Skip to content

Dorong Percepatan Revisi Undang-Undang Narkotika, LBHM Menyelenggarakan Dialog Kebijakan

Pada Hari Rabu, 4 Desember 2024, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menyelenggarakan kegiatan Dialog “Reformasi Kebijakan Narkotika dan Penerapan Harm Reduction di Indonesia” di Jakarta untuk mendiskusikan rencana revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang telah masuk ke dalam dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. Acara yang dihadiri oleh kurang lebih 100 orang, baik secara luring dan daring ini menghasilkan beberapa kesepakatan penting.

Dalam pidato kuncinya, Edward Omar Sharif Hiariej, Wakil Menteri Hukum Republik Indonesia, memberikan apresiasi atas ruang dialog yang dibangun oleh masyarakat sipil ini untuk membangun kebijakan penanggulangan narkotika yang efisien dan efektif dengan merujuk pada bukti dan perkembangan dunia internasional. Ia juga menegaskan kembali semangat revisi UU Narkotika yang memberikan pendekatan kesehatan.

“Sejak 28 tahun yang lalu ketika saya menulis skripsi tentang narkotika dan psikotropika, saya memang sudah memberikan rekomendasi terhadap pengguna itu memang tidak dihukum tapi diobati,” ujarnya.

Pada sesi diskusi pertama, empat pembicara sama-sama menggarisbawahi urgensi pembahasan revisi UU Narkotika yang sudah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2025. Salah satu tujuannya adalah beralih dari kebijakan punitif yang ada sekarang. Hal inilah yang disampaikan oleh H. Adang Daradjatun, Anggota Komisi III, yang menyatakan, “Kita sepakati, baik dari Mahkamah Agung, dari teman BNN, bahwa memperluas akses rehabilitasi tanpa kriminalisasi ini sangat penting sekali.”

Pendekatan punitif yang sekarang dilakukan juga tidak mampu untuk membeda-bedakan pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan derajat kebersalahannya. Obsevasi ini disampaikan oleh Hakim Agung Sutarjo, Hakim Agung Kamar Pidana yang menyampaikan “Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, tidak memberikan parameter kriteria penyalahgunaan narkotika yang jelas dan yang benar. Yang dikatakan penyalahguna seperti apa, pengedar seperti apa, sebagai penjual, sebagai pembeli, itu yang parameternya tidak jelas.”

Toton Rasyid, selaku Direktur Hukum, Deputi Bidang Hukum dan Kerja Sama Badan Narkotika Nasional, menyatakan bahwa orientasi pendekatan rehabilitasi dalam UU Narkotika sekarang masih menempatkan rehabilitasi sebagai kewajiban. Ia menyampaikan, “Cuma masalahnya sekarang rezim hukum memang harus diubah Undang-Undang ini. Kalau kita bicara Undang-Undang 35/2009, di pasal 103 rehabilitasi itu bagian dari menjalani hukuman. Jadi kita masih seperti itu. Kalau teman-teman mengatakan ini, jangan, (karena) orang punya hak menentukan untuk direhab atau tidak, ya (revisi) Undang-Undang ini harus segera kita selesaikan.”

Desakan yang tegas untuk merevisi UU Narkotika juga datang dari elemen masyarakat sipil, diwakili oleh Maidina Rahmawati dari Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN). Ia menyoroti pembobotan yang lebih berat UU Narkotika pada penghukuman dan bukannya kesehatan. Revisi UU Narkotika ini menurutnya akan membenahi tata kelola narkotika. Ia menyampaikan: “Ke depannya kita butuh dorongan bersama kawal pembahasan revisi UU Narkotika. Pastikan intervensi kesehatan tersebut diperkenalkan dalam revisi Undang-Undang Narkotika.”

Pada sesi kedua setelah makan siang, diskusi dilanjutkan dengan pembahasan tentang bagaimana reformasi kebijakan narkotika melalui penuntasan amanat Prolegnas Prioritas 2025 turut bisa memperkuat kebijakan pengurangan dampak buruk (harm reduction) di Indonesia. Pembicara pertama sesi kedua, Nixon Randy Sinaga, pengacara publik LBHM memaparkan hasil penulisan kertas kebijakan menyoal kondisi kebijakan narkotika di Indonesia yang perlu mengintegrasi pendekatan pengurangan dampak buruk. Dia menyatakan, “Pengurangan dampak buruk adalah kebijakan yang mengarusutamakan hak atas kesehatan, yang berusaha untuk memitigasi dampak-dampak negatif dari penggunaan narkotika baik secara kesehatan, sosial, maupun aspek hukum dari penggunaan narkotika.Hal ini berangkat dari pemenuhan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.”

Rosma Karlina, Direktur Suar Perempuan Lingkar Napza Nusantara, menjelaskan bahwa program pengurangan dampak buruk yang didorong oleh masyarakat sipil adalah pendekatan yang sifatnya holistik dan inklusif. Ia menekankan pentingnya memahami kebutuhan pengguna narkotika yang bisa berbeda-beda. Rosma menjelaskan, “Kebijakan pengurangan dampak buruk yang belum responsif terhadap gender, mengakibatkan rasa takut akan diskriminasi dan kriminalisasi bagi perempuan pengguna narkotika.” Ia menceritakan kasus-kasus di mana perempuan pengguna narkotika mendapatkan kekerasan dan melapor ke polisi, tapi bukannya kasus kekerasan yang diselesaikan, polisi malah sibuk mengkriminalisasi mereka atas penggunaan narkotika.

Melihat skema intervensi kesehatan yang sekarang tersedia bagi pengguna narkotika, Elly Hotnida Gultom, menjelaskan upaya Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan akses layanan kesehatan. Ia menjabarkan bahwa Kementerian Kesehatan fokus untuk membangun layanan terapi kesehatan terpadu di lebih banyak Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia dengan penambahan sekitar 700 fasyankes Institusi Penerima Wajib Lapor. Namun, ia menegaskan bahwa tidak semua pengguna narkotika perlu untuk direhabilitasi. Ia menyatakan, “Dari World Drug Report itu, 1 banding 8 (pengguna) yang membutuhkan layanan kesehatan.”

Permasalahan rehabilitasi yang mencuat dalam diskusi sejak pagi hari juga ditangkap dengan sangat baik oleh Marsono, Koordinator Pokja Napza dan Analis Kebijakan pada Direktorat Rehabilitasi Korban Bencana dan Kedaruratan, Kementerian Sosial. Marsono menyatakan bahwa Kementerian Sosial memiliki visi untuk terus memperbaiki standar layanan rehabilitasi Lembaga Kesejahteraan Sosial. Pada closing statement-nya, ia menyatakan, “Saat ini, perlu penertiban-penertiban terhadap lembaga-lembaga yang memang belum terstandar. Itu wajib kita proses ke sana.”

