Skip to content

Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Volunteer\’s Story: Isobel Blomfield

Isobel Blomfield, a student from University of New South Wales, volunteered at LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute) from January to February 2018. She volunteered here by joining ACICIS program. She helps us create a great advocacy video for the criminal law revision – and many more. She writes her experience in Jakarta through a heart-warming journal. We thank Isobel for her amazing work and dedication and wish her well for the future. Isobel, thank you for becoming a wonderful volunteer friend!

You can read her journal here.

Volunteer\’s Story: Isobel Blomfield

Isobel Blomfield, a student from University of New South Wales, volunteered at LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute) from January to February 2018. She volunteered here by joining ACICIS program. She helps us create a great advocacy video for the criminal law revision – and many more. She writes her experience in Jakarta through a heart-warming journal. We thank Isobel for her amazing work and dedication and wish her well for the future. Isobel, thank you for becoming a wonderful volunteer friend!

You can read her journal here.

Rilis Pers – Hentikan Rencana Eksekusi Mati Jilid Empat!

Memperhatikan pernyataan-pernyataan Jaksa Agung M. Prasetyo baru-baru ini yang seperti mengindikasikan akan dilaksanakannya eksekusi mati jilid empat di 2018, LBH Masyarakat dengan ini mendesak Jaksa Agung untuk menghentikan segala rencana mengadakan eksekusi mati tersebut.

Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan menilai bahwa “Pernyataan-pernyataan yang Jaksa Agung sampaikan ke media seminggu belakangan tidak lebih sebagai upaya untuk mencari perhatian publik di panggung hukum nasional.” “Jika dibandingkan dengan institusi penegakan hukum lainnya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Agung dan Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia jelas paling tertinggal dan kering prestasi,” lanjutnya.

Sejak dilantik sebagai Jaksa Agung pada November 2014, M. Prasetyo tidak kunjung menghasilkan prestasi yang membanggakan. “Oleh karena itulah, eksekusi mati jelas menjadi jalan pintas bagi Jaksa Agung untuk menunjukkan kepada publik bahwa seolah-olah institusi Kejaksaan Agung telah bekerja dengan baik,” jelas Ricky. Padahal pada Juli 2017, Ombudsman Republik Indonesia telah menyatakan bahwa eksekusi mati jilid tiga yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung pada Juli 2016 mengandung maladministrasi dan Kejaksaan Agung harus membenahi dirinya.

Rencana Kejaksaan Agung yang ingin melaksanakan eksekusi mati jilid 4 juga sesungguhnya kontra-produktif dengan diplomasi Indonesia di arena politik internasional. Indonesia baru saja menerima kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB pada Februari 2018, dan mengincar posisi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020, serta tengah gencar menyelamatkan ratusan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati. Ricky menambahkan, “Eksekusi mati justru akan mencoreng citra Indonesia di hadapan komunitas internasional.” Daripada menyiapkan rencana eksekusi mati, lebih baik Kejaksaan Agung mempercepat reformasi birokrasi di dalam tubuh kejaksaan serta menyelesaikan segala perkara korupsi besar dan pelanggaran HAM masa lalu yang belum juga tuntas.

LBH Masyarakat mendukung upaya pemerintah Indonesia menangani persoalan narkotika, tetapi upaya tersebut harus sejalan dengan hak asasi manusia dan berbasis bukti ilmiah. “Maraknya peredaran gelap narkotika sekalipun Indonesia telah melakukan tiga kali eksekusi mati memperlihatkan bahwa eksekusi mati tidak memberikan efek jera sebagaimana juga telah dibuktikan melalui banyak penelitian di banyak negara,” terang Ricky.

 

 

Jakarta, 3 Maret 2018

Ricky Gunawan (Direktur LBH Masyarakat)

Rilis Pers – RKUHP Rasa Kolonialisme: Tolak!

” Presiden Joko Widodo harus berhati-hati karena apabila RKUHP saat ini disahkan oleh DPR, Pemerintahan Presiden Joko Widodo dapat dianggap sebagai rezim yang membangkang pada Konstitusi, membungkam kebebasan berekspresi dan memberangus demokrasi.”

 

Rapat paripurna Komisi III DPR RI pada 14 Februari 2018 mendatang akan membahas nasib draft RKUHP dan keputusan untuk mengesahkan baru akan terjawab pada saat rapat paripurna tersebut. Menanggapi hal tersebut, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyampaikan beberapa catatan sebagai alasan kuat untuk menolak pengesahan RKUHP yang saat ini ada.

Ketujuh alasan ini adalah gambaran apakah Pemerintah dan DPR serius dalam melakukan dekolonialisasi di Indonesia. Presiden Joko Widodo harus berhati-hati karena apabila RKUHP saat ini disahkan oleh DPR, Pemerintahan Presiden Joko Widodo dapat dianggap sebagai rezim yang membangkang pada Konstitusi, membungkam kebebasan berekspresi dan memberangus demokrasi. Presiden Joko Widodo justru juga akan mengingkari Nawacita karena gagal memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, tidak terwujudnya reformasi penegakan hukum, tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat,  dan tentu saja, tidak akan terjadi revolusi mental sebagaimana salah satu tujuan utama Presiden Joko Widodo.

Ketujuh catatan itu ialah:

Pertama, RKUHP berperspektif pemenjaraan dan sangat represif membuka ruang kriminalisasi melebihi KUHP produk kolonial (over-criminalization). RKUHP menghambat proses reformasi peradilan karena memuat sejumlah kriminalisasi baru dan ancaman pidana yang sangat tinggi yang dapat menjaring lebih banyak orang ke dalam proses peradilan dan menuntut penambahan anggaran infrastruktur peradilan. RKUHP memuat 1251 perbuatan pidana, 1198 di antaranya diancam dengan pidana penjara. Kebijakan ini akan semakin membebani permasalahan lembaga pemasyarakatan yang kekurangan kapasitas (overcrowd).

