Kategori: Isu

Isu LBHM

Catatan Kritis LBH Masyarakat atas Brutalitas Aparat dalam Penanganan Aksi Demonstrasi

Menyikapi demonstrasi yang terjadi di Jakarta minggu ini, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) melihat beberapa pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang perlu mendapatkan perhatian serius. Beberapa catatan kami yang juga dikonfirmasi oleh lembaga-lembaga lain mencakup:

1. Kekerasan Brutal dan Pembunuhan

Sepanjang pengamanan aksi demonstrasi selama ini, aparat polisi berulang kali melakukan perbuatan tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Kejadian pembunuhan kepada Affan Kurniawan tempo hari menjadi contoh kecil di tengah masifnya tindakan kekerasan dan brutalitas aparat pada saat demonstrasi. Selama ini, proses penyelesaian kekerasan aparat di  tengah demonstrasi ini jarang diselesaikan dengan proses pidana dan etik. Sepatutnya, kepolisian melakukan pemeriksaan etik dan pemeriksaan tindak pidana bagi aparat-aparat kepolisian yang melakukan tindakan eksesif kekerasan.

2. Brimob di Aksi Damai: Menebar Ketakutan dan Kontraproduktif

Dalam menjaga keamanan selama proses unjuk rasa, kepolisian masih mengutamakan Brigade Mobil (Brimob) dalam penanganan demonstrasi. Menurut Pasal 22 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2022, Korps Brigade Mobil memiliki tugas membina dan mengerahkan kekuatan guna menanggulangi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang berintensitas tinggi. Namun, kehadiran Brimob ketika unjuk rasa masih berjalan damai seharusnya tidak diperlukan. Malah, kehadiran Brimob dalam unjuk rasa damai akan bersifat kontraproduktif untuk keamanan karena malah menyebarkan ketakutan dan melakukan penindakan yang ‘keras’. Risiko ini terbukti dengan meninggalnya Affan Kurniawan.

3. Abuse of Power Kepolisian terhadap Anak

Dalam demonstrasi sepekan ini, aparat kepolisian dikabarkan melakukan ‘pengamanan’ atas peserta demonstrasi berusia anak. ‘Pengamanan’ ini kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan di kantor polisi, bahkan sampai masuk ke jenjang penyidikan. Padahal, siapapun, termasuk orang yang berusia anak, memiliki hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Selain itu, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengenal kewenangan ‘mengamankan’. Pengamanan yang diskriminatif kepada anak, menunjukkan adanya abuse of power dari aparat kepolisian selaku penegak hukum.

4. Tes Urin Paksa terhadap Massa Aksi

Aparat kepolisian juga banyak melakukan pemeriksaan urin secara paksa kepada massa aksi yang ditangkap. Senin 25 Agustus 2025, Polda Metro Jaya melakukan tes urine paksa terhadap 351 demonstran di depan Gedung DPR RI, yang kemudian menyebut tujuh orang di antaranya positif narkotika. Hal Ini merupakan kebiasaan pelanggaran hukum yang kebablasan karena dasar untuk melakukan tes urin tidak ada. Seharusnya tes urin untuk memeriksa penggunaan narkotika dilakukan jika ada kecurigaan seseorang terlibat dalam kasus narkotika, bukan memukul rata semua demonstran untuk dites narkotika. Tes urine dalam aksi demonstrasi juga seolah ingin menyebarkan stigma bahwa para pengunjuk rasa yang terlibat dalam demonstrasi adalah orang-orang yang salah dan tidak patut didengarkan karena mereka pengguna narkotika.

5. Penahanan Sewenang-Wenang Tanpa Prosedur

Salah satu praktik paling berbahaya yang dilakukan oleh anggota kepolisian dalam penanganan aksi demonstrasi belakangan ini adalah penangkapan dan penahanan sewenang-wenang tanpa prosedur administratif. Banyak massa aksi yang ditahan di kantor polisi (Polsek/Polres/Polda), tapi tak ada satupun dokumen resmi yang dibuat untuk mencatat tindakan tersebut. Tanpa administrasi, tindakan anggota kepolisian tidak tercatat dalam sistem hukum. Imbasnya, massa aksi yang ditahan tidak memiliki dasar hukum untuk menggugat atau melawan. Hak konstitusional mereka lenyap karena negara tidak mengakui sebagai “penahanan resmi”. Penahanan sewenang-wenang tanpa prosedur ini merupakan bentuk “kekerasan tak kasat mata” dan merampas kemerdekaan mereka.

