Author: lbhm admin

Rilis Pers – HARAP-HAM UNTUK BUNG IDHAM

Merespon pelantikan Idham Aziz sebagai Kapolri oleh Presiden Joko Widodo, LBH Masyarakat mencatat empat persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) yang perlu dibenahi oleh Polri. 

Empat persoalan ini kami temukan dalam pekerjaan-pekerjaan pendampingan kasus LBHM sehingga tidak menafikan kemungkinan adanya permasalahan-permasalahan lain di tubuh Polri.

Pertama, Polri perlu menghentikan kebijakan punitif dalam menangani kasus-kasus penggunaan narkotika dan mengedepankan kebijakan berpendekatan medis. Sepanjang UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diberlakukan, LBH Masyarakat menemukan maraknya kasus pengguna narkotika yang ditahan dan perkaranya diteruskan ke pengadilan. Upaya punitif ini bukan hanya menjebloskan pengguna narkotika ke jurang permasalahan kesehatan yang lebih dalam, ia juga menambah masalah overkapasitas lembaga pemasyarakatan. Polri yang baru perlu lebih peka terhadap permasalahan-permasalahan kesehatan tahanan.

Second, Polri wajib menerapkan prinsip nondiskriminasi terhadap anggota-anggotanya yang berasal dari kelompok minoritas agama, orientasi seksual, gender, dan disabilitas. Di awal tahun 2019, LBH Masyarakat mendampingi seorang anggota polisi yang dipecat dari kesatuannya karena memiliki orientasi seksual yang berbeda. Hal ini tidak sejalan dengan Peraturan Kepala Polri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian yang mewajibkan anggota Polri melindungi HAM kelompok minoritas, tidak terkecuali anggota mereka sendiri.

Ketiga, Polri harus mengubah watak represif dalam menghadapi kasus-kasus yang menyangkut kebebasan menyatakan pendapat. Pada saat menjelang berakhirnya masa jabatan anggota DPR RI periode 2014-2019, Polri melakukan pengamanan terhadap massa aksi yang berunjuk rasa di depan Gedung DPR-RI untuk menentang beberapa RUU yang kontroversial. Polri mengaplikasikan cara-cara represif dan brutal untuk menanggulangi massa aksi sehingga melanggar prinsip-prinsip HAM. 

Berdasarkan pengaduan yang diterima oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi, yang terdiri dari LBH Masyarakat dan beberapa anggota masyarakat sipil lain, per tanggal 30 September 2019 terdapat 390 orang yang ditangkap tanpa status hukum yang jelas dan melewati batas waktu 1×24 jam sebagaimana ditentukan dalam KUHAP. Ketidaksesuaian praktik penanganan kasus ini juga dinodai oleh personel-personel kepolisian yang diduga keras melakukan penyiksaan terhadap beberapa orang yang terlibat demonstrasi dan menghalang-halangi orang yang ingin terlibat dalam aksi massa.

Keempat, Polri harus membuka akses bantuan hukum bagi setiap orang yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana. Tim Advokasi untuk Demokrasi mencatat bahwa, dalam penanganan kasus orang-orang yang terlibat demonstrasi pada bulan September 2019, Polri membatasi informasi tentang ketersediaan pengacara. Ketidakterbukaan informasi ini membuat kami mempertanyakan akses bantuan hukum terhadap massa aksi yang ditangkap.

LBH Masyarakat menganggap empat pekerjaan rumah Polri ini sebagai ujian bagi Kapolri Idham Aziz. Ujian untuk menentukan apakah Polri akan lulus menjadi institusi profesional, modern, dan terpercaya (promoter), yang mengedepankan HAM atau mengulang sebagai antagonis dalam sistem demokrasi Indonesia.

Narahubung: M. Afif Abdul Qoyim (081320049060) 

Kompetisi Poster #KitaSetara

Pudarnya nafas keberagaman di Indonesia berjalan seiring dengan meningkatnya narasi populisme yang digunakan sebagai politik identitas. Kondisi ini diperkuat dengan penyebaran bibit ekstremisme dari tingkat pendidikan sekolah menengah hingga perguruan tinggi di beberapa tahun terakhir. Salah satu bentuknya: pembubaran acara dan diskusi yang diselenggarakan oleh kelompok minoritas seksual.

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menemukan 973 orang minoritas seksual dan gender mengalami kriminalisasi dan persekusi.1 Beberapa peraturan juga dibuat dengan muatan diskriminatif terhadap hak-hak kelompok minoritas tersebut. Berdasar catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan ada 421 kebijakan diskriminatis dan 56% di antaranya berbentuk Peraturan Daerah.

Padahal nilai-nilai keberagaman, termasuk seksual dan gender termaktub dalam ideologi Pancasila. Serta ditegaskan melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Atas dasar ini, kami mengangkat #KitaSetara sebagai tema besar kompetisi poster. Frasa #KitaSetara mengingatkan pada nilai-nilai luhur yang telah dipercaya sejak ratusan tahun lalu.

Adapun kegiatan ini bertujuan untuk memulihkan semangat keberagaman dan toleransi yang semakin terkikis karena adanya politik populisme. Desain yang terpilih akan dijadikan bahan kampanye sosial yang disebarkan ke dalam lini-lini sosial media. Harapannya, pesan yang disampaikan dalam poster dapat diterima dengan baik oleh masyarakat umum dan menggerakan hati mereka untuk terus menjaga keberagaman di Indonesia.

Adapun nanti 3 orang pemenang kompetisi poster #KitaSetara akan mendapatkan hadiah menarik sebagai berikut:

Juara 1: Rp 5.000.000
Juara 2: Rp 3.500.000
Juara 3: Rp 2.000.000

Kami tunggu partisipasinya ya teman-teman, dengan berpartisipasi kalian dapat membantu menjaga keberagaman dan kesetaraan sesama manusia.

Untuk informasi lebih lanjut terkait persyaratan kompetisi #KitaSetara silahkan klik here

Dibutuhkan: Relawan Perpustakaan HIV LBHM

Berdiri hampir 12 tahun yang lalu, LBH Masyarakat adalah organisasi bantuan hukum yang memberikan bantuan hukum gratis dan berkualitas bagi masyarakat yang miskin dan terpinggirkan. Selain bantuan hukum, kami juga melakukan upaya advokasi kebijakan, penelitian, dan kampanye terkait isu-isu yang menjadi fokus kerja kami. Permasalahan-permasalahan yang menjadi perhatian kami dalam bekerja antara lain ialah: hukuman mati, narkotika, kesehatan jiwa, LGBTIQ, serta HIV.

Untuk persoalan HIV, kami menyadari bahwa masih tingginya stigma dan diskriminasi di tengah masyarakat terhadap teman-teman ODHA (orang yang hidup dengan HIV/AIDS), keluarganya, orang-orang dengan prilaku berisiko, serta mereka yang bekerja di isu ini.

