Skip to content

Dibutuhkan: Relawan Pemantauan Media Kasus Narkotika 2017

Berdiri sejak 2007, LBH Masyarakat berjuang untuk mewujudkan perlindungan hukum yang lebih baik bagi pemakai narkotika di Indonesia. Bukan hanya memberikan bantuan hukum, kami juga menerbitkan publikasi-publikasi yang berkaitan dengan kebijakan narkotika berdasarkan hasil riset dan pemantauan media.

Untuk membantu kami menjalani fungsi ini, kami membuka lowongan bagi relawan (volunteer) yang ingin ikut berkontribusi membangun sistem hukum yang lebih manusiawi bagi pemakai narkotika. Kami membutuhkan relawan yang bersedia meluangkan waktunya setidak-tidaknya 20 jam setiap minggunya sepanjang tahun 2017. Kriteria relawan yang kami butuhkan adalah:

  • Memiliki ketertarikan pada isu hak asasi manusia dan narkotika
  • Internet-savvy
  • Dapat menggunakan Microsoft Word dan Microsoft Excel
  • Dapat bekerja secara independen
  • Memiliki motivasi tinggi
  • Lebih disukai mahasiswi/a jurusan hukum namun jurusan lain tetap boleh mendaftar

Deskripsi tugas utama kamu sebagai relawan: memantau dan mendokumentasikan implementasi kebijakan narkotika terutama mengenai penggebrekan skala besar dan kasus-kasus di dalam Lapas.

Kami selalu memastikan bahwa setiap relawan kami bukan hanya bekerja, tetapi juga bisa belajar dan membagikan pemikirannya di kantor. Ini juga bisa menjadi sebuah kesempatan bagi kamu yang tertarik menjajaki karir di jalur hak asasi manusia atau aspek non-profit lainnya.

Segera kirim CV terbaru dan Application Letter kamu ke abadar@lbhmasyarakat.org paling lambat tanggal 30 Januari 2017.

“What matters in life is not what happens to you but what you remember and how you remember it.” – Gabriel García Márquez

Rilis Pers – Pembubaran Porseni Bissu/Waria: Pengingkaran terhadap Keberagaman Budaya dan Seksualitas

LBH Masyarakat mengecam pembubaran paksa Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Waria/Bissu se-Sulawesi Selatan di Soppeng yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Kamis, 19 Januari 2017. Polisi tidak hanya menggagalkan Porseni tetapi juga menciptakan terror dan rasa takut dengan memberikan tembakan peringatan untuk membubarkan peserta. Pembubaran paksa ini menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan terhadap kelompok LGBTIQ+ di Indonesia. Insiden ini mengonfirmasi laporan Human Rights Watch yang menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2016 terjadi peningkatan kekerasan dan ancaman kekerasan, seperti pembubaran pondok pesanteran Waria di Yogyakarta.[1]

Pembubaran ini bertentangan dengan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul yang secara tegas disebutkan dalam konstitusi Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang juga dijamin dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik pada Pasal 21. Pemerintah juga telah melanggar hak kelompok LGBTIQ+ untuk hidup bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Pemerintah telah dengan sadar mengingkari asas non-diskriminasi di mana perlindungan dari negara berhak diterima setiap warga negara termasuk mereka yang merupakan kelompok minoritas,

Insiden ini memperlihatkan bahwa Pemerintah justru menjadi pelaku dan pelindung pelaku kekerasan serta diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ+. Seharusnya Pemerintah, dalam konteks ini Polda Sulawesi Selatan dan seluruh jajarannya, bertugas untuk melindungi kebebasan berekspresi dan berserikat dari ancaman pemberangusan ilegal seperti ini, bukannya tunduk pada tekanan ormas.

Dalam budaya Bugis, Bissu merupakan pemimpin besar agama Bugis pra-Islam yang memiliki dua elemen gender perempuan dan laki-laki yang berperan sebagai penghubung inter-dimensional antara manusia dan Tuhan.[2] Tradisi ini telah hidup jauh sebelum bangsa ini berdiri.