6. Pengawasan Tak Berjalan

Mekanisme pengawasan atas tindakan brutalitas di lapangan tidak berjalan. Meskipun kita tidak berkekurangan lembaga-lembaga pengawasan internal dan eksternal, seperti Kompolnas, publik tidak bisa melihat selama ini respon mereka atas pengekangan kebebasan berpendapat oleh aparat di lapangan. Pada demonstrasi-demonstrasi yang terjadi sebelumnya, seperti demonstrasi Hari Buruh tanggal 1 Mei, tidak ada tindakan yang dilakukan oleh Kompolnas atas upaya represi dan kriminalisasi orang-orang yang sedang menyampaikan pendapat secara damai. Badan-badan pengawasan internal dan eksternal seharusnya mampu untuk meredam aksi brutalitas aparat dan melakukan penyelidikan atas aparat-aparat yang melakukan tindakan tersebut.

7. Represif terhadap Jurnalis/Media

Selama proses demonstrasi, aparat kepolisian tidak hanya represif kepada orang-orang yang sedang menyampaikan pendapat, tetapi juga kepada personil media. Beberapa personil media mendapatkan larangan untuk merekam peristiwa yang terjadi. Tindakan represif ini juga diperkuat dengan Surat Imbauan Nomor 309/KPID-DKI/VIII/2025 tertanggal 28 Agustus 2025 dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi DKI Jakarta, yang meminta kepada 66 lembaga penyiaran untuk tidak menayangkan siaran/liputan unjuk rasa yang bermuatan kekerasan secara berlebihan. Hal ini menunjukkan bahwa hak kebebasan berpendapat dan kebebasan pers belum sepenuhnya dijamin. Publik memiliki hak atas informasi yang berimbang dan transparan, sehingga kehadiran personil media dan lembaga penyiaran yang bebas untuk mewartakan apa yang terjadi menjadi penting.

Atas poin-poin kesalahan ini, LBHM mendesak agar:

  1. Presiden Prabowo Subianto mencopot Kepala Kepolisian RI, Sigit Listyo Prabowo, sebagai bentuk akuntabilitas pemimpin atas pelanggaran hukum dan HAM para personilnya.
  2. Pemerintah dan DPR melakukan revisi KUHAP dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna untuk memastikan bahwa aturan-aturan pemeriksaan menjunjung tinggi hak asasi manusia orang-orang yang tengah berkonflik dengan hukum.
  3. Adanya pemeriksaan yang bersifat independen kepada seluruh aparat kepolisian yang melakukan kekerasan, termasuk pembunuhan yang dilakukan kepada Affan Kurniawan, dengan melibatkan berbagai lembaga pengawas internal dan eksternal Polri untuk memastikan pelaku mendapatkan sanksi etik dan pidana yang seadil-adilnya.

 

KERTAS KEBIJAKAN | Mekanisme Penegakan Hukum Internasional untuk Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan Elemen Pemaksaan Kejahatan

Indonesia masih menghadapi ancaman serius dalam hal tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Pada tahun 2023, Kepolisian mencatat 1.061 kasus dengan 3.363 korban.

Sementara itu, sepanjang tahun 2024, organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Nasional Anti TPPO mendampingi 248 kasus, menunjukkan betapa luas dan kompleksnya dampak perdagangan manusia di lapangan.

Salah satu modus yang kian mengemuka adalah perdagangan manusia dengan elemen pemaksaan kejahatan (forced criminality), di mana korban dipaksa melakukan tindak pidana. Sayangnya, dalam banyak kasus, korban justru dikriminalisasi alih-alih diperlakukan sebagai pihak yang harus dilindungi.

Laporan Pemerintah Amerika Serikat tahun 2024 menempatkan Indonesia pada Tingkat 2, artinya Indonesia telah melakukan upaya signifikan, namun masih belum memenuhi standar minimum perlindungan korban secara menyeluruh. Dalam konteks kejahatan lintas negara, upaya penegakan hukum internasional sangat penting untuk mencegah kerentanan WNI menjadi korban kriminalisasi dari TPPO di negara lain.