Dalam pengentasan stigma dan diskriminasi itulah, kami menyadari pentingnya memunculkan narasi-narasi alternatif mengenai HIV, baik dalam bentuk kampanye, tulisan opini, reportase, dan penelitian. Dalam kerangka berpikir itu, kami di LBH Masyarakat kemudian memutuskan untuk meluncurkan Kolektiva, sebuah wadah pengetahuan yang berisi literatur yang berkaitan dengan persoalan HIV dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia (HAM).

Kolektiva, yang merupakan akronim dari “Koleksi Pustaka HIV dan Hak Asasi Manusia”, bertujuan untuk memudahkan audiens Indonesia – baik pelajar, pengajar, wartawan, analis, peneliti, rekan-rekan LSM, dan pemerintah – untuk mencari sumber pengetahuan atau referensi dalam bentuk literatur dan berbagai dokumen lain yang memuat informasi dan analisis persoalan HIV dan kaitannya dengan HAM.

Mengapa HAM? Karena kami di LBH Masyarakat percaya bahwa perlindungan HAM adalah elemen yang esensial untuk menjaga martabat manusia dalam konteks pencegahan dan penanggulangan HIV, dan upaya untuk memastikan bahwa respons negara terhadap persoalan HIV akan senantiasa efektif, berbasis bukti, dan berdasarkan HAM.

Kamu dapat berkontribusi dalam maksud baik ini dengan menjadi relawan yang bertugas untuk mengumpulkan, membuat ringkasan, serta memasukkan data dari literatur dan dokumen yang penting untuk dimasukkan ke dalam basis data Kolektiva. Selain itu, kamu juga akan dapat menyaksikan dari dekat, dan bila secara waktu memungkinkan juga terlibat, dengan kerja-kerja LBH Masyarakat.

LBH Masyarakat memiliki komitmen agar setiap relawan tidak hanya bekerja tapi juga belajar isu HAM terkini dan berkontribusi menyumbangkan idenya dalam kerja organisasi. Buat kamu yang ingin memiliki pengalaman bekerja dalam bidang bantuan hukum, advokasi, dan penelitian ini adalah kesempatan yang amat sayang untuk dilewatkan.

Dengan mengambil kesempatan ini, kamu dapat mengetahui lebih dalam tentang HIV dan permasalahan-permasalahan HAM di sekitarnya. Kamu juga dapat belajar mengenai cara kerja lembaga HAM, bidang yang mungkin kamu bayangkan untuk karir kamu ke depan.

Kami membutuhkan 1 (satu) relawan dengan kriteria sebagai berikut:

  • Tertarik pada isu HIV dan HAM;
  • Internet-Savvy;
  • Fluent in English;
  • Dapat menggunakan MS Word dan MS Excel;
  • Memiliki laptop;
  • Memiliki motivasi tinggi;
  • Terbuka bagi Mahasiswi/Mahasiswa, minimal semester 4 untuk semua jurusan (lebih disukai jurusan Komunikasi);
  • Berkomitmen untuk bekerja selama, setidak-tidaknya, 300 jam dalam masa relawannya;
  • Berdomisili di Jabodetabek karena harus datang ke kantor LBH Masyarakat dari waktu ke waktu.

Apabila kamu tertarik  silahkan mengirimkan:

  1. Curriculum Vitae (CV) terbaru (tidak lebih dari 2 halaman).
  2. Motivation Letter (400-500 kata) yang berisikan poin-poin berikut:
  • Mengapa kamu tertarik untuk menjadi relawan di LBH Masyarakat (LBHM).
  • Bagaimana menurut pendapatmu seputar HIV dan kaitannya dengan HAM.

Tulis CV dan Motivation Letter kamu dengan huruf Times New Roman, ukuran huruf 11 dengan spasi 1.

– Pendaftaran diperpanjang sampai 4 Oktober 2019. Silahkan kirim dalam format pdf ke email npuspitasari@lbhmasyarakat.org , paling lambat pukul 23.59 WIB.

Rilis Pers – Tarik Pidana Mati Dalam RKUHP!

LBH Masyarakat (LBHM) menyayangkan masih dicantumkannya pidana mati di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), versi 28 Agustus 2019. LBHM menolak hukuman mati untuk segala tindak pidana, dalam segala situasi, dengan alasan, antara lain:

  1. UUD 1945 telah memberikan jaminan perlindungan hak untuk hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28A jo. Pasal 28I).
  2. Sistem peradilan Indonesia (dan di manapun juga) adalah buatan manusia dan oleh karena itu akan selalu rentan kesalahan. Sistem seperti ini tidak boleh memiliki otoritas untuk menghukum pelaku kejahatan sampai mencabut nyawanya, mengingat hukuman mati tidak dapat ditarik kembali (irreversible).
  3. Hukuman mati tidak pernah terbukti memberikan efek jera atau efek gentar.
  4. Praktik hukuman mati di Indonesia justru bertolak belakang dengan upaya Pemerintah Indonesia yang menyelamatkan warga negara Indonesia terancam hukuman mati/eksekusi di luar negeri.

 

Pasal 98

Pidana mati dijatuhkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat.

Pasal 1

Pasal 99

(1)      Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.

(2)      Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum.

(3)      Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan dalam Undang-Undang.

(4)      Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil, wanita yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan, wanita tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.

Pasal 2

Pasal 100

(1)      Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika:

a.         terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;

b.         peran terdakwa dalam Tindak Pidana tidak terlalu penting; atau

c.          ada alasan yang meringankan.

(2)      Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.

(3)      Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

(4)      Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.

(5)      Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

 

Pasal 101

Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

Pasal 3

Pasal 102

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dengan Undang-Undang.

 

 

Catatan LBHM terkait ketentuan pidana mati di dalam RKUHP:

1. Konsep pidana mati “yang dijatuhkan secara alternatif” dan “sebagai upaya terakhir untuk […] mengayomi masyarakat” (dalam Pasal 98), serta “ada harapan untuk diperbaiki” (dalam Pasal 100) tidak memiliki definisi dan cakupan yang jelas.

2. Perlu penegasan bahwa pidana mati tidak dapat diberlakukan kepada anak, orang dengan disabilitas psikososial, maupun orang yang sudah lanjut usia (di atas 60 tahun).

3. Pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati seharusnya merupakan hak setiap orang yang divonis mati dan berlaku otomatis, dan tidak boleh bergantung pada dicantumkan atau tidak di dalam putusan pengadilan (Pasal 100 ayat (1)). Apabila syarat tersebut digantungkan pada putusan pengadilan, hal itu berisiko karena bersandar pada subjektivitas hakim yang memeriksa dan memutus perkara. Kewenangan seperti ini rentan membuka praktik korupsi dalam peradilan.