Porseni tahunan Bissu dan Waria yang sejatinya akan dilaksanakan dari tanggal 19 – 21 Januari 2017 ini terpaksa dibubarkan oleh pihak kepolisian karena adanya ancaman demonstrasi dari 16 ormas Islam di Sulawesi Selatan.[3] Porseni yang telah diselenggarakan sebanyak 19 kali ini merupakan media bagi para Bissu dan Waria untuk mengapresiasi dan mengekspresikan kekayaan budaya serta keragaman seksualitas dan gender nusantara. Acara ini berlangsung damai dan oleh karena itu negara tidak memiliki landasan apa pun untuk menghentikannya. Pembubaran acara ini telah secara langsung menciderai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, mengingkari keragaman budaya dan seksualitas, serta melukai nafas kehidupan berdemokrasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk:

  1. Memberikan sanksi yang tegas Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan yang telah membubarkan Porseni Bissu/Waria di Soppeng, Sulawesi Selatan;
  2. Menyatakan permintaan maaf kepada seluruh elemen yang terlibat pada penyelenggaraan Porseni Bissu/Waria di Soppeng, Sulawesi Selatan;
  3. Menghormati keberagaman budaya dan seksualitas tradisi Bissu di Sulawesi Selatan;
  4. Menindak tegas kelompok-kelompok intoleran yang melakukan tindak kekerasan serta diskriminasi kepada kelompok LGBTIQ+;
  5. Menjamin perlindungan dan kebebasan berserikat dan berkumpul bagi kelompok LGBTIQ+ dan memastikan kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari.

 

Naila Rizqi – Pengacara Publik LBH Masyarakat

 

[1] Human Rights Watch, “ Permainan Politik ini  Menghancurkan Hidup Kami” Komunitas LGBT Indonesia Dalam Ancaman. https://www.hrw.org/sites/default/files/report_pdf/indonesia0816bahasaindonesia_web_0.pdf

[2] http://ardhanaryinstitute.org/index.php/2016/04/09/eksistensi-calalai-dalam-budaya-sulawesi-selatan/

[3] Informasi mengenai kronologi kejadian dapat dilihat di http://aruspelangi.org/siaran-pers/bubar_porseni-waria-bissu-se-sulawesi-selatan/

Cara Kami Membaca Angka Sedikit Berbeda dengan Jaksa

Sepanjang tahun 2016, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat menyampaikan bahwa kasus narkotika memimpin klasemen jumlah kasus yang ditangani yakni sebanyak 2.262 kasus (Pikiran Rakyat, 30/12/2016). Masyarakat umum akan memandang angka ini sebagai wujud kerja keras yang membuahkan hasil dan layak dipuji. Padahal upaya Kejaksaan Tinggi dalam menangani kasus narkotika menyumbang ledakan populasi penghuni rumah tahananan dan lembaga pemasyarakatan yang ada di Jawa Barat. Kapasitas rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan saat ini pun tidak bertambah. Dibangunnya rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan baru untuk menambah ruang bagi tahanan atau narapidana, serta ide untuk memberikan pengamanan super maksimum dengan menempatkan binatang buas, sejatinya hanyalah langkah emosional. Hal tersebut bukanlah langkah yang bijak dan tepat. Karena selain akan menguras keuangan negara, langkah tersebut juga tidak menyasar pada pada akar persoalan penanganan kasus narkotika. Cara pemerintah menangani kasus narkotika tidak memberikan fokus yang seimbang dengan khitah dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang yang juga menekankan memberikan tindakan pemulihan bagi penyalahguna narkotika.

Ketidakseimbangan pendekatan ini juga diperumit oleh Presiden Joko Widodo yang menabuh genderang perang terhadap narkotika (war on drugs) yang secara implisit memberikan legitimasi terhadap aparat penengak hukum untuk menindak keras terhadap pelaku yang terlibat dengan narkotika, termasuk melakukan eksekusi mati yang, melalui berbagai penelitian, diketahui tidak memiliki pengaruh terhadap menurunnya peredaran gelap narkotika.  Narasi war on drugs, jika berkaca di negeri asalnya, Ameriksa Serikat, yang didendangkan oleh Presiden Richard Nixon dengan dukungan anggaran yang melimpah, terbukti mengalami kegagalan karena mengirimkan ribuan orang yang terlibat narkotika kedalam penjara dan hal demikian akan berdampak pada biaya sosial yang ditanggung negara dan juga pelaku. Potensi dampak buruk dari kebijakan ini antara lain ialah semakin rentannya penularan beberapa penyakit seperti HIV dan TB di dalam rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan yang juga dapat berdampak pada masyarakat yang lebih luas. Narasi punitif ini secara lebih sadis diterapkan oleh Presiden Rodrigo Duterte di Filipina yang telah menewaskan lebih dari ribuan orang hingga September 2016.