Simak selengkapnya melalui Kertas Kebijakan yang kami buat untuk menangani persoalan diatas.

Meninjau Kebijakan dan Praktik Rehabilitasi Narkotika dalam Skema Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia

Dalam wacana kebijakan publik, rehabilitasi narkotika seringkali dipromosikan sebagai solusi “kemanusiaan” untuk menangani pengguna narkotika. Dibanding pemenjaraan, rehabilitasi dianggap lebih ramah, lebih “sehat”, dan lebih berorientasi pada pemulihan individu. Namun, penelitian terbaru LBH Masyarakat (LBHM) justru menjungkirbalikan asumsi ini secara radikal: apa yang dijual sebagai pemulihan, dalam praktiknya justru bisa berubah menjadi ruang penyiksaan terselubung.

Klaim “pemulihan” itu terbentur oleh kenyataan lapangan yang suram: rehabilitasi dijalankan tanpa standar, tanpa persetujuan pasien, dan dalam banyak kasus, tanpa akuntabilitas hukum. Alih-alih dipulihkan, para pengguna narkotika justru mengalami pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan, bahkan eksploitasi ekonomi. Mereka ditahan secara ilegal, diperas secara finansial, dilarang dijenguk, dan dibiarkan dalam kondisi tidak manusiawi di bawah kedok “rehabilitasi”.

Kasus “kerangkeng manusia” milik mantan Bupati Langkat menjadi simbol betapa lemahnya negara dalam mengontrol praktik-praktik rehabilitasi narkotika. Di balik tembok rumah pejabat publik, puluhan orang disekap, dipaksa bekerja, dan dianiaya, bahkan “dihilangkan nyawanya” secara perlahan. Label “tempat pemulihan” digunakan untuk menormalisasi penyiksaan sistematis.

Namun Langkat bukanlah kasus tunggal. Riset ini menunjukkan bahwa praktik serupa tersebar luas, namun tak tercatat dan tersembunyi, seolah negara menutup mata terhadap kekerasan yang berlangsung dalam diam. Bahkan lembaga-lembaga berbasis keagamaan yang mengklaim menawarkan pemulihan spiritual, justru memperlakukan orang dengan disabilitas psikososial atau pengguna narkotika layaknya tahanan tanpa hak.

Riset ini juga membongkar bagaimana pendekatan hukum yang punitif terhadap pengguna narkotika justru memperbesar risiko pelanggaran hak asasi. UU Narkotika masih menempatkan pengguna sebagai pelaku kriminal, bukan individu yang membutuhkan bantuan kesehatan. Akibatnya, pengguna narkotika dianggap sebagai warga kelas dua: mudah disingkirkan, mudah disalahkan, dan mudah dieksploitasi.

Baca dan unduh penelitian ini untuk memahami alasan mengapa penyelenggaraan sistem rehabilitasi harus berbasiskan pada nilai-nilai dan prinsip HAM.

PERAN FAKTOR SOSIAL EKONOMI DALAM REZIM KEBIJAKAN NARKOTIKA PUNITIF DI INDONESIA

Selama beberapa dekade terakhir, Indonesia menerapkan kebijakan-kebijakan yang keras dan berfokus pada pemidanaan perdagangan narkotika terlarang dengan menjatuhkan hukuman penjara yang panjang untuk berbagai pidana narkotika, termasuk penggunaan dan penguasaan, serta menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi. Pembenaran terhadap pendekatan punitif ini adalah argumen efek jera: keyakinan bahwa hukuman yang cukup keras akan menggetarkan calon pelaku untuk tidak terlibat dalam pidana narkotika. Namun pada kenyataannya, perdagangan narkotika terus berkembang, dan pendekatan punitif ini justru telah mengakibatkan krisis kepadatan penjara. Situasi ini mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan reformasi peraturan perundang-undangan.