Kedua, RKUHP belum berpihak pada kelompok rentan, utamanya anak dan perempuan. Dengan sulitnya akses pada pencatatan perkawinan, pengaturan pasal perzinahan dan samen leven tanpa pertimbangan yang matang berpotensi membahayakan 40 hingga 50 juta masyarakat adat dan 55% pasangan menikah di rumah tangga miskin yang selama ini kesulitan memiliki dokumen perkawinan resmi. Kriminalisasi hubungan privat di luar ikatan perkawinan berpotensi meningkatkan angka kawin yang sudah dialami 25% anak perempuan di Indonesia. RKUHP juga memidana mereka yang menggelandang, berpotensi memidana anak, masyarakat miskin tanpa dokumen resmi dan korban kekerasan seksual.

Ketiga, RKUHP mengancam program pembangunan pemerintah, utamanya program kesehatan, pendidikan, ketahanan keluarga, dan kesejahteraan masyarakat. Larangan penyebaran informasi tentang kontrasepsi dalam RKUHP berpotensi menghambat program kesehatan dan akses terhadap layanan HIV karena layanan kesehatan reproduksi dan HIV akan semakin sulit menjangkau anak, remaja, dan populasi yang rentan yang takut diancam pidana. RKUHP juga menghambat program pendidikan 12 tahun karena pernikahan akan semakin dirasa sebagai pilihan rasional untuk menghindari pemenjaraan akibat perilaku seks di luar nikah. RKUHP menghambat program-program kesejahteraan sebagai dampak ikutan dari terlantarnya puluhan juta anak yang lahir dari pasangan yang dianggap “tidak sah”. RKUHP juga masih menuntut pemidanaan bagi pecandu dan pengguna narkotika, hal ini akan menghancurkan program Presiden Joko Widodo dalam upaya penyelamatan para pecandu dan pengguna narkotika.

Keempat, RKUHP mengancam kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi. Kembalinya pasal penghinaan presiden, yang merupakan salah satu monumen penjajah kolonial, adalah bukti RKUHP bertentangan dengan Konstitusi. Ketentuan lain juga menyumbang iklim ketakutan untuk berdemokrasi seperti pasal-pasal pidana yang dapat menjerat kritik terhadap pejabat, lembaga Negara dan pemerintahan yang sah, larangan mengkritik pengadilan, dan lain sebagainya. Belum lagi diperburuk dengan ancaman pidana yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk membunuh kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi.

Kelima, RKUHP memuat banyak pasal karet dan tak jelas yang mendorong praktik kriminalisasi, termasuk intervensi terhadap ruang privat warga. RKUHP akan memberikan kewenangan pada aparat penegak hukum dan pemerintah daerah untuk melakukan kriminalisasi terhadap pelanggaran hukum yang hidup dalam masyarakat tanpa indikator dan batasan yang jelas dan ketat. RKUHP juga memiliki banyak pasal-pasal multitafsir dan tak jelas seperti pidana penghinaan, penghinaan presiden dan lembaga negara, kriminalisasi hubungan privat, dan lain sebagainya yang pada dasarnya dapat memenjarakan siapa saja.

Keenam, RKUHP mengancam eksistensi lembaga independen. DPR dan Pemerintah sama sekali tidak mengindahkan masukan dari beberapa lembaga independen Negara seperti KPK, BNN, dan Komnas HAM yang telah menyatakan sikap untuk menolak masuknya beberapa tindak pidana ke dalam RKUHP seperti Korupsi, narkotika dan pelanggaran berat HAM. Hadirnya tindak pidana-tindak pidana yang memiliki kekhususan pendekatan ini dalam RKUHP jelas mengancam eksistensi dan efektifitas kerja lembaga terkait.

Ketujuh, berdasarkan 6 (enam) poin permasalahan yang telah disebutkan di atas, telah nyata terlihat bahwa RKUHP dibahas tanpa melibatkan sektor kesehatan masyarakat, sosial, perencanaan pembangunan, pemasyarakatan, dan sektor-sektor terkait lainnya. Misalnya RKUHP sama sekali tidak melibatkan perspektif pemasyarakatan untuk melihat kesiapan Negara dalam menanggulangi beban pemidanaan yang begitu besar, atau sektor kesehatan yang tidak pernah diajak duduk bersama terkait masalah dampak kesehatan publik akibat sejumlah kriminalisasi dalam RKUHP.

Melihat 7 (tujuh) poin permasalahan tersebut di atas, cukuplah alasan untuk Aliansi Nasional Reformasi KUHP menuntut Presiden Joko Widodo dan DPR agar:

  1. Hentikan seluruh usaha mengesahkan RKUHP yang masih memuat banyak permasalahan dan masih mengandung rasa penjajah kolonial.
  2. Meminta Pemerintah untuk menarik RKUHP dan membahas ulang dengan berbasis pada data dan pendekatan lintas disiplin ilmu, dengan pelibatan bersama seluruh pihak, lembaga terkait, dan masyarakat sipil.
  3. Menolak RKUHP dijadikan sebagai alat dagangan politik.

 

Hormat Kami,

Aliansi Nasional Reformasi KUHP: ICJR, Elsam, YLBHI, ICW, PSHK, LeIP, AJI Indonesia, KontraS, LBH Pers, Imparsial, HuMA, LBH Jakarta, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, Demos, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, KRHN, MAPPI FH UI, ILR, ILRC, ICEL, Desantara, WALHI, TURC, Jatam, YPHA, CDS, ECPAT, Rumah Cemara, PKNI, PUSKAPA Universitas Indonesia, PBHI.

 

Rilis pers ini telah disampaikan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP pada konferensi pers hari Minggu, 11 Februari 2018 di area Cikini, Jakarta Pusat.

Rilis Pers – Narkotika dalam RKUHP: Ancaman Besar bagi Kepastian Hukum

Koalisi Advokasi UU 35/2009 dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP menolak tindak pidana narkotika dimasukkan ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasalnya, selain melanggengkan kriminalisasi terhadap Pengguna Narkotika, hal ini justru melahirkan ketidakpastian hukum bagi pengguna narkotika, yang berdampak pada semakin jauhnya upaya pendekatan kesehatan bagi pengguna narkotika yang diamanatkan Pasal 4 UU Narkotika.