Dalam kegiatan ini, Nixon dan Rosma menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah dan badan legislatif untuk mereorientasi kebijakan narkotika di Indonesia dengan pendekatan hak atas kesehatan dan mereduksi penggunaan sarana penal, secara khusus bagi pengguna narkotika. Agenda reformasi kebijakan narkotika harus berangkat dari penghormatan hak asasi manusia, inklusif, non-diskriminatif, partisipatif, dan mengakomodasi seluruh kelompok rentan seperti perempuan, keberagaman gender, anak, dan disabilitas. 

Acara ditutup jam 16.00 waktu setempat. Dialog semacam ini, yang menyatukan perwakilan pemerintah dan masyarakat sipil dalam satu ruangan, menjadi cara untuk menjunjung prinsip partisipasi publik dalam pembentukan kebijakan. Harapannya, akan ada diskusi-diskusi serupa supaya revisi Undang-Undang Narkotika yang akan disahkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

 

Narahubung

0896-3970-1191 (Kiki Marini)

Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian

*Brutalitas Polisi Terus Makan Korban, Dari Warga hingga Pelajar SMK Ditembak Mati, Polri Harus Segera Direformasi!*

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Koalisi RFP) mengutuk keras kasus tembak mati (extrajudicial killing) yang melibatkan aparat kepolisian di sejumlah wilayah dalam beberapa hari terakhir. Minggu, 24 November 2024, anggota kepolisian Polres Semarang menembak mati seorang anak, Gamma Rizkynata Oktafandy (16), pelajar SMKN 4 Semarang yang juga melukai salah seorang rekannya. Di hari yang sama, warga Desa Tunggang, Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka, Beni (45) meninggal akibat tembakan anggota Brimob Polda Bangka Belitung setelah dituduh mencuri buah sawit di area perkebunan PT. BPL.

Padahal beberapa hari sebelumnya (Jumat, 22/11/2024), telah ramai diberitakan peristiwa polisi tembak polisi berujung kematian, yang dilakukan Kabag Ops Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar terhadap Kasat Reskrim Polres Solok Selatan, AKP Ryanto Ulil Anshar. Kejadian ini juga dikabarkan terkait dengan praktik beking tambang ilegal yang melibatkan aparat kepolisian.

Koalisi mendesak Kapolri dan Kompolnas untuk menindak tegas para pelaku,  mengusut tuntas kasus ini serta memastikan tidak ada yang ditutup-tutupi. Presiden dan DPR RI juga tidak boleh tutup mata dan harus segera bertindak. Evaluasi menyeluruh terhadap kepolisian mesti dilakukan agar korban tidak terus berjatuhan.

Di kasus kematian Gamma, Kapolrestabes Semarang memunculkan versi berbeda.  Penembakan merupakan bagian dari penanganan tawuran dan meminta masyarakat memahami tindakan kepolisian tersebut. Polisi menyebut bahwa korban merupakan anggota geng Tanggul Pojok yang sedang melakukan tawuran di Semarang Barat.

Tuduhan Polisi ini dibantah oleh kesaksian keluarga, guru, teman, warga sekitar dan Satpam perumahan tempat kejadian. Informasi media seperti Tempo dan Tribunjateng dan media lain menyebutkan bahwa menurut keluarga, guru dan teman korban. Korban adalah murid baik dan berprestasi dan tergabung dalam paskibraka, sehingga tidak mungkin melakukan tawuran. Selain itu, Satpam dan warga sekitar juga mengatakan bahwa hari itu tidak ada tawuran di daerah tersebut. Kejanggalan pun muncul, CCTV di sekitar kejadian mendadak “hilang” disita Polisi. Pola yang relatif mirip di kasus “Sambo”, Alm. Afif Maulana, KM 50, dan lainnya.

Koalisi RFP menilai tuduhan Polisi kepada korban adalah upaya institusi kepolisian untuk menutupi kasus dan menjaga citranya yang terus tercoreng. Koalisi mencatat pola yang serupa, dalam berbagai kasus. Muncul stigma buruk yang ditujukan kepada korban penembakan polisi untuk mengaburkan fakta sebenarnya. Belajar dari kasus Ferdy Sambo, mulanya polisi menyatakan bahwa penembakan diawali oleh Brigadir Josua menembak Fredy Sambo, namun dalam investigasi ternyata sebaliknya. Respon kepolisian dengan pola pembelaan ini menutup ruang investigasi dan menghambat penegakan hukum, di tengah rendahnya komitmen polisi dalam memproses penegakan hukum terhadap polisi yang melakukan penembakan.

Koalisi RFP memandang kasus penembakan yang berujung kematian ini menunjukan masih kuatnya arogansi, brutalitas, watak militeristik, dan kesewenang-wenangan anggota Polri terhadap masyarakat, bahkan terhadap korban yang masih berstatus anak. Alih-alih menjalankan tugas dan fungsinya untuk mengayomi dan melindungi masyarakat, kasus ini justru kian memperkuat potret kegagalan sistemik institusi kepolisian yang kian menempati posisi sebagai aktor pemegang monopoli kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Pasal 6 ayat (1) ICCPR yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 menjamin “Setiap manusia memiliki hak untuk hidup.” Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun diperbolehkan untuk secara sewenang-wenang”. Sebagai ketentuan fundamental, hak ini kemudian ditegaskan sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dibatasi atau dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Sehingga, penembakan secara langsung atau penembakan atas dasar untuk mendapatkan pengakuan hingga berujung kematian merupakan sebuah pelanggaran hukum yang serius. Tidak terkecuali terhadap pelanggaran atas asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) yang menjadi prinsip utama dalam sistem peradilan dan Negara Hukum.

Di kasus Gamma di Semarang, kepolisian harus mengusut secara cepat dan tuntas sebagaimana diatur Pasal 59A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Atas sederet tragedi penembakan berujung kematian tersebut, para pelaku harus diperiksa secara mendalam dan sungguh-sungguh terkait adanya pelanggaran sejumlah ketentuan seperti Perkap Nomor 1 Tahun 2022 tentang mekanisme Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Kepolisian Negara Republik, Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, termasuk Prinsip-Prinsip Dasar PBB Tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum (BPUFF) dan Kode Etik Aparat Penegak Hukum (CCLEO).

Namun tidak cukup melakukan pemeriksaan dan menghukum berat pelaku, kejadian ini harus dipandang sebagai kegagalan reformasi kepolisian yang menyebabkan kultur brutalitas yang masih terus mengakar di institusi Polri, tidak terkecuali untuk kembali mengevaluasi relevansi penggunaan senjata api di kepolisian yang notabene bertugas melakukan penegakan hukum dan menjaga keamanan dalam negeri yang kerap berhadapan dengan warga negara sendiri.