Fakta-fakta ini tidak kemudian membuat dukungan publik terhadap pendekatan semacam ini berkurang, yang kemungkinan diakibatkan oleh kuatnya narasi pemberantasan narkotika melalui media. Hal ini membuat penanganan kasus narkotika di Indonesia memiliki dimensi politik yang kuat karena \”memperdagangkan\” perolehan penanganan kasus dengan jabatan atau kekuasaan karena publik memberikan kepercayaan setelah melihat \”prestasi\” yang sebetulnya sangat patut dipertanyakan.

Maka politik hukum penanganan kasus narkotika sepatutnya dikembalikan ke jalur yang menitikberatkan pada aspek medis, terutama pada kasus-kasus penyalahgunaan narkotika. Politik hukum tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 1071 K/Pid.Sus/2012 yang menyatakan bahwa Pasal 112 Undang-Undang Narkotika adalah keranjang sampah atau pasal karet karena pecandu narkotika tidak akan terlepas dari penguasaan narkotika terlebih dahulu. Penguasaan narkotika oleh pecandu narkotika harus melihat konteks bukan pada teks undang-undang. Adanya konstruksi hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tersebut memberikan pesan kepada penuntut umum yang untuk menghadirkan hasil asesmen aspek medis untuk melihat riwayat pelaku berhubungan dengan narkotika dan aspek hukum untuk menginvestigasi keterkaitan pelaku dengan jaringan peredaran gelap narkotika. Ini terkait kewenangan dominus litis Penuntut Umum yang berperan untuk mengikuti perkembangan penyidikan dengan tugas memberikan petunjuk terhadap berkas perkara penyidikan sebuah kasus.

Hasil asesmen dapat membantu Penuntut Umum dalam agenda pembuktian dan juga menentukan tuntutan: apakah akan meminta pelaku dipenjara atau menjalani rehabilitasi. Di sisi lain, mengenyampingkan hasil asesmen yang memiliki kualifikasi sebagai alat bukti surat dapat dipandang sebagai sebuah hal yang gegabah dan dapat membuat dakwaan dalam posisi rawan. Pada praktik, Penuntut Umum kerap tidak memerdulikan hal ini karena beranggapa sudah memenuhi 2 (dua) alat bukti dengan menghadirkan saksi polisi yang melakukan penangkapan dan alat bukti surat hasil uji forensik zat narkotika. Padahal, kehadiran polisi sebagai saksi di persidangan sesungguhnya ditentang oleh KUHAP karena adanya konflik kepentingan (conflict of interest) karena kesaksian polisi ialah ruang untuk memuluskan tugas polisi sebagai penegak hukum untuk menjebloskan pelaku ke dalam penjara. Praktik demikian sejatinya tidak tepat dan mendapat kritikan dari Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010 pada kasus Ket San. Putusan tersebut menilai bahwa kesaksian polisi tidak dalam posisi yang objektif karena polisi sudah memiliki persepsi dan kepentingan terhadap terdakwa sehingga profilnya tidak lagi sesuai dengan tugas seorang saksi yang semestinya memberikan keterangan yang objektif, jujur, bebas dan netral.

Di samping itu, keengganan Penuntut Umum menyertakan hasil asesmen merupakan pengkhianatan terhadap prinsip fair trial yang termaktub dalam Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik. Padahal berdasarkan Guidelines on the Role of Prosecutors, Penuntut Umum harus memperhitungkan dengan tepat posisi dari pelaku tanpa memperhitungkan keuntungan dan kerugian yang berdampak terhadap pelaku. Oleh karenanya, hasil asesmen, terlepas dari bahwa dokumen tersebut akan merugikan atau menguntungkan terdakwa, menjadi wajib untuk dihadirkan. Keengganan Penuntut Umum dalam menghadirkan hasil asesmen juga dipengaruhi oleh minimnya akses terhadap bantuan hukum. Situasi ini semakin membuat rentan posisi pemakai narkotika yang berhadapan dengan hukum. Hal demikian mengakibatkan pemakai narkotika menjadi bagian terbesar dari demografi penjara di banyak tempat. Maka jumlah penanganan sekian banyak kasus narkotika tidak tepat bila dipandang sebagai sebuah prestasi. Ia justru adalah angka yang mencerminkan masifnya praktik ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia.