Kebijakan narkotika di Indonesia selama ini cenderung mengkriminalisasi pengguna narkotika. Sejak dikeluarkannya UU No.9 Tahun 1976 tentang Narkotika, pemerintah memberikan sanksi pidana kepada pengguna narkotika karena tidak jelasnya pembedaan antara pengguna Narkotika dan pengedar narkotika. Hukuman pidana yang diberikan kepada pengguna narkotika terus meningkat sampai dikeluarkannya UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang saat ini pun sedang direvisi oleh Pemerintah.

UU No. 35/2009 tentang Narkotika menerapkan teori “double track system” bagi pengguna narkotika, yang di dalam pengaturannya terdapat 2 jenis pemidanaan yang berbeda yakni penjara dan rehabilitasi. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tujuan penerapan UU Narkotika yang tercantum dalam Pasal 4 huruf d yang menyatakan “…menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu Narkotika”.

Permasalahan penerapan pasal tindak pidana dalam UU Narkotika merupakan permasalahan terbesar dalam UU Narkotika. Kriminalisasi kepada Pengguna Narkotika dalam Pasal 127 UU Narkotika merupakan bentuk pendekatan yang buruk dan tidak sejalan dengan tujuan UU Narkotika itu sendiri. Pemberian sanksi pidana kepada Pengguna Narkotika terbukti tidak membawa dampak menurunnya angka perdagangan gelap narkotika namun justru menimbulkan permasalahan baru. Pada praktiknya, Pengguna Narkotika tidak hanya dikriminalisasi karena penyalahgunaan namun mereka mengalami kriminalisasi yang berlebihan karena pemilikan, penyimpanan, penguasaan, pembelian atau penanaman narkotika, walaupun narkotika tersebut dipergunakan untuk kepentingan sendiri.

Dampak buruk kriminalisasi bagi para pengguna narkotika – seperti kekerasan dan penyiksaan, manipulasi perkara, serta dampak psikologis, sosial, ekonomi, serta kesehatan – menunjukkan bahwa penjara bukanlah solusi bagi pengguna narkotika. Dampak kesehatan inilah yang dapat menimbulkan efek domino bagi pengguna narkotika dan juga populasi umum. Ketiadaan akses kesehatan bagi pengguna narkotika dalam proses pidana mengakibatkan gejala putus zat (sakaw/sakau/withdrawal), penyakit menular (HIV/AIDS, Hepatitis, TBC), serta angka kematian pengguna narkotika.

Selama 9 tahun UU Narkotika berlaku, kami menilai tujuan UU sebagaimana tersebut di atas belum tercapai. Pada prakteknya jumlah pengguna narkotika yang dipidana penjara masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan rehabilitasi. Menurut data Ditjenpas, sampai Desember 2017 ada sejumlah 33,698 pengguna narkotika yang dipenjara.

Hal ini menurut kami merupakan salah satu indikator masih adanya kesimpangsiuran di tataran implementasi atas jaminan pengaturan upaya rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Di saat Pemerintah berupaya memperbaiki UU Narkotika melalui proses penyusunan revisi RUU Narkotika, sudah muncul keputusan untuk memasukan pengaturan tentang narkotika ke dalam RKUHP yang dengan kata lain akan ada 2 dasar hukum yang kurang lebih memuat aturan yang sama atas 1 perbuatan yang dilakukan. Hal ini kami nilai akan berdampak pada praktek pemenjaraan terhadap pengguna narkotika yang lebih tinggi lagi.

Dengan kondisi ini, tidaklah tepat mengatur pasal-pasal narkotika ke dalam KUHP, sebab seluruh pengaturan mengenai ketentuan pidana narkotika sangat bergantung pada ketentuan yang secara khusus diatur dalam UU Narkotika itu sendiri. Hal-hal seperti ini tidak dapat diatur terpisah dalam KUHP. Terlebih, tidak ada perubahan yang amat mendasar dari susunan pidana narkotika yang ada di RKUHP, baik dari rumusan pasal maupun pemidanaan. Hal ini membuat pendekatan kriminalisasi semakin langgeng dalam RKUHP.

Langgengnya kriminalisasi terhadap pengguna narkotika dalam RKUHP diperburuk karena pada dasarnya KUHP memiliki fleksibilitas yang sangat kaku, tidak mudah dirubah dan memiliki politik pemidanaan yang sangat tinggi. Sifat ini berbeda dengan isu narkotika yang sangat dinamis dan memiliki tingkat perubahan yang sangat tinggi. Perbedaan sifat ini mengakibatkan semakin sulitnya merevisi kebijakan narkotika.

Pusaran ancaman pidana bagi pengguna narkotika bukan merupakan sebuah tindakan penyelamatan anak bangsa, melainkan sebuah “penistaan” terhadap tujuan untuk memberikan jaminan atas kesehatan melalui rehabilitasi medis atau sosial bagi pengguna narkotika.

Atas hal-hal tersebut di atas, Koalisi Advokasi Revisi UU 35/2009 dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyatakan:

  1. Mendesak DPR RI mengeluarkan tindak pidana narkotika dari RKUHP
  2. Mendorong Pemerintah dalam hal ini Badan Narkotika Nasional, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial untuk tidak menyepakati usulan Legislatif.
  3. Mendorong Pemerintah dan DPR RI melakukan dekriminalisasi dengan pendekatan kesehatan dan Harm Reduction (pengurangan dampak buruk) dalam revisi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

 

Jakarta, 19 Januari 2018

 

Koalisi Advokasi UU 35/2009

Aliansi Nasional Reformasi KUHP

 

Rilis pers ini dibuat untuk konferensi pers mengenai “Narkotika dalam RKUHP: Ancaman Besar bagi Kepastian Hukum ” yang diselenggarakan oleh LBH Masyarakat di kantor LBH Masyarakat pada 19 Januari 2018. Yang menjadi pembicara pada konferensi pers ini ialah Yohan Misero, S.H. (Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat), Alfiana Qisthi, S.H. (Pelaksana Advokasi Hukum PKNI), Asmin Fransiska, S.H., LL.M, Ph.D (Pengajar dan Kepala LPPM Unika Atmajaya), Totok Yulianto, S.H. (Kepala Badan Pekerja PBHI),  Subhan Panjaitan, S.H., M.H. (Advocacy Officer Rumah Cemara), dan Rima Ameilia, S.Sos, M.Krim (Peneliti Mappi FHUI).

