Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Rilis Pers – Menggugat Kebijakan COVID-19 Pemerintah Indonesia

Indonesia secara resmi mengakui merebaknya wabah COVID-19 pada 2 Maret 2020 dengan diumumkannya dua pasien pertama oleh Presiden Joko Widodo. Sejak itu, peningkatan jumlah pasien positif COVID-19 terus meningkat di Indonesia. Hingga 13 Maret 2020 , pernyataan resmi pemerintah menyebutkan terdapat 35 orang yang positif terinfeksi, 3 orang dinyatakan sembuh dan 2 orang meninggal dunia. Seiring dengan makin luasnya korban, makin besar pula kekhawatiran kami menyangkut cara pemerintah merespons COVID-19:

Pertama, saat pertama kali virus ini muncul di China dan menyebar ke kawasan lain di negara tetangga, pemerintah menganut premis yang sama sekali keliru. Alih-alih mengantisipasi secara serius ancaman virus ini, pemerintah melalui pernyataan para pejabat dan elitnya cenderung meremehkan dan menyiratkan seakan-akan orang Indonesia kebal terhadap serangan virus ini. Prediksi dari Universitas Harvard yang menyebutkan bahwa virus itu sudah sampai di Indonesia, ditolak mentah-mentah, dan bukannya dijadikan landasan untuk mempersiapkan kebijakan kesehatan publik yang kuat dan efektif untuk menghadapi virus ini. Sikap meremehkan dan cenderung anti-sains ini sedikit banyak telah membuat pemerintah tergagap manakala virus ini benar-benar datang. Sementara para pemimpin negara-negara tetangga jauh-jauh hari sudah mempersiapkan negaranya masing-masing: memperluas kampanye layanan masyarakat, menyiapkan rumah sakit, menetapkan prosedur dan protokol di pelbagai sarana publik, Pemerintah Indonesia terlihat minim inisiatif dan ketinggalan.

Kedua, kegagapan ini nampak dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan baik oleh pejabat pemerintah pusat, maupun daerah. Koordinasi yang lemah antara pemerintah pusat dan daerah, miskomunikasi antara Kementerian Kesehatan dengan instansi lainnya nampak dalam bagaimana kasus pertama diumumkan, termasuk pelanggaran hak privasi pasien. Nampak jelas bahwa pemerintah cenderung mendahulukan citra ketimbang kemaslahatan pasien dan keselamatan publik yang lebih luas.

Ketiga, premis yang keliru dalam merespon wabah COVID-19 juga nampak sangat jelas dalam kebijakan pemerintah di awal virus ini masuk. Ketimbang mencurahkan perhatian dan dana untuk mengantisipasi dan menangani virus, pemerintah malah memberikan insentif yang tak masuk akal untuk industri pariwisata termasuk membayar buzzer, bukannya mengucurkan dana untuk fasilitas kesehatan. Sementara negara-negara lain mengetatkan pintu masuk untuk menghindari perluasan virus, Indonesia malah membuka diri lebar-lebar dengan alasan melindungi industri pariwisatanya.

Keempat, kesalahan premis dan kegagapan ini makin diperparah dengan kebijakan pemerintah yang secara sengaja membatasi informasi mengenai ancaman dan perkembangan penyebaran COVID-19 di Indonesia. Pemerintah berulang kali menyerukan ancaman hoaks. Sayangnya kekhawatiran akan penyebaran hoaks, tidak disertai dengan upaya untuk membangun komunikasi dan informasi publik yang terpercaya dan komprehensif. Ini terlihat dari minimnya informasi mengenai daampak virus ini terhadap pasien dan lokasi-lokasi penularannya. Kebijakan ini sangat bertolak belakang dengan praktik di negara lain yang sama-sama sedang menanggulangi COVID-19. Pemerintah Korea Selatan misalnya, secara berkala menyiarkan bukan hanya kasus tetapi juga lokasi dari ditemukannya kasus. Informasi yang terang, disertasi dengan kepekaan untuk mencegah kepanikan dan stigma terbukti sangat bermanfaat untuk membangun kewaspadaan dan mekanisme kehati-hatian publik. Ketertutupan informasi, justru akan memberikan sinyal dan arah yang keliru untuk publik, menurunkan kewaspadaan yang bisa berakibat pada perluasan penularan wabah. Dalam banyak pengalaman sejarah, informasi yang asimetris justru merupakan penyebab dari parahnya bencana.

