Skip to content

The Feasibility of Conducting Research on Attitudes Towards the Death Penalty in Indonesia: Elite and Public Opinions

The past thirty years has seen a revolution in the discourse on and practice of capital punishment around the world. There has been a movement towards abolition and progressive restriction of the death penalty. International law currently allows for \’limited retention\’ for only the \’most serious\’ crimes. However, this concept has been interpreted differently according to national culture, tradition, and political complexion, particularly across Asia where certain drug offences are considered to be among the most serious crimes.

Unsubstantiated assertions are made about the high number of drug-related deaths to justify the punitive criminal justice responses to the use, sale, and trafficking of drugs. A scoping project in Indonesia carried out by The Death Penalty Project (DPP) and the University of Oxford in January 2019 identified three key assumptions behind Southeast Asia\’s \’war on drugs\’:

  • the public is strongly in favour of capital punishment,
  • only death penalty can deter drug offences,
  • and those who are prosecuted and sentenced to death for drug offences are the most dangerous, powerful, and corrupt persons in the drug trade.

However, there are no empirical data to test these assumptions.

This scoping project aimed at tesing one of the three key assumptions used to justify retention of the death penalty: that both elites and the public are strongly in favour of capital punishment and would not tolerate abolition or progressive restriction of its use. Such a study would close gaps in our knowledge and explicate the challenges for Indonesia – and how to best meet them – on the road to abolition.

Download this scoping project here.

Click here for Bahasa Indonesia version.

Kelayakan Melakukan Penelitian mengenai Sikap terhadap Hukuman Mati di Indonesia: Opini Elite dan Publik

Tiga puluh tahun terakhir muncul sebuah gerakan yang mendorong secara progresif penghapusan dan pembatasan hukuman mati. Hukum internasional saat ini memungkinkan \’retensi terbatas\’ hanya untuk kejahatan \’paling serius\’. Namun konsep ini telah ditafsirkan berbeda sesuai budaya nasional, tradisi, dan corak politik khususnya di banyak negara Asia yang menganggap tindak pidana narkotika sebagai salah satu kejahatan paling serius.

Banyak pernyataan tanpa dasar fakta dibuat tentang tingginya jumlah kematian terkait narkotika untuk membenarkan respons peradilan pidana yang punitif terhadap penggunaan, penjualan, dan peredaran narkotika. The Death Penalty Projecy (DPP) dan University of Oxford, pada Januari 2019, mengidentifikasi tiga asumsi utama di balik \’perang melawan narkoba\’ di Asia Tenggara:

  • masyarakat sangat mendukung hukuman mati bagi pelaku tindak pidana narkotika,
  • hanya hukuman mati yang dapat mencegah tindak pidana narkotika,
  • dan mereka yang dituntut dan dihukum mati dengan tindak pidana narkotika adalah orang-orang yang paling berbahaya, kuat, dan korup dalan peredaran narkotika.

Namun, tidak pernah ada data empiris untuk menguji asums-asumsi tersebut.

Oleh karena itu, kami ingin memulai untuk menguji salah satu dari tiga asumsi utama di  atas yang kerap digunakan untuk mempertahankan eksistensi hukuman mati: bahwa baik elite maupun publik sangat mendukung hukuman mati dan tidak akan menoleransi abplisi atau pembatasan penggunaannya secara progresif. Studi seperti itu akan mengisi kesenjangan pengetahuan dan mengurai tantangan bagi Indonesia untuk menuju abolisi dan mengatasi tantangan yang ada.

Silakan cek laporan proyek pelingkupan ini di sini.

Untuk laporan yang sama dalam Bahasa Inggris silakan klik di sini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2019: Ketidakadilan HIV, Krisis yang Belum Usai

Maraknya kesalahpahaman mengenai Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang berkembang di masyarakat melahirkan stigma terhadap HIV dan Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA). Stigma yang diberikan masyarakat ini berdampak buruk pada ODHA, mengingat pelabelan cap buruk umumnya disertai dengan tindakan diskriminatif. Salah satu stigma yang disematkan masyarakat terhadap HIV, yakni dianggap menjadi faktor penghambat pembangunan dan penyebab kesejahteraan menurun.

Pelekatan stigma dan perlakuan diskriminasi yang dilakukan masyarakat terhadap ODHA tersebut mengakibatkan ODHA tidak dapat menikmati hak asasi manusianya secara penuh. Pelanggaran hak atas privasi berupa pemeriksaan HIV tanpa persetujuan pasien menempati posisi teratas dalam pelanggaran hak-hak ODHA. Sulitnya mengakses layanan kesehatan juga menjadi bukti yang kuat ada cedera dalam pemenuhan hak-hak ODHA.