Mengacu data yang dihimpun KontraS dalam rentang 2020 – 2024 praktik kekerasan yang melibatkan kepolisian di Indonesia. Sepanjang Juli 2020 – Juni 2021 setidaknya telah terdapat 651 kasus. Juli 2021 – Juni 2022 mengalami peningkatan hingga 677 kasus. Juli 2022 – Juni 2023 mencapai 622 kasus. Sedangkan sepanjang Januari-April 2024, telah terjadi 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan kepolisian. Adapun kategori pelanggaran berupa penembakan, penganiayaan, penyiksaan (torture), penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), pembubaran paksa, tindakan tidak manusiawi, penculikan, pembunuhan, penembakan gas air mata, water cannon, salah tangkap, intimidasi, bentrokan, kejahatan seksual, kriminalitas, hingga extrajudicial killing.

YLBHI mencatat sepanjang 2019 terdapat 67 orang meninggal dengan dugaan kuat sebagai korban pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) di tangan anggota polisi. Selama kurun Juli 2022- 2023, YLBHI menghimpun setidaknya terdapat 130 kasus yang melibatkan kepolisian sebagai aktor pelanggar dengan kasus salah tangkap, intimidasi diskusi, kriminalisasi, penahanan sewenang-wenang, undue delay, hingga extrajudicial killing.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Koalisi RFP mendesak agar:

  1. Kapolri segera memerintahkan jajarannya untuk melakukan penegakan hukum secara objektif dan profesional dengan mengusut tuntas dugaan pembunuhan dan penembakan yang dilakukan oleh anggota Polres Semarang tersebut, serta memastikan akuntabilitas dan penghukuman tegas bagi pelaku ;
  2. Kapolri melakukan evaluasi ketat terhadap penggunaan senjata api di lingkungan kepolisian, bahkan perlu meniadakan penggunaan senjata api di institusi kepolisian, dengan mengganti dengan penggunaan senjata yang tidak mematikan, karena hanya akan menimbulkan korban-korban nyawa warga negara di kemudian hari;
  3. Kapolri segera memberhentikan polisi terduga pelaku penembakan dan pembunuhan tersebut;
  4. Presiden dan DPR RI segera menindaklanjuti seluruh persoalan yang menyangkut Polri belakangan ini dengan menjalankan agenda konkret reformasi kepolisian berkelanjutan secara struktural, instrumental, dan kultural demi memastikan polisi dan pemolisian yang profesional, transparan, dan akuntabel;
  5. Kompolnas untuk menjalankan peran pengawasannya secara efektif dan memastikan agenda reformasi kepolisian dapat sepenuhnya dijalankan;
  6. Komnas HAM agar melakukan pemantauan, penyelidikan, dan melakukan audit institusi Polri terhadap kewenangan polisi menggunakan senjata api;
  7. Ombudsman, LPSK, dan KPAI dan lembaga terkait lainnya untuk aktif memantau dan memastikan proses hukum berjalan secara objektif, transparan, dan profesional;
  8. Mendesak DPR RI, khususnya Komisi III untuk segera memanggil Kapolri pada rapat kerja untuk memberikan pertanggungjawaban atas seluruh kejadian tembak mati, khususnya yang terjadi di Semarang, Bangka Belitung, dan Solok Selatan serta memastikan Reformasi Polri untuk menjamin ketidakberulangan tindak kekerasan yang dilakukan jajaran kepolisian.

 

Jakarta, 26 November 2024

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian

Arif (+62 817-256-167)

Paul (+62 822-9790-8465)

We Are Hiring Staf Asisten Keuangan

Semua kerja-kerja Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat didukung oleh tim yang menakjubkan, salah satunya Tim Operasional. Selama hampir 17 tahun, tim yang terdiri dari Koordinator Operasional, Kepala Keuangan, Staf Keuangan, Staf Asisten Keuangan dan Kepala Rumah Tangga ini memastikan keuangan dan administrasi LBH Masyarakat berjalan dengan baik.

Kami mengajak teman-teman yang memenuhi syarat untuk bergabung bersama LBH Masyarakat di Tim Operasional dan berkontribusi dalam kerja-kerja hak asasi manusia di Indonesia sebagai Staf Asisten Keuangan.

Adapun spesifikasi yang dibutuhkan sebagai Staf Asisten Keuangan LBH Masyarakat adalah sebagai berikut:

Kualifikasi

  • Minimal D3/S1 Akuntansi;
  • Fresh Graduate atau memiliki pengalaman bekerja minimal 1 tahun di bagian keuangan organisasi nirlaba;
  • Teliti, jujur, dan loyalitas tinggi serta bertanggung jawab;
  • Menguasai program Microsoft Office (Excel, Word, Power Point) dan program akuntansi;
  • Memahami prinsip-prinsip akuntansi ISAK 35;
  • Berorientasi pada detail dengan kemampuan analisis laporan keuangan yang baik;
  • Memiliki motivasi diri yang baik, proaktif dan mampu bekerja secara individual dan dalam tim;
  • Mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik;
  • Mengikuti peraturan perpajakan yang berlaku (nilai tambah).

Deskripsi Pekerjaan

  • Bekerjasama dan mendukung kerja-kerja tim penanganan kasus, tim program/advokasi, dan tim komunikasi dalam menjalankan pengelolaan keuangan;
  • Menyusun dan mendokumentasikan laporan keuangan program berdasarkan ketentuan pihak donor;
  • Menjalin hubungan yang baik dengan pihak ketiga yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan LBHM;
  • Mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam suatu program di dalam maupun di luar kota;
  • Membantu menyiapkan dokumen yang diperlukan untuk kepentingan audit organisasi tahunan sesuai dengan ISAK 35;
  • Bersama Staf Keuangan memastikan laporan program selaras dengan pencatatan di sistem lembaga.

Proses Rekrutmen

LBHM mengharapkan Staf Asisten Keuangan ini bisa bekerja mulai Januari 2025 di kantor LBHM di Jakarta.

Bagi kamu yang merasa tertantang dan menyanggupi pekerjaan ini serta tertarik menjadi salah satu anggota tim yang signifikan di LBH Masyarakat, silakan kirimkan:

  • Surat Lamaran (Cover Letter)
  • Curriculum Vitae (Terbaru)

Kirim dokumen di atas ke alamat email contact @lbhmasyarakat.org dengan subjek email: Aplikasi SAK_Nama Kamu. Aplikasi ditunggu paling lambat Kamis, 5 Desember 2024 pukul 23.59 WIB.

 

[INFOGRAFIS] Menakar Komitmen Calon Kepala Daerah di Isu Narkotika

Menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilakukan serentak pada tanggal 27 November mendatang, para Calon Kepala Daerah (Cakada)-Calon Wakil Kepala Daerah (Cawakada) berlomba menjanjikan hal-hal manis. Berbagai isu tentang tata kelola kota, kemiskinan, bencana alam, dan lain-lain menjadi bahan kampanye.

Bahasan lain yang juga sering muncul adalah tentang narkotika. Sebagaimana janji-janji manis lainnya, isu narkotika dalam ajang Pilkada ini juga kerap kali dicemari oleh ketidakpahaman, hiperbola, dan pengkambinghitaman. 