Kami menyesalkan dan mengugat cara pemerintah menghadapi pandemi COVID-19 ini. Kami menilai apa yang dilakukan pemerintah sama sekali jauh dari pemenuhan hak-hak konstitusional rakyat yang memerintahkan negara untuk ‘melindungi segenap tumpah darah Indonesia’. Komunikasi publik pemerintah memang bisa mencegah kepanikan, tapi tidak bisa memberikan keamanan dan perlindungan atas ancaman yang nyata. Oleh karena itu kami menuntut:

Pertama, pemerintah harus mengubah dan memperbaiki mekanisme respon atas pandemik ini dengan cara:

1. Menyediakan informasi publik yang benar, lengkap dan berkala menyangkut penyebaran dan risiko penularan.
2. Respons darurat yang cepat, kompeten dan dapat dijangkau masyarakat yang merasa sakit.
3. Menjamin mutu manajemen penelusuran kasus yang teliti dan transparan. Identifikasi klaster-klaster yang positif, lacak orang-orang yang berpotensi tertular atau jadi carrier. Bila perlu lakukan upaya ‘partial isolation’.
4. Pemantauan yang cermat.
5. Kebijakan kesehatan publik yang rasional, dapat dijangkau dan tepat.
6. Uji laboratorium yang luas, tidak boleh dimonopoli Kemenkes, dengan juga memperbanyak testing. Mendukung upaya pemerintah daerah melakukan uji laboratorium untuk pengujian pasien.
7. Manajemen kasus yang baik untuk menghindari stigma terhadap pasien.
8. Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi yang cermat, terpercaya. Manajemen keramaian publik termasuk melarang acara publik.

Respon pemerintah yang cepat, akurat dan bertanggung jawab justru akan berdampak positif karena akan memulihkan kepercayaan publik dan meningkatkan kesiapan warga.

Kedua, membenahi manajemen komunikasi publik dengaan membatasi dan bila perlu melarang semua bentuk komunikasi publik dari para pejabat yang tidak memiliki relevansi dan/atau kepakaran di bidang medis, atau kesehatan publik. Termasuk media, sebaiknya juga tidak perlu mencari narasumber/pendapat dari pejabat atau orang-orang yang tidak memiliki keahilian di bidang kesehatan.

Ketiga, pemerintah harus tetap menjaga hak privasi warga. Pengungkapan kasus, informasi tentang penularan bisa dilakukan tanpa harus membuka identitas pasien.

Keempat, mengingat potensi stigma dan diskriminasi yang tinggi terhadap orang yang bisa saja memiliki COVID-19, pemerintah harus memastikan upaya untuk meminimalisir stigma dan diskriminasi.

Kelima, pemerintah harus turun tangan secara nyata untuk mengatasi kelangkaan masker dan sabun antiseptik supaya tersedia di masyarakat dengan harga yang terjangkau.

Jakarta, 13 Maret 2020

AJAR, Amnesty International Indonesia, KontraS, Lokataru, Migrant Care, LBH Masyarakat,
P2D, PKBI, PSHK, YLBHI, YLKI, WALHI

Narahubung:
Ricky Gunawan +681210677657
Anis Hidayah +6281578722874

Liputan Media tentang Pekerjaan LBH Masyarakat di 2019

Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) kian hari kian kompleks. Tindakan-tindakan represif, pembungkaman kebebasan berekspresi, dan kriminalisasi belakangan ini semakin menjadi-jadi. Tidak jarang kita melihat isu HAM kerap kali dibungkam ketika berhadapan langsung dengan penguasa. Kondisi ini diperburuk dengan menjamurnya berita-berita hoaks yang semakin mengaburkan informasi terkait HAM.

Menghadapi situasi seperti inilah, LBH Masyarakat (LBHM) percaya bahwa media-media yang imparsial dan berkualitas mampu memberikan edukasi seputar isu-isu HAM kontemporer. Selain itu, LBHM memandang media adalah mitra strategis dalam memberikan informasi yang berbobot dan berimbang kepada masyarakat. Oleh karena itu, LBHM mengucapkan terima kasih atas bantuan teman-teman jurnalis dan pekerja media yang telah meliput kerja-kerja LBHM sehingga pesan-pesan kemanusiaan dapat tersampaikan ke publik dengan cepat dan tepat. Liputan Anda sangat berharga dalam kerja-kerja advokasi kami.

Kalian dapat mengunduh hasil kerja coverage media kami di sini

Infografis Coverage Media LBHM 2019

Rilis Pers – Lewat #HarapHAM, Mengubah Keniscayaan Menjadi Kenyataan.

Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengadakan sebuah festival satu hari berjudul #HarapHAM. Festival yang terbuka untuk umum ini memadukan beberapa acara kebudayaan, yakni lokakarya melukis, pembacaan puisi, diskusi santai, dan pertunjukan musik. Acara ini tidak untuk hura-hura seremonial belaka tapi ingin memantik kepekaan masyarakat umum bahwa kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

#HarapHAM dirancang sebagai medium berbagi keresahan dan kegerahan akan situasi keadilan yang semakin gersang. Sebulan sebelum pelantikan masa jabatannya yang kedua, Joko Widodo menjalankan sejumlah kebijakan yang bertolak belakang dengan semangat HAM dan justru mengkhianati janji HAM-nya. Melalui Kementerian Hukum dan HAM, ia menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK yang semakin mencekik kewenangan KPK dalam agenda pemberantasan korupsi. Bersama anggota DPR periode 2014-2019, ia juga hampir meneken pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berpotensi menyebabkan overkriminalisasi,terutama kepada kelompok marginal, seperti perempuan, anak, pengguna narkotika dan kelompok minoritas seksual.

Aparat pemerintah juga menunjukkan wajah brutal dan represifnya dalam menangani kasus demonstrasi #ReformasiDikorupsi yang berlangsung medio September 2019. Tim Advokasi untuk Demokrasi mencatat setidaknya terdapat 390 orang yang ditangkap tanpa status hukum yang jelas dan tanpa akses bantuan hukum memadai. Aparat melakukan kekerasan dan penyiksaan terhadap orang-orang yang mengutarakan pendapatnya secara bebas. Salah satu ekses negatif dari represi aksi demonstrasi ini menimpa Immawan Randy dan Yusuf Kardawi, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo yang tewas ditembak senjata polisi, tanpa diikuti dengan akuntabilitas yang transparan dan efektif.

Kelompok minoritas di Indonesia juga masih hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan persekusi, kekerasan, dan diskriminasi yang masih diabaikan oleh negara. Dari bulan Januari hingga September 2019, setidaknya ada 30 kasus diskriminasi terhadap kelompok Lesbian-Gay-Bisexual-Transgender yang menyebabkan tidak sedikit anggota kelompok minoritas seksual ini mengungsi dari rumah atau kotanya. Begitu juga dengan pengguna narkotika yang hidupnya penuh ketakutan mengingat sewaktu-waktu aparat penegak hukum bisa menciduk dan menjebloskan
mereka ke dalam penjara yang sudah sesak; dan bukannya menyediakan dukungan kesehatan. Di tahun ini, kami juga mendapatkan pengalaman berharga dari kasus Wendra, seorang dengan disabilitas intelektual yang diabaikan haknya ketika status disabilitasnya diragukan aparat penegak hukum.

Gambaran kelabu HAM di Indonesia inilah yang menjadi landasan bagaimana kami memilih para pengisi acara di festival #HarapHAM ini. Di siang hari, kami mengadakan lokakarya melukis yang dipandu oleh Bartega Studio karena kami percaya bahwa pesan kemanusiaan tidak melulu hadir lewat retorika tapi juga sketsa. Kami mengundang empat pembicara dalam diskusi publik di malam hari, yaitu Saras Dewi (Dosen Filsafat Universitas Indonesia), Puri Kencana Putri (Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia), Bivitri Susanti (Wakil Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera) dan, Ricky Gunawan (Direktur LBHM), untuk membagikan kesaksian bagaimana, bahkan setelah belasan tahun ‘dikhianati’ pemerintah, mereka tetap pantang menyerah dan akan terus menuntut pertanggungjawaban HAM kepada negara. Hadir pula di festival ini Anya Rompas, seorang penyair, yang mengingatkan tentang pentingnya kesehatan jiwa dalam bait-bait puisinya. #HarapHAM juga mendatangkan para musisi yang bukan hanya terkenal karena kualitas musiknya melainkan juga karena aktivisme yang mereka geluti dan menyuarakan kritik sosial. Ananda Badudu yang gigih memperjuangkan hak kebebasan berpendapat, Oscar Lolang yang aktif menggalang kepedulian untuk Papua lewat lagunya, dan Hindia yang kerap melantunkan dukungannya terhadap korban-korban kekerasan seksual dan ketidakadilan.

Melalui #HarapHAM, LBHM tidak hanya ingin memperlihatkan potret buram penegakan HAM di Indonesia, kami juga ingin menunjukkan potensi-potensi perbaikannya di masa mendatang. Potensi-potensi itu kami yakini ada, bukan cuma di orang-orang yang memiliki jabatan di pemerintah, melainkan juga di diri rakyat biasa lintas etnis, kepercayaan, tingkat pendidikan, gender, orientasi seksual, dan lain-lain. Keniscayaan bahwa setiap orang memiliki HAM akan berubah menjadi kenyataan bilamana sekumpulan orang-orang biasa berkumpul dan mengemban harapan yang sama. #HarapHAM adalah ruang untuk menghimpun kegeraman publik dan mengelolanya menjadi semangat kolektif untuk memperbaiki kemanusiaan dan keadilan di republik yang tengah retak.

