Skip to content

Eksekusi Mati IV: Menukar Nyawa dengan Suara

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam keras pernyataan Jaksa Agung RI Muhammad Prasetyo yang mengatakan bahwa Kejaksaan Agung telah mengantungi sejumlah nama terpidana mati untuk dieksekusi dan bahwa eksekusi jilid IV akan digelar, sekalipun waktu pastinya belum bisa ditentukan. Pernyataan itu disampaikan oleh Jaksa Agung hari Jumat, 19 Mei 2017, di hadapan kawan-kawan media. Lebih lanjut Prasetyo menyatakan bahwa Kejaksaan Agung akan meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) perihal pembatasan waktu pengajuan grasi.

“Pernyataan Jaksa Agung tersebut tidak ubahnya sebuah manuver politik untuk mencari popularitas di tengah miskinnya prestasi Kejaksaan Agung. Di saat politik hukum Pemerintah mengarah ke pembatasan keberlakuan hukuman mati seperti tercermin dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) maupun pernyataan Presiden Joko Widodo di beberapa kesempatan terakhir, pernyataan Jaksa Agung itu justru bertolak belakang dengan gestur Presiden sebagai atasannya maupun dengan Menteri Hukum dan HAM,” ujar Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat.

Ricky melanjutkan, “setidaknya ada dua hal yang Jaksa Agung bisa prioritaskan daripada meneruskan praktik eksekusi mati yang terbukti tidak menurunkan angka kejahatan narkotika. Pertama, mengevaluasi eksekusi jilid III kemarin yang carut-marut penuh dengan permasalahan. Melanjutkan gelombang eksekusi padahal eksekusi terakhir menyisakan banyak pertanyaan menunjukkan bahwa Kejaksaan Agung tidak pernah belajar dari kesalahan dan berpotensi mengulang pelanggaran yang sama. Kedua, Jaksa Agung sebaiknya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi hutang kampanye Jokowi sebagaimana tercantum di dalam Nawacita.”

Sehubungan dengan rencana Kejaksaan Agung meminta pendapat MA terkait dengan pembatasan waktu grasi padahal Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan bahwa grasi tidak dibatasi oleh waktu, Ricky menegaskan bahwa, “Jaksa Agung melakukan kesalahan dengan meminta fatwa MA terkait putusan MK. Tidaklah pada tempatnya Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa atas putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Hal ini bukan saja memperlihatkan ketidakpahaman Jaksa Agung yang fatal mengenai sistem hukum Indonesia tetapi juga Jaksa Agung telah mengangkangi kewibawaan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi.”

Ricky juga mengingatkan bahwa, “Indonesia baru saja selesai diperiksa di Dewan HAM PBB melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR), dan persoalan hukuman mati mendapat banyak sorotan dan catatan buruk dari banyak negara. Tindakan Jaksa Agung yang hendak meneruskan eksekusi mati hanya akan melanggengkan citra buruk Indonesia di hadapan komunitas internasional. Pada UPR kemarin, 28 negara memberikan rekomendasi moratorium dan abolisi. Jumlah ini meningkat sembilan kali lipat dari UPR sebelumnya di tahun 2012, di mana hanya ada 3 negara yang memberikan rekomendasi serupa.”

“Di tengah goyahnya pemerintahan Jokowi ditempa berbagai permasalahan kebangsaan, dari meningkatnya sentimen intoleran hingga belum terungkapnya serangan terhadap Novel Baswedan, janganlah Jaksa Agung menggunakan eksekusi mati sebagai langkah populis untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu tersebut. Di saat sistem hukum Indonesia penuh dengan kebobrokan, akan selalu ada orang-orang yang tidak bersalah divonis mati atau mengalami proses hukum yang cacat, sebagaimana ditunjukkan di tiga gelombang eksekusi terakhir,” tambah Ricky.

Dipilihnya terpidana mati narkotika sebagai orang-orang yang akan dieksekusi Kejaksaan Agung di eksekusi jilid IV kembali memperlihatkan kebebalan pemerintah dalam mengatasi persoalan narkotika. Berdasarkan catatan LBH Masyarakat, sepanjang 2016, setidaknya terdapat 120 artikel berita yang melaporkan peristiwa pengendalian narkotika dari dalam lapas, dan 729 artikel berita mengenai penggrebekan peredaran narkotika dalam skala besar, di mana terdapat lebih dari 4.200 kg shabu dan 5.700 kg ganja disita oleh aparat. “Tidakkah cukup kasat mata bahwa eksekusi mati gagal mengatasi kejahatan narkotika? Apa lagi yang dicari Pemerintah dengan meneruskan eksekusi ketika tujuan dilakukannya eksekusi itu tidak tercapai? Pemerintah harus segera menghentikan rencana eksekusi jilid IV dan menerapkan moratorium, serta mengkaji kembali kasus-kasus hukuman mati dengan tujuan perubahan hukuman. Secara khusus, Presiden Jokowi perlu segera mencopot Prasetyo dari jabatan Jaksa Agung karena kinerjanya yang buruk dan telah melakukan sejumlah kesalahan hukum,” jelas Ricky.

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Adiksi pada Strategi yang Wanprestasi

Perang bukanlah kata yang manis. Ia hadir dengan beragam implikasi. Walau Indonesia kini hidup di zaman damai, bukan berarti tidak ada lagi perang di negeri ini, setidaknya menurut pemerintah. Sebuah perang yang saat ini dihadapi oleh pemerintah adalah perang terhadap narkotika, sebuah jargon yang kerap kali digunakan untuk meningkatkan sentimen negatif masyarakat terhadap narkotika dan penggunaannya.

Dalam perang ini, salah satu alat yang paling penting adalah kebijakan. Setelah seruan perang terhadap narkotika yang diserukan oleh Presiden Joko Widodo di awal periode ia menduduki kursi kepresidenan, penegak hukum kemudian makin memasifkan duapendekatan guna merespon situasi perang ini. Sayangnya, kedua respon ini, yaitu pemenjaraan dan hukuman mati, sejauh ini belum memperlihatkan hasil signifikan terhadap perbaikan situasi. LBH Masyarakat, dengan tahun-tahun pengalamannya dalam menangani kasus narkotika, memandang upaya perang terhadap narkotika ini sebagai sesuatu yang usang.

Upaya ini telah dicoba berbagai negara, bahkan dilengkapi dengan tiga kovenan internasional yang khusus mengatur mengenai narkotika. Namun semua ini belum berhasil mengentaskan perdagangan gelap narkotika. Selayaknya perang-perang lainnya, perang terhadap narkotika juga dilengkapi dengan sebaran propaganda. Propaganda tersebut didatangkan langsung ke telepon genggam kita dalam wujud berita dalam jaringan (daring). LBH Masyarakat mencoba melakukan monitoring dan dokumentasi media daring terhadap dua isu terkait dengan narkotika.

Isu pertama mengenai penangkapan skala besar (yang untuk selanjutnya kami sebut sebagai PSB), dan isu kedua mengenai pengendalian narkotika dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (yang untuk selanjutnya kami sebut sebagai PDL). Pemilihan kedua isu ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa pemantauan media terhadap kedua isu ini dapat menunjukkan tingkat efektivitas dari kedua pendekatan keras yang diambil pemerintah, serta elemen-elemen lain yang menarik yang terlibat dalam upaya penegakan hukum tersebut.

Kami berharap hasil pemantauan ini dapat bermanfaat dalam proses dialog menuju perubahan kebijakan narkotika yang lebih baik. Kami pun sepakat bahwa peredaran gelap narkotika perlu negara atasi. Tetapi, kebijakan narkotika – sama halnya seperti kebijakan negara lainnya – haruslah menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia, serta berbasis bukti.

Teman-teman dapat mengunduh laporannya di tautan berikut.