LBHM melakukan pemantauan terhadap visi-misi Cakada-Cawakada pada Pilkada 2024. Menelusur laman https://infopemilu.kpu.go.id/Pemilihan/Pasangancalon, LBHM mendata apa saja visi-misi Cakada-Cawakada yang memberikan penekanan pada narkotika. Terdapat sekitar 21 Cakada-Cawakada yang mencantumkan visi-misi narkotika di dalam pemaparan visi-misinya.

Pemantauan ini menemukan sebanyak 21 pasangan calon seolah-olah memosisikan diri mereka sebagai penyelamat kehidupan masyarakat atas bahaya narkotika. 

Padahal, dalam permasalahan narkotika, harusnya Cakada-Cawakada juga bisa menyadari batasan kewenangan Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memiliki keberpihakan kepada kelompok pengguna narkotika.

Selengkapnya baca temuan kami melalui infografis ini. Selamat membaca!

Unduh Infografis:

Pernyataan Sikap Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) Dukungan Pemulangan Mary Jane Veloso Melalui Mekanisme Transfer of Prisoner

Jakarta, 21 November 2024

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil dan individu yang berkomitmen untuk menghapuskan hukuman mati, mengapresiasi upaya kolaboratif Pemerintah Indonesia dan Filipina yang menyepakati langkah penyelesaian kasus terpidana mati Mary Jane Veloso (MJV) melalui jalur diplomasi Transfer of Prisoner. Momen ini merupakan perkembangan signifikan perjuangan MJV mendapatkan keadilan yang telah berlangsung hampir 15 tahun.

JATI juga mendorong agar Pemerintah Indonesia dan Filipina segera untuk  mengkonkretkan kesepakatan Transfer of Prisoner ini dengan segera menetapkan langkah-langkah dan linimasa yang pasti dan terukur untuk pemindahan MJV ke negaranya.

Lebih dari 14 tahun MJV telah berstatus sebagai terpidana mati dan duduk dalam deret tunggu eksekusi mati, jauh dari keluarga tercintanya, dan menghadapi ancaman hukuman yang kejam dan penyiksaan tidak langsung. Pernyataannya yang konsisten bahwa dirinya adalah korban perdagangan manusia yang didukung dengan bukti-bukti baru di Filipina, telah menyingkap kelemahan mendasar penerapan hukuman mati. Pemindahannya ke tahanan Filipina membuka peluang untuk memastikan bahwa hak-haknya dihormati sepenuhnya dan suaranya didengar.

MJV merupakan simbol kerentanan sekaligus ketangguhan dari mereka yang miskin dan terpinggirkan saat berhadapan dengan ketidakadilan. Kasus yang dialaminya unik dan belum pernah terjadi sebelumnya, karena melintas batas yurisdiksi hukum antar negara yang membutuhkan keberanian penyikapan dan terobosan hukum.  Kasusnya memberi pelajaran dan semakin menegaskan mendesaknya penanggulangan perdagangan manusia, sekaligus pembelajaran agar lebih cermat dalam penggunaan Undang-Undang Narkotika yang menegasikan korban sindikat perdagangan manusia.

JATI menyerukan kepada Pemerintah Filipina dan Indonesia untuk memperlakukan kasus MJV dengan sangat hati-hati, menghormati hak-haknya sebagai korban perdagangan manusia, dan saat kembali ke negaranya memastikan bahwa ia menerima dukungan hukum dan psikologis yang diperlukan untuk membangun kembali kehidupannya. JATI mengingatkan dalam hukum hak asasi manusia internasional tentang ekstradisi menjelaskan bahwa proses ekstradisi harus memastikan bahwa kondisi tempat negara penerima harus tidak memberikan resiko adanya eksekusi pidana mati bagi terpidana yang ditransfer. Jaminan ini seharusnya dapat dilaksanakan mengingat bahwa Filipina telah menghapuskan pidana mati pada 2006.

Kami juga meminta Pemerintah Indonesia untuk menggunakan kasus ini sebagai batu loncatan untuk memperkuat langkah-langkah dalam memerangi perdagangan manusia dan melindungi hak-hak pekerja migran di luar negeri, sekaligus menyelamatkan mereka dari hukuman mati yang tersebar di beberapa negara yang masih menerapkan pidana mati.

JATI menegaskan kembali komitmennya untuk penghapusan hukuman mati secara menyeluruh dalam hukum pidana nasional. Kasus Mary Jane menjadi pengingat pahit bahwa hukuman mati tidak mencegah kejahatan dan tidak mengatasi akar penyebabnya. Bahkan dalam kasus MJV menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia belum bisa menjamin implementasi prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak dan membiarkan peradilan sesat yang sering menyasar kasus hukuman mati sehingga penghapusan hukuman mati dan pengubahan hukuman (commutation) pidana mati menjadi tindakan yang perlu dilakukan Pemerintah Indonesia.

Perlu diingat, MJV tidak sendiri, masih banyak korban-korban perdagangan manusia lainnya yang menghadapi jerat hukuman mati di Indonesia, baik sebagai warga negara Indonesia maupun luar Indonesia, termasuk pekerja migran Indonesia di luar negeri. Rentetan kasus seperti ini menyimpulkan bahwa hukuman mati justru melanggengkan siklus kekerasan, menghilangkan kesempatan untuk memperbaiki diri, dan menolak keadilan bagi mereka yang dituduh dan dieksploitasi secara tidak adil.    

JATI juga hendak mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa karakteristik kasus perdagangan manusia yang mengeksploitasi perempuan atau kelompok rentan lain sebagai kurir narkotika tidak hanya menimpa Mary Jane Veloso. Banyak terpidana narkotika baik berkewarganegaraan asing maupun Indonesia yang menerima hukuman maksimal dan tidak pernah mendapatkan pengakuan atau perlindungan sebagai korban perdagangan manusia. Untuk itu, Pemerintah Indonesia perlu untuk mempertimbangkan melakukan skema-skema transfer of prisoners, komutasi, ataupun amnesti kepada para terpidana mati dengan karakteristik kasus yang serupa dengan Mary Jane Veloso.

