agar mereka menemui Hendri. Saat bertemu dengan Kanit Reskrim, disampaikanlah bahwa Hendri sudah meninggal dunia.

Beberapa hal dalam kasus ini amat terlihat janggal. Pertama, Hendri ditangkap tanpa surat penangkapan. Kedua, surat kematian menunjukkan bahwa Hendri meninggal pada 07.13 WIB namun mengapa keluarga baru diberitahu siang hari dengan dalih untuk menemui Hendri terlebih dahulu. Ketiga, kepala Hendri ketat dibungkus plastik dengan selotip coklat yang tebal. Keempat, terdapat bekas memar di tubuh Hendri.

Hendri selayaknya mendapatkan proses hukum yang prosedural. Hal ini tertulis pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 1 ayat 3 yang menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Rilis lengkap dapat teman-teman unduh di link ini

Rilis Pers – Kemenkes: Kembali Fokus Urus Kesehatan, Lupakan Cuitan!

Jakarta, 5 Agustus 2020. Telah beredar surat Kementerian Kesehatan RI tertanggal 3 Agustus 2020 perihal surat peringatan yang ditujukan kepada pemilik akun twitter @aqfiazfan. Dalam surat yang ditanda tangani Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat ini Kementerian Kesehatan “menilai unggahan tersebut, memuat unsur penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Menteri Kesehatan dan Kementerian Kesehatan sebagaimana dimaksud pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.”

Berdasarkan hal tersebut kami, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemantauan Penanganan Covid-19 mengecam langkah yang diambil oleh Kementerian Kesehatan tersebut dengan salah satu alasannya adalah langkah yang diambil oleh kementerian kesehatan merupakan sifat yang yang anti kritik dan juga menunjukan ketidakmampuan dalam melihat sebuah permasalahan dimana kritikan yang disampaikan oleh akun twitter @aqfiazfan merujuk kepada Menteri Kesehatan bukan Kementrian Kesehatan. Kritik tersebut hanya menunjukkan ketidakberdayaan masyarakat akan tidak adanya mekanisme pertanggungjawaban kegagalan pemerintah kepada masyarakat. Cuitan balasan Kementerian Kesehatan nampak berusaha menunjukkan ketimpangan kuasa yang dimiliki pemerintah untuk membungkam dan menekan masyarakat yang melemparkan kritik.

Teman-teman dapat membaca rilis lengkapnya dengan mengklik link ini

Rilis Pers – Kondisi Buruk Lapas Terekspos Kembali: Mutlak, Reformasi Kebijakan Pidana Harus Perhatikan Lapas

Lagi-lagi kondisi buruk dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) terungkap. Kali ini dibeberkan oleh Surya Anta, yang pernah menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta Pusat melalui cuitan dalam twitter miliknya. Surya Anta membeberkan kondisi buruk pada Rutan Salemba mulai dari kondisi pemenuhan hak dasar WBP yang tidak memadai, yaitu hak atas makanan hingga hak atas kesehatan, juga terjadinya praktik perdagangan gelap narkotika hingga komodifikasi untuk pemenuhan fasilitas layak di dalam Lapas.

Sudah bukan rahasia umum lagi jika situasi penjara di Indonesia itu sangat tidak manusiawi. Pernyataan yang disampaikan oleh Surya Anta membuktikan jika penjara kita perlu dilakukan perombakan besar, salah satunya merombaknya dari hilir, dengan mengganti pendekatan punitif yang selama ii selalu bermuara ke dalam penjara, khusunya kelompok pengguna yang kerap kali menjadi korban dari kebijkan punitif ini.

Overcrowd yang terjadi di dalam penajara bukanlah halusinasi belaka, ternyata memang betul terjadi, bagaimana Surya Anta menggambarkan keadaan di dalam lapas. Bisa dibayangkan dengan kondisi penjara yang minim fasilitas dengan sesaknya penghuni akan seperti apa, tentunya akan menyebabkan masalah lain seperti masalah kesehatan, jika tidak cepat ditangani maka negara telah melakukan pelanggaran hak asasi terhadap narapidana.

Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) memberikan beberapa masukan dan data tentang situasi pemenjaraan di Indonesia, rilis lengkapnya dapat di unduh di sini

Rilis Pers – Koalisi Masyarakat Sipil Meminta Dasar Pemerintah Menolak Rekomendasi WHO terkait Ganja Medis untuk Dibuka ke Publik

Koalisi Masyarakat Sipil yang diwakili oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH Masyarakat) meminta agar bukti ilmiah terhadap klaim-klaim penelitian terkait ganja medis dibuka kepada publik. Koalisi yang diwakili oleh LBH Masyarakat pada 7 Juli 2020 secara resmi telah mengajukan permohonan informasi publik yang ditujukan kepada BNN, Polri, dan Kemenkes.

Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Kesehatan mempertanyakan sikap Pemerintah yang menolak rekomendasi WHO terkait penggunaan ganja untuk kesehatan. Sebelumnya, pada Juni 2020 Pemerintah yang diwakili oleh Badan Narkotika Nasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kementerian Kesehatan mengadakan rapat untuk menyiapkan jawaban resmi untuk Komite Ahli Ketergantungan Obat WHO dan berkesimpulan bahwa sikap Indonesia berada pada posisi menolak penggunaan ganja untuk kepentingan kesehatan.