Press Release – Narcotics in the Criminal Code Revision: A Serious Threat for Legal Certainty

The Act 35/2009 Advocacy Coalition and National Criminal Code Reform Alliance reject the inclusion of criminal drug offences in the revised draft Criminal Code (RKUHP). Aside from perpetuating the criminalisation of people who use drugs, the proposed changes merely create legal uncertainty for these individuals and further ostracize them from the health-based approaches stipulated in Article 4 of the Narcotics Act.

Up until the present, Indonesian narcotics policy has tended towards criminalising people who use drugs. Since the enactment of Act No.9 1976 concerning Narcotics, the government has imposed criminal sanctions on users due to opacity in the differentiation between narcotics dealers with people who use drugs. The prevalence of criminal penalties for people who use drugs continued to rise up until the introduction of Act No. 35 2009 concerning Narcotics; which at this moment is also undergoing revision by the government.

The Narcotics Act adopts a “double track system” for people who use drugs, allowing for two different kinds of sentence: prison and rehabilitation. The aim of this system is to fulfill one of the objectives of the Act, inserted in Article 4 letter d, which “…guarantees the arrangement of medical and social rehabilitation efforts for narcotics abusers and addicts”.

The biggest problem with the Narcotics Act lies in the application of the article concerning criminal acts. The criminalisation of people who use drugs in Article 127 represents an approach which is both worn-out and not in accordance with the objectives of the Narcotics Act as a whole. It has been proven that imposing criminal sanctions on people who use drugs does not bring a reduction in rates of illegal drug trafficking, but instead gives rise to new problems. In practice, users are not only criminalised for drug abuse, but experience excessive sanctions for the possession, purchase, storage or cultivation of narcotics which are for personal use only.

The negative impacts of criminalisation for people who use drugs – such as violence, torture and trial manipulation, along with impacts on psychological, social, economic and health – indicate that prison is not the solution for these individuals. The health impacts in particular can have a domino effect for both people who use drugs and the general population. The absence of access to healthcare for users throughout criminal proceedings can result in symptoms associated with withdrawal, contagious illnesses (HIV/AIDS, hepatitis, tuberculosis), and death.

Throughout the nine year period it has been in effect, we believe the objectives of the Narcotics Act as outlined above are yet to be achieved. The reality is the number of people who use drugs receiving prison sentences remains far greater than the number receiving rehabilitation. According to the Director General of Correctional Institution’s data, as of December 2017 there were 33,698 people who use drugs in detention.

In our opinion, these figures indicate ongoing confusion regarding the implementation of the rehabilitation efforts guaranteed for people who use drugs under the Narcotics Act. At the same the moment the government began efforts to improve the Act through the compiling of draft revisions, the decision to include regulations about narcotics in the draft revised Criminal Code emerged. In other words, there is slated to be two elements of law which contain approximately the same regulations concerning one kind of behaviour. We believe this will have a stimulative impact on the practice of imprisoning people who use drugs.

In the light of this, it is ill-advised to include narcotics articles in the Criminal Code given any regulation of criminal narcotics provisions is exclusively covered by the Narcotics Act. Such matters should not be regulated separately in the Criminal Code, especially since there are no fundamental changes in the proposed criminal offences in the RKUHP, in either the formulation of articles or matters of punishment and sentencing. These proposed changes will only serve to perpetuate criminalisation.

This criminalisation of people who use drugs in the RKUHP is further aggravated by the essentially unyielding, difficult to change and highly political nature of the existing Criminal Code. These traits are at odds with the issue of narcotics, which is dynamic and subject to drastic change; a discrepancy which makes narcotics policy increasingly difficult to revise.

The vortex of legal threats for people who use drugs do not represent the salvation of the nation’s youth, but are instead “blasphemies” against the aim to guarantee the right to healthcare for people who use drugs through medical and social rehabilitation.

 

In relation to the matters above, the Act 35/2009 Advocacy Coalition and National Criminal Code Reform Alliance:

 

  1. Urge the People\’s Representative Council to remove criminal narcotics offences from the draft revised Criminal Code (RKUHP).
  2. Urge the relevant government bodies, namely the National Anti-Narcotics Agency, the Ministry of Health and the Ministry of Social Affairs, not to agree to this legislative proposal
  3. Urge the government and People’s Representative Council to decriminalise drug offenders by adopting the harm reduction and health-based approaches mandated in revisions to Act No. 35 2009 concerning Narcotics.

 

The Act 35/2009 Advocacy Coalition and National Criminal Code Reform Alliance,

January 19th, 2018

 

 

This press release was created for a press conference titled “Narcotics in the draft revised Criminal Code: A Serious Threat for Legal Certainty” held at the office of LBH Masyarakat on the 19th of January, 2018. The speakers at this press conference were Yohan Misero, S.H. (Drug Policy Analyst at LBH Masyarakat), Alfiana Qisthi, S.H. (PKNI Legal Advocate), Asmin Fransiska, S.H., LL.M, Ph.D (Lecturer and Head of LPPM Unika Atmajaya), Totok Yulianto, S.H. (Head of the PBHI), Subhan Panjaitan, S.H., M.H. (Rumah Cemara Advocacy Officer) and Rima Ameilia, S.Sos, M.Krim (Mappi FHUI Researcher). This press release was translated by Iven Manning.

 

 

Rilis Pers LBH Masyarakat & PKNI – Asesmen Ketergantungan Narkotika adalah Hak, Bukan Komoditas!

Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) memandang bahwa terdapat kesenjangan dalam pemenuhan hak rehabilitasi bagi pengguna Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza). Berdasarkan catatan PKNI yang diperoleh dari media, terdapat 7 selebritis yang ditangkap karena kasus Napza sepanjang tahun 2017. Ketujuh selebritis tersebut mendapatkan rehabilitasi setelah dilakukan proses asesmen oleh Tim Asesmen Terpadu. Hal ini berbanding terbalik dengan nasib pengguna Napza lainnya yang ditangkap. Berdasarkan data pendampingan kasus yang dilakukan oleh paralegal PKNI di 10 kota di Indonesia sepanjang tahun 2017, terdapat 145 pengguna Napza yang rata-rata dari golongan tidak mampu yang berhadapan dengan hukum dan hanya 17 pengguna Napza yang memperoleh asesmen, yang hasilnyapun tidak semuanya mendapatkan rehabilitasi.

