Kategori: Publikasi

Publikasi LBHM

Seri Monitor dan Dokumentasi 2019: Kelompok Minoritas Seksual Dalam Terpaan Pelanggaran HAM

Tahun 2018 dikenal sebagai tahun politik, di mana masyarakat bersiap untuk menghadapi Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif pada April 2019. Manuver politik digunakan untuk meraup suara. Ada setidaknya tiga isu yang sering dijadikan alat politik pendulang suara, narkotika, terorisme dan kelompok minoritas seksual (baca: LGBT). Kelompok LGBT, yang dengan salah dianggap sebagai musuh masyarakat, sering kali menjadi korban serangan. Tampaknya serangan ini dianggap dapat menguntungkan dan menambah suara pendukung terhadap calon-calon penegak kekuasaan, sehingga mereka kerap dalam kampanye-nya secara terang-terangan berbicara mengenai usulan untuk membuat peraturan diskriminatif terhadap LGBT. Bahkan tidak sedikit yang memberikan usulan untuk memidanakan LGBT. Tindakan-tindakan tidak manusiawi, ajakan untuk memerangi, memberantas bahkan mengkategorikan LGBT sebagai gangguan jiwa seakan menjadi hal yang sering ditemui dalam pemberitaan mengenai kelompok LGBT di tahun 2018, didukung dengan framing media terhadap kelompok LGBT yang cenderung negatif.

Persoalan pelanggaran HAM terhadap kelompok LGBT mendapat perhatian dari banyak badan PBB, Pengadilan HAM dan badan-badan HAM regional. Lembaga-lembaga ini juga telah memberikan kontribusi penting dalam perjuangan pemenuhan HAM kelompok LGBT, diantaranya melalui pengembangan argumen hukum berdasarkan hukum internasional terhadap perlindungan hak-hak orang dengan orientasi seksual atau identitas gender yang berbeda. Tidak hanya dilingkup hukum Internasional, ­di Indonesia sendiri Rancangan aksi nasional HAM Indonesia 2004-2009 dengan tegas menyatakan bahwa LGBTIQ sebagai kelompok yang harus dilindungi negara. Prinsip ini juga dimuat dalam The Yogyakarta Principles pada tahun 2007 yang menegaskan perlindungan HAM terhadap kelompok LGBTIQ. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa semua manusia, terlepas dari apapun orientasi maupun identitas gendernya, terlahir merdeka dan memiliki hak-hak yang sama. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam The Yogyakarta Principles menegaskan standar hukum internasional yang mengikat yang harus dipatuhi oleh semua negara. Prinsip-prinsip ini menjanjikan bentuk masa depan, di mana semua orang dilahirkan dengan bebas dan setara dalam hal martabat dan hak serta dapat memenuhi hak berharga tersebut yang mereka bawa sejak mereka dilahirkan.

Terlepas dari perlindungan hukum yang diberikan di atas, pelanggaran HAM terhadap kelompok LGBT tetap terjadi. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan atas dasar orientasi seksual atau identitas gender nyata dirasakan oleh kelompok minoritas seksual, termasuk juga dengan hal yang paling mengerikan seperti penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan eksekusi di luar proses hukum.

Salah satu tantangan terbesar dalam menghadapi stigma, diskriminasi dan stereotip ini tidak jarang datang dari organisasi keagamaan, pemuka agama bahkan pemerintah yang seharusnya melindungi, menjamin keamanan dan sepatutnya justru memenuhi hak asasi warga negaranya. Dalam hal ini argumen tradisional, dari perspektif agama dan moral serta dari perspektif \’ilmiah\’ memang telah menimbulkan banyak pertentangan mengenai penerimaan atau penolakan keberagaman gender tidak hanya oleh perkembangan dalam sains tetapi juga oleh perkembangan hukum seperti yurisprudensi internasional dan berpengaruh di berbagai pengadilan di seluruh dunia.

Sebagai lembaga yang memperjuangkan hak-hak minoritas dan korban pelanggaran HAM, LBHM kembali melakukan pendokumentasian dan pemantauan pemberitaan media terhadap stigma, diskriminasi dan ujaran kebencian terhadap kelompok LGBT, sebagaimana yang saat ini sedang anda baca. Data yang telah kami kumpulkan pada dua tahun terakhir menunjukkan stigma, diskriminasi dan stereotip semakin tinggi dan kerap terjadi.

Laporan selengkapnya dapat diunduh dengan mengklik tautan ini.