 

Penulis: Muhammad Afif Abdul Qoyim

Editor: Yohan Misero

Liputan Media tentang Pekerjaan Kami pada 2016

Berikut adalah beberapa tautan dari portal-portal berita nasional terkait kerja-kerja kami dalam periode Januari-September 2016:

  1. Napza Indonesia, 13 Januari 2016, “LBH Masyarakat : Eksekusi Mati Akan Sejajarkan Indonesia dengan Arab Saudi”
  2. Napza Indonesia, 13 Januari 2016, “LBH Masyarakat : Lapas Narkotika Tidak Bermanfaat Bila Lingkungannya Korup”
  3. Republika, 18 April 2016, “Kelompok Ini Minta Hukuman Mati Bandar Narkoba Dihapus”
  4. Rakyat Merdeka, 23 April 2016, “Berantas Narkoba, Jangan Lupa HAM”
  5. Infopublik.id, 28 April 2016, “Hukuman Mati Kasus Narkotika Tak Efektif Turunkan Kasus”
  6. Harian Terbit, 12 Mei 2016, “Masyarakat Sipil Menolak Hukuman Mati, Pemerintah Harus Transparan Eksekusi Mati Jilid 3”
  7. Gres News, 12 Mei 2016, “Eksekusi Mati dan Transparansi Proses Hukum”
  8. Sindo, 16 Mei 2016, “Datangi Istana, Aktivis LSM Tolak Eksekusi Terpidana Mati”
  9. Jitu News, 16 Mei 2016, “LSM: Hukuman Mati Tetap Suburkan Pengedaran Narkoba”
  10. Antara, 16 Mei 2016, “Koalisi Anti-Hukuman Mati Datangi Istana”
  11. Tempo, 16 Mei 2016, “Koalisi Masyarakat Sipil Desak Moratorium Hukuman Mati”
  12. Detik, 16 Mei 2016, “Koalisi LSM Sambangi KSP Minta Jokowi Stop Eksekusi Mati”
  13. Suara Kita, 18 Mei 2016, “Understanding Sexuality Diversity: Ketika Manusia Tidak Hanya Hitam dan Putih”
  14. Gres News, 24 Mei 2016, “Dalih Penolakan Rencana Penerbitan Perppu Kebiri”
  15. Kompas, 25 Juni 2016, “Kebijakan Pemerintah Perangi Narkoba Masih Dinilai Kurang Efektif”
  16. Tribun Pekanbaru, 25 Juni 2016, “Kebijakan Pemerintah Perangi Narkoba Masih Dinilai Kurang Efektif”
  17. Netral News, 25 Juli 2016, “LBH Masyarakat Desak Pemerintah Hentikan Eksekusi Mati Gelombang III”
  18. Netral News, 25 Juli 2016, “Eksekusi Terpidana Mati Bakal Dilangsungkan dalam 3X24 Jam”
  19. Harian Suara, 26 Juli 2016, “LBH Masyarakat: Hentikan Eksekusi Mati Gelombang III”
  20. Satu Harapan, 27 Juli 2016, “Organisasi Masyarakat Sipil Kecam Eksekusi Mati”
  21. Liputan 6, 27 Juli 2016, “LBH Sebut Eksekusi Mati Humprey Jefferson Tidak Sah”
  22. Netral News, 28 Juli 2016, “LBH Anggap Eksekusi Mati Merri Utami sebagai Dosa Pemerintah”
  23. Magdalene, 28 Juli 2016, “Ratu Heroin? Jalan Hidup Merry Utami Berkata Lain”
  24. VOA Indonesia, 28 Juli 2016, “Pemerintah Tolak Desakan PBB, Uni Eropa untuk Hentikan Eksekusi”
  25. Kompas, 28 Juli 2016, “Seribu Lilin Kekecewaan untuk Jokowi”
  26. KBR, 28 Juli 2016, “Aktivis HAM: Eksekusi Mati Tiga Nama Ini Bakal Jadi Dosa Sejarah RI”
  27. Tempo, 28 Juli 2016, “Dua Permintaan Merry Utami Sebelum Dieksekusi”