Narahubung
Tengku M Raka (0896 3541 0046)

Rilis Pers – HARAP-HAM UNTUK BUNG IDHAM

Merespon pelantikan Idham Aziz sebagai Kapolri oleh Presiden Joko Widodo, LBH Masyarakat mencatat empat persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) yang perlu dibenahi oleh Polri. 

Empat persoalan ini kami temukan dalam pekerjaan-pekerjaan pendampingan kasus LBHM sehingga tidak menafikan kemungkinan adanya permasalahan-permasalahan lain di tubuh Polri.

Pertama, Polri perlu menghentikan kebijakan punitif dalam menangani kasus-kasus penggunaan narkotika dan mengedepankan kebijakan berpendekatan medis. Sepanjang UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diberlakukan, LBH Masyarakat menemukan maraknya kasus pengguna narkotika yang ditahan dan perkaranya diteruskan ke pengadilan. Upaya punitif ini bukan hanya menjebloskan pengguna narkotika ke jurang permasalahan kesehatan yang lebih dalam, ia juga menambah masalah overkapasitas lembaga pemasyarakatan. Polri yang baru perlu lebih peka terhadap permasalahan-permasalahan kesehatan tahanan.

Kedua, Polri wajib menerapkan prinsip nondiskriminasi terhadap anggota-anggotanya yang berasal dari kelompok minoritas agama, orientasi seksual, gender, dan disabilitas. Di awal tahun 2019, LBH Masyarakat mendampingi seorang anggota polisi yang dipecat dari kesatuannya karena memiliki orientasi seksual yang berbeda. Hal ini tidak sejalan dengan Peraturan Kepala Polri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian yang mewajibkan anggota Polri melindungi HAM kelompok minoritas, tidak terkecuali anggota mereka sendiri.

Ketiga, Polri harus mengubah watak represif dalam menghadapi kasus-kasus yang menyangkut kebebasan menyatakan pendapat. Pada saat menjelang berakhirnya masa jabatan anggota DPR RI periode 2014-2019, Polri melakukan pengamanan terhadap massa aksi yang berunjuk rasa di depan Gedung DPR-RI untuk menentang beberapa RUU yang kontroversial. Polri mengaplikasikan cara-cara represif dan brutal untuk menanggulangi massa aksi sehingga melanggar prinsip-prinsip HAM. 

Berdasarkan pengaduan yang diterima oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi, yang terdiri dari LBH Masyarakat dan beberapa anggota masyarakat sipil lain, per tanggal 30 September 2019 terdapat 390 orang yang ditangkap tanpa status hukum yang jelas dan melewati batas waktu 1×24 jam sebagaimana ditentukan dalam KUHAP. Ketidaksesuaian praktik penanganan kasus ini juga dinodai oleh personel-personel kepolisian yang diduga keras melakukan penyiksaan terhadap beberapa orang yang terlibat demonstrasi dan menghalang-halangi orang yang ingin terlibat dalam aksi massa.

Keempat, Polri harus membuka akses bantuan hukum bagi setiap orang yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana. Tim Advokasi untuk Demokrasi mencatat bahwa, dalam penanganan kasus orang-orang yang terlibat demonstrasi pada bulan September 2019, Polri membatasi informasi tentang ketersediaan pengacara. Ketidakterbukaan informasi ini membuat kami mempertanyakan akses bantuan hukum terhadap massa aksi yang ditangkap.

LBH Masyarakat menganggap empat pekerjaan rumah Polri ini sebagai ujian bagi Kapolri Idham Aziz. Ujian untuk menentukan apakah Polri akan lulus menjadi institusi profesional, modern, dan terpercaya (promoter), yang mengedepankan HAM atau mengulang sebagai antagonis dalam sistem demokrasi Indonesia.

Narahubung: M. Afif Abdul Qoyim (081320049060) 

Kompetisi Poster #KitaSetara

Pudarnya nafas keberagaman di Indonesia berjalan seiring dengan meningkatnya narasi populisme yang digunakan sebagai politik identitas. Kondisi ini diperkuat dengan penyebaran bibit ekstremisme dari tingkat pendidikan sekolah menengah hingga perguruan tinggi di beberapa tahun terakhir. Salah satu bentuknya: pembubaran acara dan diskusi yang diselenggarakan oleh kelompok minoritas seksual.

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menemukan 973 orang minoritas seksual dan gender mengalami kriminalisasi dan persekusi.1 Beberapa peraturan juga dibuat dengan muatan diskriminatif terhadap hak-hak kelompok minoritas tersebut. Berdasar catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan ada 421 kebijakan diskriminatis dan 56% di antaranya berbentuk Peraturan Daerah.