The Feasibility of Systematic Research on the Deterrent Effects of the Death Penalty in Indonesia

Deterrence is one of the fundamental justifications for the death penalty across the world. This report assesses the feasibility of conducting systematic empirical research on deterrent effects of the death penalty on drug and other criminal offences in Indonesia. Research on detterence requires complex empirical analyses within contemporary theoritical frameworks using multiple indicators and alternate or competing causal models.This report summarises potential strategies, and assesses the feasibility of adapting them to the unique and complex context of Indonesia. The report suggests a preferred strategy that will produce reliable and detailed estimates of deterent effects.Download this report here.For Bahasa Indonesia version, click here.

Kelayakan Penelitian Sistematis tentang Efek Gentar Hukuman Mati di Indonesia

Efek gentar adalah salah satu justifikasi fundamental bagi hukuman mati di berbagai belahan dunia. Laporan ini mengkaji kelayakan pelaksanaan penelitian empiris sistematik mengenai efek penggentar hukuman mati terhadap tindak pidana narkotika dan tindak pidana lain di Indonesia.

Penelitian tentang efek gentar memerlukan analisis empiris yang kompleks di dalam kerangka teoritis kontemporer menggunakan indikator jamak dan model kausal alternatif atau kompetitif. Laporan ini merangkum strategi potensial dan menilai kelayakan mengadaptasinya terhadap konteks Indonesia yang unik dan kompleks. Laporan ini juga menyarankan suatu strategi pilihan yang akan menghasilkan estimasi efek gentar yang andal dan rinci.

Unduh laporan ini di sini.

Versi Bahasa Inggris dari laporan ini dapat dilihat di sini.

Kelayakan Melakukan Penelitian mengenai Sikap terhadap Hukuman Mati di Indonesia: Opini Elite dan Publik

Tiga puluh tahun terakhir muncul sebuah gerakan yang mendorong secara progresif penghapusan dan pembatasan hukuman mati. Hukum internasional saat ini memungkinkan \’retensi terbatas\’ hanya untuk kejahatan \’paling serius\’. Namun konsep ini telah ditafsirkan berbeda sesuai budaya nasional, tradisi, dan corak politik khususnya di banyak negara Asia yang menganggap tindak pidana narkotika sebagai salah satu kejahatan paling serius.

Banyak pernyataan tanpa dasar fakta dibuat tentang tingginya jumlah kematian terkait narkotika untuk membenarkan respons peradilan pidana yang punitif terhadap penggunaan, penjualan, dan peredaran narkotika. The Death Penalty Projecy (DPP) dan University of Oxford, pada Januari 2019, mengidentifikasi tiga asumsi utama di balik \’perang melawan narkoba\’ di Asia Tenggara:

  • masyarakat sangat mendukung hukuman mati bagi pelaku tindak pidana narkotika,
  • hanya hukuman mati yang dapat mencegah tindak pidana narkotika,
  • dan mereka yang dituntut dan dihukum mati dengan tindak pidana narkotika adalah orang-orang yang paling berbahaya, kuat, dan korup dalan peredaran narkotika.

Namun, tidak pernah ada data empiris untuk menguji asums-asumsi tersebut.

Oleh karena itu, kami ingin memulai untuk menguji salah satu dari tiga asumsi utama di  atas yang kerap digunakan untuk mempertahankan eksistensi hukuman mati: bahwa baik elite maupun publik sangat mendukung hukuman mati dan tidak akan menoleransi abplisi atau pembatasan penggunaannya secara progresif. Studi seperti itu akan mengisi kesenjangan pengetahuan dan mengurai tantangan bagi Indonesia untuk menuju abolisi dan mengatasi tantangan yang ada.

Silakan cek laporan proyek pelingkupan ini di sini.

Untuk laporan yang sama dalam Bahasa Inggris silakan klik di sini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2019: Ketidakadilan HIV, Krisis yang Belum Usai

Maraknya kesalahpahaman mengenai Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang berkembang di masyarakat melahirkan stigma terhadap HIV dan Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA). Stigma yang diberikan masyarakat ini berdampak buruk pada ODHA, mengingat pelabelan cap buruk umumnya disertai dengan tindakan diskriminatif. Salah satu stigma yang disematkan masyarakat terhadap HIV, yakni dianggap menjadi faktor penghambat pembangunan dan penyebab kesejahteraan menurun.