4. Frasa “menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji” (Pasal 100 ayat (4)) juga tidak jelas. Apa itu sikap dan perbuatan terpuji, bagaimana sikap dan perbuatan itu dinilai, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menilai konsistensi sikap terpuji itu masih menjadi persoalan.

5. Pertimbangan komutasi pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dalam Pasal 100 ayat (4) seharusnya berada pada Kementerian Hukum dan HAM/Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, sebab institusi inilah yang melakukan rehabilitasi terhadap terpidana –bukan pada Mahkamah Agung (MA).

6. Frasa “tidak ada harapan untuk diperbaiki” (Pasal 100 ayat (5)) justru bertentangan dengan semangat dan fungsi rehabilitasi yang melekat pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan di Kementerian Hukum dan HAM.

7. Untuk menjamin asas kepastian hukum, seharusnya kata “dapat” dalam Pasal 101 dihapus. Dengan demikian, jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati itu tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun sejak grasi ditolak, pidana mati yang bersangkutan harus secara otomatis berubah menjadi pidana seumur hidup.

 

Penulis: Yosua Octavian.

Editor: Ricky Gunawan.

Rilis Pers – RKUHP Melanggar Hak Atas Privasi

Sekalipun terdapat beberapa perbaikan, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) versi 28 Agustus 2019 masih menyisakan sejumlah persoalan. Permasalahan yang pertama adalah kriminalisasi perzinaan yang juga mencakup hubungan seks di luar pernikahan (Pasal 417 ayat (1)); dan yang kedua adalah kriminalisasi terhadap tindakan hidup bersama suami istri di luar pernikahan atau kohabitasi (Pasal 419 ayat (1)).

RKUHP, 28 Agustus 2019

Pasal 417

(1)   Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II.

Pasal 419

(1)   Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.

Pasal 79, ayat (1) huruf b:
Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: kategori II sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

 

 

PRIVASI

Kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi patut ditolak karena melanggar hak atas privasi. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 17 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah Indonesia ratifikasi melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, menyediakan jaminan hukum akan perlindungan hak atas privasi tersebut.

Pasal 28G ayat (1) UUD 1945

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Pasal 17 ICCPR

(1) Tidak boleh seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat menyuratnya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.

(2) Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan seperti tersebut di atas.

 

 

Privasi di sini tidak serta merta merujuk kepada ruang fisik semata, tetapi juga area privat individu yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan relasi manusianya tanpa intervensi dari pihak luar (termasuk negara). Privasi memastikan manusia dapat menjalani hidup secara lebih bermartabat dengan menjaganya dari intrusi yang tidak diinginkan, serta mengakui adanya otonomi individual untuk mengambil keputusan yang berpengaruh bagi diri dan hidupnya. Kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi – ketika dilakukan oleh orang dewasa secara konsensual, tanpa paksaan dan kekerasan – adalah bentuk serangan langsung terhadap privasi. Manusia dewasa memiliki hak untuk memilih bagaimana mereka menjalani relasi manusia di dalam lingkup pribadi dan mempertahankan martabatnya sebagai manusia bebas.

 

HIV

Kriminalisasi perzinaan dalam RKUHP ini juga kontraproduktif terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS dan infeksi menular seksual (IMS) di Indonesia, dan sekali lagi menunjukkan bahwa kebijakan politik hukum dan kesehatan Indonesia belum sepenuhnya berbasis bukti.

Perluasan kriminalisasi perzinaan seolah-olah berangkat dari asumsi bahwa dengan adanya kriminalisasi ini dapat mencegah praktik hubungan seks di luar pernikahan, yang pada akhirnya akan menghentikan laju transmisi HIV ataupun IMS. Padahal, dengan KUHP yang sekarang berlaku saja – yang sudah mengkriminalisasi persetubuhan antara laki-laki dan perempuan di luar perkawinan, dengan salah satu pihaknya terikat dalam hubungan perkawinan – berada di dalam ikatan perkawinan tidaklah menjamin bahwa perilaku berisiko tidak terjadi. Sebab, saat ini transmisi HIV paling tinggi justru terdapat pada populasi orang yang terestimasi sudah menikah.

Sebagai tambahan, kriminalisasi terhadap persetubuhan di luar pernikahan ini juga berarti berlaku terhadap hubungan seksual dengan pekerja seks. Kriminalisasi terhadap pekerja seks (dan pelanggannya) justru menghambat respons HIV. Sebab, pekerja seks adalah salah satu kelompok populasi kunci yang dijangkau di dalam program HIV. Mengkriminalisasi pekerja seks akan mendorong mereka semakin tersembunyi dan menyulitkan penjangkauan layanan HIV dan IMS terhadap pekerja seks dan pelanggannya.

Rekomendasi

Pemerintah dan DPR perlu menghapus Pasal 417 dan 419 RKUHP. Alih-alih mengkriminalisasi, pemerintah seharusnya dengan lebih giat mengupayakan akses dan informasi yang seluas-luasnya terhadap HIV dan layanannya, serta mengadakan program untuk melawan stigma dan diskriminasi HIV.

 

Penulis: Ajeng Larasati.

Editor: Ricky Gunawan.

Rilis Pers – Pasal Narkotika Harus Ditarik Dari RKUHP

LBH Masyarakat (LBHM) menolak masuknya tindak pidana narkotika ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Tindak pidana narkotika dalam RKUHP versi 28 Agustus 2019 diatur di Pasal 611 – 616. Betul bahwa pasal-pasal ini tidak mengkriminalisasi pemakaian narkotika untuk diri pribadi. Tetapi, masih terdapat pasal-pasal yang sering dikenakan kepada pemakai narkotika.

 

Pasal 611

(1)      Setiap Orang yang tanpa hak menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI.

(2)      Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman yang beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori VI dan paling banyak Kategori VII.

 

Pasal 612

(1)        Setiap Orang yang tanpa hak memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan:

a.   Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI;

b.   Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI; dan

c.   Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI.

(2)        Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:

a.   Narkotika Golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori V dan paling banyak Kategori VI;

b.   Narkotika Golongan II yang beratnya melebihi 5 (lima) gram dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori V dan paling banyak Kategori VI; dan

c.   Narkotika Golongan III yang beratnya melebihi 5 (lima) gram dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori V dan paling banyak Kategori VI.

 

 

Mengapa rumusan tindak pidana narkotika di dalam RKUHP harus ditolak?

1. Paling mendasar, persoalan narkotika seharusnya ditempatkan sebagai persoalan kesehatan. Menyandarkan penyelesaian masalah narkotika kepada pendekatan hukum pidana semata bukan hanya tidak efektif, tetapi juga salah arah. Keberadaan tindak pidana narkotika di dalam RKUHP melanggengkan pendekatan punitif dalam mengatasi problem narkotika dan membatasi pendekatan yang seharusnya multi-disiplin dan lintas pemangku kepentingan.