Salah satu contoh diskriminasi pada tahun 2018 terjadi di Provinsi Papua. Para calon atlet yang akan mengikuti kompetisi Pekan Olahraga Nasional 2020 wajib mengikuti serangkaian tes kesehatan yang salah satu indikatornya terbebas dari virus HIV. Hasilnya beberapa calon atlet batal mengikuti kompetisi karena dinyatakan terinfeksi virus HIV. Bentuk diskriminasi lain yang masih sering terjadi adalah penolakan masyarakat untuk memulasara jenazah ODHA. Kesalahpahaman terhadap cara penularan HIV ini membuat masyarakat enggan untuk membantu pemrosesan perawatan jenazah ODHA.

Dilihat dari fakta-fakta ini, pemanusiaan ODHA masih harus menempuh perjalanan panjang. Posisi ODHA sebagai bagian dari kelompok rentan membuatnya sulit untuk menuntut hak-haknya. Terlebih lagi dalam situasi ini pemerintah juga menjadi pelaku diskriminasi ODHA melalui produk hukum. Contohnya seperti yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro yang mewajibkan calon pengantin melakukan tes HIV melalui Perda Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penanggulangan HIV/AIDS.

Kamu dapat mengunduh laporan ini dengan mengunjungi tautan berikut.

Program LIGHTS (Living the Human Rights) 2019

Living the Human Rights (LIGHTS) adalah program pengenalan Hak Asasi Manusia (HAM) secara intensif bagi mahasiswa/i lintas fakultas yang diselenggarakan LBHM. Di LIGHTS perserta  berkesempatan belajar memahami kompleksitas HAM  dan tantangan-tantangan terhadapnya seperti  diskriminasi terhadap orang dengan disabilitas mental, stigma terhadap orang dengan HIV/AIDS, persekusi kelompok minoritas seksual, kriminalisasi pengguna narkotika, ketidakadilan yang dialami terpidana mati, dan lain sebagainya.

Lights akan diselenggarakan di Jakarta, 29 Juli – 9 Agustus 2019.

Bagi calon peserta yang berkuliah dan berdomisili di luar pulau jawa, terdapat beasiswa secara penuh yang meliputi:

  1. Tiket pesawat pulang dan pergi
  2. Akomodasi
  3. Uang saku selama kegiatan LIGHTS berlangsung

Adapun persyaratan bagi calon peserta sebagai berikut:

  1. Mahasiswa Aktif pada Universitas Swasta maupun Negeri
  2. Pendaftaran dibuka untuk semua fakultas
  3. Menyerahkan esai tentang “Minoritas Dalam Terpaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia” (650-800 kata)
  4. Bagi pelamar beasiswa, juga harus menyerahkan esai tentang “Bagaimana Anda Berkontribusi Membantu Kaum Minoritas Setelah Berpartisipasi pada LIGHTS 2019?” (300-500 kataa)
  5. Mengisi formulir pendaftaran yang diunduh pada tautan berikut.

Kirim formulir dan persyaratan ke hikhtiar@lbhmasyarakat.org sebelum Minggu, 30 Juni 2019 pukul 23.59 WIB.

Informasi lebih lanjut, silahkan hubungi Hisyam di 085780492233.

 

Rilis Pers – Keadilan Raib dari Pengadilan!

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menyatakan kekecewaannya terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang pada 24 Mei 2019 lalu. Putusan tersebut dijatuhkan terhadap gugatan yang diajukan Brigadir TT, dan kami selaku kuasa hukumnya, terkait dengan pemecatan TT sebagai anggota Kepolisian Republik Indonesia semata karena orientasi seksual.

Majelis Hakim yang diketuai Panca Yunior Utomo menyatakan gugatan Brigadir TT tidak dapat diterima karena pasca terbitnya Surat Keputusan pemecatan Brigadir TT oleh Kapolda Jawa Tengah, Brigadir TT tidak mengajukan keberatan atas terbitnya surat keputusan pemecatan tersebut. Pertimbangan ini sungguh tidak tepat. Brigadir TT sudah menjalani sidang komisi kode etik profesi baik pada tingkat pertama maupun tingkat banding di internal kepolisian. Dengan kata lain, tak tersisa mekanisme internal apapun lagi bagi Brigadir TT.

Hal ini pun telah diakui sendiri oleh Majelis Hakim pada pertimbangan putusan pada 24 Mei tersebut. Hal ini juga tercermin dalam masa pemeriksaan persiapan, di mana Tergugat (Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah) melalui kuasa hukumnya menyatakan bahwa Surat Keputusan pemberhentian Brigadir TT telah final.