Pelekatan stigma dan perlakuan diskriminasi yang dilakukan masyarakat terhadap ODHA tersebut mengakibatkan ODHA tidak dapat menikmati hak asasi manusianya secara penuh. Pelanggaran hak atas privasi berupa pemeriksaan HIV tanpa persetujuan pasien menempati posisi teratas dalam pelanggaran hak-hak ODHA. Sulitnya mengakses layanan kesehatan juga menjadi bukti yang kuat ada cedera dalam pemenuhan hak-hak ODHA.

Salah satu contoh diskriminasi pada tahun 2018 terjadi di Provinsi Papua. Para calon atlet yang akan mengikuti kompetisi Pekan Olahraga Nasional 2020 wajib mengikuti serangkaian tes kesehatan yang salah satu indikatornya terbebas dari virus HIV. Hasilnya beberapa calon atlet batal mengikuti kompetisi karena dinyatakan terinfeksi virus HIV. Bentuk diskriminasi lain yang masih sering terjadi adalah penolakan masyarakat untuk memulasara jenazah ODHA. Kesalahpahaman terhadap cara penularan HIV ini membuat masyarakat enggan untuk membantu pemrosesan perawatan jenazah ODHA.

Dilihat dari fakta-fakta ini, pemanusiaan ODHA masih harus menempuh perjalanan panjang. Posisi ODHA sebagai bagian dari kelompok rentan membuatnya sulit untuk menuntut hak-haknya. Terlebih lagi dalam situasi ini pemerintah juga menjadi pelaku diskriminasi ODHA melalui produk hukum. Contohnya seperti yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro yang mewajibkan calon pengantin melakukan tes HIV melalui Perda Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penanggulangan HIV/AIDS.

Kamu dapat mengunduh laporan ini dengan mengunjungi tautan berikut.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2019: Repetisi Kematian dalam Penjara, Malfungsi Pemasyarakatan

Pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan mempunyai fungsi sebagai suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun, masih adanya sistem pemenjaraan yang menekankan pada balas dendam, dan penjeraan akhirnya membuat sistem pemenjaraan ini tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Padahal, pemidanaan yang berfungsi sebagai usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial, selain tertuang dalam peraturan nasional, juga diakui secara internasional pada pada the United Nation Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (the Nelson Mandela Rules).

Mandat rehabilitasi dan reintegrasi sosial dapat dikatakan adiluhung, tetapi pada saat yang sama masih merupakan utopia untuk praktik sistem pidana yang berlangsung hari ini. Fakta bahwa masih ada banyak masalah di penjara di Indonesia seperti tidak terpenuhinya hak asasi manusia, budaya kekerasan di penjara, dan residivisme menjadikan rasionalitas lahirnya penjara menjadi putus atau diskontinyu dengan praktiknya akibat kontradiksi dan irasionalitas situasi ini. Termasuk salah satu permasalahan yang penting adalah perkara kematian dalam tahanan.

Bagaimana bisa penjara yang di dalam undang-undang mempunyai fungsi sebagai rehabilitasi dan reintegrasi sosial, malah menjadi tempat pemberhentian terakhir bagi tahanan dalam menjalani hidup? Hal ini jelas menjauhkan praktik pemenjaraan dari mandat pemasyarakatan seperti yang disebut di atas. Sekalipun menjalani masa penahanan ataupun penghukuman, seorang tahanan pun masih mempunyai hak-hak dasar sebagai manusia dan wajib dipenuhi. Kematian dalam tahanan menjadi contoh dari pelanggaran hak seorang tahanan, yakni hak hidup.

Dari data yang LBH Masyarakat (LBHM) himpun sepanjang 2018 melalui pantauan media daring, setidaknya terdapat 116 kasus kematian dalam tahanan yang diberitakan oleh media. Penyebab kematian didominasi oleh sakit, kemudian diikuti oleh bunuh diri. Fakta ini mengindikasikan adanya permasalahan kompleks yang saling berkaitan satu sama lain, terutama yang berkaitan dengan hak hidup seorang tahanan. Terlanggarnya hak hidup sendiri saling berkaitan dengan terlanggarnya hak-hak lain, seperti tidak terpenuhinya hak atas kesehatan seorang tahanan (termasuk di dalamnya hak atas sanitasi yang bersih, hak lingkungan yang sehat, dan lain sebagainya). Pertanyaan mengenai “apakah tempat tahanan sudah menghormati hak-hak seorang tahanan?” pun muncul. Sebagaimana mestinya, setiap fasilitas yang dikelola negara haruslah mempunyai standar yang baik dan mendukung pemenuhan hak seorang tahanan, alih-alih abai atau menelantarkannya.