2. Seorang pemakai narkotika tidak mungkin tidak memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika. Oleh karena itu, sekalipun RKUHP tidak mengklasifikasikan perbuatan memakai narkotika sebagai tindak pidana, fakta bahwa tindakan memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika (Pasal 611-612) masih dirumuskan sebagai tindak pidana menunjukkan bahwa pemakai narkotika masih berada di bawah bayang-bayang ancaman pidana (penjara). Hal ini menyebabkan pemakai narkotika tidak akan mau mengakses layanan pemulihan ketergantungan narkotika secara terbuka.

3. Keberadaan rehabilitasi di dalam RKUHP sebagai tindakan yang dikenakan terhadap pemakai narkotika yang masih bisa dibarengi dengan pidana pokok (seperti penjara) memperlihatkan bahwa kebijakan narkotika Indonesia masih memandang pemakai sebagai kriminal.

4. Seluruh rumusan tindak pidana narkotika dalam RKUHP (sama seperti UU Narkotika) tidak memuat unsur kesalahan. Ketiadaan unsur kesalahan ini mempermudah pembuktian, yang akhirnya mempermudah pemenjaraan. Konsekuensinya adalah overcrowding lembaga pemasyarakatan akan semakin memburuk karena penuh dengan pemakai narkotika. Hal ini justru melahirkan persoalan baru lainnya seperti, menciptakan pasar gelap di dalam penjara, semakin buruknya sanitasi dalam penjara, potensi transisi HIV yang meninggi, dan lain sebagainya.

 

Penulis: Dominggus Christian.

editor: Ricky Gunawan.

 

Laporan Pelanggaran HAM — Yang Terabaikan: Potret Situasi Perempuan Yang Dipenjara Akibat Tindak Pidana Narkotika

Saat ini, advokasi kebijakan narkotika tidak bisa dilepaskan dari isu hak asasi manusia. Pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia, seperti misalnya penghapusan penyiksaan bagi tersangka kasus narkotika, dan pemenuhan hak atas kesehatan di dalam Rumah Tahanan (Rutan) maupun Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), melatari diskursus advokasi kebijakan narkotika.

Isu advokasi kebijakan narkotika masih dianggap sebagai isu yang maskulin. Tidak banyak terjadi diskursus secara mendetil mengenai bagaimana perempuan terdampak penggunaan maupun terlibat dalam peredaran narkotika. Ataupun bagaimana harusnya sebuah kebijakan nasional merespon kebutuhan spesifik atau khusus perempuan juga belum banyak dibicarakan. Dalam hal akses terhadap kesehatan bagi pengguna narkotika pun kerentanan perempuan kerap kali tidak terangkat, dan oleh karenanya sangat sulit untuk dapat diatasi.

Di sisi lain, dalam diskursus-diskursus yang terjadi di kalangan pejuang perempuan, isu perempuan pengguna narkotika, atau yang terlibat dalam peredaran narkotika seringkali luput menjadi perhatian. Pun dalam advokasi reformasi lapas yang dilakukan oleh kelompok aktivis HAM, isu pemenuhan hak perempuan dalam tahanan juga minim pembahasannya.

Absennya pembahasan mengenai kondisi dan kerentanan perempuan yang dipenjara akibat tindak pidana narkotika, baik di kalangan aktivis kebijakan narkotika, perempuan, maupun aktivis yang bergerak dalam isu pemenjaraan, mendorong Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) untuk melakukan penelitian awal guna memetakan situasi perempuan yang dipenjara akibat tindak pidana narkotika. Penelitian ini menjadi sangat penting mengingat jumlah perempuan yang dipenjara akibat tindak pidana narkotika semakin meningkat setiap tahunnya. Ditambah lagi, tren menjadikan perempuan sebagai kurir narkotika (drug mules) juga semakin tinggi, yang mana hal ini terlihat dari banyaknya kasus-kasus perempuan yang ditangkap karena perannya sebagai drug mules.

Akhir kata, kami berharap penelitian ini dapat mengisi kekosongan diskursus, sekaligus mengawal advokasi seputar isu perempuan yang dipenjara akibat tindak pidana narkotika. Kami percaya bahwa kebijakan narkotika yang berperspektif gender bukan hanya menguntungkan perempuan saja, tetapi juga semua pihak. Dukung! Jangan Hukum!

Untuk membaca laporan detailnya, silahkan untuk mengunduhnya here.

Surat Keberatan atas infografis ganja oleh Kompas.com

 LBH Masyarakat Menyesalkan Misinformasi Kompas.com Terkait Infografis Penggunaan Ganja.

 

LBH Masyarakat (LBHM) mengkritik artikel berita yang dirilis Kompas.com pada tanggal 21 Agustus 2019, dengan judul “Geliat Narkoba di Kampus: Persekongkolan Mahasiswa, Alumnus dan Sekuriti”. Artikel ini membahas tentang peredaran ganja di kampus, termasuk di kalangan mahasiswa. Artikel ini dilengkapi dengan infografis-infografis yang ditujukan untuk mempermudah visualisasi informasi. Namun sayangnya, terdapat satu infografis yang memberikan informasi yang tidak berbasis data yang akan menimbulkan misinformasi di masyarakat.

 

Ada dua kritik utama LBHM terhadap artikel tersebut.

 

Pertama, infografis tersebut berisi misinformasi terkait ganja, termasuk mengenai kematian karena ganja.

 

Sampai saat ini belum ada riset atau data yang kredibel, yang menunjukkan bahwa seseorang dapat meninggal dunia karena menggunakan ganja. Banyak penelitian ilmiah, salah satunya, yang berjudul “The Health Effects of Cannabis and Cannabinoids” menyebutkan bahwa ganja tidaklah menyebabkan kematian. Peristiwa kematian karena relasinya dengan ganja justru terjadi karena perilaku berisiko saat menggunakan ganja, misalnya menghisap ganja sambil mengendarai kendaraan.

 

Second, LBHM menilai pemberitaan ini berat sebelah karena tidak menampilkan informasi terkait manfaat dari penggunaan ganja sebagai medis yang sudah terbukti banyak risetnya.