Padahal nilai-nilai keberagaman, termasuk seksual dan gender termaktub dalam ideologi Pancasila. Serta ditegaskan melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Atas dasar ini, kami mengangkat #KitaSetara sebagai tema besar kompetisi poster. Frasa #KitaSetara mengingatkan pada nilai-nilai luhur yang telah dipercaya sejak ratusan tahun lalu.

Adapun kegiatan ini bertujuan untuk memulihkan semangat keberagaman dan toleransi yang semakin terkikis karena adanya politik populisme. Desain yang terpilih akan dijadikan bahan kampanye sosial yang disebarkan ke dalam lini-lini sosial media. Harapannya, pesan yang disampaikan dalam poster dapat diterima dengan baik oleh masyarakat umum dan menggerakan hati mereka untuk terus menjaga keberagaman di Indonesia.

Adapun nanti 3 orang pemenang kompetisi poster #KitaSetara akan mendapatkan hadiah menarik sebagai berikut:

Juara 1: Rp 5.000.000
Juara 2: Rp 3.500.000
Juara 3: Rp 2.000.000

Kami tunggu partisipasinya ya teman-teman, dengan berpartisipasi kalian dapat membantu menjaga keberagaman dan kesetaraan sesama manusia.

Untuk informasi lebih lanjut terkait persyaratan kompetisi #KitaSetara silahkan klik di sini

Rilis Pers – Tarik Pidana Mati Dalam RKUHP!

LBH Masyarakat (LBHM) menyayangkan masih dicantumkannya pidana mati di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), versi 28 Agustus 2019. LBHM menolak hukuman mati untuk segala tindak pidana, dalam segala situasi, dengan alasan, antara lain:

  1. UUD 1945 telah memberikan jaminan perlindungan hak untuk hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28A jo. Pasal 28I).
  2. Sistem peradilan Indonesia (dan di manapun juga) adalah buatan manusia dan oleh karena itu akan selalu rentan kesalahan. Sistem seperti ini tidak boleh memiliki otoritas untuk menghukum pelaku kejahatan sampai mencabut nyawanya, mengingat hukuman mati tidak dapat ditarik kembali (irreversible).
  3. Hukuman mati tidak pernah terbukti memberikan efek jera atau efek gentar.
  4. Praktik hukuman mati di Indonesia justru bertolak belakang dengan upaya Pemerintah Indonesia yang menyelamatkan warga negara Indonesia terancam hukuman mati/eksekusi di luar negeri.

 

Pasal 98

Pidana mati dijatuhkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat.

Pasal 1

Pasal 99

(1)      Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.

(2)      Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum.

(3)      Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan dalam Undang-Undang.

(4)      Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil, wanita yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan, wanita tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.

Pasal 2

Pasal 100

(1)      Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika:

a.         terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;

b.         peran terdakwa dalam Tindak Pidana tidak terlalu penting; atau

c.          ada alasan yang meringankan.

(2)      Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.

(3)      Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

(4)      Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.

(5)      Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

 

Pasal 101

Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

Pasal 3

Pasal 102

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dengan Undang-Undang.

 

 

Catatan LBHM terkait ketentuan pidana mati di dalam RKUHP:

1. Konsep pidana mati “yang dijatuhkan secara alternatif” dan “sebagai upaya terakhir untuk […] mengayomi masyarakat” (dalam Pasal 98), serta “ada harapan untuk diperbaiki” (dalam Pasal 100) tidak memiliki definisi dan cakupan yang jelas.

2. Perlu penegasan bahwa pidana mati tidak dapat diberlakukan kepada anak, orang dengan disabilitas psikososial, maupun orang yang sudah lanjut usia (di atas 60 tahun).

3. Pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati seharusnya merupakan hak setiap orang yang divonis mati dan berlaku otomatis, dan tidak boleh bergantung pada dicantumkan atau tidak di dalam putusan pengadilan (Pasal 100 ayat (1)). Apabila syarat tersebut digantungkan pada putusan pengadilan, hal itu berisiko karena bersandar pada subjektivitas hakim yang memeriksa dan memutus perkara. Kewenangan seperti ini rentan membuka praktik korupsi dalam peradilan.

4. Frasa “menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji” (Pasal 100 ayat (4)) juga tidak jelas. Apa itu sikap dan perbuatan terpuji, bagaimana sikap dan perbuatan itu dinilai, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menilai konsistensi sikap terpuji itu masih menjadi persoalan.

5. Pertimbangan komutasi pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dalam Pasal 100 ayat (4) seharusnya berada pada Kementerian Hukum dan HAM/Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, sebab institusi inilah yang melakukan rehabilitasi terhadap terpidana –bukan pada Mahkamah Agung (MA).