Anehnya, Majelis Hakim dalam putusannya justru menganggap bahwa gugatan kami prematur karena belum menempuh seluruh kemungkinan upaya administratif. Majelis Hakim merujuk pada Pasal 76 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan untuk mengajukan upaya keberatan pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

Menurut hemat kami, pendapat Majelis Hakim ini memiliki beberapa masalah.

Pertama, bahwa berdasarkan Peraturan Kapolri No. 19 Tahun 2012 tidak ada lagi upaya banding atau keberatan yang tersedia di tubuh institusi kepolisian setelah terbitnya surat keputusan PTDH terhadap anggota Polri, yang dikeluarkan pejabat tata usaha negara yang berwenang, dalam hal ini Kapolda Jateng. Dalam kasus ini, Majelis Hakim luput mengindahkan norma yang termaktub di dalam Peraturan tersebut.

Kedua, kami memandang justru Polri yang gagal menginternalisasi keberadaan Pasal 76 Undang-undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ini ke dalam skema penyelesaian masalahnya agar Pasal 76 ini bisa hidup seiring sejalan dengan hukum acara pengadilan tata usaha negara.

Sikap Majelis Hakim dalam putusan ini justru meninbulkan ketidakpastian hukum karena menjadikan nasib klien kami, dan abdi-abdi negara yang lain yang mengalami problem serupa, menjadi menggantung. Di satu sisi, menurut aturan internal dan praktik di instansi Polri ia telah dianggap bukan anggota Polri lagi. Di sisi lain, Majelis Hakim menolak untuk memeriksa perkara ini dengan dalih klien kami belum mengajukan keberatan setelah tidak menjadi anggota Polri lagi.

Sikap Majelis Hakim tersebut jelas tidak bisa diterima nalar karena bagaimana mungkin seseorang yang sudah dianggap bukan anggota Polri lagi bisa dan diterima mengajukan keberatan lagi kepada instansi Polri. Selain itu, jika memang gugatan kami prematur, Majelis Hakim seyogyanya menyatakan hal ini dalam pemeriksaan pendahuluan dan tidak melanjutkan proses persidangan ke pokok perkara.

Sikap inkonsisten juga ditunjukkan oleh Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) karena pada tahap persidangan yang berikutnya, Polda Jateng justru mengajukan eksepsi yang menyatakan bawa gugatan kami prematur. Hal ini tentu saja jauh dari cita-cita Polri yang professional sebagaimana didengungkan oleh Kapolri Tito Karnavian. Bagaimana kita bisa berharap Polri yang mengayomi masyarakat ketika proses penyelesaian masalah dengan anggotanya sendiri tidak dilakukan dengan baik.

Putusan PTUN Semarang ini jelas membawa kerugian, tidak hanya kepada Brigadir TT, tetapi terhadap upaya melawan diskriminasi terhadap seseorang yang memiliki orientasi seksual minoritas di tubuh institusi kepolisian secara khusus dan penyelenggara negara secara umum.

LBHM mengkhawatirkan kecakapan Majelis Hakim dalam perkara klien kami ini. Kami berharap, dalam perkara-perkara semacam ini, Majelis Hakim memiliki keberanian dan menjaga independensinya meski harus berhadapan dengan Kepolisian sebagai sebuah institusi karena ini menyangkut hak asasi manusia.

Menyikapi Putusan PTUN Semarang ini, LBHM sebagai kuasa hukum Brigadir TT akan mengambil langkah-langkah berikut untuk memperjuangkan hak-hak klien kami:

1. Mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atas Putusan PTUN Semarang;

2. Melaporkan dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh Polda Jateng ke Ombudsman Republik Indonesia.

 

 

Jakarta, 26 Mei 2019

Ma’ruf Bajammal – Pengacara Publik LBHM

Seri Monitor dan Dokumentasi 2019: Repetisi Kematian dalam Penjara, Malfungsi Pemasyarakatan

Pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan mempunyai fungsi sebagai suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun, masih adanya sistem pemenjaraan yang menekankan pada balas dendam, dan penjeraan akhirnya membuat sistem pemenjaraan ini tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Padahal, pemidanaan yang berfungsi sebagai usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial, selain tertuang dalam peraturan nasional, juga diakui secara internasional pada pada the United Nation Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (the Nelson Mandela Rules).

Mandat rehabilitasi dan reintegrasi sosial dapat dikatakan adiluhung, tetapi pada saat yang sama masih merupakan utopia untuk praktik sistem pidana yang berlangsung hari ini. Fakta bahwa masih ada banyak masalah di penjara di Indonesia seperti tidak terpenuhinya hak asasi manusia, budaya kekerasan di penjara, dan residivisme menjadikan rasionalitas lahirnya penjara menjadi putus atau diskontinyu dengan praktiknya akibat kontradiksi dan irasionalitas situasi ini. Termasuk salah satu permasalahan yang penting adalah perkara kematian dalam tahanan.