 

LBHM menyayangkan kegagalan Kompas.com dalam menjalankan kaidah jurnalistik. Pemberitaan yang baik haruslah berimbang dan tidak boleh berat sebelah, atau dikenal dengan istilah cover both side. Infografis ini hanya menonjolkan narasi negatif tentang ganja tanpa menyebutkan tentang kegunaan atau manfaat dari ganja itu sendiri. Banyak negara di dunia telah menggunakan ganja sebagai pengobatan. Salah satunya adalah Kroasia yang menggunakan ganja untuk mengobati penyakit kronis seperi kanker dan multiple sclerosis. Selain itu dalam Laporan yang berjudul The Health Effects of Cannabis and Cannabinoids: The Current State of Evidence and Recommendations for Research yang diterbitkan oleh National Academies Press (Amerika Serikat), mengurai secara detil manfaat medis dari ganja. Contohnya yakni sebagai terapi untuk penyakit kronis, sebagai antiemetic dalam chemotherapyinduced, dan meningkatkan kesehatan pasien yang mengalami gejala multiple sclerosis.

 

Kelalaian dalam memberikan informasi, sebagaimana misinformasi yang disajikan oleh Kompas.com, memiliki implikasi negatif. Hal ini bukan hanya memperparah stigma dan kesalahpahaman mengenai ganja, tetapi juga menunjukkan bahwa Kompas.com telah gagal menjalankan tanggung jawab moralnya dalam memberikan materi edukasi yang komprehensif bagi masyarakat.

 

LBHM mendorong Kompas.com untuk merevisi artikel tersebut karena ada misinformasi di dalam infografis tersebut. LBHM berharap ke depannya Kompas.com dapat lebih berimbang lagi ketika melakukan pemberitaan, terutama untuk topik seperti persoalan narkotika. LBHM senantiasa bersedia menjadi mitra diskusi bagi Kompas.com, khususnya dalam hal pemberitaan terkait masalah narkotika dan hukum/kebijakannya.

Narahubung: Tengku Raka (Communication Specialist)

Penerjemah, Terdakwa, Hukuman Mati: Para Penyambung Harapan.

Ketika saya sedang membaca-baca artikel di dunia maya, saya menemukan sebuah artikel menarik tentang Warga Negara Asing (WNA) yang terjerat kasus narkotika yang menjadi seorang drug mule yang harus berhadapan dengan hukum di Indonesia. Fenomena drug mules sepertinya menjadi tren untuk menyelundupkan narkotika secara ilegal, dan melibatkan perempuan dan laki-laki. Untuk keterlibatan perempuan sendiri pertama kali tercatat pada 30 tahun lalu. Namun, contoh-contoh yang tercatat tentang peran perempuan itu sudah ada selama 100 tahun.[1]

Keterlibatan peran perempuan menjadi drug mules, menurut sejumlah studi, menunjukkan bahwa perempuan berada dalam situasi yang mengharuskannya menjadi kurir (drug mules) karena pemaksaan dan intimidasi, baik itu secara tidak sadar (ditipu/diperdaya) atau melakukannya secara sukarela.[2] Selain karena paksaan, mereka melakukannya (menjadi kurir) karena kompensasi finansial yang mereka dapat.[3] Laporan International Drug Policy Consotrium (IDPC) menyebutkan sekitar 2% perempuan yang ada dalam tahanan di Indonesia terlibat dalam kasus drug mules.[4] Keterlibatan mereka dibarengi dengan ketidaktahuan mereka akan konsekuensi hukum yang menantinya. Selama ini para sindikat kerap mengeksploitasi perempuan karena mereka jarang dicurigai oleh aparat penegak hukum.[5]

Laporan IDPC juga menyebutkan bahwa 53% perempuan mengakui adanya keterlibatan laki-laki, sedangkan 27% mengakui mereka dipengaruhi oleh pasangannya.[6] Hal di atas membuktikan bahwa perempuan yang terjerat kasus narkotika sebagai kurir (drug mules) selama ini adalah korban. Tapi sayangnya aparat penegak hukum kerap tidak menempatkan perempuan sebagai korban.[7]

LBH Masyarakat (LBHM) sendiri pernah menangani satu kasus yang berkaitan dengan perempuan dan narkotika. Kasus ini melibatkan WNA asal Kyrgyzstan yang bernama Zhibek Sakeeva. Ia ditangkap dan ditahan karena kedapatan membawa narkotika di dalam tasnya. Zhibek mengatakan dalam pembelaannya bahwa ia tidak tahu menahu soal narkotika itu. Yang ia tahu adalah jika berhasil membawa tas itu ia akan mendapat imbalan. Kendala bahasa menjadi kedala utama untuk melakukan pemeriksaan terhadap Zhibek. Zhibek hanya mengerti Bahasa Rusia dan tidak cakap dalam berbahasa Inggris, apalagi Indonesia. Hingga akhirnya pihak kepolisian mendatangkan penerjemah yang mendampingi Zhibek selama proses hukum berlangsung. Menurut kuasa hukum Zhibek, penerjemah mempunyai peran sangat penting dalam kasus Zhibek. Penerjemah juga memiliki peran untuk dapat melindungi dan menjaga hak Zhibek, dan menghindarkannya dari tindakan diskriminatif dan tindakan kekerasan yang bisa terjadi kapanpun. Apalagi Zhibek sebagai perempuan sangat rentan mengalami hal tersebut.

Ada hal menarik yang bisa ditarik dari kasus Zhibek ini, yaitu bagaimana peran penerjemah dalam proses hukum. Peran penerjemah dalam hukum acara pidana sendiri sudah diatur dalam KUHAP yakni melalui Pasal 177 (1): “Jika terdakwa atau saksi tidak paham Bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan”.[8]  Pasal 51 serta Pasal 53 (1) KUHAP menyebutkan bahwa, “dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa…”.[9]

Jika persoalan penerjemah sudah diatur dalam KUHAP, lantas bagaimana dengan implementasinya di lapangan? Mari kita tengok beberapa tahun terakhir, dimulai dari kasus Mary Jane Fiesta Veloso (selanjutnya dipanggil Marry Jane). Marry Jane merupakan terpidana mati asal Filipina. Ia menjadi contoh gagalnya pemenuhan hak fair trial bagi seorang terpidana. Selama di persidangan antara Juli dan Oktober 2010, ia hanya mendapatkan seorang penerjemah Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Sedangkan Marry Jane sendiri hanya mengerti Bahasa Tagalog. Penerjemahnya pun merupakan seorang mahasiswa perguruan tinggi.[10] Selain itu, terpidana mati Raheem Agbaje Salami juga menjadi korban unfair trial. Menurut keterangan kuasa hukumnya, kliennya tidak didampingi penerjemah selama interogasi polisi. Selama persidangan dia hanya menerima penerjemahan yang terputus-putus dalam Bahasa Inggris, bahasa yang tidak dipahaminya dengan baik.[11] Adapun kasus lainnya, terpidana mati Rodrigo Gularte, dipaksa menandatangani dokumen yang ia sendiri tidak mengetahui tujuannya untuk apa dan tanpa didampingi kuasa hukum ataupun penerjemah.[12] Apa yang menimpa pada Marry Jane, Raheem Agbaje dan Rodrigo Gularte merupakan kegagalan penegak hukum untuk menjamin terpenuhinya fair trial bagi orang yang yang berhadapan dengan hukuman mati/eksekusi[13], khususnya memberikan penerjemah yang layak dan kompeten.