Pelaksana Advokasi Hukum PKNI, Alfiana Qisthi menjelaskan bahwa dari kasus-kasus pengguna Napza yang didampingi oleh paralegal PKNI di 10 kota, jumlah pengguna Napza yang mendapatkan asesmen tidak mencapai 10% dari total pengguna Napza yang didampingi. “Mendapatkan asesmenpun tidak, apalagi rehabilitasi. Akibatnya, banyak pengguna Napza yang dengan mudahnya dikenakan pasal sebagai pengedar,” ujarnya.

Asesmen penting untuk dilakukan. Dari hasil asesmen inilah akan ditentukan seseorang pecandu atau pengedar narkotika. Berdasarkan Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Kepala BNN RI tentang Penanganan Pecandu Narkotika dna Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi (Peraturan Bersama 7 Institusi Tahun 2014), menyatakan bahwa penyidiklah yang melakukan permohonan kepadan Tim Asesmen Terpadu terhadap seseorang yang disangka sebagai penyalahguna. Sementara dari data pendampingan kasus paralegal, seringkali penyidik tidak memohonkan asesmen terhadap pengguna Napza dengan alasan yang beragam. Tentunya hal ini berimbas pada terjebaknya pengguna Napza dalam penerapan pasal sebagai pengedar, yang jelas terabaikannya hak rehabilitasi bagi pengguna Napza. Terbukti, dari kasus-kasus yang ditangani paralegal PKNI sepanjang 2017 yang lanjut hingga persidangan, hanya 12 putusan rehabilitasi.

“Proses asesmen ini perlu ditinjau kembali pelaksanaannya. Karena dari laporan paralegal PKNI, banyak terjadi pemerasan di penyidikan terkait permohonan asesmen. Permohonan asesmen ini menjadi barang dagangan bagi penyidik. Penyidik kerap kali memeras tersangka/keluarga tersangka untuk memberikan uang dengan imbalan dijanjikan akan dilakukan asesmen. Bagi tersangka/keluarga tersangka yang tidak mau membayar atau tidak mampu membayar, jangan harap memperoleh asesmen. Untuk itu proses asesmen ini harus kita kawal. Karena ini adalah titik awal penentuan bagi seorang tersangka pengguna Napza mendapatkan haknya untuk rehabilitasi atau justru dijebloskan dalam penjara,” jelas Alfiana.

Data temuan PKNI ini juga diaminkan oleh Yohan Misero, Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat. Menurut Yohan situasi ini, dimana asesmen seakan menjadi komoditas yang diperdagangkan, sesungguhnya memang tidak terelakan sampai ada perubahan regulasi yang serius dalam bidang narkotika. “Perlu dicatat bahwa Peraturan Bersama 7 Institusi pada 2014 yang membangun sistem Tim Asesmen Terpadu ini adalah sebuah respon politis terhadap tingginya kriminalisasi terhadap pemakai narkotika. TAT diharapkan dapat memotong angka kriminalisasi dengan mengalihkan pemakai narkotika ke fasilitas kesehatan yang lebih ia butuhkan. Peraturan Bersama ini menekankan bahwa pemberian asesmen terhadap seorang pemakai narkotika adalah kewenangan penyidik, bukannya hak seseorang yang berhadapan dengan Undang-Undang Narkotika. Ketika penekanannya ada di kewenangan, maka sebenarnya kita sudah dapat memprediksi munculnya penyalahgunaan,” kata Yohan.

“Pada salah satu kasus yang kami pantau, oknum penyidik sempat meminta dua puluh juta rupiah dari tersangka. Saat ia berhadapan dengan hakim di persidangan, ia justru dimarahi hakim untuk membayar dua puluh juta itu karena ‘jaman sekarang tidak ada yang gratis.’ Padahal menurut Peraturan Bersama 2014, seluruh anggaran tentang TAT ada di tangan BNN,” tambahnya.

Sebagai penutup, Yohan berkata, “Dalam bidang ekonomi, kita sering mendengar ungkapan ‘potong birokrasi’ untuk meningkatkan efektivitas kerja. Saya pikir untuk memastikan hak atas kesehatan betul-betul diperoleh pemakai narkotika maka perlu untuk mereduksi birokrasi – termasuk juga sistem TAT ini. Saat ini, BNN juga tengah melakukan evaluasi mengenai keberlakuan dan efektivitas TAT yang patut kita tunggu juga bagaimana hasilnya. Namun yang lebih penting dari itu adalah segera merevisi UU Narkotika yang kita punya sekarang terutama untuk mendekriminalisasi pembelian, penguasaan, dan pemakaian narkotika dalam jumlah terbatas. Dekriminalisasi adalah pernyataan yang lebih tegas daripada membangun sistem TAT apabila Indonesia memang ingin memposisikan intervensi kesehatan sebagai hal yang utama bagi pemakai narkotika, bukannya penegakan hukum.”

 

Jakarta, 4 Januari 2018

 

Rilis Pers – Kebijakan Narkotika Indonesia Perlu Arah, Bukan Darah!

LBH Masyarakat mengecam keras sejumlah pernyataan Komjen Budi Waseso, Kepala BNN, pada rilis pers akhir tahun BNN kemarin, Rabu, 27 Desember 2017. Pernyataan-pernyataan keras yang dilontarkan pada rilis pers tersebut tampak seperti sebuah upaya pencitraan heroik yang berlebihan yang sesungguhnya tidak menolong upaya pengentasan kejahatan narkotika dalam tataran riil. 

Dalam rilis pers BNN kemarin, Budi Waseso berkata bahwa ada 79 orang yang telah ditembak mati dan 58.365 orang yang ditangkap. Budi Waseso juga berkata bahwa ia berharap puluhan ribu orang ini melawan saat penangkapan atau penggebrekan sehingga BNN punya justifikasi untuk menembak mati mereka. Baginya hal tersebut menunjukkan keseriusan BNN dalam upaya pemberantasan narkotika.