Brief Observation on Indonesia\’s Death Penalty in the 3rd UN Universial Periodic Review (UPR), May 2017

 

Brief Observation on Indonesia’s Death Penalty in the 3rd UN Universal Periodic Review (UPR), May 2017

 

LBH Masyarakat is of the view that the 3rd Universal Periodic Review (UPR) for Indonesia, took place on Wednesday, 3 May 2017, went in a constructive manner. Both Indonesia – as a state under review – and the reviewing states valued the engaging process and highlighted the needs for positive cooperation. LBH Masyarakat notes that a number of human rights issues have been adequately explored during the session, such as the rights of women and children. However, there are some other important issues that have not been substantively dealt, if not ignored, such as the protection of LGBT persons.

 

LBH Masyarakat appreciates the level of attention given by the reviewing states on the issue of the death penalty. We note that at least 28 of 107 recommending states (25%) provided recommendations on the death penalty.

 

In general, those recommendations are for Indonesia to reinstate moratorium with a view to abolish the death penalty for all crimes. However, there are exceptional cases where certain states made specific recommendations. For example, Australia recommended Indonesia to “enhance safeguards on the use of the death penalty”, which includes “adequate and early access to legal representation” for people facing the death penalty, “non-application of the death penalty for those with mental illness”, and revise the Criminal Code to in line with the international human rights standards. Meanwhile, Belgium recommended Indonesia “to establish an independent and impartial body to conduct a review of all cases of persons sentenced to death with a view to commuting the death sentences and at least ensuring fair trials that fully compliant with international standards.”

 

The number of recommendations on the death penalty provided in this cycle has increased nine times from the previous second UPR cycle in 2008, where Indonesia had received recommendations from three states.

 

The fact that there is at least a quarter of reviewing states put forward recommendations on moratorium of the death penalty or executions indicates the gravity of the issue. However, we deplore Indonesia’s minor responses to that matter.

 

Indonesia, as predicted, maintained the use of faulty stats of drug-related deaths and moral rhetoric to justify the barbaric act of the death penalty. It repeated the incorrect statistics of 40 people died everyday because of drugs, of which Indonesia’s and international leading academics have criticized. The continued use of this faulty figures demonstrates that Indonesia lacks of commitment in an evidence-based policy making as well as does not take note the importance of rights-based drug policy in tackling its drugs problem. Conversely, Indonesia promotes the use of mandatory of drug treatment that infringes the right to health.

 

Further, Indonesia argues that execution has been carried out in a manner that protects human rights, particularly the right to fair trial. Indonesia took pride by saying that when execution was implemented, it has passed strict legal procedures. However, precisely because Indonesia’s legal system is corrupted, it is inherently part of the problem and thereby cannot be argued that Indonesia has robust justice system. In three rounds of executions under Jokowi’s administration, there were serious questions on the absence of safeguard mechanisms. Eighteen individuals who were executed in three batch of executions had unfair trials, including Zainal Abidin, whose case was fabricated; Rodrigo Gularte, who had paranoid schizophrenia and bipolar disorder; and, Humphrey Ejike, an innocent person who had pending clemency decision when was executed.

 

In light of the above, LBH Masyarakat urges the Indonesian government to redeem its poor performance in the 3rd UPR working group session, by accepting 28 recommendations related with the death penalty.

 

Indonesia must establish de jure moratorium with a view to abolish the death penalty. While moratorium is in place, Indonesia must establish an independent body to review all death penalty cases, commute all death row prisoners, and immediately revise its Criminal Code to reflect international human rights standards.

 

Contact persons:

Ajeng Larasati in Geneva +62 812 1276 1876

Ricky Gunawan in Jakarta +62 812 10 677 657

Brief Observation on Indonesia\’s Death Penalty in the 3rd UN Universial Periodic Review (UPR), May 2017

 

Brief Observation on Indonesia’s Death Penalty in the 3rd UN Universal Periodic Review (UPR), May 2017

 

LBH Masyarakat is of the view that the 3rd Universal Periodic Review (UPR) for Indonesia, took place on Wednesday, 3 May 2017, went in a constructive manner. Both Indonesia – as a state under review – and the reviewing states valued the engaging process and highlighted the needs for positive cooperation. LBH Masyarakat notes that a number of human rights issues have been adequately explored during the session, such as the rights of women and children. However, there are some other important issues that have not been substantively dealt, if not ignored, such as the protection of LGBT persons.

 

LBH Masyarakat appreciates the level of attention given by the reviewing states on the issue of the death penalty. We note that at least 28 of 107 recommending states (25%) provided recommendations on the death penalty.

 

In general, those recommendations are for Indonesia to reinstate moratorium with a view to abolish the death penalty for all crimes. However, there are exceptional cases where certain states made specific recommendations. For example, Australia recommended Indonesia to “enhance safeguards on the use of the death penalty”, which includes “adequate and early access to legal representation” for people facing the death penalty, “non-application of the death penalty for those with mental illness”, and revise the Criminal Code to in line with the international human rights standards. Meanwhile, Belgium recommended Indonesia “to establish an independent and impartial body to conduct a review of all cases of persons sentenced to death with a view to commuting the death sentences and at least ensuring fair trials that fully compliant with international standards.”

 

The number of recommendations on the death penalty provided in this cycle has increased nine times from the previous second UPR cycle in 2008, where Indonesia had received recommendations from three states.

 

The fact that there is at least a quarter of reviewing states put forward recommendations on moratorium of the death penalty or executions indicates the gravity of the issue. However, we deplore Indonesia’s minor responses to that matter.

 

Indonesia, as predicted, maintained the use of faulty stats of drug-related deaths and moral rhetoric to justify the barbaric act of the death penalty. It repeated the incorrect statistics of 40 people died everyday because of drugs, of which Indonesia’s and international leading academics have criticized. The continued use of this faulty figures demonstrates that Indonesia lacks of commitment in an evidence-based policy making as well as does not take note the importance of rights-based drug policy in tackling its drugs problem. Conversely, Indonesia promotes the use of mandatory of drug treatment that infringes the right to health.

 

Further, Indonesia argues that execution has been carried out in a manner that protects human rights, particularly the right to fair trial. Indonesia took pride by saying that when execution was implemented, it has passed strict legal procedures. However, precisely because Indonesia’s legal system is corrupted, it is inherently part of the problem and thereby cannot be argued that Indonesia has robust justice system. In three rounds of executions under Jokowi’s administration, there were serious questions on the absence of safeguard mechanisms. Eighteen individuals who were executed in three batch of executions had unfair trials, including Zainal Abidin, whose case was fabricated; Rodrigo Gularte, who had paranoid schizophrenia and bipolar disorder; and, Humphrey Ejike, an innocent person who had pending clemency decision when was executed.

 

In light of the above, LBH Masyarakat urges the Indonesian government to redeem its poor performance in the 3rd UPR working group session, by accepting 28 recommendations related with the death penalty.

 

Indonesia must establish de jure moratorium with a view to abolish the death penalty. While moratorium is in place, Indonesia must establish an independent body to review all death penalty cases, commute all death row prisoners, and immediately revise its Criminal Code to reflect international human rights standards.

 

Contact persons:

Ajeng Larasati in Geneva +62 812 1276 1876

Ricky Gunawan in Jakarta +62 812 10 677 657

Brief Observation on Indonesia\’s Death Penalty in the 3rd UN Universial Periodic Review (UPR), May 2017

 

Brief Observation on Indonesia’s Death Penalty in the 3rd UN Universal Periodic Review (UPR), May 2017

 

LBH Masyarakat is of the view that the 3rd Universal Periodic Review (UPR) for Indonesia, took place on Wednesday, 3 May 2017, went in a constructive manner. Both Indonesia – as a state under review – and the reviewing states valued the engaging process and highlighted the needs for positive cooperation. LBH Masyarakat notes that a number of human rights issues have been adequately explored during the session, such as the rights of women and children. However, there are some other important issues that have not been substantively dealt, if not ignored, such as the protection of LGBT persons.

 

LBH Masyarakat appreciates the level of attention given by the reviewing states on the issue of the death penalty. We note that at least 28 of 107 recommending states (25%) provided recommendations on the death penalty.