Salah satu pelajaran penting yang bisa dipetik dari kasus-kasus di atas adalah, keberadaan seorang penerjemah sangatlah penting ketika memberikan pendampingan bagi WNA yang berhadapan dengan hukum – terlebih di kasus hukuman mati. Penerjemah juga bisa melihat apakah tersangka/terdakwa yang dia damping sudah dipenuhinya hak hukumnya atau belum. Penerjemah pun dapat menjadi seorang teman, karena kedekatannya dengan tersangka/terdakwa, membuat penerjemah dapat memahami permasalahan batin yang dialami mereka.

Berkaca pada kasus Marry Jane, Rodrigo Gularte dan Raheem Agbaje yang selama masa tahanan dan peradilan tidak mendapatkan penerjemah yang berkompeten, akhirnya membuat mereka berhadapan dengan eksekusi. Sudah sepatutnya pemerintah mulai memperhatikan dan memenuhi hak-hak orang yang berhadapan dengan hukuman mati. Khususnya yang berkewarganegaraan asing yang membutuhkan kebutuhan khusus yakni bantuan penerjemah.

Penulis: Tengku Raka

Editor: Ricky Gunawan

[1] Jennifer Fleetwood, Drug Mules: Women in the International Cocaine Trade, 2014, Hlm. 5

[2] UNODC, World Drug Reports: Women And Drugs Report 2018, Hlm. 29

[3] Ibid., UNODC, Hlm. 28

[4] Marry Catherine A. Alvarez, “Women, Incarceration and Drug Policy in Indonesia: Promoting Humane and Effective Responses”, Maret 2019, Hlm. 9

[5] Stephanie Martel, “The Recruitment of Female “Mules” by Transnational Criminal Organizations: Securitization of Drug Trafficking in the Philippines and Beyond”, Agustus 2013, Hlm. 25

[6] Op.cit,. Marry Catherine A. Alvarez, Hlm. 8

[7] Op.cit,. Stephanie Martel, Hlm. 29

[8] Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 1981 (KUHAP), Pasal 177.

[9] Ibid., Pasal 53 (1)

[10] Amnesty Internasional, Laporan: ‘Keadilan Yang Cacat: Peradilan yang Tidak Adil dan Hukuman Mati di Indonesia’, 2015, Hlm. 42

[11] Ibid., Amnesty Internasional, Hlm. 42

[12] Wawancara dengan Ricky Gunawan, Direktur LBHM, salah satu pengacara Rodrigo Gularte.

[13] Lihat Ricky Gunawan dkk, ‘Laporan Kebijakan: Memperkuat Perlindungan Hak Orang Berhadapan Dengan Hukuman Mati’, LBHM, Maret 2019,

Apa Kabar Kebijakan Narkotika

Waktunya Dekriminalisasi Narkotika?

Orang yang menggunakan narkotika juga manusia, tidak ada bedanya dengan saya, kamu, mereka dan dia. Mereka mempunyai hak yang sama seperti orang lain. Di negara seperti Indonesia, pemerintah menempatkan pengguna narkotika harus berjuang dalam mempertahankan hak-haknya dari kebijakan narkotika yang belum mendukung pengguna narkotika. Imbas dari kebijakan punitif ini membuat mereka harus berhadapan dengan risiko-risiko seperti kriminalisasi, pemenjaraan, dan stigma. Kebijakan punitif ini sangat jauh dari kesan humanis. Selama ini unsur-unsur yang melanggar hak asasi manusia (HAM) masih kerap ditemui dalam proses penerapan kebijakan narkotika Indonesia. Bukankah suatu kebijakan yang efektif itu dibuat untuk mampu menyelesaikan masalah bukan malah menambah dan menambal masalah?

Setiap negara tentu mempunyai sikap dan cara berbeda-beda untuk mengatasi permasalahan narkotika. Tetapi ketika ada pelajaran yang baik yang bisa dipetik dari negara lain, mengapa kita tidak melakukannya? Ambil contoh misalnya beberapa wilayah negara bagian Australia yang secara sistem hukum sudah menjalankan dekriminalisasi narkotika. Hal mana yang telah memberikan manfaat, terbukti dengan pemenjaraan di Australia kurang dari 1% terhadap individu yang menguasai dan menggunakan narkotika.[1] Manfaat lain dekriminalisasi di Australia ialah berhasil menjauhkan pengguna dari sistem peradilan pidana, menurunkan angka hukuman pidana, serta menurunkan angka pelaporan penggunaan cannabis yang turun hingga lebih dari 9.000[2]. Ketika negara seperti Australia sudah menikmati dekriminalisasi, Indonesia sendiri masih bersikukuh mempertahankan pendekatan punitif yang tidak hanya menyasar pengedar tetapi juga pengguna narkotika. Salah satu dampak dari kebijakan yang punitif adalah kapasitas lembaga pemasyarakatan yang menjadi semakin terbebani (overcrowding). Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, pada Desember 2018, mengemukakan bahwa lebih dari 50% narapidana di Indonesia adalah kasus narkotika. Dari jumlah tersebut, 41.000 di antaranya diidentifikasi sebagai pengguna narkotika.[3] Jumlah ini mengantarkan Indonesia mencapai overcrowding lembaga pemasyarakatan (lapas) sebesar 203% per tahun 2018.[4]

War on Drugs = Membunuh

Kebijakan narkotika yang berbasis mendukung bukan menghukum kini sudah menjadi perhatian negara-negara internasional. Di Asia Tenggara sendiri perubahan mulai terasa. Thailand menjadi negara pertama yang mulai melegalkan ganja medis.[5] Selain itu negara jiran Malaysia sedang merancang untuk mulai menghapus hukuman mati – keseriusan Malaysia dibuktikan dengan membatalkan vonis hukuman mati kepada pria yang menjual minyak ganja.[6] Di saat yang lain sudah mulai mengubah arah kebijakannya, Indonesia masih tetap ‘jalan di tempat’ dengan kebijakan ‘usang’ yang rentan melanggar HAM. Masih teringat pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahun 2015, yang mengatakan pengedar dan penyalahguna narkotika harus ‘digebukin’ rame-rame[7]. Di 2017, Jokowi juga menginstruksikan untuk menembak mati para ‘pengedar’.[8] Sepanjang 2017, Badan Narkotika Nasional (BNN) melakukan praktik tembak mati di tempat yang memakan korban 79 orang meninggal.[9] Data LBHM sendiri mengungkapkan bahwa korban dari kebijakan tembak di tempat di kasus nakrotika ini telah memakan korban 215 orang, dengan 99 orang di antaranya meninggal dunia.[10] Kebijakan yang meniru gaya keras milik Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, yang menuai polemik karena melanggar HAM, nyata-nyata melangkahi proses hukum, dan tidak mengindahkan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent).