Hal ini menyebabkan pertanyaan besar, khususnya tentang riset yang dijadikan dasar oleh BNN untuk menolak pemanfaatan ganja dalam bidang medis.

Untuk membaca rilis lengkapnya teman-teman dapat silahkan klik di sini

Rilis Pers – GERAK Perempuan

Beberapa waktu lalu RUU PKS dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Dikeluarkannya RUU P-KS ini karenakan pemabahasan yang katanya sulit (?), Padahal sudah banyak korban dari kekerasan seksual yang sulit bahkan tidak pernah mendapatkan keadilan.

Ketiadaan payung hukum bagi korban kekerasan seksual merupakan suatu hal yang mestinya diperhatikan oleh legislatif (DPR). Keengganan pihak legislatif untuk membahas dan segera mengesahkan RUU P-KS bisa dibilang sebagai sikap pengabaian terhadap mereka yang telah menjadi korban kekerasan seksual.

Maka dari itu GERAK Perempuan Menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) Dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 & Mengajak teman-teman untuk bersolidaritas mengawal proses Legislasi hingga diundangkan serta Ajakan Membangun Kolektif sebagai Sistem Dukungan.

Untuk membaca rilis lengkapnya silahkan klik link berikut

Pendampingan Hukum Bagi Orang-orang yang Berhadapan dengan Hukuman Mati: Sebuah Pedoman Praktik Terbaik

Praktik penjatuhan hukuman mati kepada narapidana masih sering terjadi di beberapa negara salah satunya di Indonesia. Indonesia hingga saat ini sudah melakukan eksekusi mati terhadap 18 orang terpidana dalam kurun waktu dua tahun (2015 – 2016). Sayangnya praktik hukuman mati ini dibarengi dengan pelanggaran hak seorang terpidana, salah satunya hak atas fair trial, seperti mendapatkan pendamping hukum yang kompeten. Realita saat ini, kerap kali banyak narapidana yang menghadapi hukuman berat mendapatkan pendamping hukum yang kurang kompeten atau tidak menguasai perkara—tidak hanya di hukuman mati begitupun di kasus lainnya.

LBH Masyarakat (LBHM) berinisiatif menerjemahkan pedoman Praktik Terbaik ini agar dapat menjadi panduan bagi para advokat di Indonesia yang menangani kasus hukuman mati. Tentu saja konteks dan sistem hukum Indonesia dengan sejumlah contoh di dalam Pedoman ini berbeda, namun gagasan atau pengalaman yang dibagikan di Pedoman ini diharapkan dapat menjadi inspirasi atau ide strategi dalam mendampingi orang-orang yang berhadapan dengan hukuman mati.

Pedoman ini merupakan hasil kolaborasi panjang dan produktif antara Death Penalty Worldwide, firma hukum Fredrikson & Byron P.A., dan World Coalition Against the Death Penalty, kumpulan pengacara di setidaknya 15 negara, serta mahasiswa hukum di klinik Advokasi HAM Professor Babcock.

Teman-teman dapat membaca dan mengunduh pedoman, silahkan mengklik di sini.

Reorientasi Kebijakan Narkotika di Indonesia: Jalan Setapak Menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Indonesia menunjukkan komitmen besar untuk mencapai Sustainable Development Goals sebelum 2030. Tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2015 ini melingkupi berbagai area, termasuk ekonomi, kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, lingkungan, keadilan dan perdamaian. Dengan moto ‘tidak meninggalkan seorang pun’, pemerintah Indonesia mencoba untuk mengarusutamakan tujuan-tujuan SDGs ke dalam kebijakan dan program yang dijalankan oleh kementerian-kementerian terkait.

Namun, upaya untuk mencapai SDGs berjalan paralel dengan kebijakan keras Indonesia terhadap narkotika yang tampak jelas dalam jargon ‘perang terhadap narkotika’. Didukung oleh akademisi, banyak organisasi komunitas pengguna narkotika dan kelompok hak asasi manusia yang menunjukkan bagaimana pendekatan punitif yang Indonesia terapkan sebetulnya menimbulkan lebih banyak ketidakadilan mengingat bagaimana kebijakan-kebijakan itu mengabaikan aspek kesehatan dan menimbulkan diskriminasi. Konsekuensi-konsekuensi yang muncul sengaja ataupun tidak sengaja dari kebijakan narkotika Indonesia bersifat kontraproduktif terhadap tujuan SDGs yang Indonesia berusaha sangat keras untuk mencapainya.

Reprieve dan LBHM, dengan bantuan dari Kedutaan Swiss di Indonesia, mencoba untuk menelisik lebih dalam ke persinggungan antara kebijakan narkotika dan SDGs. Pada hari ini, 26 Juni, yang bertepatan dengan Hari Anti Narkotika Internasional, kami meluncurkan sebuah laporan berjudul “Reorientasi Kebijakan Narkotika di Indonesia: Jalan Setapak Menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan”. Laporan ini bertujuan untuk membuka lebih banyak dialog tentang kebijakan narkotika yang berdasar bukan dari ketakutan buta melainkan dari bukti-bukti penelitian.

Untuk mengakses dokumen ini, silakan klik link ini.