 

In general, those recommendations are for Indonesia to reinstate moratorium with a view to abolish the death penalty for all crimes. However, there are exceptional cases where certain states made specific recommendations. For example, Australia recommended Indonesia to “enhance safeguards on the use of the death penalty”, which includes “adequate and early access to legal representation” for people facing the death penalty, “non-application of the death penalty for those with mental illness”, and revise the Criminal Code to in line with the international human rights standards. Meanwhile, Belgium recommended Indonesia “to establish an independent and impartial body to conduct a review of all cases of persons sentenced to death with a view to commuting the death sentences and at least ensuring fair trials that fully compliant with international standards.”

 

The number of recommendations on the death penalty provided in this cycle has increased nine times from the previous second UPR cycle in 2008, where Indonesia had received recommendations from three states.

 

The fact that there is at least a quarter of reviewing states put forward recommendations on moratorium of the death penalty or executions indicates the gravity of the issue. However, we deplore Indonesia’s minor responses to that matter.

 

Indonesia, as predicted, maintained the use of faulty stats of drug-related deaths and moral rhetoric to justify the barbaric act of the death penalty. It repeated the incorrect statistics of 40 people died everyday because of drugs, of which Indonesia’s and international leading academics have criticized. The continued use of this faulty figures demonstrates that Indonesia lacks of commitment in an evidence-based policy making as well as does not take note the importance of rights-based drug policy in tackling its drugs problem. Conversely, Indonesia promotes the use of mandatory of drug treatment that infringes the right to health.

 

Further, Indonesia argues that execution has been carried out in a manner that protects human rights, particularly the right to fair trial. Indonesia took pride by saying that when execution was implemented, it has passed strict legal procedures. However, precisely because Indonesia’s legal system is corrupted, it is inherently part of the problem and thereby cannot be argued that Indonesia has robust justice system. In three rounds of executions under Jokowi’s administration, there were serious questions on the absence of safeguard mechanisms. Eighteen individuals who were executed in three batch of executions had unfair trials, including Zainal Abidin, whose case was fabricated; Rodrigo Gularte, who had paranoid schizophrenia and bipolar disorder; and, Humphrey Ejike, an innocent person who had pending clemency decision when was executed.

 

In light of the above, LBH Masyarakat urges the Indonesian government to redeem its poor performance in the 3rd UPR working group session, by accepting 28 recommendations related with the death penalty.

 

Indonesia must establish de jure moratorium with a view to abolish the death penalty. While moratorium is in place, Indonesia must establish an independent body to review all death penalty cases, commute all death row prisoners, and immediately revise its Criminal Code to reflect international human rights standards.

 

Contact persons:

Ajeng Larasati in Geneva +62 812 1276 1876

Ricky Gunawan in Jakarta +62 812 10 677 657

Evaluasi Situasi HAM Indonesia di Universal Periodic Review (UPR) yang ke-3: 28 Negara Merekomendasikan Moratorium Hukuman Mati.

Indonesia, seperti negara anggota PBB yang lain, menjalani evaluasi HAM secara berkala di Dewan HAM PBB. PBB sendiri memiliki beberapa mekanisme untuk memeriksa komitmen negara pada hak asasi manusia. Salah satunya ialah  melalui Universal Periodic Review (UPR). Melalui UPR ini, Indonesia diuji ketaatan dan pemenuhannya terhadap hak asasi manusia oleh komunitas internasional. UPR kali ini berlangsung pada 3 Mei 2017 di Jenewa. Sebelumnya, Indonesia sudah pernah melalui 2 UPR yakni pada tahun 2008 dan 2012.

Kordinator Program LBH Masyarakat, Ajeng Larasati, hadir mewakili elemen masyarakat sipil untuk memberikan laporan pada proses UPR ini.

Catatan LBH Masyarakat terkait Situasi Hukuman Mati Indonesia di Universal Periodic Review (UPR) yang ke-3, Mei 2017

LBH Masyarakat berpendapat bahwa pelaksanaan UPR yang ketiga terhadap Indonesia, yang berlangsung pada 3 Mei 2017, berjalan dengan baik dan konstruktif. Baik Indonesia, maupun negara yang melakukan penilaian terhadap Indonesia, saling menghargai proses yang berlangsung dan mengedepankan pentingnya kooperasi yang positif. LBH Masyarakat mencatat bahwa sejumlah isu hak asasi manusia telah diangkat dan dibahas dengan mencukupi sepanjang sesi, seperti misalnya isu mengenai hak perempuan dan anak. Namun demikian, masih terdapat beberapa isu hak asasi manusia penting yang tidak secara substansial ditanggapi, atau bahkan cenderung diabaikan, seperti misalnya perlindungan terhadap hak-hak LGBT.

LBH Masyarakat mengapresiasi tingkat perhatian yang tinggi yang diberikan terhadap isu hukuman mati. Berdasarkan catatan kami, ada setidaknya 28 dari 107 (25%) negara yang memberikan rekomendasi terkait dengan hukuman mati.

Secara umum, rekomendasi tersebut berisi anjuran bagi Indonesia untuk segera memberlakukan kembali moratorium hukuman mati bagi semua tindak pidana. Tetapi beberapa rekomendasi dibuat secara lebih spesifik. Australia, misalnya, merekomendasikan Indonesia untuk ‘meningkatkan pedoman pengamanan dalam penggunaan hukuman mati’, yang termasuk di antaranya dengan memastikan ‘akses terhadap bantuan hukum yang berkualitas sejak dini’ bagi orang yang menghadapi hukuman mati, ‘penghapusan hukuman mati bagi orang dengan gangguan kejiwaan’, dan merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sesuai dengan standar hak asasi manusia international. Selain itu, Belgia merekomendasikan Indonesia untuk ‘membentuk badan yang independen dan imparsial untuk meninjau seluruh kasus hukuman mati dengan tujuan menghapus hukuman mati dan/atau setidaknya memastikan tersedianya pemenuhan hak atas peradilan yang adil dan jujur yang sesuai dengan standar internasional.’

Jumlah rekomendasi terkait hukuman mati yang diberikan pada putaran ketiga ini meningkat sembilan kali dari UPR putaran sebelumnya di 2008, di mana Indonesia hanya mendapatkan rekomendasi dari tiga negara.

Fakta bahwa ada setidaknya seperempat negara yang memberikan rekomendasi terkait dengan moratorium hukuman mati atau eksekusi hukuman mati mengindikasikan tingkat keseriusan dari isu ini. Namun demikian, kami menyayangkan buruknya respon Indonesia terhadap hal tersebut.

Indonesia, sebagaimana telah kami prediksi, masih saja menggunakan data yang cacat terkait dengan kematian yang disebabkan oleh narkotika dan retorika moral untk menjustifikasi aksi barbar hukuman mati. Indonesia berulang kali menggunakan statistik 40 orang meninggal setiap harinya akibat narkotika – sebuah argumen yang mendapatkan kiritik keras dari akademisi Indonesia dan internasional. Penggunaan data yang cacat ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak memiliki komitmen terhadap kebijakan yang berbasis bukti ataupun mengakui pentingnya kebijakan narkotika yang berbasis hak asasi manusia dalam mengatasi persoalan penggunaan narkotika. Sebaliknya, Indonesia justru mempromosikan penggunaan wajib rehabilitasi yang melanggar hak atas kesehatan.