Untuk itu kami menyampaikan sikap:

  1. Pemerintah Indonesia dan Filipina segera menyusun dan menyepakati langkah-langkah konkret dan linimasa yang pasti dan terukur untuk pemindahan MJV dari Indonesia ke Filipina;
  2. Pemerintah Filipina memperlakukan MJV sebagai korban perdagangan manusia, oleh karena itu hak-haknya harus dihormati dan dipenuhi, termasuk haknya untuk mengajukan pengurangan hukuman;
  3. Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan melakukan mekanisme transfer of prisoner, komutasi, atau amnesti bagi terpidana mati yang terbukti sebagai korban perdagangan manusia, mengambil contoh baik dari rencana pemulangan MJV;
  4. Pemerintah Indonesia menghapus hukuman mati dalam hukum pidana nasional, termasuk merevisi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang berkontribusi dalam pelanggaran prinsip fair trial dan sumber rekayasa kasus;
  5. Pemerintah Indonesia meninjau kasus hukuman mati dan segera melakukan perubahan hukuman terpidana mati sebagaimana mandat Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

Narahubung:

  1. Iweng Karsiwen (KABAR BUMI) – 081281045671
  2. Yosua Octavian (LBHM) – 081297789301
  3. Maidina Rahmawati (ICJR) – 085773825822
  4. M. Afif Abdul Qoyim (YLBHI) – 081320049060
  5. Gina Sabrina Monik (PBHI) – 085252355928
  6. Amira (KontraS) – 08176453325

Ancaman Semu LGBTQ dalam Kajian Wantannas: Rilis Pers Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat menyayangkan pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), Laksdya TNI T.S.N.B. Hutabarat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, pada hari Kamis, 14 November 2024, yang menyajarkan isu LGBTQ sebagai ancaman negara prioritas pada tahun 2025. Pernyataan yang dibuat tanpa dasar logika dan riset yang matang berpotensi menambah aksi persekusi dan kekerasan yang diterima oleh individu LGBTQ di Indonesia.

Di hadapan anggota dewan, Laksdya TNI T.S.N.B. Hutabarat memaparkan kajian strategis lembaganya tentang dinamika geopolitik nasional dan internasional, serta mengulas isu strategis keamanan pada tahun 2025. Isu LGBTQ masuk ke dalam isu budaya, bersama dengan penguatan jati diri di Papua, konflik pesisir, minta petani untuk generasi muda, kesejahteraan dosen, kualitas sarjana dan mutu pendidikan, budaya antikorupsi, dan konten TV. Dalam sesi tanya-jawab, diskusi yang memosisikan LGBTQ sebagai ancaman juga datang dari Oleh Soleh dari Fraksi PKB Jawa Barat XI.

Asosiasi LGBTQ sebagai ancaman negara yang perlu ditindak dengan pendekatan sekuritisasi ini keliru dalam setidak-tidaknya tiga poin:

Pertama, pengkategorian LGBTQ sebagai ancaman bangsa justru kontraproduktif dengan tujuan dari Wantannas sendiri yang salah satunya adalah menjaga keamanan bangsa. Dalam RDP tersebut, tercetus anggapan bahwa LGBTQ adalah bom waktu, yang kalau dibiarkan sekarang akan merugikan di masa depan. Pengaitan individu LGBTQ dengan istilah-istilah militeristik ini bukanlah hal yang baru. Pada tahun 2016, Ryamizard Ryacudu, mantan Menteri Pertahanan era Jokowi juga mengaitkan LGBTQ dengan nuklir.[1] Perumpamaan yang kering imajinasi ini tidak didukung oleh argumen yang logis dan malah bersifat menakut-nakuti masyarakat awam tentang keragaman orientasi seksual dan identitas gender di Indonesia.

Selama ini, individu LGBTQ adalah salah satu kelompok yang rentan mendapatkan diskriminasi, kekerasan dan persekusi. Survei LBHM dan kelompok masyarakat sipil lainnya pada tahun 2022 menunjukkan dari 401 responden LGBTQ, 40.4% pernah mengalami kekerasan fisik yang berakibat luka berat, 35.4% mengalami perusakan tempat tinggal, 43.4% mengalami pemecatan akibat ragam identitasnya, dan 78.8% berisiko tinggi mengalami serangan berupa doxing dan peretasan dengan maksud menghancurkan kredibilitas.[2] Dari situasi tersebut, RDP yang terjadi minggu lalu malah semakin menambah bara dalam kepungan serangan terhadap individu LGBTQ di Indonesia dan memperlemah keamanan bangsa.

Kedua, kajian Wantannas tentang ancaman LGBTQ disebabkan oleh ketidaktahuan tentang ragam identitas gender dan orientasi seksual. Sekjen Wantannas menyatakan bahwa LGBTQ berbahaya karena penambahan identitas queer yang ia definisikan sebagai “Segala sesuatu orang yang orientasi seksualnya masih belum jelas.” Bahkan, ia menyamakan individu queer dengan hubungan seksual manusia dengan binatang (zoophilia), manusia dengan peralatan/boneka (hubungan seksual dengan sex toys), dan pedofilia. Pada kenyataannya, orang heteroseksual dan cisgender[3] pun bisa masuk ke kategori orang yang melakukan hubungan seksual dengan binatang, peralatan dan boneka. Banyak juga individu heteroseksual yang dijatuhi hukuman pidana karena melakukan hubungan seksual dengan anak. Kasus Herry Wirawan, misalnya, menunjukkan bahwa seorang pria heteroseksual bisa melakukan kekerasan seksual kepada 13 santriwati yang berusia dari 14-20 tahun.[4]

Pernyataan ini menunjukkan ketidakpahaman Wantannas tentang identitas queer. Queer adalah kelompok identitas bagi orang-orang yang merasa tidak nyaman dikelompokkan ke dalam kategori identitas gender atau orientasi seksual yang bersifat kaku. Dengan demikian, istilah queer adalah istilah yang memayungi ragam gender dan seksualitas lainnya (umbrella term). Secara historis, istilah ini awalnya muncul sebagai hinaan, tapi kemudian diambil alih oleh kelompok queer sebagai identitas yang menguatkan, karena dengan istilah tersebut seseorang mendapatkan kebebasan untuk menjadi diri mereka sendiri.[5] Akar etimologi dan histori inilah yang menunjukkan bahwa orang-orang yang memilih identitas queer tidak sama dengan orang-orang yang melakukan kekerasan seksual.

Ketiga, tidak ada bukti bahwa individu LGBTQ menyebabkan rendahnya angka pernikahan dan penurunan populasi. Pernyataan ini keluar dari Oleh Soleh dari Fraksi PKB Jawa Barat XI, yang mengaitkan perkembangan kehidupan LGBT dan angka pernikahan di Indonesia yang semakin hari semakin menurun. Ia lantas membandingkan kondisi ini dengan negara Korea Selatan di mana, menurut cerita anekdotalnya, sekolah-sekolah kekurangan anak didik sehingga pemerintahnya memohon-mohon negara lain untuk mengirimkan peserta didik ke Korea Selatan.

Tidak ada bukti akademis yang menyatakan bahwa eksistensi dari individu LGBTQ menyebabkan penurunan populasi. Di Korea Selatan, penurunan angka pernikahan dan penurunan angka kelahiran lebih disebabkan oleh harga perumahan yang melambung tinggi, budaya mementingkan kerja di atas segalanya (workism), diskriminasi terhadap perempuan pekerja yang memiliki anak. Semua hal ini mempengaruhi keputusan orang muda di Korea Selatan untuk tidak menikah dan/atau tidak memiliki anak.[6] Bahkan, Korea Selatan belum termasuk negara yang mengakui pernikahan sesama jenis, sehingga mengada-ngada ketika penurunan populasi Korea Selatan dikaitkan dengan individu LGBTQ.