Laporan ini hendak mengisi kesenjangan pengetahuan mengenai dampak sosial ekonomi dari pendekatan Indonesia saat ini terhadap kebijakan narkotika: siapa dalam masyarakat yang paling terdampak, dan bagaimana. Tulisan ini menelaah peran berbagai faktor sosial ekonomi dalam jalur menuju kriminalisasi untuk pidana narkotika, serta efek sosial ekonomi dari pendekatan punitif itu sendiri. Laporan ini didasarkan pada wawancara dengan narapidana yang menjalani hukuman untuk pidana narkotika serta dengan perwakilan organisasi masyarakat sipil (OMS) yang bergiat dalam bidang kebijakan narkotika dan dukungan kepada narapidana.

Penelitian ini dijalankan oleh Death Penalty Research Unit (DPRU), Oxford University, bekerja sama dengan LBH Masyarakat (LBHM).

Unduh penelitian selengkapnya

Panduan Mengintegrasikan Isu Tuberkulosis dalam Kerja-Kerja Hak Asasi Manusia

Tuberkulosis (TBC) masih menjadi masalah kesehatan global, dengan 10,6 juta orang didiagnosis TBC pada tahun 2022. Di Indonesia, yang menyumbang sekitar 10% dari kasus TBC dunia, tercatat 1.060.000 kasus dan 134.000 kematian akibat TBC. WHO meluncurkan strategi “End TB” untuk mengurangi insiden TBC hingga 90% pada 2030, dengan salah satu prinsip utama perlindungan dan promosi Hak Asasi Manusia (HAM) bagi orang dengan TBC.

Namun, orang dengan TBC menghadapi berbagai bentuk pelanggaran HAM, seperti penolakan perawatan, diskriminasi sosial, dan stigma dari masyarakat dan tenaga kesehatan. Laporan LBH Masyarakat mencatat pelanggaran HAM terhadap orang dengan TBC, yang sebagian besar terkait dengan hak atas kesehatan dan perlakuan diskriminatif. Stigma internal dan eksternal memperburuk kondisi mereka, menghambat pencarian pengobatan dan memperburuk kualitas hidup.

Untuk mengatasi masalah ini, komunitas orang dengan TBC dan organisasi pasien telah mengadvokasi hak mereka, termasuk dengan mendeklarasikan “Deklarasi Hak Orang yang Terdampak Tuberkulosis” pada 2019. Deklarasi ini menegaskan kewajiban perlindungan HAM bagi orang dengan TBC.

Pemerintah Indonesia, melalui Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021, juga menekankan pentingnya mitigasi dampak psikososial dan pemberdayaan ekonomi bagi orang dengan TBC dan keluarganya. Agar kebijakan ini dapat terlaksana dengan baik, diperlukan panduan yang melibatkan komunitas, masyarakat, dan berbagai pihak, termasuk organisasi hukum dan HAM, untuk mendukung strategi nasional eliminasi TBC.

Buku panduan ini dapat menjadi referensi penting untuk memahami langkah-langkah yang harus diambil dalam mengintegrasikan perlindungan HAM dan strategi eliminasi TBC di Indonesia.

Simak selengkapnya melalui link berikut ini

Kertas Kebijakan: Mendorong Komutasi Pidana Mati dan Penjara Seumur Hidup yang Efektif, Berkeadilan, dan Bermartabat

Indonesia telah mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada tanggal 2 Januari 2023. Biasa dirujuk sebagai KUHP Baru, produk ini mulai berlaku tiga tahun sejak tanggal diundangkan. Artinya KUHP Baru akan berlaku mulai 2 Januari 2026. Melalui KUHP Baru, Indonesia memperkenalkan sejumlah ketentuan dengan tujuan restriksi atau melimitasi penggunaan pidana mati.

Pertama, pidana mati merupakan pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 67 juncto Pasal 98 KUHP Baru. Pengancaman pidana mati secara alternatif bertujuan sebagai “upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat.”

Kedua, “hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan (a) rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau (b) peran terdakwa dalam tindak pidana.”, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 100 ayat (1). Apabila selama masa percobaan tersebut terpidana mati menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana matinya dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden, setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA).

Ketiga, Pasal 101 KUHP Baru menambahkan, “jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden. Walau KUHP Baru menyediakan tiga pendekatan yang intensinya membatasi penggunaan pidana mati, KUHP Baru sesungguhnya masih mempertahankan pidana mati.