Bagaimana bisa penjara yang di dalam undang-undang mempunyai fungsi sebagai rehabilitasi dan reintegrasi sosial, malah menjadi tempat pemberhentian terakhir bagi tahanan dalam menjalani hidup? Hal ini jelas menjauhkan praktik pemenjaraan dari mandat pemasyarakatan seperti yang disebut di atas. Sekalipun menjalani masa penahanan ataupun penghukuman, seorang tahanan pun masih mempunyai hak-hak dasar sebagai manusia dan wajib dipenuhi. Kematian dalam tahanan menjadi contoh dari pelanggaran hak seorang tahanan, yakni hak hidup.

Dari data yang LBH Masyarakat (LBHM) himpun sepanjang 2018 melalui pantauan media daring, setidaknya terdapat 116 kasus kematian dalam tahanan yang diberitakan oleh media. Penyebab kematian didominasi oleh sakit, kemudian diikuti oleh bunuh diri. Fakta ini mengindikasikan adanya permasalahan kompleks yang saling berkaitan satu sama lain, terutama yang berkaitan dengan hak hidup seorang tahanan. Terlanggarnya hak hidup sendiri saling berkaitan dengan terlanggarnya hak-hak lain, seperti tidak terpenuhinya hak atas kesehatan seorang tahanan (termasuk di dalamnya hak atas sanitasi yang bersih, hak lingkungan yang sehat, dan lain sebagainya). Pertanyaan mengenai “apakah tempat tahanan sudah menghormati hak-hak seorang tahanan?” pun muncul. Sebagaimana mestinya, setiap fasilitas yang dikelola negara haruslah mempunyai standar yang baik dan mendukung pemenuhan hak seorang tahanan, alih-alih abai atau menelantarkannya.

Mengingat penjara memiliki cita-cita yang sangat tinggi seperti menjaga dan menyeimbangkan tatanan sosial masyarakat, maka penanggungjawab atas penjara adalah negara sebagai organisasi dengan sumber daya terbesar, yang diwakilkan oleh Direktorat Jendral Pemasyarakatan (Ditjenpas). Sekalipun kematian bisa terjadi karena tindakan atau kelalaian narapidana sendiri, institusi pemasyarakatan adalah manager yang bertugas untuk menjamin keberadaan penjara dapat memenuhi tujuan awal sebagai media pembinaan, termasuk di antaranya dengan mengatur agar kerusuhan tidak terjadi dan peristiwa bunuh diri bisa terhindarkan.

Demi menelusuri pelbagai permasalahan di atas yang kerap terjadi dari waktu ke waktu, LBHM melakukan monitoring dan dokumentasi media yang dituangkan dalam laporan ini. Pencarian, kodifikasi, dan analisis terhadap pemberitaan media daring menjadi salah satu usaha kami dalam melakukan pemaparan analitis-evaluatif terhadap kondisi sistem pemasyarakatan di Indonesia.

Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan berikut.

Vacancy: Reprieve International South East Asia Junior Fellow

Reprieve is a UK charity founded in 1999 by Clive Stafford Smith. Reprieve uses strategic interventions to end the use of the death penalty globally, and secret prisons and state-sanctioned assassinations in the context of the so-called “war on terror”.

We work for the most disenfranchised people in society, as it is in their cases that human rights are most swiftly jettisoned and the rule of law is cast aside. Thus, we promote and protect the rights of those facing the death penalty and those who are the victims of extreme human rights abuses committed in the context of the so-called “war on terror” (WOT), with a focus on secret prisons and state-sanctioned assassinations.

Underpinning Reprieve’s strategic focus is the notion that countries such as the UK and US hold themselves out as shining examples of democratic societies that respect the rule of law and human rights, and therefore should be held to exacting standards in terms of how they respond to acts or allegations of terrorism and murder. Their responses have ripple effects worldwide, and are frequently used to justify the continuation of the death penalty, extrajudicial killing, torture, rendition and unlawful detention by countries ranging from ‘aspiring exemplars’ to ‘worst offenders’.

Reprieve’s main office is based in London, UK. Reprieve also supports full time Reprieve Fellows, who work as lawyers, investigators and advocates in different countries. Reprieve works with partners in jurisdictions all over the world, including Non-Governmental Organizations (NGOs), government officials, individual lawyers and human rights defenders, as well as individual, corporate and foundation funders.

 

The Role

The South East Asia junior fellow will support the work of the South East Asia Fellow, an experienced human rights activist and campaigner based in Jakarta.