  28. Liputan 6, 28 Juli 2016, “Pengacara Akan Bawa Jasad Merry Utami Usai Eksekusi Mati”
  29. Republika, 28 Juli 2016, “Jenazah Merry Utami Akan Dibawa Kuasa Hukumnya”
  30. Antara, 28 Juli 2016, “Jenazah Merry Utami akan dibawa kuasa hukumnya”
  31. Suara, 29 Juli 2016, “Jenazah Merry Utami Akan Dibawa Kuasa Hukumnya”
  32. Okezone, 29 Juli 2016, “Usai Dieksekusi, Jenazah Merry Utami Akan Dibawa Kuasa Hukumnya”
  33. Benarnews.org, 29 Juli 2016, “Eksekusi Mati Dinilai Tidak Sah”
  34. Tempo, 29 Juli 2016, “Aktivis Anggap Eksekusi Mati Humprey Jefferson Tidak Sah”
  35. BBC, 29 Juli 2016, “Pelaksanaan Eksekusi Mati Dinilai Langgar Aturan”
  36. Fotokita, 29 Juli 2016, “Aksi seribu lilin tolak hukuman mati”
  37. Lensa Indonesia, 29 Juli 2016, “Merry Utami dan Zulfiqar Ali, dua terpidana yang lolos dari regu tembak”
  38. Radar Banyumas, 29 Juli 2016, “Detik-detik Terakhir Terpidana Mati, Freddy Sempatkan Foto Bersama Anak, Michael Titus Terlihat Stress”
  39. Polrestro Jakpus, 29 Juli 2016, “Aksi Damai Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat”
  40. Apakabaronline.com, 29 Juli 2016, “Merry Utami Batal Dieksekusi Mati”
  41. JPNN, 29 Juli 2016, “Merry Utami Sudah Sebut Permintaan Terakhir, Batal Dieksekusi”
  42. Pojok Satu, 29 Juli 2016, “Minta Dijenguk Dua Cucu, Merry Utami Malah Batal Dieksekusi Mati”
  43. National Geographic, 29 Juli 2016, “Kontroversial, Akankah Hukuman Mati di Indonesia Dihapuskan?”
  44. Rappler, 29 Juli 2016, “LINIMASA: Yang Perlu Kamu Tahu tentang Eksekusi Mati Tahap Tiga”
  45. Rappler, 30 Juli 2016, “KontraS: Freddy Budiman dieksekusi demi menutup akses informasi”
  46. Tempo, 31 Juli 2016, “Jaksa Agung Dinilai Lalai Penuhi Hak Terpidana Mati”
  47. Gresnews, 31 Juli 2016, “Fredi Budiman Mati Menyeret Polisi”
  48. Riau Online, 31 Juli 2016, “Benarkah Ada Kejanggalan dan Dugaan Pelanggaran Jelang Eksekusi 4 Terpidana Mati”
  49. Dipanpers.com, 31 Juli 2016, “Indonesia Lakukan Eksekusi Mati Ilegal!”
  50. Kompas, 31 Juli 2016, “Kuasa Hukum Terpidana Mati Ungkap Kejanggalan dan Dugaan Pelanggaran Jelang Eksekusi”
  51. Kompas, 31 Juli 2016, “Terpidana Mati Merri Utami Diusulkan Jadi “Justice Collaborator””
  52. Pontianak Post, 1 Agustus 2016, “Jaksa Agung Dinilai Melanggar UU”
  53. Rima News, 3 Agustus 2016, “LBH Masyarakat Kecam Pemidanaan Haris Azhar”
  54. DW, 3 Agustus 2016, “Terpidana Yang Tunggu Eksekusi Mati Tidak Mendapat Pemberitahuan Pembatalan”
  55. Komisi Informasi, 4 Agustus 2016, “MK KIP Beri Dua Opsi kepada LBH Masyarakat”
  56. Metro TV, 5 Agustus 2016, “PKNI Desak Pemerintah Hentikan Kriminalisasi Haris Azhar”
  57. Tribun News, 8 Agustus 2016, “LBH Masyarakat Adukan Jaksa Agung ke Ombudsman”