Selain pidana mati, KUHP Baru juga masih mempertahankan pidana penjara seumur hidup. Serupa dengan komutasi pidana mati, KUHP Baru memungkinkan pidana penjara seumur hidup diubah menjadi pidana penjara 20 tahun dalam hal seorang narapidana seumur hidup telah menjalani pidana penjara paling singkat 15 tahun, melalui Keputusan Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung.

Ketentuan mengenai tata cara perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 20 tahun dan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 621 KUHP Baru menyebutkan bahwa peraturan pelaksana KUHP Baru harus ditetapkan paling lama dua tahun terhitung sejak KUHP Baru diundangkan. Artinya, Peraturan Pemerintah yang mengatur tata cara komutasi pidana penjara seumur hidup dan pidana mati tersebut harus diundangkan paling lambat 2 Januari 2025.

Baca kertas kebijakan LBHM dan PBHI terkait Peraturan Pemerintah mengenai tata cara komutasi pidana penjara seumur hidup dan pidana mati yang harus diperhatikan oleh pemerintah melalui link di bawah ini: 

Kertas Kebijakan: Pengarusutamaan Pengurangan Dampak Buruk dalam Kebijakan Narkotika di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan pendekatan punitif dengan narasi perang melawan narkotika (war on drugs). Deklarasi perang melawan narkotika setidaknya disampaikan pada tahun 2015 oleh mantan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Genderang perang ini kemudian diterjemahkan oleh aparat penegak hukum dengan melakukan penangkapan sampai dengan penjatuhan pidana dengan hukuman yang berat untuk menciptakan efek jera dan menekan angka kejahatan narkotika. Namun, setelah hampir satu dekade narasi ini digunakan, situasi kebijakan narkotika di Indonesia tidak kunjung mencapai cita-cita yang diharapkan, yakni Indonesia bebas narkotika. Sebaliknya, persoalan struktural justru timbul dan bahkan melanggar hak-hak dasar manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan negara dalam kerangka sistem peradilan pidana di Indonesia.

Pendekatan punitif dalam penanganan narkotika, yang mengandalkan sanksi keras, terbukti tidak efektif menurunkan angka kejahatan narkoba. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, memuat delik atau ketentuan pidana yang bias dalam menentukan peran antara seorang “pengguna” dan “pengedar”. “pengedar”. Hal tersebut jelas menghambat akses rehabilitasi medis dan/atau sosial yang telah diatur dalam UU Narkotika. Praktik ini juga berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penyiksaan dan pemerasan terhadap tahanan narkotika. Kondisi ini diperburuk dengan praktik penanganan kasus narkotika yang kerap kali menjadikan narasi perang melawan narkotika sebagai legitimasi perampasan hak-hak dasar orang yang berhadapan dengan hukum, secara khusus pengguna narkotika.

Selain itu pendekatan kriminal yang digunakan oleh pemerintah juga berdampak pada situasi pemasyarakatan yang tidak kunjung mampu menyelesaikan permasalahan kelebihan kapasitasnya (overcrowding).

Kebijakan pengendalian narkotika harus dipahami sebagai cara untuk mencapai tujuan yang lebih luas, termasuk perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak atas kesehatan, kesetaraan dan nondiskriminasi. Oleh karena itu “perang melawan narkotika” harus dihentikan dan berfokus pada perubahan transformatif – menyusun kebijakan narkotika yang ramah terhadap gender, berdasarkan bukti, dan menempatkan hak asasi manusia sebagai pendekatan utamanya.

Lihat kertas kebijakan selengkapnya melalui link berikut

Hukuman Mati Tidak Melindungi Siapapun Hentikan Pidana Mati dan Hapuskan!

Pernyataan Sikap dalam Peringatan Hari Menentang Hukuman Mati Internasional 9 Oktober 2024

 

Setiap tanggal 10 Oktober, berbagai negara, organisasi, dan advokat di seluruh dunia bersatu dalam solidaritas untuk kembali menegaskan sebuah kebenaran universal bahwa setiap nyawa manusia berharga, dan tidak boleh ada orang yang harus menghadapi eksekusi mati sebagai bentuk penghukuman yang adil. Pada hari ini, kami Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) dan Koalisi untuk Menghapus Hukuman Mati (HATI) yang terdiri dari berbagai kalangan aktivis, advokat, praktisi, tokoh agama, dan komponen masyarakat sipil lainnya turut bersolidaritas dan menyerukan diakhirinya praktik tersebut. Kami mengingatkan pentingnya hak hidup sebagai hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun dan bahwa keadilan seharusnya adalah tentang rehabilitasi dan pemulihan, bukan pembalasan.