6. Frasa “tidak ada harapan untuk diperbaiki” (Pasal 100 ayat (5)) justru bertentangan dengan semangat dan fungsi rehabilitasi yang melekat pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan di Kementerian Hukum dan HAM.

7. Untuk menjamin asas kepastian hukum, seharusnya kata “dapat” dalam Pasal 101 dihapus. Dengan demikian, jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati itu tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun sejak grasi ditolak, pidana mati yang bersangkutan harus secara otomatis berubah menjadi pidana seumur hidup.

 

Penulis: Yosua Octavian.

Editor: Ricky Gunawan.

Rilis Pers – RKUHP Melanggar Hak Atas Privasi

Sekalipun terdapat beberapa perbaikan, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) versi 28 Agustus 2019 masih menyisakan sejumlah persoalan. Permasalahan yang pertama adalah kriminalisasi perzinaan yang juga mencakup hubungan seks di luar pernikahan (Pasal 417 ayat (1)); dan yang kedua adalah kriminalisasi terhadap tindakan hidup bersama suami istri di luar pernikahan atau kohabitasi (Pasal 419 ayat (1)).

RKUHP, 28 Agustus 2019

Pasal 417

(1)   Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II.

Pasal 419

(1)   Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.

Pasal 79, ayat (1) huruf b:
Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan: kategori II sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

 

 

PRIVASI

Kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi patut ditolak karena melanggar hak atas privasi. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 17 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah Indonesia ratifikasi melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, menyediakan jaminan hukum akan perlindungan hak atas privasi tersebut.

Pasal 28G ayat (1) UUD 1945

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Pasal 17 ICCPR

(1) Tidak boleh seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat menyuratnya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.

(2) Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan seperti tersebut di atas.

 

 

Privasi di sini tidak serta merta merujuk kepada ruang fisik semata, tetapi juga area privat individu yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan relasi manusianya tanpa intervensi dari pihak luar (termasuk negara). Privasi memastikan manusia dapat menjalani hidup secara lebih bermartabat dengan menjaganya dari intrusi yang tidak diinginkan, serta mengakui adanya otonomi individual untuk mengambil keputusan yang berpengaruh bagi diri dan hidupnya. Kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi – ketika dilakukan oleh orang dewasa secara konsensual, tanpa paksaan dan kekerasan – adalah bentuk serangan langsung terhadap privasi. Manusia dewasa memiliki hak untuk memilih bagaimana mereka menjalani relasi manusia di dalam lingkup pribadi dan mempertahankan martabatnya sebagai manusia bebas.

 

HIV

Kriminalisasi perzinaan dalam RKUHP ini juga kontraproduktif terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS dan infeksi menular seksual (IMS) di Indonesia, dan sekali lagi menunjukkan bahwa kebijakan politik hukum dan kesehatan Indonesia belum sepenuhnya berbasis bukti.

Perluasan kriminalisasi perzinaan seolah-olah berangkat dari asumsi bahwa dengan adanya kriminalisasi ini dapat mencegah praktik hubungan seks di luar pernikahan, yang pada akhirnya akan menghentikan laju transmisi HIV ataupun IMS. Padahal, dengan KUHP yang sekarang berlaku saja – yang sudah mengkriminalisasi persetubuhan antara laki-laki dan perempuan di luar perkawinan, dengan salah satu pihaknya terikat dalam hubungan perkawinan – berada di dalam ikatan perkawinan tidaklah menjamin bahwa perilaku berisiko tidak terjadi. Sebab, saat ini transmisi HIV paling tinggi justru terdapat pada populasi orang yang terestimasi sudah menikah.

Sebagai tambahan, kriminalisasi terhadap persetubuhan di luar pernikahan ini juga berarti berlaku terhadap hubungan seksual dengan pekerja seks. Kriminalisasi terhadap pekerja seks (dan pelanggannya) justru menghambat respons HIV. Sebab, pekerja seks adalah salah satu kelompok populasi kunci yang dijangkau di dalam program HIV. Mengkriminalisasi pekerja seks akan mendorong mereka semakin tersembunyi dan menyulitkan penjangkauan layanan HIV dan IMS terhadap pekerja seks dan pelanggannya.

Rekomendasi

Pemerintah dan DPR perlu menghapus Pasal 417 dan 419 RKUHP. Alih-alih mengkriminalisasi, pemerintah seharusnya dengan lebih giat mengupayakan akses dan informasi yang seluas-luasnya terhadap HIV dan layanannya, serta mengadakan program untuk melawan stigma dan diskriminasi HIV.

 

Penulis: Ajeng Larasati.

Editor: Ricky Gunawan.