Mengingat penjara memiliki cita-cita yang sangat tinggi seperti menjaga dan menyeimbangkan tatanan sosial masyarakat, maka penanggungjawab atas penjara adalah negara sebagai organisasi dengan sumber daya terbesar, yang diwakilkan oleh Direktorat Jendral Pemasyarakatan (Ditjenpas). Sekalipun kematian bisa terjadi karena tindakan atau kelalaian narapidana sendiri, institusi pemasyarakatan adalah manager yang bertugas untuk menjamin keberadaan penjara dapat memenuhi tujuan awal sebagai media pembinaan, termasuk di antaranya dengan mengatur agar kerusuhan tidak terjadi dan peristiwa bunuh diri bisa terhindarkan.

Demi menelusuri pelbagai permasalahan di atas yang kerap terjadi dari waktu ke waktu, LBHM melakukan monitoring dan dokumentasi media yang dituangkan dalam laporan ini. Pencarian, kodifikasi, dan analisis terhadap pemberitaan media daring menjadi salah satu usaha kami dalam melakukan pemaparan analitis-evaluatif terhadap kondisi sistem pemasyarakatan di Indonesia.

Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan berikut.

Laporan Tahunan 2018

Tahun 2018, bukanlah tahun yang mudah bagi LBHM dan organisasi masyarakat sipil lainnya yang bergerak di isu HAM. Menjelang piplres 2019, berbagai wacana populisme mulai dimainkan oleh politisi-politisi untuk meraih popularitas dan mencapai elektabilitas. Persekusi menjelma menjadi upaya kriminalisasi. RKUHP jadi momok menakutkan yang siap menargetkan siapa saja.

Namun demikian, LBHM terus bekerja keras melakukan pendampingan, menyusun strategi advokasi, terus meneliti, dan memproduksi narasi. Publikasi ini adalah refleksi kerja-lerja LBHM satu tahun belakang. Kami menemukan tantangan dan meraih beberapa pencaipaian. Semuanya, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah kami.

Untuk membaca lengkap perjalanan kami di 2018, silahkan unduh publikasi laporan tahunan, dengan klik tautan ini.

Laporan Kebijakan: Memperkuat Perlindungan Hak Orang Berhadapan dengan Hukuman Mati/Eksekusi

Perkara hukuman mati sesungguhnya adalah masalah sederhana yang menjadi rumit akibat banyaknya kepentingan dan propaganda yang melingkupinya. Mitos sesat yang begitu pekat melekat pada hukuman mati menyebabkan persoalan hukuman mati semakin rumit untuk diurai sebagai sebuah diskursus bagi khalayak. Di Indonesia, perkara hukuman mati mengalami stagnasi berkepanjangan, di tengah tren dunia yang berangsur-angsur menghapusnya dari katalog penghukuman.

Penghapusan hukuman mati secara menyeluruh jelas adalah tujuan. Namun, cara mencapai pemberhentian tersebut tentu bisa ditempuh dengan sejumlah rute dan strategi. LBH Masyarakat memandang bahwa ketika penghapusan hukuman mati secara total sulit diwujudkan dalam waktu dekat, maka abolisi harus direalisasikan secara gradual.

Laporan ini adalah ikhtiar LBH Masyarakat dalam perwujudan abolisi secara bertahap, yang dibuat dengan maksud untuk memperjelas ketentuan terkait pidana mati dan eksekusi mati agar hak-hak mereka yang menghadapi hukuman mati tidak dicurangi.

Dengan adanya laporan ini, Negara dapat, setidak-tidaknya menyusun hukum dan kebijakan, baik dalam hal prosedural pelaksanaan hukuman mati maupun pemenuhan prasyarat dan syarat yang mengakomodir hak-hak mereka yang berhadapan dengan hukuman mati. Dengan memperketat penjatuhan pidana mati dan pelaksanaan eksekusi mati, LBH Masyarakat berharap hal tersebut dapat berkontribusi dalam menciptakan iklim moratorium hukuman mati, sekaligus menyiapkan Indonesia sampai pada penghapusan hukuman mati secara menyeluruh.

Klik di sini untuk membaca laporan ini selengkapnya.