“Dari poin-poin di atas, LBHM mendesak Wantannas mengkaji ulang isu-isu strategis yang perlu untuk ditangani di 2025,” kata Albert Wirya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat. “Individu LGBTQ sudah rentan menjadi target serangan dan diskriminasi yang masif dari berbagai kelompok.”

“Jika Wantannas memang serius hendak mengubah fungsinya dari Dewan Ketahanan Nasional ke Dewan Keamanan Nasional, seharusnya lembaga ini turut berkontribusi untuk melindungi hak-hak dasar dari semua orang di Indonesia, tidak terkecuali individu LGBTQ.”

 

Jakarta, 18 November 2024

 

Narahubung: Albert (0859 3967 6720)

[1] Hakim, Syaiful. “Menhan: LGBT Bagian Proxy War.” Antaranews. 23 Februari 2016. Diakses di  http://www.antaranews.com/berita/546668/menhan-lgbt-bagian-proxy-war

[2] Saputra, A. F. Shabrina, D. Nugraha, R. K. (2022). Sampai Kapan Kami Harus Sembunyi? Laporan Situasi Minoritas Gender dan ragam Orientasi Seksual di Indonesia. Jakarta, Consortium CRM.

[3] Cisgender: Seseorang yang identitas gendernya sama dengan identitas gender yang ditetapkan padanya saat dia lahir.

[4] Budi, Candra Setia. “Perjalanan Kasus Pemerkosaan 13 Santri oleh Herry Wirawan, Kronologi hingga Vonis Mati.” Kompas.com. 4 April 2022. Diakses di https://bandung.kompas.com/read/2022/04/04/225025378/perjalanan-kasus-pemerkosaan-13-santri-oleh-herry-wirawan-kronologi-hingga?page=all.

[5] Andrew, Scottie. “What it means to be queer.” CNN.com. 11 Juni 2024. Diakses di https://edition.cnn.com/us/queer-meaning-lgbtq-cec/index.html

[6] Ahn, Ashley. “South Korea has the world’s lowest fertility rate, a struggle with lessons for us all.” Npr.org. 19 Maret 2023. Diakses di https://www.npr.org/2023/03/19/1163341684/south-korea-fertility-rate

Catatan Koalisi Masyarakat Sipil Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) Atas Opsi Pemindahan Narapidana Mary Jane Veloso

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) menyambut usulan transfer of prisoner terhadap penyelesaian kasus terpidana mati Mary Jane Veloso. Langkah penyelesaian diplomatik ini menjadi angin segar atas ketidakpastian kasus yang dihadapi Mary Jane Veloso, kendati sudah jelas statusnya sebagai salah satu korban perekrutan ilegal dan tindak pidana perdagangan orang di Filipina. Namun, JATI memiliki catatan penting yang patut dipertimbangkan atas upaya transfer of prisoner ini.

Pertama, usulan transfer of prisoner bukan hanya memindahkan terpidana ke negara asalnya dan menghabiskan sisa masa hukuman yang telah dijatuhkan pengadilan di Indonesia. Upaya transfer of prisoner ini sepatutnya diawali dengan memperjelas status hukuman terhadap terpidana warga negara asing yang akan dipindahkan dan mempertimbangkan segala keputusan pengadilan yang berkaitan dengan kasus tersebut, tidak hanya terbatas pada putusan pengadilan Indonesia.

Pada kasus Mary Jane Veloso misalnya, jaminan non punishment terhadap korban perdagangan orang, sebagaimana Pasal 18 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, belum pernah diterapkan sama sekali. Maka, mengeluarkan Mary Jane Veloso dari status terpidana dengan pertimbangan hasil putusan pengadilan Filipina yang menyebutnya sebagai korban perdagangan orang menjadi langkah pertama yang harus diambil oleh Pemerintah Indonesia.

Kedua, langkah transfer of prisoner maupun upaya-upaya penyelesaian diplomatik lain seyogianya tidak terbatas hanya pada Mary Jane Veloso. Kesempatan ini juga harus diberikan kepada narapidana warga negara asing lain yang sakit kronis, menjadi korban kejahatan, dan memiliki alasan-alasan kemanusiaan lain untuk dikembalikan ke negara asal. Opsi pemulangan yang luas ini akan memungkinkan Indonesia memiliki posisi tawar untuk meminta warga negara Indonesia berstatus terpidana, terutama bagi mereka yang berstatus terpidana mati, di negara lain untuk dipulangkan ke Indonesia. Mengingat ada banyak warga negara Indonesia yang berstatus terpidana mati di Malaysia dan Kingdom of Saudi Arabia. Pemulangan warga negara Indonesia melalui transfer of prisoners seharusnya juga menjamin akses mereka terhadap hak-hak pengubahan atau pengurangan hukum dalam sistem hukum Indonesia.

Ketiga, terbukanya peluang penyelesaian pidana dengan langkah-langkah diplomasi ini menjadi tonggak penting dalam memperkuat bukti keterkaitan korban perdagangan orang dan kerentanannya terhadap pidana mati, yang satu di antaranya karena menjadi kurir narkotika. Situasi ini tidak hanya menyelamatkan korban perdagangan orang yang dieksploitasi sebagai kurir narkotika dan diposisikan sebagai terdakwa atas suatu tindak pidana, tetapi mempertegas dan memperkuat posisi Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap kelompok-kelompok yang rentan menjadi kurir narkotika, terutama di mata internasional.

Demikian catatan penting yang patut menjadi pertimbangan dalam usulan upaya transfer of prisoner ini. Kami mendesak pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Republik Indonesia, merealisasikan secara serius transfer of prisoners ini dengan pelibatan bermakna Mary Jane Veloso, keluarganya, serta organisasi masyarakat sipil yang relevan.