Rilis Pers – Pasal Narkotika Harus Ditarik Dari RKUHP

LBH Masyarakat (LBHM) menolak masuknya tindak pidana narkotika ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Tindak pidana narkotika dalam RKUHP versi 28 Agustus 2019 diatur di Pasal 611 – 616. Betul bahwa pasal-pasal ini tidak mengkriminalisasi pemakaian narkotika untuk diri pribadi. Tetapi, masih terdapat pasal-pasal yang sering dikenakan kepada pemakai narkotika.

 

Pasal 611

(1)      Setiap Orang yang tanpa hak menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI.

(2)      Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman yang beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori VI dan paling banyak Kategori VII.

 

Pasal 612

(1)        Setiap Orang yang tanpa hak memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan:

a.   Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI;

b.   Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI; dan

c.   Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI.

(2)        Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:

a.   Narkotika Golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori V dan paling banyak Kategori VI;

b.   Narkotika Golongan II yang beratnya melebihi 5 (lima) gram dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori V dan paling banyak Kategori VI; dan

c.   Narkotika Golongan III yang beratnya melebihi 5 (lima) gram dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori V dan paling banyak Kategori VI.

 

 

Mengapa rumusan tindak pidana narkotika di dalam RKUHP harus ditolak?

1. Paling mendasar, persoalan narkotika seharusnya ditempatkan sebagai persoalan kesehatan. Menyandarkan penyelesaian masalah narkotika kepada pendekatan hukum pidana semata bukan hanya tidak efektif, tetapi juga salah arah. Keberadaan tindak pidana narkotika di dalam RKUHP melanggengkan pendekatan punitif dalam mengatasi problem narkotika dan membatasi pendekatan yang seharusnya multi-disiplin dan lintas pemangku kepentingan.

2. Seorang pemakai narkotika tidak mungkin tidak memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika. Oleh karena itu, sekalipun RKUHP tidak mengklasifikasikan perbuatan memakai narkotika sebagai tindak pidana, fakta bahwa tindakan memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika (Pasal 611-612) masih dirumuskan sebagai tindak pidana menunjukkan bahwa pemakai narkotika masih berada di bawah bayang-bayang ancaman pidana (penjara). Hal ini menyebabkan pemakai narkotika tidak akan mau mengakses layanan pemulihan ketergantungan narkotika secara terbuka.

3. Keberadaan rehabilitasi di dalam RKUHP sebagai tindakan yang dikenakan terhadap pemakai narkotika yang masih bisa dibarengi dengan pidana pokok (seperti penjara) memperlihatkan bahwa kebijakan narkotika Indonesia masih memandang pemakai sebagai kriminal.

4. Seluruh rumusan tindak pidana narkotika dalam RKUHP (sama seperti UU Narkotika) tidak memuat unsur kesalahan. Ketiadaan unsur kesalahan ini mempermudah pembuktian, yang akhirnya mempermudah pemenjaraan. Konsekuensinya adalah overcrowding lembaga pemasyarakatan akan semakin memburuk karena penuh dengan pemakai narkotika. Hal ini justru melahirkan persoalan baru lainnya seperti, menciptakan pasar gelap di dalam penjara, semakin buruknya sanitasi dalam penjara, potensi transisi HIV yang meninggi, dan lain sebagainya.

 

Penulis: Dominggus Christian.

editor: Ricky Gunawan.

 

Rilis Pers – Overcrowding Lapas Tidak Berkorelasi dengan Homoseksualitas

LBH Masyarakat (LBHM) mengecam pernyataan Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kumham) Jawa Barat, Liberti Sitinjak, baru-baru ini yang menyebutkan bahwa gejala homoseksualitas di dalam lembaga pemasyarakat (lapas) muncul karena tidak tersalurkannya kebutuhan biologis warga binaan, sebagai akibat dari lapas yang kelebihan beban (overcrowding). LBHM menilai bahwa pernyataan tersebut bukan hanya irelevan, tetapi juga menyesatkan, dan menstigma kelompok minoritas seksual.

Di satu sisi, persoalan lapas yang overcrowd, adalah persoalan klasik dan sistemik pemasyarakatan Indonesia. Dari tahun ke tahun, upaya pemerintah menyelesaikan persoalan ini tidak pernah menyentuh akar masalah. Tingkat overcrowding lapas di Indonesia didominasi oleh tingginya angka pemakai narkotika yang dipidana penjara. Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan tersebut LBHM menyerukan kepada pemerintah untuk mendekriminalisasi pemakaian narkotika dan penguasaan/kepemilikan narkotika untuk konsumsi pribadi. Dekriminalisasi di sini berarti pemakaian narkotika, dan penguasaan/kepemilikan narkotika untuk pribadi, bukanlah tindak pidana dan tidak perlu dijatuhi sanksi hukum. Dekriminalisasi justru akan mendorong pemakai narkotika untuk mengakses layanan kesehatan yang mereka perlukan. Sebab, kriminalisasi pemakaian narkotika hanya menjauhkan pemakai narkotika dari layanan pemulihan ketergantungan narkotika, memindahkan pasar narkotika ke dalam lapas, dan memunculkan sejumlah masalah baru – termasuk overcrowding lapas.