Lebih jauh lagi, Indonesia berargumen bahwa eksekusi telah dilakukan dengan menghargai dan melindungi prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak atas peradilan yang jujur dan adil. Indonesia dengan bangga menyatakan bahwa eksekusi dilakukan setelah melalui prosedur hukum yang ketat. Tetapi, persis karena sistem peradilan Indonesia yang sarat dengan korupsi menjadi bagian yang melekat dari persoalan hukuman mati, oleh karena itu tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki sistem hukum yang baik. Dalam tiga eksekusi terakhir di bawah rejim Joko Widodo, terdapat persoalan serius mengenai absennya mekanisme pedoman pengamanan. Delapan belas orang yang dieksekusi dalam tiga eksekusi terakhir mengalami pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang jujur dan adil, termasuk Zainal Abidin, yang kasusnya direkayasa; Rodrigo Gularte, yang memiliki skizofrenia paranoid dan bipolar; dan, Humphrey Ejike, orang yang tidak bersalah yang ketika dieksekusi sedang dalam proses pengajuan grasi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, LBH Masyarakat mendorong pemerintah Indonesia untuk menerima ke-dua puluh delapan rekomendasi terkait dengan hukuman mati yang diberikan dalam putaran ketiga UPR terhadap Indonesia.

Indonesia harus memberlakukan moratorium secara formal dengan tujuan menghapuskan hukuman mati. Sementara moratorium diberlakukan, Indonesia harus membentuk badan independen untuk meninjau ulang seluruh kasus hukuman mati, mengubah hukuman mati bagi seluruh terpidana mati, dan segera merevisi KUHP sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.

Ajeng Larasati – Koordinator Program, Riset, dan Kebijakan LBH Masyarakat

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Diskusi Publik UNODC dan BNN tentang Pasal 54 dan 127

Pada 6 April 2017, UNODC bekerjasama dengan BNN mengadakan diskusi publik mengenai implementasi Pasal 54 dan Pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Acara yang diadakan di Morrissey Hotel ini bertujuan untuk mendukung rencana pemerintah sehubungan dengan revisi UU Narkotika. Untuk menjawab harapan penyelenggara agar diskusi tersebut dapat mengidentifikasi tantangan dan memperoleh rekomendasi sebagai bahan pertimbangan proses revisi UU Narkotika, LBH Masyarakat melalui perwakilannya pada diskusi itu menyampaikan masukan melalui dokumen tertulis. Berikut adalah analisa dan rekomendasi kami yang telah kami berikan pada perwakilan UNODC dan Direktur Hukum BNN, Bapak Darmawel Aswar.

Input LBH Masyarakat untuk Diskusi Publik UNODC dan BNN RI tentang Pasal 54 dan 127 UU Narkotika

LBH Masyarakat menyambut baik upaya diskusi publik yang diselenggarakan UNODC dan BNN ini. Forum besar yang mempertemukan BNN, dalam konteksnya sebagai penegak hukum, dan masyarakat sipil yang terdampak langsung bukanlah forum yang sering terjadi. Kami berharap hal-hal yang kami sampaikan di sini dapat bermanfaat untuk rekan-rekan BNN dalam menyikapi momen-momen perubahan regulasi narkotika yang akan datang.

Diskusi publik ini memberikan fokus pada implementasi Pasal 54 dan Pasal 127 UU Narkotika. Dua pasal yang digadang-gadang menjadi tulang punggung pemberian rehabilitasi entah dalam rupa diskresi ketika tahap penyidikan ataupun putusan hakim.

Kami yakin bahwa kawan-kawan yang ada di sini dapat memberikan masukan tentang praktik penerapan Pasal 54 dan Pasal 127. Namun, ada baiknya kita bahas juga kedua pasal tersebut. Apakah kedua pasal ini memang menjamin hak atas kesehatan yang dibutuhkan oleh rekan-rekan pemakai narkotika? Atau, justru istilah ‘pasal rehab’ itu hanyalah retorika yang menginterpretasi UU Narkotika agar lebih terkesan humanis dan ramah pada pemakai narkotika?

Pertama, perlu diperhatikan bahwa Pasal 54 berada di Bab IX UU Narkotika yang membicarakan tentang Pengobatan dan Rehabilitasi sedangkan Pasal 127 berada di Bab XV tentang Ketentuan Pidana. Terpisah jauhnya kedua pasal ini tentu secara tidak langsung menunjukan bahwa situasi hukum yang ingin dicapai oleh kedua pasal ini sebenarnya terpisah.

Pasal 54 UU Narkotika menyatakan bahwa “Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial”. Pasal ini tidak serta merta berarti bahwa pecandu narkotika dan penyalahguna berhak atas rehabilitasi. Pasal ini justru meletakan beban pada pecandu dan korban penyalahguna untuk memiliki kewajiban menjalani rehabilitasi. Sebuah hal yang jika ditinjau dari kacamata hak atas kesehatan sebenarnya tidak sesuai karena seharusnya negara yang mengemban tanggung jawab untuk memberikan layanan kesehatan bukannya memaksa rakyatnya untuk mengakses layanan.

Pasal 127 sendiri, sebagaimana kita semua tahu, ayat pertamanya berisi pemidanaan bagi penyalahguna narkotika. Kesempatan rehabilitasi seakan datang melalui ayat 2 yang mengatakan bahwa dalam memeriksa perkara Pasal 127 hakim harus memperhatikan Pasal 54, 55, dan 103 UU Narkotika. Pasal 54 dan 55 pada dasarnya memberikan pengecualian pada penyalahguna yang sudah melaporkan diri ke negara. Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 128 ayat 3 yang menyatakan bahwa mereka yang sudah melaporkan diri tidak dipidana. Pasal 103 di sisi lain memberikan wewenang pada hakim untuk dapat memutus rehabilitasi.

Masalah pertama yang ditemukan dalam struktur ini adalah permasalahan terminologi. Pasal 54 menggunakan pecandu dan penyalahguna, Pasal 55 dan Pasal 103 memakai pecandu, Pasal 127 ayat 1 penyalahguna, Pasal 127 ayat 3 malah menyebut penyalahguna yang kemudian diketahui sebagai korban penyalahguna.

Tentu kami paham bahwa setiap pasal ada maksudnya. Konstruksi yang dibangun oleh skema ini adalah pecandu dan penyalahguna dapat direhabilitasi sedangkan penyalahguna dipidana. Konstruksi ini dalam pandangan kami perlu dievaluasi karena tidak dapat menjawab pemenuhan hak atas kesehatan kepada setidak-tidaknya 3 kelompok: (1) Orang yang memakai narkotika untuk pertama-tama atau masih coba-coba atau orang yang memakai narkotika sekali-sekali saja, tanpa permasalahan ketergantungan, (2) orang yang memakai narkotika setelah menjalani dua kali masa perawatan, sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 128, dan (3) orang yang memakai narkotika untuk kepentingan medis tanpa resep dokter.

Untuk kelompok pertama, ada argumen bahwa kelompok ini masih dapat dikategorikan pecandu mild bila memenuhi beberapa kriteria pada DSM V. Namun argumentasi ini rawan akan pengkhianatan intelektual karena si konselor adiksi atau orang yang memberikan assessment akan memiliki kecenderungan untuk meningkatkan status seseorang yang sebenarnya tidak memiliki masalah adiksi menjadi seorang pecandu untuk bersesesuaian dengan ketentuan UU agar si klien tidak dipenjara. Kelemahan berikut dari argumentasi ini juga, jika dikaitkan dengan konstruksi yang dibangun UU ini, adalah, jika mereka yang baru coba-coba atau hanya menggunakan narkotika sekali-kali dianggap pecandu, maka siapakah yang disebut penyalahguna?