Narahubung:

  • Kabar Bumi: 0812 8104 5671
  • LBH Masyarakat: 0822 6452 7724

We Are Hiring: Konsultan Video

Saat ini, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) berencana untuk membuat produk pengetahuan berupa video explainer mengenai pasal pidana mati di KUHP Baru, sehingga kami sedang mencari konsultan video seperti berikut ini;

Kualifikasi Konsultan

Kami mencari 1 (satu) konsultan pembuatan video explainer. Adapun kualifikasi konsultan yang kami cari adalah sebagai berikut:

  • Konsultan adalah individu/tim yang menyediakan jasa pembuatan video explainer;
  • Memiliki pengalaman mumpuni dalam memproduksi animation/interview/storytelling/explainer video;
  • Memiliki pengalaman copywriting, penyajian data dalam konten, dan penulisan naskah video, termasuk pembuatan video subtitle (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) dan closed caption;
  • Memiliki pemahaman mengenai hukum, HAM, dan hukuman mati, khususnya dalam konteks Indonesia;
  • Kreatif dan memiliki persepsi audio-visual yang baik;
  • Memiliki pengalaman dalam membuat konten media sosial yang aksesibel.
  • Memiliki kemampuan menggunakan software editing audio, grafis, dan video (Adobe Audition, Adobe Photoshop, Adobe Illustrator, Adobe Premiere Pro, After Effect, Canva, dan software pendukung lainnya);
  • Memiliki manajemen waktu yang baik dan mampu memberikan hasil sesuai dengan timeline;

Cara Pendaftaran

Calon konsultan yang tertarik wajib mengirimkan proposal yang mencakup setidak-tidaknya latar belakang, konsep, timeline, anggaran, portofolio, dan profil calon konsultan yang dikirimkan ke atarigan@lbhmasyarakat.org  paling lambat Kamis, 14 November 2024 pukul 23.59 WIB dengan subjek “Proposal Produk Pengetahuan_Nama Calon Konsultan”.

 Timeline

Pembuatan video explainer ini akan dilakukan kurang lebih selama 2 bulan
terhitung sejak 20 November 2024  sampai 20 Januari 2025. Adapun detail waktunya sebagai berikut:

Waktu

Aktivitas

8 – 14 November 2024

Open Recruitment

20 November 2024 – 20 Januari 2025Produksi Video Explainer
24 Januari 2025

 Produk Final

Administrasi

Fee konsultan untuk pembuatan video explainer ini sebesar Rp60.000.000. Fee tersebut sudah mencakup seluruh kebutuhan yang diperlukan oleh konsultan untuk membuat video explainer, termasuk pajak.

Informasi selengkapnya dapat Sobat Matters lihat melalui ToR di bawah ini;

bit.ly/ToRKonsultanVideoLBHM-PBHI

Hukuman Mati Tidak Melindungi Siapapun Hentikan Pidana Mati dan Hapuskan!

Pernyataan Sikap dalam Peringatan Hari Menentang Hukuman Mati Internasional 9 Oktober 2024

 

Setiap tanggal 10 Oktober, berbagai negara, organisasi, dan advokat di seluruh dunia bersatu dalam solidaritas untuk kembali menegaskan sebuah kebenaran universal bahwa setiap nyawa manusia berharga, dan tidak boleh ada orang yang harus menghadapi eksekusi mati sebagai bentuk penghukuman yang adil. Pada hari ini, kami Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) dan Koalisi untuk Menghapus Hukuman Mati (HATI) yang terdiri dari berbagai kalangan aktivis, advokat, praktisi, tokoh agama, dan komponen masyarakat sipil lainnya turut bersolidaritas dan menyerukan diakhirinya praktik tersebut. Kami mengingatkan pentingnya hak hidup sebagai hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun dan bahwa keadilan seharusnya adalah tentang rehabilitasi dan pemulihan, bukan pembalasan.

Berdasarkan World Coalition Against Death Penalty setidaknya 112 negara telah menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan, 55 negara masih mempertahankan hukuman mati untuk pidana luar biasa, 222 orang dieksekusi mati sepanjang 2023, serta terdapat 41.047 orang berada dalam deret tunggu eksekusi mati. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia yang di dipublikasi di website https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh, per 4 Oktober 2024, setidaknya terdapat 557 terpidana mati dalam deret tunggu, 11 orang di antaranya adalah perempuan.

Pidana mati telah lama menjadi isu yang diperdebatkan, menimbulkan pertanyaan tentang moral, hukum, dan dampak sosialnya. Dalam banyak kasus, hukuman mati secara tidak proporsional menargetkan masyarakat yang terpinggirkan, orang miskin, dan bahkan mereka yang dituduh secara tidak benar dengan melanggar hak mereka atas peradilan yang adil (fair trial). Dampak dari hukuman mati bukan hanya masalah hukum, tetapi juga sangat personal. Kisah-kisah terpidana mati dan keluarga mereka memberikan gambaran yang sangat jelas tentang konsekuensi yang harus ditanggung oleh manusia. Dari tuduhan pengadilan yang tidak adil hingga laporan penderitaan mental yang diderita oleh mereka yang menunggu eksekusi, kisah-kisah ini mengingatkan kita bahwa hukuman mati sejatinya adalah tentang penyiksaan dan penderitaan yang nyata, sehingga penerapan pidana mati tampak sebagai hukuman berlapis.

Banyak kajian telah menunjukkan bahwa hukuman mati tidak secara efektif memberi efek jera dan mencegah kejahatan. Sebaliknya, hukuman mati justru melanggengkan siklus kekerasan dan menutup kemungkinan rehabilitasi dan perbaikan. Hukuman mati tidak membuat Indonesia menjadi lebih aman dan mewujudkan penegakan hukum karena tidak melindungi siapa pun. Hukuman mati tidak membawa pada keadilan, sebaliknya hanya menciptakan lebih banyak korban. Dengan memilih abolisi atau penghapusan hukuman mati, Indonesia dapat mewujudkan sistem peradilan yang adil, manusiawi, dan sejalan dengan kecenderungan global untuk mengakhiri hukuman mati.

Kami juga mengingatkan bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan 2 Januari 2023 (UU No.1 Tahun 2023), pidana mati merupakan pidana alternatif yang pemidanaannya selalu diberikan satu paket dengan masa percobaan 10 tahun untuk dapat dilakukan pengubahan hukuman menjadi seumur hidup. KUHP yang baru juga menetapkan pembentukan mekanisme penilaian terhadap terpidana mati untuk melihat adanya perubahan sikap dan perbuatan yang terpuji sebagai syarat pengubahan pidana mati.

Dorongan untuk menghapuskan hukuman mati juga sejalan dengan tren global dan regional. Malaysia, baru-baru ini telah bergerak untuk menghapus pemidanaan mati wajib (mandatory death sentence) dan membuat kebijakan pemindahan ulang (resentencing) yang bertujuan untuk mengurangi secara drastis jumlah narapidana yang berada pada deret tunggu hukuman mati. Hal ini menandakan adanya sebuah pergeseran di kawasan regional yang tidak boleh diabaikan oleh Indonesia. Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi contoh dan mempromosikan sistem peradilan yang lebih menghargai kehidupan dan martabat kemanusiaan.

Pada Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia ini, kami menyerukan kepada pemerintah, terutama kepada Presiden Joko Widodo sebelum menyelesaikan masa jabatannya pada 20 Oktober 2024 untuk menyelesaikan komutasi massal bagi 557 terpidana mati. Sedangkan bagi Presiden terpilih dan anggota DPR yang baru saja dilantik, serta seluruh masyarakat Indonesia, termasuk Aparat Penegak Hukum (Yudikatif) dan Pemerintah (Eksekutif) untuk mengambil langkah nyata menuju masyarakat yang lebih beradab, manusiawi dan adil, bergabung dengan negara-negara lain untuk mengakhiri bentuk hukuman keji dan tidak dapat dipulihkan ini (irrevisible).