Berdasarkan World Coalition Against Death Penalty setidaknya 112 negara telah menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan, 55 negara masih mempertahankan hukuman mati untuk pidana luar biasa, 222 orang dieksekusi mati sepanjang 2023, serta terdapat 41.047 orang berada dalam deret tunggu eksekusi mati. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia yang di dipublikasi di website https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh, per 4 Oktober 2024, setidaknya terdapat 557 terpidana mati dalam deret tunggu, 11 orang di antaranya adalah perempuan.

Pidana mati telah lama menjadi isu yang diperdebatkan, menimbulkan pertanyaan tentang moral, hukum, dan dampak sosialnya. Dalam banyak kasus, hukuman mati secara tidak proporsional menargetkan masyarakat yang terpinggirkan, orang miskin, dan bahkan mereka yang dituduh secara tidak benar dengan melanggar hak mereka atas peradilan yang adil (fair trial). Dampak dari hukuman mati bukan hanya masalah hukum, tetapi juga sangat personal. Kisah-kisah terpidana mati dan keluarga mereka memberikan gambaran yang sangat jelas tentang konsekuensi yang harus ditanggung oleh manusia. Dari tuduhan pengadilan yang tidak adil hingga laporan penderitaan mental yang diderita oleh mereka yang menunggu eksekusi, kisah-kisah ini mengingatkan kita bahwa hukuman mati sejatinya adalah tentang penyiksaan dan penderitaan yang nyata, sehingga penerapan pidana mati tampak sebagai hukuman berlapis.

Banyak kajian telah menunjukkan bahwa hukuman mati tidak secara efektif memberi efek jera dan mencegah kejahatan. Sebaliknya, hukuman mati justru melanggengkan siklus kekerasan dan menutup kemungkinan rehabilitasi dan perbaikan. Hukuman mati tidak membuat Indonesia menjadi lebih aman dan mewujudkan penegakan hukum karena tidak melindungi siapa pun. Hukuman mati tidak membawa pada keadilan, sebaliknya hanya menciptakan lebih banyak korban. Dengan memilih abolisi atau penghapusan hukuman mati, Indonesia dapat mewujudkan sistem peradilan yang adil, manusiawi, dan sejalan dengan kecenderungan global untuk mengakhiri hukuman mati.

Kami juga mengingatkan bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan 2 Januari 2023 (UU No.1 Tahun 2023), pidana mati merupakan pidana alternatif yang pemidanaannya selalu diberikan satu paket dengan masa percobaan 10 tahun untuk dapat dilakukan pengubahan hukuman menjadi seumur hidup. KUHP yang baru juga menetapkan pembentukan mekanisme penilaian terhadap terpidana mati untuk melihat adanya perubahan sikap dan perbuatan yang terpuji sebagai syarat pengubahan pidana mati.

Dorongan untuk menghapuskan hukuman mati juga sejalan dengan tren global dan regional. Malaysia, baru-baru ini telah bergerak untuk menghapus pemidanaan mati wajib (mandatory death sentence) dan membuat kebijakan pemindahan ulang (resentencing) yang bertujuan untuk mengurangi secara drastis jumlah narapidana yang berada pada deret tunggu hukuman mati. Hal ini menandakan adanya sebuah pergeseran di kawasan regional yang tidak boleh diabaikan oleh Indonesia. Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi contoh dan mempromosikan sistem peradilan yang lebih menghargai kehidupan dan martabat kemanusiaan.

Pada Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia ini, kami menyerukan kepada pemerintah, terutama kepada Presiden Joko Widodo sebelum menyelesaikan masa jabatannya pada 20 Oktober 2024 untuk menyelesaikan komutasi massal bagi 557 terpidana mati. Sedangkan bagi Presiden terpilih dan anggota DPR yang baru saja dilantik, serta seluruh masyarakat Indonesia, termasuk Aparat Penegak Hukum (Yudikatif) dan Pemerintah (Eksekutif) untuk mengambil langkah nyata menuju masyarakat yang lebih beradab, manusiawi dan adil, bergabung dengan negara-negara lain untuk mengakhiri bentuk hukuman keji dan tidak dapat dipulihkan ini (irrevisible).