Sebelum kebijakan tembak mati di tempat, keputusan buruk Pemerintah Indonesia lainnya dalam penanganan narkotika adalah eksekusi mati. Masih segar dalam ingatan, selama periode 2015-2016 sudah ada tiga gelombang eksekusi mati yang telah merenggut nyawa total 18 orang yang kesemuanya adalah terpidana mati narkotika. Indonesia masih menafsirkan kejahatan narkotika sebagai kejahatan serius, padahal dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, tindak pidana narkotika tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan paling serius (most serious crime), karena tidak mengandung elemen menghilangkan nyawa secara langsung dan mematikan.[11] Efek jera atau penggentar juga kerap dijadikan legitimasi untuk menjatuhkan hukuman mati. Padahal, tidak ada penelitian-penelitian empiris yang secara konsisten memperlihatkan bahwa hukuman mati tidak terbukti efektif menggentarkan kejahatan dibandingkan bentuk hukuman lainnya. Selama ini hukuman mati telah ditopang oleh sebuah dasar yang tidak kokoh yakni kepercayaan aprioris terhadap kemampuan hukuman mati, sebagai bentuk hukuman yang paling keras di dalam menurunkan angka kejahatan.[12]

Kedua kebijakan di atas – tembak di tempat dan eksekusi mati – sesungguhnya tidak pernah terbukti berhasil menurunkan angka kejahatan narkotika selama beberapa tahun ini. Peredaran gelap narkotika masih marak. Di samping itu, kebijakan berdarah tersebut sesungguhnya juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28A yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”[13] Selain melanggar hak hidup, kedua kebijakan tersebut menjauhkan terpidana untuk mendapatkan hak peradilan yang adil (fair trial).

Dekriminalisasi adalah kunci

Pidato Jokowi tentang ‘gebuk’ pengedar dan penyalahguna narkotika di tahun 2015, seakan menjadi restu dari presiden untuk memberantas kejahatan narkotika dengan cara yang membabi buta. Sayangnya hal ini tidak berimbas banyak dalam mengurangi angka kejahatan narkotika. Malah angkanya setiap tahun bertambah, sebagaimana bisa dilihat dari data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas) jumlah narapidana narkotika meningkat drastis dari 64.711 orang pada Oktober 2014 menjadi 117.553 pada Mei 2019 – hampir dua kali lipat dalam kurun waktu lima tahun.[14] Ketidakefektifan pemidanaan berjalan seiring dengan kerentanan unfair trial dalam kasus narkotika. Rodrigo Gularte dan Merry Utami adalah sedikit dari banyak contoh kasus ketidakadilan hukum di kasus narkotika. Rodrigo Gularte divonis hukuman mati dan kemudian dieksekusi mati. Ia menderita kelainan otak cerebral disrythimia, serta  bipolar affective disorder .[15] Padahal Pasal 44 KUHP menegaskan orang yang mengalami gangguan jiwa tidak bisa dipidana.[16] Sedangkan untuk kasus Meri Utami, dia tetap divonis hukuman mati walaupun dia adalah seorang perempuan yang menjadi korban eksploitasi sindikat gelap. Kerentanan seperti ini sayangnya masih belum dipertimbangkan oleh hakim.[17]

Lantas adakah alternatif lain ketika kriminalisasi narkotika gagal menyelesaikan permasalahan kejahatan narkotika? Jawabannya ada, yakni dekriminalisasi.

Apa itu dekriminalisasi?  Dekriminalisasi adalah suatu penetapan atas perbuatan yang dulunya perbuatan pidana menjadi bukan perbuatan pidana.[18] Pendekatan dekriminalisasi ini merupakan respons terhadap beban ekonomi dan sosial dari pendekatan punitif yang dilakukan. Manfaat dari penerapan kebijakan ini antara lain mengurangi biaya penegakan hukum, dan pengurangan dampak buruk yang diderita pengguna narkotika.[19]

Portugal merupakan negara pertama yang melakukan dekriminalisasi pemakaian narkotika tahun 2001 dan lebih banyak memfokuskan pada pengurangan dampak buruk narkotika serta pendekatan kesehatan.[20] Keseriusan pemerintah Portugal mendorong dekriminalisasi berimbas pada penurunan angka kejahatan narkotika dari 14.000/tahun di tahun 2000 menjadi 5.000-5.500/tahunnya.[21] Dekriminalisasi juga mengurangi biaya sosial (kesehatan) serta menekan angka penyebaran HIV AIDS dan Tuberculosis.[22]

Selain itu, Kosta Rika juga melakukan dekriminalisasi penguasaan narkotika pribadi tahun 1988. Peru mendekriminalisasi penguasaan narkotika pribadi di 2010. Republik Ceko melakukan hal yang sama di 2013. Serta Uruguay dengan melegalisasi ganja untuk alasan rekreasional  di 2017.[23]

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa dekriminalisasi sulit terwujud di Indonesia? Selama ini isu narkotika kerap dijadikan komoditas politik oleh pihak tertentu baik untuk mempertahankan kekuasaan maupun ‘bermain’, dalam hal ini adalah memeras pengguna narkotika secara material. Setidaknya ada tiga hal yang membuat dekriminalisasi narkotika sulit terwujud. Pertama, stigma kepada pengguna narkotika. Label yang sering disematkan adalah pengguna merupakan kriminal, yang sangat disayangkan lagi adalah ternyata pemerintah ikut andil dalam melanggengkan stigma tersebut seperti “Narkotika juga secara nyata dapat memicu kejahatan lainnya, seperti pencurian, pemerkosaan, dan pembunuhan…”[24]. Ketika pengguna narkotika masih harus menyandang stigma sebagai ‘kriminal’, langkah untuk mendekriminalisasi – atau memutar balik status tersebut – berhadapan dengan dinding besar. Second, kebijakan narkotika yang punitif. UU Narkotika masih menganut semangat menghukum (punitive) dibanding mendukung. Hal ini tercermin dalam hukuman mati yang masih dipercayai dapat memberikan efek gentar. Faktanya, setelah eksekusi mati dilaksanakan 2015 & 2016, kasus narkotika naik 22%  pada awal Januari 2019. Situasi lingkungan hukum yang punitif hanya akan mempersulit terciptanya dekriminalisasi karena institusi, kultur, dan praktik hukum yang by nature cenderung menghukum. Ketiga, layanan kesehatan yang ada saat ini masih kurang mendukung untuk terlaksananya layanan pengurangan dampak buruk narkotika (harm reduction). Dekriminalisasi narkotika tidak bisa berdiri sendiri, dia membutuhkan layanan kesehatan yang juga efektif, optimal dan komprehensif, bagi pengguna narkotika. Keberadaan layanan harm reduction menjadi salah satu pelengkap penting bagi dekriminalisasi, guna menjamin pemenuhan hak atas kesehatan pengguna narkotika.