  58. CNN, 8 Agustus 2016, “Posko Bongkar Aparat Terima 30 Aduan Pemerasan”
  59. Tempo, 8 Agustus 2016, “Prosedur Eksekusi Mati Kejaksaan Agung Diadukan ke Ombudsman”
  60. Media Indonesia, 8 Agustus 2016, “Laporan Masyarakat Mengalir ke KontraS”
  61. Indonews.id, 8 Agustus 2016, “Aktivis Beberkan Cacat Eksekusi Mati ke Ombudsman Siang Ini”
  62. PGI, 8 Agustus 2016, “Ricky Gunawan: “Eksekusi Jilid III Tidak Sah dan Melanggar Hukum””
  63. Radar Pekalongan, 9 Agustus 2016, “Jaksa Agung Diduga Lakukan Maladministrasi Eksekusi Mati”
  64. Tribun, 9 Agustus 2016, “Ombudsman Duga Ada Kesalahan Administrasi Eksekusi Mati Terpidana Mati”
  65. CNN, 10 Agustus 2016, “Sepuluh Terpidana Mati Menunggu Nasib di Balik Jeruji”
  66. Okezone, 10 Agustus 2016, “LBH Nilai Banyak Ketidakjelasan Teknis Eksekusi Mati Tahap III”
  67. Okezone, 10 Agustus 2016, “Eksekusi Mati Dinilai Melanggar Hukum, Jaksa Agung Dilaporkan ke Komjak”
  68. Kompas, 10 Agustus  2016, “Koalisi Masyarakat Sipil Laporkan Jaksa Agung Prasetyo ke Komisi Kejaksaan RI”
  69. Tempo, 10 Agustus 2016, “Koalisi Masyarakat Laporkan Jaksa Agung ke Komisi Kejaksaan”
  70. Semarak.news, 12 Agustus 2016, “JSKK, KontraS, dan LBH Masyarakat Gelar Aksi Kamisan ke 454”
  71. Pikiran Rakyat, 13 Agustus 2016, “KontraS Beberkan Kejanggalan Kasus Freddy Budiman”
  72. Komisi Informasi, 15 Agustus 2016, “MK KIP Cabut Register LBH Masyarakat versus Kejagung”
  73. Antara, 19 Agustus 2016, “KontraS: aduan “Bongkar Aparat” sebagian besar terkait narkoba”
  74. Koran Tempo, 22 Agustus 2016, “Belasan Aparat Diadukan atas Kasus Narkoba”
  75. Tempo, 27 Agustus 2016, “Ini Pidato dari Forum LGBTIQ Pemenang Tasrif Award dari AJI”
  76. Okezone, 30 Agustus 2016, “LBH Masyarakat: Pelanggaran Jaksa Agung Lebih dari Administratif”
  77. Suara Kita, 30 Agustus 2016, “Bincang tokoh bersama lbh masyarakat: hentikan hukuman mati”
  78. Liputan 6, 30 Agustus 2016, “Merasa Tertekan, Terpidana Mati Merry Utami Ingin Pindah Lapas”
  79. Rima News, 9 September 2016, “LBH Masyarakat: UU Narkotika Gagal”
  80. Rima News, 9 September 2016, “LSM Kecam BNN Ikuti Gaya Duterte Dalam Tanggulangi Kasus Narkoba”
  81. Tribun, 9 September 2016, “LBH Jakarta: Penjara Penuh Pemakai Narkoba Kelas Teri, Bandar Besar Lolos”
  82. Tribun, 9 September 2016, “Konyol Jika Kedatangan Duterte Ingin Tukar Mary Jane dan Kuota Haji”
  83. Vivanews, 26 November 2016, “LBH Masyarakat Minta Jokowi Kabulkan Grasi Merri Utami”
  84. Jurnal Perempuan, 28 November 2016, “​Arinta Dea Dini Singgi: Hukuman Mati Hanya Obat Penenang & Tidak Menyelesaikan Masalah Narkotika”
  85. Rappler, 29 November 2016, “SAKSIKAN: LBH Masyarakat mengikuti Mannequin Challenge”