Ini saatnya Indonesia mengambil langkah-langkah yang terukur dan berani untuk menghapuskan hukuman mati.

Untuk itu,kami mendesak pemerintah untuk mengambil langkah konkrit dan terukur untuk menghapuskan hukuman mati, melalui langkah-langkah berikut :

  1. Melakukan moratorium penuntutan pidana mati;
  2. Melakukan moratorium eksekusi pidana mati;
  3. Memastikan dibentuknya mekanisme penilaian untuk pengurangan hukuman mati;
  4. Melakukan asesmen secepatnya terhadap terpidana mati di deret tunggu yang sudah menjalani pidana penjara 10 tahun lebih untuk pengurangan hukuman;
  5. Melakukan pemantauan secara berkala pada tempat-tempat penahanan terpidana mati untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi dan mencegah terjadinya penyiksaan;
  6. Memastikan responsivitas gender dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga penahanan/pemenjaraan sehingga kebutuhan, situasi dan kerentanan khas perempuan dapat diakui dan dipertimbangkan;
  7. Menjamin terpenuhinya Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas sejak dari proses penahanan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai dengan putusan sehingga kebutuhan, hambatan, dan kerentananan Penyandang Disabilitas dalam mendapatkan proses yang setara dan adil diakui dan dipertimbangkan;
  8. Menyelamatkan Warga Negara Indonesia atau buruh migran dari hukuman mati di luar negeri.

Daftar Lembaga dan Individu:

Lembaga

  1. Imparsial
  2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  3. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  4. Reprieve
  5. Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI)
  6. JPIC Divina Providentia
  7. ICJR
  8. Forum Akar Rumput Indonesia (FARI)
  9. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)
  10. Yayasan Suar Perempuan Lingkar Napza Nusantara (SPINN)
  11. Zero Human Trafficking Network (ZHTN)
  12. Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS)
  13. JALA PRT
  14. Marsinah.id
  15. Institut Sarinah
  16. Artsforwomen Indonesia
  17. FSBPI
  18. GMNI
  19. Kidung
  20. KKPPMP KEPRI
  21. YAPESDI
  22. Sikola Mombine, Sulteng
  23. Suluh Perempuan
  24. Perempuan Mahardhika
  25. Migrant CARE
  26. PBHI
  27. IJRS
  28. Beranda Migran
  29. Peduli Buruh Migran
  30. debtWATCH Indonesia
  31. Perkumpulan Pegiat Kesehatan Masyarakat (SAFETY)
  32. PADMA INDONESIA (Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia).
  33. LRC KJHAM
  34. SETARA Institute
  35. Yayasan Inklusif
  36. ELSAM
  37. Komunitas Perempuan Berkisah
  38. Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya)
  39. Yayasan Srikandi Sejati
  40. Pasah Kahanjak
  41. Kolektif Semai
  42. Caritas Indonesia
  43. Jaringan Nasional Anti TPPO (JarNas Anti TPPO)
  44. Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia
  45. Emancipate Indonesia
  46. Human Rights Working Group (HRWG)
  47. Pusat Penelitian HIV (PPH) Unika Atma Jaya
  48. INFID
  49. CENTRA Initiative
  50. Aliansi Demokrasi Untuk Papua (AIDP)
  51. KASBI
  52. Jaringan Buruh Migran (JBM)
  53. Solidaritas Perempuan
  54. Koalisi Perempuan Indonesia
  55. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
  56. Asosiasi LBH APIK Indonesia (APIK)
  57. F-SEDAR
  58. Aliansi Magang, Outsourcing, Kontrak Melawan (AMUK)
  59. Amnesty International Indonesia

 

Individu

  1. Rosma Karlina
  2. Baby V. Nurmaya
  3. Rizki Kurniawan
  4. Bambang Yulistyo Tedjo
  5. Yuyu Marliah Sukabumi
  6. Eva Sundari
  7. Olin Monteiro
  8. Fanda Puspitasari
  9. Syahar Banu
  10. Panca Saktiyani
  11. Ririn Sefsani
  12. Siti Rubaidah
  13. Maria Yohanista Djou
  14. Amelia Efiliana
  15. DessiDesmaniar
  16. Wahyu Susilo
  17. Puspa Yunita
  18. Rully Winata
  19. Dicky Sulaeman, S.H.
  20. Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus (Romo Paschal)
  21. Raditya Budi Setiawan, S.E.
  22. Iwan Misthohizzaman
  23. Arimbi Heroepoetri
  24. Youngster1312
  25. Yuli Riswati
  26. Sr Laurentina SDP
  27. Hery Oktavianus
  28. Dewi Tjakrawinata
  29. Sari Aznur
  30. Halili Hasan
  31. Alimah Fauzan
  32. Kekek Apriana DH
  33. Ditta Wisnu
  34. Erwin Natosmal Oemar
  35. Nabila Tauhida
  36. Jesse Adam Halim
  37. Eric Sindunata
  38. Dike Nomia
  39. Erwin Netosmal Oemar
  40. Dian Kartika Sari
  41. Pera Sopariyanti
  42. Aida Milasari
  43. Yessi Talibo
  44. Savitri Wisnuwardhani
  45. Mike Verawati
  46. Nursyahbani Katjasungkana

Lika Liku Jalan Kesetaraan: Advokasi Dukungan Pengambilan Keputusan oleh Orang dengan Disabilitas Psikososial

Sejak 2020, melalui dukungan Australia Indonesia Partnership for Justice 2, LBHM fokus melakukan berbagai riset seputar pengampuan dan kapasitas hukum orang dengan disabilitas psikososial. Dukungan ini berlanjut dengan kolaborasi bersama Kementerian Hukum dan HAM dan Perhimpunan Jiwa Sehat untuk mewujudkan konsep dan mekanisme Kelompok Kerja Penghormatan, Pelindungan, Pemenuhan, Penegakan, dan Pemajuan Hak Asasi Manusia (Pokja P5HAM).

Cerita berikut (yang didokumentasikan sepanjang Mei – Juni 2024) berupaya memotret perjalanan bersama LBHM dan AIPJ2 bersama para mitra masyarakat sipil dan organisasi penyandang disabilitas serta pemerintah melewati lika liku untuk mewujudkan kesetaraan bagi orang dengan disabilitas psikososial.

LBHM dan AIPJ2 terus membuka diri dengan berbagai persepsi dalam tiap tahap kolaborasi. Kami mengapresiasi setiap narasumber dalam cerita ini yang telah berbagi, yang mengingatkan setiap kita untuk terus menggaungkan prinsip hak asasi dan hak hukum bagi orang dengan disabilitas psikososial. Selamat membaca!

Unduh publikasi tersebut melalui link di bawah ini:

en_USEnglish