Sayangnya paham kriminalisasi narkotika masih berdiri di atas kepercayaan yang tak beralasan bahwa narkotika merusak generasi bangsa. Negara masih terus mereproduksi narasi tersebut dan menjadikannya sebagai alat politik untuk melegitimasi kekuasaan. Sebab, pernyataan seperti ‘menggebuk pengguna narkotika’ tentu dapat terlihat heroik karena dipandang telah ‘menyelamatkan’ bangsa.

Seyogyanya pemerintah harus mulai membuka mata bahwa selama ini ada yang salah dari kebijakan narkotika di Indonesia. Kebijakan punitif yang sudah berjalan lebih dari empat dekade, seharusnya menyadarkan pemerintah untuk mulai merefleksikan kembali kebijakan narkotikanya. Alih-alih menyelesaikan permasalahan narkotika, pemerintah justru malah menambah masalah baru seperti overcrowding dalam penjara, serta memperpanjang deret pelanggaran HAM. Pemerintah harus mulai mengkaji kebijakan humanis yang diterapkan oleh negara lain dalam merespon permasalahan narkotika. Momen satu dekade Undang-Undang Narkotika Nomor 35/2009 juga di tahun ini juga perlu menyadarkan pemerintah bahwa ‘war on drugs’ yang selama ini terus menerus digaungkan bukanlah solusi menyelesaikan kejahatan narkotika. Bukannya menyelamatkan anak bangsa, pemerintah malah merusak masa depan anak bangsa dengan memenjarakan dan menghukumnya secara kejam.

Penjara bukan solusi. Pengguna narkotika harus didukung bukan dihukum!

Penulis: Tengku Raka

Editor: Ricky Gunawan

[1] Release, ‘A Quiet Revolution – Decriminalisation Across the Globe’, 2016, Hlm. 17

[2] Ibid., Hlm. 14.

[3] LBHM, ‘10 Tahun UU Narkotika : Momentum Revisi Kebijakan Narkotika’, 26 Juni 2019, diakses 30 Juni 2019 melalui https://lbhmasyarakat.org/rilis-lbhm-10-tahun-uu-narkotika-momentum-revisi-kebijakan-narkotika/

[4] Ibid.

[5] VICE, ‘Thailand Is About to Legalize Medical Marijuana and It Could Change Everything’, 24 Oktober 2018, diakses 30 Juni 2019, melalui https://www.vice.com/en_asia/article/3kygb3/thailand-is-about-to-legalize-medical-marijuana-and-it-could-change-everything?utm_campaign=sharebutton

[6] Kompas.com, ‘Mahatir Minta Hukuman Mati Penjual Minyak Ganja Ditinjau Ulang’, 18 September 2018, diakses 30 Juni 2019, melalui https://internasional.kompas.com/read/2018/09/18/19550341/mahathir-minta-hukuman-mati-penjual-minyak-ganja-ditinjau-ulang

[7] Detik.com, ‘Jokowi ke Kabareskrim: Pengedar Kita Gebukin Ramai-ramai, Gimana?’, 3 Oktober 2017, diakses pada 28 Juni 2019 melalui https://news.detik.com/berita/d-3668139/jokowi-ke-kabareskrim-pengedar-kita-gebukin-ramai-ramai-gimana

[8] Kompas.com, ‘Jokowi : Saya Sudah Katakan, tembak di Tempat Saja’ 21 Juli 2017, dikases pada 28 Juni 2019, melalui https://nasional.kompas.com/read/2017/07/21/17295801/jokowi–saya-sudah-katakan-tembak-di-tempat-saja-

[9] Tempo.co, ‘Sepanjang 2017, BNN Tembak Mati 79 Bandar Narkoba’, 27 Desember 2017, diakses pada 30 Juni 2019, melalui https://nasional.tempo.co/read/1045478/sepanjang-2017-bnn-tembak-mati-79-bandar-narkoba/full&view=ok

[10] Ma’ruf Bajamal, ‘Seri Monitoring dan Dokumentasi: Menggugat Tembak Mati Narkotika’, Juni 2018, LBHM, Hlm. 7

[11] Ricky Gunawan dkk, ‘Laporan Kebijakan: Memperkuat Perlindungan Hak Orang Berhadapan Dengan Hukuman Mati’, Maret 2019, Hlm. 3

[12] Tengku Raka, ‘Hukuman Mati dan Terorisme’, 22 April 2019 diakses pada 30 Juni 2019, melalui https://lbhmasyarakat.org/hukuman-mati-dan-terorisme/

[13] Ibid.

[14] Choky Ramadhan dkk, ‘Hari Anti Narkotika Internasional: Para Ahli Sarankan Jangan penjarakan Pengguna Narkotika’ 26 Juni 2019, The Conversation, diakses pada 1 Juli 2019, melalui https://theconversation.com/hari-anti-narkotika-internasional-para-ahli-sarankan-jangan-penjarakan-pengguna-narkotika-119452

[15] Naila Rizky Zaqiah dan Albert Wirya, ‘Rodrigo Gularte: Sebuah Mimpi di Ujung Laras Panjang’ 17 Desember 2015, diakses pada 15 Juli 2019, melalui https://lbhmasyarakat.org/rodrigo-gularte-sebuah-mimpi-di-ujung-laras-panjang/

[16] Ging Ginanjar, ‘Dikecam, Rencana Eksekusi Penderita Gangguan Mental’ 5 Maret 2015, BBC Indonesia, diakses pada 15 Juli 2015, melalui https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/03/150305_eksekusi_rodrigo_protes

[17] Muhammad Afif Abdul Qoyim, ‘Merry Utami: Menyurati Hidup’ diakses pada 1 Juli 2019, 15 Agustus 2016, melalui https://lbhmasyarakat.org/merri-utami-menyurati-hidup/

[18] Op.Cit, Choky Ramadhan dkk, di The Conversation.

[19] Ibid.

[20] Op.Cit., Release,  A Quiet Revolution, Hlm. 28.

[21] Ibid.

[22] Ibid., Hlm. 30.

[23] Avinash Tharoor, ‘Map: Drug Decriminalisation Around the World’, 23 Juni 2018, diakses 29 Juli 2019, melalui  https://www.talkingdrugs.org/decriminalisation

[24] Bappenas, ‘Narasi Tunggal: Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) 2017’ 13 Juli 2017, diakses pada 3 Juli 2019, melalui https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/narasi-tunggal-hari-anti-narkotika-internasional-hani-2017/