LBH Masyarakat memandang apabila memang BNN serius untuk melakukan pemberantasan terhadap peredaran gelap narkotika, seharusnya BNN menghimpun informasi lebih banyak untuk mengungkap betapa luas peredaran gelap narkotika dilakukan. Hal ini tidak akan tercapai ketika orang yang dapat menyampaikan informasi ini dihilangkan nyawanya. Maka sejatinya menembak mati seorang terduga peredaran gelap narkotika adalah kemunduran terang-terangan dalam upaya pemberantasan, jika tidak ingin kita katakan gegabah atau gagah-gagahan belaka. Mengingat tembak mati akan memutus rantai informasi peredaran gelap narkotika, maka pertanyaannya adalah mengapa BNN justru ingin menutup informasi tersebut dari publik?

Budi Waseso juga berkata bahwa ia lebih menyukai intervensi tembak mati daripada eksekusi hukuman mati karena lepas dari pro-kontra dan tidak berlarut-larut. Pernyataan ini seakan disampaikan dengan maksud untuk mempercepat proses penindakan. Hal ini sesungguhnya tidak tepat sama sekali. Kebijakan tembak mati yang Presiden Rodrigo Duterte lakukan di Filipina mendapat kecaman keras baik dari dalam dan luar negeri yang kemudian mengganggu kredibilitas pemerintahannya. Lebih dari itu, BNN adalah lembaga penegak hukum maka sudah seharusnya BNN menegakkan hukum dengan memperhatikan rambu-rambu yang sudah disediakan hukum dalam pelaksanaan tugasnya, termasuk dalam melakukan tembakan. Prosedur hukum ada untuk melindungi masyarakat sipil dari kesewenang-wenangan penegak hukum oleh karenanya hal ini wajib diperhatikan oleh BNN.

Lebih lanjut dia menyarankan agar eksekusi terpidana mati dilakukan secara diam-diam dan baru disampaikan kepada publik setelah tiga tahun. Hal ini sesungguhnya sangat berbahaya karena (1) membuat tindakan penegak hukum sulit dipantau publik dan wujud abuse of power, (2) menghilangkan kesempatan keluarga terpidana untuk berinteraksi dengan terpidana dan bertanya-tanya tentang nasib si terpidana, serta (3) menempatkan Indonesia dalam sorotan dunia internasional lebih dalam ketika pihak kedutaan tidak dapat memantau nasib warga negaranya yang terancam hukuman mati.

LBH Masyarakat mendukung sepenuhnya tujuan BNN untuk mengentaskan peredaran gelap narkotika. Namun penting untuk menghormati hukum (rule of law) dan juga hak asasi manusia – dalam konteks apapun. Sejarah menunjukan pada kita bahwa rezim-rezim yang dzalim diawali dengan pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran semacam ini.

Persoalan mendasar sesungguhnya adalah pemerintah harus mengubah tolak ukur dalam mengukur kesuksesan kebijakan narkotikanya. Ada pertanyaan-pertanyaan yang jarang kita bahas: sudah seberapa jauh intervensi kesehatan kita lakukan pada pemakai narkotika? Masihkah pemakai narkotika dihadapkan dengan penjara? Apakah peningkatan anggaran pada aspek pemberantasan berbanding lurus dengan pengurangan jumlah narkotika yang beredar di pasaran? Apakah membunuh orang melalui tembak mati dan eksekusi mati telah mengurangi peredaran gelap narkotika?

Tengah tahun depan, BNN akan berganti tonggak kepemimpinan. Pada siapapun yang akan mengisi posisi ini, perlu dicatat bahwa kebijakan apapun, termasuk narkotika, tak membutuhkan lebih banyak darah dan amarah. Indonesia memerlukan kebijakan narkotika yang efektif dan terarah.

 

Jakarta, 28 Desember 2017

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Media Coverage of Our Works in 2017

In 2017, LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute) continue to handle cases and advocate policy which related to our priority issues. We are consistent in monitoring and protecting rights whose violated. We thank the society and media who gave attention by reporting our works. Those reports help us to deliver fast and correctly our spirit of humanity. Here are the links to several articles which covered the works of LBH Masyarakat from January to June 2017:

  1. The Jakarta Post, 13 January 2017, Ina Parlina, “Constitutional Court extends extramarital sex hearings”
  2. The News Lens, 28 January 2017, “In Indonesia, Change Doesn’t Start at Home”
  3. Indonesia Expat, 30 January 2017, Jeff Hutton, “The Government’s Ban On Gay Hookup Sites”
  4. The Jakarta Post, 6 February 2017, Hans Nicholas Jong, “Scholarship deemed discriminatory for Indonesians living in eastern regions”
  5. Jakarta Globe, 1 March 2017, Lisa Siregar, “Aktivist to March in Jakarta to Deman Equal Rights for Women”.
  6. Jakarta Post, 3 March 2017, Ni Nyoman Wira, “Women’s March Jakarta 2017 to Raise Gender Equality Issues”.
  7. Jakarta Globe, 4 March 2017, Ratri M. Siniwi, “Study UK Exhibition in Jakarta, Surabaya, Yogyakarta”.
  8. Now Jakarta, 5 March 2017, Katrin Figgie, “Marching for Women’s Right”.
  9. The Jakarta Post, 7 March 2017, “Winner of The Social Impact Award”.
  10. The Guardian, 13 March 2017, Vincent Benvins, “Indonesia Transfer US Citizen to ‘Execution Island’”.
  11. The Standard, 14 March 2017, “HK Man Moved to Death Island”.
  12. The Jakarta Post, 14 March 2017, Margareth Aritonang, “Man on death row claims innocence as execution imminent”.
  13. The Jakarta Post, 27 Maret 2017, Margareth Aritonang, “UN support sought to end death penalty in Indonesia”.
  14. Netral News, 20 May 2017, “Concerning Death Execution, Attorney General is Accused of Having Political Maneuver.”
  15. Vessel News, 21 May 2017, Josh Caplan, “Indonesia: Mass Arrests Made in ‘Gay Party’ Raid.”
  16. The Telegraph, 22 May 2017, Nicola Smith, “British Man Among 141Arrested by Indonesian Police Over ‘Gay Sex Party’ at Jakarta Sauna.”
  17. San Diego Gay & Lesbian News, 22 May 2017, Timothy Rawles, “Arrests of 141 Indonesian Gay Men in Jakarta.”
  18. Bangkok Post, 22 May 2017, “Dozens Arrested in Raid on Jakarta Gay Sauna.”
  19. The Standard, 22 May 2017, “Singaporeans, Malaysians Busted in Jakarta Gay Sauna Raid.”
  20. The Jakarta Post, 23 May 2017, “police Condemned for ‘Arbitrary’ Raid on Gay Party.”
  21. Malaysian Digest, 23 May 2017, “Gay Sauna Raided in Jakarta, Two Malaysian Men Among Detained 141 Sex Party.”
  22. Voa Indonesia, 24 May 2017, Eva Mazerieva, “Indonesia Activist Protest Treatment of Men Arrested in Police Raid on Gay Club.”
  23. South China Monitoring Post, 28 May 2017, Jefferey Hutton, “Where Will Indonesia’s Anti-Gay Hysteria End?”
  24. Towelroad, 29 May 2017, Adam Rhodes, “Indonesia’s West Java Police To Form Anti-Gay Task Force: Gay Will be Not Accepted in Society.”
  25. Jakarta Post, 20 June 2017, “Mother Kills Baby Out of Fear HIV Infection .”
  26. National Post, 28 July 2017, “Indonesia Watchdog Says Execution of Nigerian Was Unlawful.”
  27. Reuters, 28 July 2017, Gayatri Suroyo, “Indonesia Ombudsman Finds Rights Violation in Execution of Nigerian.”
  28. Jakarta Post, 29 Juli 2017, Ompusunggu Moses, “Execution Deemed Negligent.”
  29. Brilio, 1 August 2017. Hapsari Petra, “#SaveFidelis: Freedom for The Man Growing Weed For Sick Wife.”
  30. The Guardian, 1 August 2017, Bevins Vincent, “Indonesia Executed Nigerian Despite Case Being Unresolved, Watch Dog Says.”
  31. Coconut Jakarta, 2 August 2017, “Indonesian Man Who Grew Marijuana to Treat His Dying Wife Sentenced to 8 Months.”
  32. Reuters, 5 August 2017, “After Execution Nigerians, Indonesia Government Claims Mistake.”
  33. South China Morning Post, Hutton Jefferey, 12 August 2017, “Is Widodo Following Duterte’s Playbook in War on Drugs?”
  34. The Jakarta Post, 28 August 2017, “AGO Urged to Stop Execution Preparations.”
  35. The Diplomat, Coca Nithin, 6 October 2017, “Is The Philippines Violent Drug War Spreading to Indonesia.”
  36. The Jakarta Post, Sebastian Partogi, 6 Oktober 2017, “Film Festival Sheds Light on Mental Health Issue.”
  37. The Washington Post, Bevins Vincent, 12 October 2017, “It’s Not Illegal To Be Gay in Indonesia, But Police Are Cracking Down Anyway.”
  38. Euronews, 20 October 2017.
  39. Jakarta Globe, Jack Britton, 30 October 2017, “Commentary: Sexuality, Victimization and The Elimination of Sexual Violence.
  40. South China Morning Post, Max Walden, 10 November 2017, “Do Indonesia’s Anti-pornography Law Protect Moral or Encourage Discrimination and Abuse?”
  41. East Asia Forum, Dace Mc Rae, 28 November 2017, “Indonesia’s Fatal War on Drugs.”
  42. Euronews, 20 October 2017.
  43. Jakarta Globe, Jack Britton, 30 October 2017, “Commentary: Sexuality, Victimization and The Elimination of Sexual Violence.
  44. South China Morning Post, Max Walden, 10 November 2017, “Do Indonesia’s Anti-pornography Law Protect Moral or Encourage Discrimination and Abuse?”
  45. East Asia Forum, Dace Mc Rae, 28 November 2017, “Indonesia’s Fatal War on Drugs.”
  46. The Jakarta Post, 14 December 2017, “Court Ruling on Extramarital, Gay Sex Draws Mixed Reaction From Netizen.”
  47. CBS News, 14 December 2017, “Indonesia Court Reject Bid to Make Gay Sex Ilegal.”
  48. The New York Times, Jeffrey Hutton, 14 December 2017, “Indonesia Constitutional Court Decline to Ban Sex Outside Marriage.”
  49. Wow Shack, 14 December 2017, “Anti-LGBT Petition Rejected By Indonesia Court.”
  50. Independent, Stephen Wrights, 14 December 2017, “Indonesia Constitutional Court Reject Petition to Criminalize Gay Sex in Victory for Besieged LGBT Minority.”
  51. Emol, 14 December 2017, “Tribunal Constitucional indonesio rechaza prohibir y castigar penalmente el adulterio.”
  52. Merced Sun-Star, Stephen Wrights, 14 December 2017, “Top Indonesia Court Reject Attempt to Criminalize Gay Sex.”
  53. Famosos, Lazaro Cerqueira, 14 December 2017, “Indonesia Court Throws Out Petition to Ban Sex Outside Marriage.”
  54. Tampa Bay Times, Stephen Wrights, 14 December 2017, “Top Indonesia Court Reject Attempt to Criminalize Gay Sex.”
  55. Kansas City, Stephen Wrights, 14 December 2017, “Top Indonesia Court Reject Attempt to Criminalize Gay Sex.”
  56. The News Tribun, Stephen Wrights, 14 December 2017, “Top Indonesia Court Reject Attempt to Criminalize Gay Sex.”
  57. Idaho Statesman, Stephen Wrights, 14 December 2017, “Top Indonesia Court Reject Attempt to Criminalize Gay Sex.”
  58. Star Tribun, Stephen Wrights, 14 December 2017, “Top Indonesia Court Reject Attempt to Criminalize Gay Sex.”
  59. Jakarta Globe, Sheany, 15 December 2017. “Constitutional Court Rejects Bid to Criminalize Extramarital Sex.”
  60. Indonesia Expat, Ardi Wirdana, 15 Decemeber 2017, “Court Reject Bid to Criminalize Gay and Extramarital Sex Despite Split Judges Decision.”
  61. Alive for Football, Kristina Tyler, 15 December 2017, “Petiton to Bar Concensual Sex Outside Marriage Rejected by Indonesian Court.”
  62. World News, 15 December 2017, “Indonesian Court Defends People’s Right for Gay, Extramarital Sex.”
  63. Bab Escape, 16 December 2017, “Indonesia Sentences Gay Club Workers to 2-3 Years in Prison.”
  64. Pink News, Josh Jackman, 18 December 2017, “10 Men Jailed for Having Gay Sex.”
  65. Asia One, 18 December 2017, “Indonesia Court Jails Men for Two Years over ‘Gay Sex Party’.”
  66. The Jakarta Post, 18 December 2017, “North Jakarta Court Jailed Men for Two Years over ‘Gay Sex Party’.”
  67. Today, 18 December 2017, “Indonesia Court Jails Men for Two Years over ‘Gay Sex Party’.”
  68. SBS, Ben Winsor, 20 December 2017, “It’s Not Just Chechnya, The ‘Gay Purge’ Is Growing Phenomenon.”
  69. The New York Times, Jeffrey Hutton, “Indonesia’s Crackdown on Gay Men: ‘It Doesn’t  Get Better, Does it’.”