Di sisi lain, mengaitkan lapas yang kelebihan beban dengan munculnya homoseksualitas jelas tidak relevan dan menunjukkan ketidakpahaman Kepala Kanwil Kumham Jabar mengenai seksualitas. Bahwa ada fenomena perilaku hubungan seks sesama jenis di dalam lapas bukanlah berarti bahwa gay dan lesbian di dalam lapas menjadi marak. Sebab, hubungan seks adalah perilaku seksual, sementara itu gay atapun lesbian adalah perihal orientasi seksual. Individu yang heteroseksual juga bisa melakukan perilaku hubungan seksual yang diidentikkan dengan kelompok homoseksual seperti anal seks. Dan perilaku seks seperti itu bisa ditemukan baik di dalam maupun di luar lapas, dan tidak ada kaitannya dengan orientasi seksual.

Daripada mengeluarkan pernyataan kontroversial yang menunjukkan rendahnya pemahaman Kepala Kanwil Kumham Jabar, akan jauh lebih baik apabila Kanwil Kumham memfokuskan diri pada pembenahan lapas secara institusional. Artinya: menyelesaikan akar masalah overcrowding lapas, meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan warga binaan secara komprehensif, dan mengatasi persoalan korupsi dalam lapas.

 

Jakarta, 10 Juli 2019

 

Ricky Gunawan – Direktur LBHM

Rilis Pers – Wendra Purnama, Penyandang Disabilitas Intelektual Dilepaskan

Setelah melalui proses pemeriksaan yang panjang, babak persidangan Wendra Purnama akhirnya menemukan ujung. Pada Senin, 1 Juli 2019 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang terdiri dari Sri Suharini, S.H., M.H, sebagai Hakim Ketua serta Edy Purwanto, S.H dan Gatot Sarwadi, S.H., sebagai Hakim Anggota membacakan putusannya.

Pada putusan tersebut Majelis Hakim menyatakan Wendra Purnama menyatakan secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum yakni Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun demikian, mengingat kondisi Wendra Purnama yang menyandang disabilitas intelektual, perbuatan tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. Hal ini mengacu pada amanat Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Majelis Hakim juga mengutip pernyataan ahli Mulyanto, M.Psi, psikolog pemeriksa Wendra Purnama yang menjelaskan bahwa Wendra Purnama mengetahui perbuatan yang dilakukannya—mengiyakan permintaan temannya untuk mengantar ke lokasi transaksi penjualan narkotika—tapi tidak mampu memahami konsekuensinya. Wendra Purnama tidak memiliki kemampuan untuk mencerna dampak baik dan buruk yang akan diterima atas perbuatannya.

Selain itu, dalam putusannya Majelis Hakim juga mengutip pernyataan ahli Prof. Irwanto, dari Universitas Katolik Atmajaya, yang menjelaskan bahwa kondisi yang dialami Wendra Puranama adalah kondisi permanen yang tidak dapat diubah. Dengan IQ 55, ia hanya mampu memahami realita sederhana seperti anak usia 12 (dua belas) tahun, dan sampai kapanpun ia akan memiliki tingkat kecerdasan seperti anak-anak meskipun usia biologisnya terus bertambah.

Atas putusan ini kami, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), selaku Tim Kuasa Hukum Wendra Purnama berterima kasih pada Majelis Hakim yang telah memutus perkara ini dengan arif dan bijaksana. LBHM memandang bahwa putusan ini bisa menjadi preseden yang baik bagi hukum Indonesia ketika ada kasus serupa di mana orang dengan disabilitas intelektual harus menjalani proses hukum pidana.

Kami juga menyampaikan apresiasi kepada Jaksa Penuntut Umum dan pihak Lapas Pemuda Tangerang yang telah membantu proses eksekusi putusan sehingga Wendra Purnama bisa segera meninggalkan lapas. Apresiasi juga kami sampaikan kepada teman-teman media yang turut mengawal persidangan ini. Semoga kabar baik ini bisa menjadi salah satu contoh peradilan teladan dan memupuk kepercayaan kita terhadap sistem peradilan Indonesia.

 

Jakarta, 4 Juli 2019

 

Antonius Badar Karwayu

Pengacara Publik LBHM

en_USEnglish