S/he will be a flexible team player with a positive can do attitude and a proactive approach to work. S/he will be comfortable with working on new and emerging areas with limited supervision, and will also be receptive to learning from those around him/her. S/he will maintain the utmost professional standards at all times, and will be willing to muck in on all tasks big and small that support Reprieve’s work against the death penalty in South East Asia.

Main duties:

  • Supporting Reprieve’s South East Asia Team
  • Producing useful materials for advocacy and casework
  • Developing and employing Reprieve’s data bank and research
  • Providing legal support to the South East Asia Team

 

Responsibilities

Support

  • Prepare memorandum, provide support to those drafting reports, briefing papers, and formal correspondence

Producing materials

  • Translation to and from English and Bahasa Indonesia

Data and research

  • Support factual investigation and research on Reprieve cases that may be carried out in partnership with our local partners, including record collection, conducting interviews and family visits when needed and maintaining ongoing contact with those whom we assist and their family members where strategic and appropriate
  • Conducting regular media monitoring and documenting legal/political developments in relation to the death penalty in Indonesia, updating various databases
  • Gathering data and conducting research

Legal support

  • Support Reprieve’s strategic litigation efforts and provide relevant casework and policy content for use in legal documents and findings
  • Conduct legal research and draft legal memos
  • Provide research/technical assistance to casework that Reprieve is jointly undertaking with local partners

To apply this job, please send a copy of your recent C.V. and a covering letter detailing your suitability for the role and why you want to work at Reprieve to raynov@reprieve.org.uk by the deadline above. Please ensure the subject line ‘SEA Junior Fellow’ is used and that attachments are in PDF format. Please send those document before 14 June 2019.

For further information such as key contact; length and salary; and person specification, click this link.

Rilis Pers – Karena Kesewenang-wenangan Harus Dilawan!

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menentang pemecatan yang dilakukan Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) kepada TT yang dilakukan semata karena orientasi seksualnya. LBHM sebagai kuasa hukum TT memandang bahwa pemberitaan serta respon Pemerintah dan parlemen tentang TT mulai melebar dari konteks. Oleh karena itu, LBHM merasa perlu untuk meluruskan beberapa hal.

TT adalah seorang Brigadir Polisi yang bertugas sebagai Banum Subditwisata Ditpamobvit Polda Jateng. Pada 14 Februari 2017, TT, bersama W, ditangkap oleh dan dibawa ke Polres Kudus secara sewenang-wenang atas tuduhan pemerasan terhadap W. Setelah dilakukan pemeriksaan di Polres Kudus, TT terbukti tidak pernah melakukan pemerasan terhadap W.

Meski demikian, TT tetap dipaksa menjalani pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik profesi sebanyak 3 kali yaitu pada 15, 16, dan 23 Februari 2017. Pelanggaran etik yang dituduhkan terhadap TT adalah melakukan hubungan seks, yang menurut Polri, “menyimpang.”

LBHM memandang ada dua hal yang janggal dari proses ini. Yang pertama, pemeriksaan ini tidak didahului oleh sebuah laporan dugaan pelanggaran kode etik. Yang kedua, sekitar satu bulan setelah pemeriksaan tersebut muncul laporan pelanggaran kode etik yang diajukan oleh Bripda Aldila Tiffany T.P. pada tanggal 16 Maret 2017.

TT kemudian tidak pernah mendapatkan informasi apapun mengenai perkembangan kasusnya selama beberapa bulan. Pada 27 Desember 2018, Kapolda Jateng mengeluarkan Surat Keputusan untuk memberhentikan TT sebagai anggota Polri secara tidak hormat (PTDH) karena TT dianggap melakukan hubungan seks “menyimpang.” TT dinilai melanggar Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Pasal 11 huruf c Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kedua pasal ini, pada intinya, berbicara mengenai menjaga citra dan reputasi Polri serta turut menaati atau menghormati norma kesusilaan, agama, kearifan lokal, dan norma hukum.

Maka melalui konferensi pers ini pula, kami membantah pernyataan Juru Bicara Mabes Polri, Dedi Prasetyo, yang menyatakan bahwa TT tidak masuk dinas selama lebih dari 30 hari dan melakukan pelecehan seksual yang menimbulkan korban. Selain bahwa tuduhan-tuduhan itu tidak benar, jelas bahwa selama proses etik di internal kepolisian, hal-hal tersebut tidaklah diangkat dan dijadikan landasan pemeriksaan. Alasan-alasan ini jelas dibuat-buat untuk mendiskreditkan klien kami di mata publik.