Masalah kedua yang kami lihat dari skema UU ini adalah bahwa semua penentuan status dan pidana kepada pecandu, penyalahguna, atau korban penyalahguna dibebankan pada institusi kehakiman. Hal ini jelas terlihat pada Pasal 127 ayat 2 dan Pasal 103 yang dengan terang benderang menyebut ‘hakim’ dalam ketentuannya. Hal ini bermasalah karena hakim adalah ahli hukum, bukan kesehatan apalagi soal adiksi. Sebagai contoh, pada penelitian kami terhadap putusan-putusan PN di Jabodetabek pada 2014, ada seorang hakim yang memutus rehabilitasi selama 28 bulan lamanya. Selain bahwa proses rehabilitasi selama itu rawan tak efektif, angka putusan itu juga menyalahi rekomendasi SEMA No. 4 Tahun 2010 yang mematok batasan rehabilitasi sampai satu tahun saja paling lama. Beban berat yang diberikan pada sistem peradilan ini juga tak pelak membebani rekan-rekan yang bekerja di Puskesmas, rumah sakit, atau lembaga rehabilitasi. Berkebalikan dengan situasi hakim sebelumnya, rekan-rekan ini adalah ahli kesehatan dan adiksi, mereka bukan ahli hukum. Namun skema yang demikian memaksa mereka untuk mampu menulis surat keterangan atau memberikan keterangan di hadapan penegak hukum. Kemampuan demikian tidak dimiliki secara merata oleh rekan-rekan petugas kesehatan, kalau tidak mau kita bilang kurang. Berhadapan dengan penegak hukum tetaplah tantangan bagi petugas kesehatan dan tidak semuanya mau dan mampu untuk itu.

Masalah ketiga yang kami lihat adalah skema yang tidak jelas dari UU ini membuat beberapa instansi  membentuk semacam peraturan internal agar, setidaknya bagi instansi tersebut, mereka memiliki panduan yang jelas untuk menuntut atau memutus rehabilitasi. Kejaksaan Agung misalnya mengeluarkan SEJA No. B-601/E/EJP/02/2013 untuk memberikan kriteria pada Penuntut Umum agar dapat menuntut rehabilitasi. Problem yang muncul dari SEJA ini sama persis dengan Pasal 103, yakni menggunakan kata ‘dapat’ bukannya menggunakan kata yang lebih kuat untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan bagi rekan-rekan pemakai narkotika. Mahkamah Agung bahkan sejak 2010 mengeluarkan SEMA No. 4 Tahun 2010 yang memberikan kriteria-kriteria bagi hakim untuk memutus rehabilitasi. Kriteria-kriteria ini yang kemudian diambil oleh Kejaksaan Agung untuk membentuk SEJA tadi.

Tidak boleh juga kita lupa bahwa skema pemberian rehabilitasi tersebut juga dirusak oleh keberadaan pasal-pasal yang memidana penguasaan[1] dan pembelian[2] narkotika, hal-hal yang umum dilakukan oleh pemakai narkotika. Untuk mengatasi permasalahan ini, Mahkamah Agung bahkan melangkah jauh dengan mengeluarkan SEMA No. 7 Tahun 2012 dan SEMA No. 3 Tahun 2015 yang keduanya seirama menyebut bahwa jika hakim menduga kuat bahwa si terdakwa adalah pemakai narkotika belaka namun tidak didakwa dengan Pasal 127, hakim dapat menerobos pidana minimum pasal yang dikenakan kepada si terdakwa.

Permasalahan dengan surat-surat edaran ini yang paling jelas adalah soal kekuatan hukum, baik dari segi wording dan ketaatan internal pada ketentuannya. Kemudian adalah soal kepastian hukum. Seharusnya rekan-rekan penyidik dan juga parlemen dapat melihat bahwa ada kejenuhan serta kebingungan dari Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung dalam menangani pemakai narkotika dan memberikan rehabilitasi. Surat-surat edaran ini, di luar segala kekurangannya, secara tidak langsung mengambil arah sendiri, yang menurut hemat kami, jauh lebih humanis dari UU Narkotika.

Pada akhirnya, sebagaimana dikatakan dalam undangan, ini waktunya kami memberikan rekomendasi untuk menyikapi beberapa upaya perubahan regulasi ke depannya, antara lain untuk RKUHP dan upaya revisi UU Narkotika. Berikut rekomendasi kami:

  1. Agar BNN berperan aktif di DPR RI untuk segera menghilangkan ketentuan tindak pidana narkotika di RKUHP terutama tindak pidana yang berkaitan dengan pemakai narkotika. Hal ini kami minta bukan karena kami tidak ingin melakukan perubahan melalui RKUHP. Namun, di luar bahwa sejauh ini tindak pidana narkotika hanya copy paste dari UU Narkotika, menurut kami narkotika seharusnya diatur secara terpisah karena materi yang diatur sangat luas dan terpisahnya tindak pidana dari UU Narkotika akan membuat regulasi mengenai narkotika tidak komprehensif. Lebih penting dari itu, dimasukannya tindak pidana narkotika ke RKUHP memiliko risiko tinggi akan tidak terpenuhinya hak atas kesehatan bagi pemakai narkotika. Hal ini disebabkan karena baik PP No. 25 Tahun 2011 tentang Wajib Lapor, Peraturan Bersama 7 Institusi, dan surat-surat edaran Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, dan peraturan-peraturan lain yang terkait pemberian rehabilitasi menjadikan UU Narkotika sebagai batu pijakan. Ketika batu pijakan itu tidak ada, kemudian bagaimana nanti nasib teman-teman pemakai narkotika?
  1. Melakukan revisi terhadap UU Narkotika yang mengedepankan intervensi kesehatan bukannya sistem peradilan. Kami pikir sudah waktunya rekan-rekan penegak hukum berhenti dari ketersesatan pemilihan terminologi antara korban penyalahguna, penyalahguna, dan pecandu. Inisiatif Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung yang menggunakan gramatur sebagai pembeda antara pemakai narkotika dan mereka yang terlibat peredaran gelap merupakan sebuah hal yang dapat dijadikan contoh. Apa yang sudah ditawarkan oleh SEMA dan SEJA tersebut tentu perlu diperbaiki nafasnya dengan menempatkan rehabilitasi sebagai layanan yang negara berikan bukan kewajiban pemakai narkotika, diteliti dengan baik dan disesuaikan lagi penentuan berat dan zatnya, dan kemudian tentu diperkuat melalui legislasi di parlemen.

LBH Masyarakat tentunya sangat senang apabila rekan-rekan BNN mau membuka pintu dialog seperti ini. Dalam minggu-minggu ke depan, kami akan menerbitkan serangkaian policy paper terkait kebijakan narkotika Indonesia hari ini. Kami harap BNN tetap mau membuka pintu dialog agar bersama-sama kita dapat mewujudkan kebijakan narkotika yang lebih humanis. Dunia pasti akan memberikan hormatnya ketika BNN jelas bersikap bahwa di Indonesia, bagi pemakai narkotika, penjara bukan solusi.

Yohan Misero

Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

[1] Pasal 111, 112, 117, 122 UU Narkotika

[2] Pasal 114, 119, 124 UU Narkotika

Pernyataan Bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk 3rd Universal Periodic Review (UPR) Indonesia

Indonesia, seperti negara anggota PBB yang lain, menjalani evaluasi HAM secara berkala di Dewan HAM PBB. PBB sendiri memiliki beberapa mekanisme untuk memeriksa komitmen negara pada hak asasi manusia. Salah satunya ialah  melalui Universal Periodic Review (UPR). Melalui UPR ini, Indonesia diuji ketaatan dan pemenuhannya terhadap hak asasi manusia oleh komunitas internasional. Indonesia sendiri sudah pernah melalui 2 UPR yakni pada tahun 2008 dan 2012. Kedua proses itu juga menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang sepatutnya juga diindahkan oleh negara. Pemerintah Indonesia sudah pasti akan menyampaikan laporan mengenai situasi HAM di Indonesia. Agar penggambaran situasi itu berimbang, beberapa elemen masyarakat sipil juga memberikan laporan pada proses UPR ini. Untuk penjelasan ringkas mengenai laporan alternatif ini, berikut adalah Pernyataan Bersama Koalisi Masyarakat Sipil dalam rangka 3rd Universal Periodic Review (UPR) terhadap Indonesia di Dewan HAM PBB.