Pembantaran: Pemenuhan Hak atas Kesehatan Tahanan

Di 2017, LBH Masyarakat mendokumentasikan setidaknya ada 89 tahanan meninggal. Paling tinggi penyebab kematiannya adalah sakit, yakni 60.2%. Temuan juga menyebutkan 7 kasus kematian tahanan terjadi di tahanan kepolisian. Kasus-kasus ini adalah sebuah ironi di tengah semangat penahanan yang dilakukan guna merehabilitasi orang bukan tempat pencabutan nyawa.

Kasus kematian tahanan karena sakit semestinya bisa dicegah apabila pihak kepolisian melakukan identifikasi dini berupa pemeriksaan medis fisik dan jiwa terhadap tersangka atau tahanan. Jika hasil pemeriksaan medis menunjukkan bahwa kondisi kesehatan tahanan buruk, maka disarankan untuk melakukan penahanan alternatif.

Paper ini membahas bagaiamana aturan mengenai penahanan alternatif dan perannya sebagai upaya kewajiban negara dalam memenuhi hak asasi manusia tahanan selama menjalani proses hukum, khususnya hak atas kesehatan mereka.

Anda bisa membaca paper ini dengan mengunjungi tautan berikut.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Menggugat Tembak Mati Narkotika

Narasi pemerintah akan menindak tegas mereka yang terlibat kejahatan narkotika senantiasa didengungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan. Pada salah satu kesempatan di bulan Oktober 2017, Jokowi secara terbuka menyatakan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan kejam dengan ‘gebukin’ (memukul)  dan menginjak mereka yang berkaitan dengan narkoba dan penyalahgunaan obat. Sikap Jokowi yang terkesan heroik itu nyatanya adalah sebuah penistaan terhadap Indonesia, negara yang memiliki hukum dan konstitusi yang berprinsip pada peri kemanusiaan.

Sikap Jokowi tersebut seolah menjadi sebuah instruksi presiden yang tidak tertulis yang memerintahkan aparat penegak hukum untuk menembak mati setiap orang yang dianggap terlibat dalam peredaran gelap narkotika atau menjadi bandar. Pemerintah menganggap pendekatan perang terhadap narkotika (war on drugs) adalah cara yang tepat untuk menanggulangi kejahatan peredaran gelap narkotika yang diklaim membunuh 50 (lima puluh) anak bangsa per hari – sebuah klaim yang telah dipertanyakan  keilmiahannya oleh akademisi di seluruh dunia. Jumlah kematian per hari ini dianggap sebagai angka yang pantas untuk menjustifikasi tembak di tempat terhadap bandar narkotika. Bahkan instruksi Jokowi tersebut kemudian dijadikan legitimasi institusi penegak hukum, yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN) dalam melakukan praktek tembak di tempat bagi bandar narkoba. Kepala BNN berharap agar orang-orang yang diduga menjadi bandar narkoba melakukan perlawanan agar praktek tembak di tempat dapat dilakukan.

Praktek tembak di tempat ini menjadi problematik karena setidaknya dua hal. Pertama, tidak ada definisi hukum atas ‘bandar’ narkotika. Undang -Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak memberikan, bahkan menyebutkan siapa yang dikategorikan sebagai bandar narkotika. Kedua, praktek ini menciderai hukum di Indonesia yang memegang teguh prinsip ‘asas praduga tak bersalah’. Mereka yang mendap atkan penghukuman harus melewati proses peradilan pidana. Sayangnya, korban tembak di tempat yang meninggal tidak pernah menjalani proses tersebut. Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menjunjung tinggi asas due process of law. Praktek tembak di tempat dijadikan justifikasi untuk menghilangkan atau setidaktidaknya mengurangi peredaran gelap narkotika di Indonesia. Namun kenyataannya, praktek tembak di tempat bukannya mengurangi peredaran gelap narkotika apalagi menghilangkan. Kebijakan ini justru mengkhianati paham negara hukum, dan mencederai hak asasi manusia.

Berangkat dari situasi ini, LBH Masyarakat mencoba melakukan monitoring dan dokumen media dalam jaringan (daring) terhadap isu tembak di tempat –  baik yang berdampak pada hilangnya nyawa maupun luka-luka – terduga pelaku tindak pidana narkotika. Isu ini dipilih karena diskursus tembak di tempat terhadap pelaku kejahatan narkotika menguat pasca Jokowi mendeklarasikan perang terhadap narkotika. Kami berharap monitoring dan dokumentasi ini dapat memperlihatkan buruk rupa praktek tembak di tempat, dan kemudian menjadi alasan bagi pemerintah untuk menghentikan praktek yang, bukan hanya tidak efektif, tetapi juga tidak manusiawi ini.

 Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan berikut!