Kami juga menyesalkan narasi yang dibangun oleh Mabes Polri dan sejumlah pihak seperti misalnya anggota DPR yang menyatakan bahwa individu LGBT tidak boleh menjadi anggota Polri. Pemikiran ini adalah cara pandang yang usang, tidak berdasar, dan homofobik. Performa seorang anggota Polri seharusnya diukur dari kinerja dan integritasnya, hal-hal yang dengan baik dipegang teguh oleh klien kami.

Selain problem administrasi yang terang benderang, kami juga melihat adanya masalah hak asasi manusia yang mendasar pada kasus ini. Pemberhentian tidak hormat terhadap TT karena orientasi seksualnya adalah wujud pelanggaran hukum dan diskriminasi terhadap orang dengan orientasi seksual minoritas dan telah berdampak pada pengakuan, pengurangan, penikmatan dan penggunakan hak asasi seseorang untuk dapat hidup, bekerja dan bebas dari diskriminasi sebagaimana telah dijamin dalam Konstitusi.

Di kasus ini, Polri dengan nyata-nyata menginjak-injak Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif. Hal ini diperkuat oleh Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 26 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005, serta Pasal 2 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi melalui UU No. 11 Tahun 2005.

Oleh karena itu, di bulan reformasi ini yang seharusnya mengingatkan kita betapa perih kehidupan ketika hak asasi manusia tidak diindahkan, kami meminta kepada:

1) PTUN Semarang dapat melihat masalah administrasi secara jelas yang menimpa klien kami, dan memeriksa dan mengadili perkara ini sejalan dengan jaminan hak asasi yang telah disediakan oleh undang-undang;

2) Kepolisian Republik Indonesia agar segera memulihkan pelanggaran hak yang dialami oleh TT.

Kami akan melanjutkan terus proses hukum sampai klien kami mendapatkan keadilan karena kesewenang-wenangan haruslah dilawan.

 

Jakarta, 20 Mei 2019
Ma’ruf Bajammal – Pengacara Publik LBHM

Dibutuhkan: Staf Keuangan LBHM

LBHM Membutuhkan Staf Keuangan

Semua kerja-kerja LBHM didukung oleh tim yang menakjubkan, salah satunya Tim Operasional. Selama hampir 12 tahun, tim yang terdiri dari Koordinator Operasional, Staf Keuangan, Staf Administrasi, dan Kepala Rumah Tangga, ini memastikan keuangan dan administrasi LBHM, baik keluar maupun ke dalam, berjalan baik. Melalui ini, kami mengajak teman-teman yang memenuhi syarat untuk bergabung bersama LBHM di Tim Operasional dan berkontribusi dalam kerja-kerja hak asasi manusia di Indonesia, sebagai Staf Keuangan.

Adapun spesifikasi yang dibutuhkan sebagai Staf Keuangan LBHM adalah sebagai berikut:

  • Diutamakan Perempuan;
  • Min S1 Jur. Akuntansi / Komputer Akuntansi/ Manajemen
  • Usia max. 28 tahun;
  • Memiliki pengalaman bekerja 1-2 tahun;
  • Jujur, teliti, mempunyai integritas dan loyalitas tinggi terhadap organisasi;
  • Menguasai program M Office (excel, word, dan powerpoint) dan program akuntansi (Zahir, Accurate, MYOB,dll);
  • Memahami perpajakan di Indonesia;
  • Berkomitmen, mau belajar, dan mampu bekerja dalam tim dan/atau individu, serta dapat bekerja dalam tekanan dengan supervisi yang minim;
  • Mempunyai kemampuan berkomunikasi dan presentasi yang baik;
  • Memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang memadai.

 

Deskripsi Pekerjaan:

  1. Bekerjasama dan mendukung kerja-kerja tim penanganan kasus, tim program/advokasi, tim komunikasi dan tim penggalangan dana publik, dalam menjalankan pengelolaan keuangan;
  2. Menyusun laporan keuangan bulanan dan tahunan serta laporan pajak bulanan maupun tahunan sesuai dengan Standar Akuntansi yang berlaku;
  3. Menyampaikan laporan keuangan dan pajak kepada Koordinator Operasional/Direktur secara rutin dan tepat waktu setiap bulannya.
  4. Memasukkan laporan pajak ke Direktorat Jenderal Pajak di wilayah hukum organisasi berdomisili secara rutin dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  5. Menyiapkan segala informasi yang diperlukan untuk kepentingan audit organisasi tahunan.
  6. Mendokumentasikan dan mengelola pencatatan transaksi keuangan organisasi.
  7. Menjalankan sistem keuangan dan akuntansi secara transparan dan akuntabel;
  8. Memberi nasihat kepada Direktur dan Koordinator sehubungan dengan pengelolaan keuangan dan pajak organisasi secara umum;
  9. Bersama Koordinator Operasional dan Direktur, membantu menyiapkan dan menyusun anggaran dan laporan keuangan tahunan organisasi;
  10. Bersama Koordinator Program, membantu menyiapkan dan menyusun anggaran dan laporan keuangan program dan/atau proyek organisasi untuk keperluan aplikasi pendanaan (funding applications);
  11. Melapor ke Direktur dalam hal terjadi anomali atau ketidaklaziman maupun potensi kerugian keuangan organisasi;
  12. Menjalankan manajemen keuangan dan akuntansi organisasi dalam hal mencegah dan/atau meminimalisir potensi kerugian keuangan organisasi;
  13. Menyusun prosedur yang dianggap perlu untuk mengefektifkan manajemen keuangan dan akuntansi organisasi maupun termasuk untuk memaksimalkan pendapatan jika perlu;
  14. Memantau fungsi administrasi keuangan organisasi termasuk administrasi SDM dan administrasi kantor yang berkenaan dengan aspek-aspek keuangan dan akuntansi;
  15. Menyediakan dukungan horizontal yang diperlukan kepada staf lain di LBH Masyarakat dalam semangat untuk mendukung kelancaran kerja organisasi.

 

Bagi kamu yang merasa tertantang menyanggupi pekerjaan di atas dan tertarik menjadi salah satu anggota tim yang signifikan di LBHM, silahkan kirim: (1) Surat Lamaran, dan (2) Curriculum Vitae (CV) terbaru dan email ke ke abadar@lbhmasyarakat.org dengan subyek email: Aplikasi SA_nama kamu.

 

Aplikasi ditunggu paling lambat Jumat, 16 Agustus 2019 pukul 23.59 WIB.

 

Ada Keadilan pada Nasi Padang

Siang Itu.

Jakarta sedang panas-panasnya. Dan saya, seperti banyak orang lain, disibukkan dengan pekerjaan. Saya harus pergi menemui seseorang untuk diwawancara. Bersama seorang pengendara transportasi online, saya lawan terik dan berangkat ke utara.

Kami berjanji untuk bertemu di sebuah motel di Penjaringan. Saat tiba, saya disambut hangat sesosok pria bertopi dengan polo lusuh berwarna oranye. Umurnya kurang lebih 50 tahun. Namanya Suherman. Di dekat motel, kami menemukan sebuah sudut yang cukup nyaman dan tidak terlalu bising. Ditemani dua gelas kopi panas dari penjual kopi keliling, kami pun mulai berbincang.

Dicuri, Dicari.

Pak Suherman sehari-hari bekerja sebagai tukang las karbit di depan motel itu. Dulu, ia adalah seorang karyawan – juga sebagai tukang las – di sebuah pangkalan taksi di Latumenten, Jakarta Barat. Suatu hari, ia dan teman-temannya diberhentikan tanpa alasan yang jelas. Hal yang tentu menyakitkan bagi Pak Suherman mengingat ia sudah bekerja belasan tahun di sana. Pemecatan tanpa dasar ini yang mendorongnya mencari keadilan bagi dirinya dan teman-temannya yang mengalami nasib yang sama.

His Survival Kit (Foto oleh Tengku Raka)

Ia tiup kopinya yang beruap, menyeruputnya perlahan, lalu mulai menceritakan kronologis pemecatan itu. “Jadi waktu itu, tempat saya bekerja sedang kebanjiran yang tingginya tuh setengah meter, Mas,” terangnya. “Walaupun banjir, saya tetap masuk. Walaupun udah ujan-ujanan dan kebanjiran, saya mesti perbaikin mobil. Pas udah jam istirahat, saya berusaha minta uang makan ke bos. Saya malah dimarahi. Saya dan teman-teman diusir dari ruangan bos. Besoknya, saya malah diberhentikan tanpa alasan.” Ia sudah merasa ada iktikad dari atasannya untuk memberhentikan dirinya, “Uang gaji saya sering dikurangin, Mas. Sama sering ga dapet uang makan juga. Ya, saya sabarin aja. Yang penting, dapur saya bisa ngebul.”

Apa yang menimpa Pak Suherman ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas pekerjaan. Mulai 2005, hal ini diproses secara hukum. Kuasa hukum Pak Suherman maju ke Panitia Penyelesaian Permasalahan Perburuhan Daerah Provinsi DKI Jakarta (P4D). Kasus ini pun terus berlanjut hingga inkracht di Mahkamah Agung (MA): ganti rugi materiil senilai 27 juta rupiah untuk Pak Suherman. Putusan adalah satu hal, implementasinya adalah hal lain. Sepanjang 2010, sudah dua kali eksekusi diupayakan namun selalu menemui kegagalan. “Padahal Mas, kata orang pengadilan tinggal eksekusi aja. Saya bingung, kok ga bisa dieksekusi juga.” Sudah tiga kali Pak Suherman berganti kuasa hukum dan semuanya menemui kegagalan yang sama, “Saya sempat mikir, apa benar ya hukum bisa dibeli?”