Pernyataan Bersama Koalisi Masyarakat Sipil

Dalam Rangka 3rd Universal Periodic Review (UPR) Indonesia di Dewan HAM PBB

 

” Negara Masih Belum Menempatkan Hak Asasi Manusia Sebagai Agenda Prioritas”

 

Jenewa, 5 April 2017

Situasi hak asasi manusia Indonesia akan dievaluasi di Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 3 Mei 2017 melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR). UPR adalah mekanisme evaluasi hak asasi manusia yang dilakukan secara berkala antara negara yang satu dengan negara yang lain. Pada Mei 2017, Indonesia akan dievaluasi untuk kali ketiga setelah putaran pertama pada 2008 dan yang kedua pada 2012.

Pada 2012, Indonesia menyetujui 150 dari 180 rekomendasi terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia. Kami memandang bahwa Pemerintah masih belum memiliki mekanisme formal yang terbuka dan partisipatif untuk menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi tersebut. Lebih jauh lagi, kami menilai bahwa Pemerintah belum memenuhi sebagian besar rekomendasi itu dengan menjalankannya secara substansial untuk mewujudkan perubahan yang lebih berkualitas.

Dalam rangka putaran ketiga UPR, beberapa perwakilan masyarakat sipil Indonesia berada di Jenewa untuk menyampaikan pandangan kritis mengenai situasi hak asasi manusia di sesi pra-UPR. Sesi pra-UPR adalah sesi formal yang diselenggarakan oleh UPR Info – sebuah organisasi non-profit yang bekerja untuk mengoptimalkan dialog antara masyarakat sipil dengan negara-negara terkait UPR. Sesi pra-UPR memberikan ruang bagi masyarakat sipil untuk menyampaikan pandangannya kepada perwakilan negara-negara di PBB di Jenewa.

Terkait situasi fundamental freedoms di Indonesia, Miko Ginting, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menegaskan bahwa, ” penikmatan kebebasan sipil di Indonesia kian merosot. Hal ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, rendahnya tingkat akuntabilitas negara dalam hal kapasitas bertanggung jawab, menjawab (answerability), dan menjalankan kewajibannya. Kedua, negara gagal mewujudkan prinsip negara hukum sebagai mekanisme proteksi hak asasi. Ketiga, negara pasif terhadap menyeruaknya aktor non-negara yang mengganggu kebebasan sipil.”

Sehubungan dengan hukuman mati dan kebijakan narkotika Indonesia, Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat, menjelaskan bahwa, ” kebebalan Pemerintah yang mempertahankan hukuman mati untuk mengatasi kejahatan narkotika, ternyata terbukti gagal menurunkan angka peredaran gelap narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah wajib mencari solusi yang bukan berdasarkan mitos tetapi yang berbasis ilmiah, dan membuka diri terhadap kerjasama dengan negara lain yang telah berhasil mengatasi problem peredaran gelap narkotika tanpa menerapkan kebijakan yang punitif. Singkatnya, Indonesia harus mencari solusi yang lebih cerdas, dan bukannya asal keras, dalam menangani persoalan narkotikanya.”

Mirawati, Direktur Institut Hak Asasi Perempuan (IHAP), mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi, mengatakan bahwa  ” kebijakan kesehatan reproduksi Indonesia masih diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya. Hal ini ditandai dengan masih minimnya akses kontrasepsi, termasuk dipertahankannya ketentuan kriminalisasi terhadap penyediaan layanan pendidikan dan informasi mengenai kontrasepsi. Oleh karena itu, Pemerintah harus membuka akses kontrasepsi bagi perempuan termasuk yang belum menikah dan menghapus kebijakan pemidanaan terhadap tindakan aborsi.”

Budi Tjahjono, Koordinator Advokasi Asia-Pasifik Fransiscans International, menyampaikan bahwa, ” hingga saat ini eksploitasi sumber daya alam, perampasan tanah, dan serangan terhadap pembela HAM dan pemimpin masyarakat adat di Papua dan daerah lainnya masih marak terjadi. Hal ini semakin diperparah dengan ketiadaan mekanisme investigasi dan pemulihan hak yang memadai. Pemerintah harus menerapkan kebijakan pembangunannya dengan tetap menghormati hak-hak dasar masyarakat adat, dan patuh terhadap kewajiban hukum internasional yang pemerintah sudah ratifikasi.”

Masih soal Papua, Wensislaus Fatubun, perwakilan Forum Keadilan dan Perdamaian untuk Papua, ” kebijakan depopulasi Indonesia terhadap Papua kian mengancam penduduk asli Papua. Indonesia terus mengabaikan hak untuk menentukan diri sendiri dan belum mau mengakui hak masyarakat adat Papua. Indonesia juga masih mengedepankan pendekatan keamanan dalam resolusi konflik di Papua dan mencabut akses rakyat Papua terhadap sumber daya alam. Pelanggaran hak asasi rakyat Papua ini harus segera dihentikan dan pemerintah Indonesia harus mengevaluasi kebijakannya terhadap rakyat Papua.”

Selain itu, terdapat beberapa isu lain seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diangkat di sesi Pra-UPR. Elga Sarapung, Direktur Institut Dian/Interfidei, mewakili koalisi Jaringan Antariman Indonesia (JAII), menyayangkan sejumlah rekomendasi yang disepakati pada UPR 2012 yang masih belum diimplementasikan secara jelas, tegas dan konstitusional oleh Pemerintah. ” Hak untuk memiliki rumah ibadah dan melaksanakan aktivitas keagamaan dan berkeyakinan serta hak untuk bebas dari ancaman kekerasan atas nama agama masih belum sepenuhnya dijamin oleh Pemerintah. Di berbagai kesempatan, Pemerintah selalu menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki masalah dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, padahal realita berbicara sebaliknya. Hal ini pun juga diafirmasi oleh sejumlah negara lainnya.”

Pasca UPR sesi ke-2 untuk Indonesia di tahun 2012, negara juga belum menunjukkan kemajuan dalam perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia kelompok LGBTI (lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks). Damar Hanung dari Arus Pelangi menyampaikan, “penelitian Arus Pelangi tahun 2013 menunjukan bahwa 89,3% LGBTI di Indonesia mengalami kekerasan berbasis orientasi seksual atau identitas gendernya. Kondisi ini diperparah dengan adanya 47 kebijakan diskriminatif terhadap LGBTI di tingkat lokal hingga nasional. Kekerasan terhadap LGBTI mencapai puncaknya tahun 2016, di mana lebih dari 142 kasus kekerasan pada LGBTI terjadi dalam kurun Januari – Maret 2016.” Selain situasi kekerasan terhadap LGBTI, ” saat ini, upaya kriminalisasi terhadap kelompok LGBTI sedang berlangsung melalui Judicial Review KUHP dan pembahasan revisi KUHP di DPR. Rangkaian situasi ini membuktikan bahwa negara gagal menjalankan mandatnya dalam pemenuhan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya bagi kelompok LGBTI,” tambah Mario Pratama dari Arus Pelangi.

Berdasarkan potret terhadap situasi di atas, terlihat gambaran besar hak asasi manusia Indonesia yang belum menunjukkan tren yang positif. Bahkan dalam beberapa isu hak asasi manusia, kondisinya semakin memburuk. Mundurnya perlindungan hak asasi manusia ini menunjukkan bahwa hak asasi manusia masih belum menjadi agenda yang penting dan prioritas bagi pemerintah.

Dengan dalih ketertiban umum, kebebasan sipil dipangkas. Dengan dalih perang terhadap kejahatan, hukuman mati dirayakan. Dengan dalih domestifikasi tubuh, kesehatan reproduksi coba dikriminalkan. Dengan dalih ekonomi, hak atas tanah di Papua diabaikan. Dengan dalih NKRI harga mati, hak asasi warga Papua diberangus. Dengan dalih moral, hak asasi kelompok LGBTIQ dikekang. Dengan dalih-dalih yang lain, hak-hak asasi manusia tetap terpinggirkan dan belum dipandang sebagai yang utama.

Kami memandang UPR sebagai mekanisme konstruktif untuk membenahi situasi hak asasi manusia di seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Kita seharusnya keluar dari kurungan pemikiran bahwa forum internasional adalah forum yang semata politis dan ruang bagi intervensi negara lain. Namun, beranjak kepada substansi yang diberikan dan untuk itu perlu dipandang serius, terutama dalam konteks pemajuan hak asasi manusia.