Thank you for media above who contributed monitoring the implementation of human rights in Indonesia through their article.

 

Rilis Pers – Arif Pulang Malam Ini, Terima Kasih Majelis Hakim!

LBH Masyarakat mengapresiasi Majelis Hakim yang memeriksa perkara klien kami, Arif Fauzi Fadillah (Arif), di Pengadilan Negeri Jakarta Timur atas putusannya, pada Kamis, 14 Desember 2017 kemarin, yang cermat terhadap lemahnya fakta persidangan dan berani untuk membebaskan klien kami dari segala tuduhan. Putusan Majelis Hakim, yang terdiri dari Dwi Dayanto, S.H., M.H. (Ketua Majelis); Abdul Bari A. Rahim, S.H., M.H.; dan Antonius Simbolon, S.H., M.H., telah memenuhi hak klien kami atas peradilan yang jujur dan adil juga mengembalikan Arif pada keluarga yang merindukannya.

Arif adalah klien LBH Masyarakat, yang bersama beberapa warga jatiwaringin lainnya, dituding oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Timur melakukan pembunuhan secara bersama-sama, melakukan pengeroyokan secara bersama-sama dan dituduh melakukan penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain secara bersama-sama. Kasus ini, secara keliru, sering dibingkai oleh beberapa liputan sebagai “Geng Motor Jatiwaringin” padahal para terdakwa justru adalah pihak-pihak yang melindungi kampung mereka dari ancaman geng motor yang dimaksud.

Dalam pendampingan hukum yang kami lakukan, kami menemukan bahwa dalam proses interogasi yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Timur terhadap Arif dan tujuh terdakwa terdapat perlakuan yang tidak manusiawi yakni pemukulan dan intimidasi. Perlakuan yang bertujuan untuk mendapatkan pengakuan ini adalah bentuk penyiksaan yang terang benderang.

Selain itu, di dalam persidangan kami juga menemukan beberapa kejanggalan: barang bukti tidak ada kaitannya dengan terdakwa, barang bukti yang dihadirkan tidak diperiksa di laboratorium, tidak ada saksi yang menyebutkan dan melihat terdakwa melakukan perbuatan yang dituduhkan kepada mereka, serta penyidik yang bertugas mengumpulkan barang bukti dan saksi verbalisan yang disebut terdakwa melakukan penyiksaan, tidak bisa hadir memberikan keterangan sebagai saksi dipersidangan.

Lemahnya fakta yang dikumpulkan dalam proses penyidikan dan penuntutan juga dilihat oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini. Hal tersebut membuat Arif dan tujuh terdakwa lainnya dinyatakan bebas dari segala tuduhan. Dalam putusannya, Majelis Hakim juga memerintahkan agar Arif dibebaskan dari tahanan.

Di saat yang sama, kami juga menyesalkan lambannya kerja Kejaksaan Negeri Jakarta Timur dan Rumah Tahanan Negara Cipinang dalam memenuhi perintah Majelis Hakim dalam putusan untuk segera mengeluarkan Arif dari tahanan. Butuh waktu lebih dari 24 jam hingga akhirnya Arif dikeluarkan dari Rutan Cipinang pada malam hari ini, Jumat, 15 Desember 2017. Hal ini hendaknya menjadi catatan bagi Kejaksaan Agung dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam aspek peningkatan kualitas kerja.

Melalui rilis ini, kami juga meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya dan/atau Kepala Kepolisian Resort Metro Jakarta Timur untuk memeriksa penyidik dalam kasus klien kami, Arif, yang diduga kuat melakukan pelanggaran etik, profesi, dan disiplin sebagai anggota Polri.

Kami berterima kasih juga pada pendukung-pendukung kami yang juga telah menyerukan #PulangkanArif melalui media sosial. Melalui kasus ini, kami melihat betapa esensialnya pemantauan publik terhadap sistem peradilan pidana serta pentingnya keberadaan penasihat hukum yang kapabel untuk mengungkap insiden penyiksaan dan lemahnya pembuktian dari penegak hukum.

Kasus ini menunjukan masih eksisnya praktik penyiksaan dalam penegakan hukum di Indonesia. Sebuah hal yang patut menjadi catatan penting bagi kita semua. Mengingat masih punitifnya hukum di Indonesia, maka kita semua adalah korban potensial praktik penyiksaan. Praktik penyiksaan dan intimidasi adalah praktik yang sudah seharusnya dihentikan – karena, siapapun dia, setiap manusia: berharga.

Jakarta, 15 Desember 2017

Maruf Bajammal, S.H. – Pengacara Publik LBH Masyarakat

en_USEnglish