Kegagalan-kegagalan itu tidak membuatnya patah semangat. Tahun 2015, ia datang ke Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dengan sepeda tuanya – alat transportasinya sehari-hari. Ia kemudian mempercayakan sepenuhnya kasus ini ke LBHM. Namun demikian, Pak Suherman tetap harus menemui jalan berliku. Mulai dari melayangkan surat ke Peradilan Hubungan Industrial (PHI) terkait informasi perkembangan kasus beliau dan juga melayangkan surat ke pemilik perusahaan yang berakhir pada tidak adanya respon dari kedua belah pihak. Di 2016, aduan juga dilayangkan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Pada 2017, tiga somasi disampaikan kepada pemilik perusahaan namun tidak ada respon sama sekali. Belum lagi dugaan hilangnya berkas perkara milik Pak Suherman. “Saya biarin ajalah bergulir. Ingin tahu bisa sampai mana.” 2018 kemarin menjawab penantiannya. Ahli waris tergugat akhirnya menyanggupi putusan MA, yang jatuh pada 2008, untuk memenuhi hak Pak Suherman yang telah tertunda tiga belas tahun lamanya.

Sama Saja Seharusnya.

Deru mesin dan klakson kendaraan menemani percakapan kami. Langit mulai mendung. Saya nyalakan sebatang rokok dan bertanya tentang apa saja yang sudah ia korbankan untuk ini. “Ngambil uang pesangon ini aja cukup banyak penderitaan yang saya alami, Mas. Banyak liku-likunya. Pernah waktu itu saya pulang dari pengadilan, di kolong tol saya ditabrak mobil. Sepeda saya hancur. Untungnya, saya tidak apa-apa.” Pada masa memperjuangkan haknya ini, Pak Suherman juga ditinggal sang istri yang meninggal dunia tujuh tahun lalu karena penyakit angin duduk (angina). Ia kemudian harus berjuang sendiri mengurus keluarganya. “Saya sekarang tinggal sama anak saya yang pertama (Pak Suherman memiliki lima anak – Red.). Sisanya, udah berkeluarga sama udah ada yang ngontrak rumah,” pungkasnya. Anak pertama Pak Suherman sering sekali sakit sehingga tak bisa ia tinggal lama. Ia juga bercerita bahwa ia pernah mengalami serangan jantung dan harus dirawat di rumah sakit.

“Ya Mas, hidup saya gini-gini aja. Pekerjaan saya sekarang cuman jadi tukang las karbit, kadang-kadang juga jadi tukang rongsok. Penghasilan juga paling banter cuman sembilan puluh ribu, kadang juga ga dapat sama sekali, Mas,” ungkapnya. Selama ia menawarkan jasanya di depan motel, ia sering ‘diganggu’ Satpol PP. “Untungnya, yang punya motel baik. Saya dibolehi mangkal di sini asal ga buka tenda. Si adek pemilik kadang suka ngasih uang juga ke saya Mas kalo lagi main ke sini.”

Kami pun berpindah ke sebuah tempat loakan yang tak jauh dari sana. Tempat itu penuh dengan gerobak dan barang-barang rongsokan. “Nah, ini Mas tempat nongkrong saya,” jelasnya. “Di sini mah udah kayak rumah saya, Mas. Kadang saya tidur di sini, mandi di sini juga,” katanya sambil tertawa.

Everybody Needs A Break & A Friend (Foto oleh Tengku Raka)

“Mas, saya bersyukur ya sama lawyer dan LBHM yang udah bantuin saya sampai berhasil mendapatkan hak saya. Selama ini, saya masih suka berpikir hukum di Indonesia kan cuman punya orang kaya aja. Saya mikir lagi: apakah ada keadilan untuk orang-orang miskin seperti saya ini ya, Mas?” Saya hanya bisa berkata, “Keadilan itu milik semua orang, Pak.” Semestinya.

Dan siang itu, Pak Suherman mengajak saya makan nasi padang di seberang motel. Sambil tersenyum, ia bilang, “Walaupun orang kaya dan orang miskin beda, tapi tetep kalo laper kita harus makan juga kan, Mas?”

Betul juga.

Penulis: Tengku Raka

Editor: Yohan Misero

en_USEnglish