UPR adalah bagian dari upaya membangun kerjasama antara masyarakat sipil dan pemerintah untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia secara kolaboratif. Masyarakat sipil dan pemerintah dapat menggunakan kesempatan ini untuk bekerjasama dalam menyusun rencana kerja, memantau proses, hingga mengevaluasi pelaksanaan rekomendasi UPR. Berdasarkan semangat inilah, kami mengajak Pemerintah untuk bersama-sama memperbaiki situasi perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

Narahubung:

Miko Susanto Ginting, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), 087822626362

Ricky Gunawan, LBH Masyarakat, 081210677657

Mirawati, Institut Hak Asasi Perempuan (IHAP), 081338661597

Budi Tjahjono, Fransiscans International, +41 227794010

Wensilaus Fatubun, Forum Keadilan dan Perdamaian untuk Papua, +41 779678244

Elga Sarapung, Institut Dian/ Interfidei (Jaringan Antariman Indonesia/JAII), 081247028796

Damar Hanung, Arus Pelangi (ASEAN SOGIE Caucus, Jakarta), 087876086010

Mario Pratama, Arus Pelangi/People Like Us Satu Hati, Yogyakarta, 085234831703

Rilis Pers LBH Masyarakat – Sebuah Momen Introspeksi: Pelarangan Semata atau Memberi Kesempatan pada Cinta

Rilis pers ini telah disampaikan pada konferensi pers yang diadakan oleh LBH Masyarakat yang bertajuk ” Tragedi FAS: Sebuah Ujian Untuk Hati Nurani” . Turut berbicara pada konferensi pers itu adalah Yohan Misero (Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat), Asmin Fransiska (Kepala LPPM Unika Atma Jaya), Inang Winarso (Direktur Eksekutif YSN), dan Dhira Narayana (Ketua LGN). Acara tersebut diadakan di kantor LBH Masyarakat pada 2 April 2017.

LBH Masyarakat prihatin dengan rangkaian peristiwa yang harus dihadapi oleh Saudara FAS dan keluarga. LBH Masyarakat juga menyampaikan belasungkawa yang paling dalam atas berpulangnya Ibu YR, istri dari Saudara FAS. Dalam mempersiapkan konferensi pers ini, LBH Masyarakat juga sudah berkomunikasi dengan pihak keluarga.

Berawal dari divonisnya Ibu YR (Alm.) dengan penyakit Syringomyelia, sebuah situasi di mana ada kista di sumsum tulang belakang. Kista ini dapat mengembang dan memanjang sedemikian rupa hingga akhirnya dapat mengganggu banyak bentuk aktivitas, misalnya kesulitan untuk tidur, makan dan minum, ekskresi, rasa sakit yang luar biasa, sulit berinteraksi, dan lain-lain.

Begitu dahsyatnya situasi yang harus mereka hadapi. Telah dicoba pula berbagai perawatan konvensional dan alternatif. Sempat juga ada keinginan untuk membawa ibu YR ke luar Kalimantan untuk berobat. Namun kondisi ibu YR saat itu tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh.

Dalam keputusasaan, harapan itu muncul dari sebuah tanaman yang di Indonesia dikategorikan sebagai narkotika golongan I, Ganja.  Ekstrak ganja datang sebagai suatu kemungkinan yang patut dicoba untuk memperpanjang kehidupan ibu YR. Mari kita letakkan posisi sebagai seseorang yang sedang memperjuangkan nyawa teman hidup. Tempatkan diri kita pada seseorang yang berusaha untuk mempertahankan sosok seorang ibu dalam kehidupan anak-anak kita. Pemanfaatan ganja untuk kepentingan kesehatan Ibu YR ini yang kemudian membuat Saudara FAS ditahan hingga hari ini. Terkait kasus ini, ada beberapa hal yang patut kita pikirkan:

Yang pertama, UU Narkotika memang sebenarnya tidak mengakomodir penggunaan ganja untuk tujuan medis. Namun bukan berati hal ini tepat, justru ketentuan ini patut ditinjau ulang. Pasal 8 UU Narkotika melarang pemanfaatan narkotika golongan I untuk kesehatan. Pasal 8 ini pun tidak seirama dengan Pasal 7 UU Narkotika yang mengunci pemanfaatan narkotika hanya untuk kesehatan dan perkembangan iptek. Pada realitanya, golongan I tidak boleh digunakan untuk kesehatan. Upaya riset terhadap zat dan tanaman di golongan I tidak mudah mendapatkan persetujuan.

UU Narkotika tidak seharusnya melarang pemanfaatan zat atau tanaman apa pun untuk kesehatan. Berikan kesempatan pada penelitian untuk membuktikan manfaat zat atau tanaman tersebut untuk kemanusiaan. Berikan kesempatan juga untuk anak-anak muda Indonesia membuktikan bahwa apa yang tumbuh di tanah yang ia cintai, dapat berguna untuk banyak orang. Ilmu pengetahuan sudah sedemikian maju. Hal itu membuat dampak buruk dari suatu zat, jika ada, dapat dihilangkan dan di saat yang sama mempertahankan sifat baik daripada zat tersebut. Percayalah bahwa ilmuwan-ilmuwan kita mampu untuk itu dan percayalah bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dapat kita andalkan untuk mengawasi proses itu.

Yang kedua, pemenuhan hak. Hak atas kesehatan adalah sesuatu yang dijamin oleh Konstitusi, UU HAM, dan Kovenan Ekosob yang sudah diratifikasi Indonesia. Prinsipnya, hak atas kesehatan adalah hak semua orang dan Pemerintah sudah seharusnya memenuhinya. Salah satu aspek pemenuhan hak atas kesehatan adalah availibility atau ketersediaan serta accesibility atau keterjangkauan. Oleh karena itu, momentum ini dapat Pemerintah jadikan kesempatan untuk mulai merumuskan ulang kebijakannya. Agar ke depan, bagi seluruh rakyat Indonesia terjamin ketersediaan dan keterjangkauan akan hak atas kesehatan, termasuk di dalamnya akses terhadap narkotika golongan I di mana ganja masuk di dalamnya. Cukup satu Ibu YR, jangan biarkan ada lagi anak bangsa yang harus kehilangan nyawa karena kita tak mau memberikan kesempatan pada pengetahuan. Kita yakin Indonesia mampu lebih baik dari ini.

Yang ketiga, persoalan hukum Saudara FAS. Menurut pandangan kami, setelah merujuk pada fakta-fakta umum kasus ini, pasal yang paling mungkin dikenakan pada Saudara FAS adalah Pasal 111 UU Narkotika terkait penanaman dan pemeliharaan narkotika golongan I jenis tanaman. Ancaman pidana yang tertera pada ayat 2 pasal tersebut ialah seumur hidup.

Ketika rekan-rekan penegak hukum, dalam hal ini BNN, menganggap bahwa jika mereka tidak menyidik kasus ini maka mereka salah karena tidak turut dengan UU, bagi kami anggapan tersebut tidak tepat. Penghentian penyidikan dapat dilakukan melalui Pasal 109 ayat 2 KUHAP. Justru karena kasus ini sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, BNN, atau Kejaksaan apabila kasus ini tetap diteruskan BNN, dapat menampilkan wajah penegakan hukum yang tidak humanis. Ketika pidana dianggap sebagai sebuah upaya untuk mewujudkan keadilan di ranah publik, maka tidak tepat kemudian menempatkannya di sini karena tidak ada niat jahat apa pun pada kasus ini. Dari apa yang dilakukan Saudara FAS terhadap Ibu YR tidak memunculkan kekacauan apapun di ranah publik. Kasus ini adalah sebuah wujud cinta yang luar biasa indah. Justru situasi ini memburuk ketika hukum pidana mengintervensi.