Ini saatnya Indonesia mengambil langkah-langkah yang terukur dan berani untuk menghapuskan hukuman mati.

Untuk itu,kami mendesak pemerintah untuk mengambil langkah konkrit dan terukur untuk menghapuskan hukuman mati, melalui langkah-langkah berikut :

  1. Melakukan moratorium penuntutan pidana mati;
  2. Melakukan moratorium eksekusi pidana mati;
  3. Memastikan dibentuknya mekanisme penilaian untuk pengurangan hukuman mati;
  4. Melakukan asesmen secepatnya terhadap terpidana mati di deret tunggu yang sudah menjalani pidana penjara 10 tahun lebih untuk pengurangan hukuman;
  5. Melakukan pemantauan secara berkala pada tempat-tempat penahanan terpidana mati untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi dan mencegah terjadinya penyiksaan;
  6. Memastikan responsivitas gender dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga penahanan/pemenjaraan sehingga kebutuhan, situasi dan kerentanan khas perempuan dapat diakui dan dipertimbangkan;
  7. Menjamin terpenuhinya Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas sejak dari proses penahanan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai dengan putusan sehingga kebutuhan, hambatan, dan kerentananan Penyandang Disabilitas dalam mendapatkan proses yang setara dan adil diakui dan dipertimbangkan;
  8. Menyelamatkan Warga Negara Indonesia atau buruh migran dari hukuman mati di luar negeri.

Daftar Lembaga dan Individu:

Lembaga

  1. Imparsial
  2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  3. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  4. Reprieve
  5. Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI)
  6. JPIC Divina Providentia
  7. ICJR
  8. Forum Akar Rumput Indonesia (FARI)
  9. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)
  10. Yayasan Suar Perempuan Lingkar Napza Nusantara (SPINN)
  11. Zero Human Trafficking Network (ZHTN)
  12. Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS)
  13. JALA PRT
  14. Marsinah.id
  15. Institut Sarinah
  16. Artsforwomen Indonesia
  17. FSBPI
  18. GMNI
  19. Kidung
  20. KKPPMP KEPRI
  21. YAPESDI
  22. Sikola Mombine, Sulteng
  23. Suluh Perempuan
  24. Perempuan Mahardhika
  25. Migrant CARE
  26. PBHI
  27. IJRS
  28. Beranda Migran
  29. Peduli Buruh Migran
  30. debtWATCH Indonesia
  31. Perkumpulan Pegiat Kesehatan Masyarakat (SAFETY)
  32. PADMA INDONESIA (Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia).
  33. LRC KJHAM
  34. SETARA Institute
  35. Yayasan Inklusif
  36. ELSAM
  37. Komunitas Perempuan Berkisah
  38. Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya)
  39. Yayasan Srikandi Sejati
  40. Pasah Kahanjak
  41. Kolektif Semai
  42. Caritas Indonesia
  43. Jaringan Nasional Anti TPPO (JarNas Anti TPPO)
  44. Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia
  45. Emancipate Indonesia
  46. Human Rights Working Group (HRWG)
  47. Pusat Penelitian HIV (PPH) Unika Atma Jaya
  48. INFID
  49. CENTRA Initiative
  50. Aliansi Demokrasi Untuk Papua (AIDP)
  51. KASBI
  52. Jaringan Buruh Migran (JBM)
  53. Solidaritas Perempuan
  54. Koalisi Perempuan Indonesia
  55. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
  56. Asosiasi LBH APIK Indonesia (APIK)
  57. F-SEDAR
  58. Aliansi Magang, Outsourcing, Kontrak Melawan (AMUK)
  59. Amnesty International Indonesia

 