Yang keempat, perhatian pada situasi anak. Bahwa justru karena niat Saudara FAS untuk mempertahankan keluarganya, anaknya kini sebatang kara tanpa orang tua yang mendampinginya. Ibunya meninggal karena tak bisa mengakses obat yang ia butuhkan, ayahnya juga ditahan. Kesejahteraan, kesehatan, dan tumbuh kembang anak merupakan hal yang juga patut diperhatikan karena perlindungan anak pun merupakan aspek penting dalam segala kebijakan. Pemerintah mampu untuk menolong anak ini dengan merelakan Saudara FAS untuk tetap hadir di sisi anaknya.

Maka melalui konferensi pers ini, kami memohon dengan segala kerendahan hati kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, serta seluruh lembaga/kementerian yang berkaitan untuk:

  1. Mendorong penghentian penyidikan terhadap kasus Saudara FAS;
  2. Membuka kesempatan bagi penelitian terhadap zat dan tanaman di golongan I narkotika, dengan menempatkan ganja sebagai prioritas;
  3. Meninjau ulang kebijakan narkotika untuk membuka akses dan menjamin ketersediaan narkotika golongan I, di mana ganja ada di dalamnya, bagi pemenuhan hak atas kesehatan rakyat Indonesia.

Percayalah, #PenjaraBukanSolusi. Bukan hanya untuk keluarga Saudara FAS dan Ibu YR. Namun untuk kita semua, rakyat Indonesia.

Yohan Misero

Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Rilis Pers LBH Masyarakat – Jangan Paksakan Bersatu Apa yang Tak Bisa Bersama

Rilis pers ini telah dibawakan pada media briefing yang diadakan oleh Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI), Koalisi Revisi 35/2009, dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengenai ” Narkotika dalam RKUHP: Solusi atau Masalah Baru?” Acara tersebut diadakan di Ke:kini, Jakarta Pusat, pada 30 Maret 2017. Media briefing itu sendiri menghadirkan Yohan Misero (Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat), Erasmus Napitupulu (Peneliti ICJR), dan Alfiana Qisthi (Pelaksana Advokasi Hukum PKNI). Totok Yulianto (Ketua Umum PBHI) hadir untuk memoderasi acara.

LBH Masyarakat menolak dimasukkannya tindak pidana narkotika ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal ini dikarenakan regulasi mengenai narkotika sangatlah kompleks dan meletakkan aturan pidananya secara terpisah justru akan membuatnya tidak komprehensif dan rawan menimbulkan kekacauan hukum pada taraf implementasi.

Selain itu, dunia sedang ada di tahap di mana tingkat diskursus mengenai kebijakan narkotika sedang tinggi. Kita lihat berbagai perubahan di seluruh dunia: Portugal, Swiss, Uruguay, Belanda, Jerman, Perancis, Israel, dll. Bahkan di Amerika Serikat sendiri, negara yang mempelopori kebijakan pelarangan narkotika, sudah banyak negara bagian yang mengambil kebijakan berbeda dengan kebijakan pemerintah federal. Negara-negara bagian itu antara lain: Colorado, California, Massachusetts, Alaska, Washington, dsb.

Kemanusiaan butuh narkotika. Hal ini sendiri diakui di UU Narkotika yang menyatakan:

“…kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya;”[1]

“…untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat…”[2]

“…narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan…”[3]

Itu baru dari sisi kesehatan. Belum berbagai industri lain yang membutuhkan narkotika sebagai salah satu bahan baku yang dibutuhkannya.

Dimasukkannya narkotika ke dalam RKUHP memunculkan pertanyaan bagaimana kemudian kebijakan rehabilitasi akan diberikan pada pemakai narkotika. Semua aturan menganai rehabilitasi ada di pasal-pasal di UU Narkotika. Aturan-aturan kelembagaan yang ada di Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, dan BNN terkait rehabilitasi juga menempatkan UU Narkotika sebagai cantolan. Pemisahan tindak pidana narkotika ke RKUHP dapat membuat rekan-rekan pemakai narkotika kehilangan pemenuhan hak atas kesehatan yang sangat mereka butuhkan.

Yang seharusnya jadi pertanyaan dari kebijakan narkotika secara nasional di belahan dunia manapun: bagaimana kita membangun relasi kita dengan narkotika? Sejauh apa kita manfaatkan narkotika untuk kepentingan bangsa kita? Bagaimana narkotika dapat kita optimalkan untuk berbagai keperluan masyarakat? Bagaimana kita melindungi anak-anak bangsa kita dari pengaruh buruk yang dapat ditimbulkan narkotika?

Pertanyaan-pertanyaan di atas haruslah dijawab dalam satu nafas ideologi. Negara-negara lain sudah melakukannya dengan aturan nasionalnya masing-masing. Indonesia juga sudah memilih apa yang ingin ia lakukan. Nafas pilihannya telah diletakkan di UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di sana ada pelarangan golongan 1 untuk kesehatan, di sana ada hukuman mati, di sana ada pemenjaraan bagi pemakai narkotika, di sana ada ekspor impor narkotika, di sana ada hukum acara, di sana ada kewenangan penegak hukum, di sana ada peran serta masyarakat dan masih banyak lagi aspek-aspek di dalamnya.

Semua hal itu dipilih karena Indonesia telah memilih satu ideologi tertentu dalam permasalahan narkotika. Permasalahannya kemudian: bagaimana jika nanti Indonesia ingin mengambil logika lain dalam memandang narkotika? Bagaimana jika nanti Indonesia tidak lagi ingin memenjarakan pemakai narkotika? Bagaimana jika nanti Indonesia ingin agar intervensi kesehatan, bukannya pidana, yang dikedepankan dalam menghadapi pemakai narkotika?

Atau apapun arahnya nanti, jika Indonesia ingin mengganti arah kebijakan narkotikanya hal ini akan sulit jika aturan pidananya ada di RKUHP. Kami meyakini bahwa dimasukkannya narkotika ke RKUHP akan memperumit perubahan-perubahan tersebut. Keberadaan tindak pidana narkotika di RKUHP, terutama yang berkaitan dengan pemakai narkotika, justru akan meningkatkan stigma ke pemakai narkotika karena seakan pemakaian atau penguasaan narkotika ialah kejahatan yang dianggap setingkat dengan tindak pidana lain seperti pencurian atau pembunuhan, misalnya.

Terlepas dari itu semua, tidak ada perubahan yang amat mendasar dari susunan pidana narkotika yang ada di RKUHP. Tidak dari rumusan pasal, tidak dari pemidanaan. Maka apalah gunanya nanti tindak pidana tersebut diletakkan dalam RKUHP? Apa salahnya tetap meletakkan tindak pidana tersebut di UU Narkotika?

Sulit pula menganggap dimasukkannya tindak pidana narkotika ke RKUHP sebagai momentum perubahan. Hal ini disebabkan jika misalnya RKUHP ingin pergi ke arah dekriminalisasi pemakaian narkotika, sebuah hal yang banyak diserukan oleh elemen masyarakat sipil saat ini, maka aturan peralihan akan sibuk membatalkan berbagai pasal di UU Narkotika yang akibat hukumnya jadi sulit diprediksi karena kompleksnya UU Narkotika itu. Sudah barang tentu, RKUHP juga tidak dapat dijadikan momentum perubahan ke arah pasar yang teregulasi, sebuah gagasan yang juga didukung terutama oleh teman-teman aktivis ganja, karena memang hal yang ingin diatur sangatlah berbeda.

Upaya kodifikasi tindak pidana ke dalam RKUHP merupakan sesuatu yang perlu dipuji dari rekan-rekan di parlemen. Namun menempatkan narkotika di dalam RKUHP hanya akan membuat kekacauan hukum yang sama-sama tidak kita inginkan.

Jakarta, 30 Maret 2017

Yohan Misero

Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

 

[1] Bagian pertimbangan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, huruf a

[2] Bagian pertimbangan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, huruf b

[3] Bagian pertimbangan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, huruf c

en_USEnglish