Individu

  1. Rosma Karlina
  2. Baby V. Nurmaya
  3. Rizki Kurniawan
  4. Bambang Yulistyo Tedjo
  5. Yuyu Marliah Sukabumi
  6. Eva Sundari
  7. Olin Monteiro
  8. Fanda Puspitasari
  9. Syahar Banu
  10. Panca Saktiyani
  11. Ririn Sefsani
  12. Siti Rubaidah
  13. Maria Yohanista Djou
  14. Amelia Efiliana
  15. DessiDesmaniar
  16. Wahyu Susilo
  17. Puspa Yunita
  18. Rully Winata
  19. Dicky Sulaeman, S.H.
  20. Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus (Romo Paschal)
  21. Raditya Budi Setiawan, S.E.
  22. Iwan Misthohizzaman
  23. Arimbi Heroepoetri
  24. Youngster1312
  25. Yuli Riswati
  26. Sr Laurentina SDP
  27. Hery Oktavianus
  28. Dewi Tjakrawinata
  29. Sari Aznur
  30. Halili Hasan
  31. Alimah Fauzan
  32. Kekek Apriana DH
  33. Ditta Wisnu
  34. Erwin Natosmal Oemar
  35. Nabila Tauhida
  36. Jesse Adam Halim
  37. Eric Sindunata
  38. Dike Nomia
  39. Erwin Netosmal Oemar
  40. Dian Kartika Sari
  41. Pera Sopariyanti
  42. Aida Milasari
  43. Yessi Talibo
  44. Savitri Wisnuwardhani
  45. Mike Verawati
  46. Nursyahbani Katjasungkana

Lika Liku Jalan Kesetaraan: Advokasi Dukungan Pengambilan Keputusan oleh Orang dengan Disabilitas Psikososial

Sejak 2020, melalui dukungan Australia Indonesia Partnership for Justice 2, LBHM fokus melakukan berbagai riset seputar pengampuan dan kapasitas hukum orang dengan disabilitas psikososial. Dukungan ini berlanjut dengan kolaborasi bersama Kementerian Hukum dan HAM dan Perhimpunan Jiwa Sehat untuk mewujudkan konsep dan mekanisme Kelompok Kerja Penghormatan, Pelindungan, Pemenuhan, Penegakan, dan Pemajuan Hak Asasi Manusia (Pokja P5HAM).

Cerita berikut (yang didokumentasikan sepanjang Mei – Juni 2024) berupaya memotret perjalanan bersama LBHM dan AIPJ2 bersama para mitra masyarakat sipil dan organisasi penyandang disabilitas serta pemerintah melewati lika liku untuk mewujudkan kesetaraan bagi orang dengan disabilitas psikososial.

LBHM dan AIPJ2 terus membuka diri dengan berbagai persepsi dalam tiap tahap kolaborasi. Kami mengapresiasi setiap narasumber dalam cerita ini yang telah berbagi, yang mengingatkan setiap kita untuk terus menggaungkan prinsip hak asasi dan hak hukum bagi orang dengan disabilitas psikososial. Selamat membaca!

Unduh publikasi tersebut melalui link di bawah ini:

Laporan Observasi Simposium Nasional “Hukum yang Hidup di Masyarakat” (Living Law) Paska KUHP Baru

Di tengah masa transisi mengantisipasi keberlakuan KUHP baru mulai Januari 2026, ada kebutuhan bagi masyarakat sipil baik yang bergerak di isu hak masyarakat adat maupun mereka yang berfokus pada perlindungan hak kelompok rentan untuk mendiskusikan sejumlah isu terkait Pasal 2 KUHP baru dan (potensi) implementasi dan implikasinya. 

Di saat bersamaan, seiring dengan persiapan pemerintah menyiapkan rencana peraturan turunan pasal tersebut,  masyarakat sipil juga merasa perlu memberikan masukan yang konstruktif atau setidaknya memberikan saran yang bersifat pengaman (safeguarding) yang berkeadilan dan berperspektif HAM.

Upaya untuk mendiskusikan hal-hal tersebut dan menyarikan masukan dan rekomendasi kunci itu dilakukan dengan adanya pelaksanaan acara Simposium Nasional “Hukum yang Hidup dalam Masyarakat” Pasca KUHP Baru. Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN), Pusat Studi Hukum Adat Djojodigoeno Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Unit Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP Universitas Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menggagas dan menyelenggarakan Simposium Nasional.

Dari kegiatan tersebut, menghasilkan laporan observasi berdasarkan diskusi antar pemangku kepentingan yang dapat Sobat Matters akses melalui link di bawah ini.