Media Coverage of Our Works in 2016

Here are links to several articles which covered the works of LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute) from January to September 2016:

  1. Alliance India, 28 April 2016, “United Nation, Divided on Drugs”
  2. Rappler, 28 April 2016, “Indonesia executions one year on: Mary Jane lives but death penalty questions linger”
  3. Southeast Asia Globe, 5 Mei 2016, “Region\’s harsh drug policies slammed by experts”
  4. Equal Times, 5 Mei 2016, \”Indonesia\’s Tragic War on Drugs\”
  5. Elsam, 15 Mei 2016, “Joint Statement: Imminent Executions In Singapore And Indonesia Must Be Halted
  6. Vice, 18 Mei 2016, “Indonesia Plans to Castrate Pedophiles Following Rampant Reports of Sexual Abuse”
  7. Mic, 19 Mei 2016, “Indonesia Drafts Law That Would Punish Pedophiles With Chemical Castration”
  8. The Jakarta Post, 27 Juni 2016, “Jokowi to go all out on drugs”
  9. The Diplomat, 11 Juli 2016, “Indonesia Prepares for Another Round of Executions”
  10. The Jakarta Post, 16 Juli 2016, “Relatives take quiet steps to save convicts”
  11. Coconuts Jakarta, 22 Juli 2016, “What Explains Indonesia’s Enthusiasm for Death Penalty?”
  12. The Guardian, 25 Juli 2016, “Indonesia executions loom as convict Merri Utami is sent to prison island”
  13. The Jakarta Post, 26 Juli 2016, “Jokowi told to cancel execution plan”
  14. The Guardian, 27 Juli 2016, “Indonesia ready to execute 14 this week despite doubts over prisoners’ guilt”
  15. International Business Times UK, 27 Juli 2016, “Indonesia: 6 Nigerians, 3 Asians among 14 drug convicts facing imminent execution”
  16. SBS, 28 Juli 2016, “Indian national Gurdip Singh likely to be executed in Indonesia”
  17. The Australian, 28 Juli 2016, “Death-row inmates in Indonesia \’abused and tortured\’”
  18. SF Gate, 28 Juli 2016, “News of the day from across the globe, July 29”
  19. Stuff NZ, 28 Juli 2016, “Indonesia fast-tracks execution of 14 death row prisoners to anguish of families involved”
  20. Pulse Nigeria, 28 Juli 2016, “Discrimination \’They want to kill me because I am black\’”
  21. The Influence, 28 Juli 2016, “Indonesia is Now Executing Drug Prisoners in A Horrific Violation of Human Rights”
  22. Uncova, 28 Juli 2016, “Ejike Eleweke, Who Is Facing Imminent Execution in Indonesia Maintains His Innocence, Reufuses to Sign Paper”
  23. ABQ Journal, 28 Juli 2016, “Indonesia executes 4 people convicted to drugs”
  24. BellaNaija, 28 Juli 2016, “Indonesia Set to Execute 6 Nigerians, 8 Others for Trafficking”
  25. International Business Times UK, 28 Juli 2016, “Indonesia going ahead with plans to execute 14 people for drug crimes”
  26. The Guardian, 28 Juli 2016, “Indonesia: families told that 14 death row prisoners will be executed tonight”
  27. African Spotlight, 28 Juli 2016, “6 Nigerians To Be Executed in Indonesia for Drug Trafficking“
  28. 風傳媒 (新聞發布) (註冊), 28 Juli 2016, “反毒用重典》印尼政府將處決14名毒販 人權團體呼籲:槍下留人!”
  29. News AU, 29 Juli 2016, “Dark days\’ as drug traffickers executed in Indonesia”
  30. Tempo, 29 Juli 2016, “Two Last Requests of Death-Row Convict Merry Utami”
  31. Radio Intereconomía, 29 juli 2016, “Indonesia ejecuta la condena a muerte de cuatro presos por trafico de droga”
  32. Tempo, 29 juli 2016, “Humprey Jefferson`s Execution is Illegal: Activist”
  33. The Times, 29 juli 2016, “Indonesia executions ‘a complete mess’ as coffins await the reprieved”
  34. The Borneo Post, 29 Juli 2016, “Indonesian Executions a “Complete Mess”: Lawyer”
  35. Business Insider, 29 Juli 2016, “Indonesia Executes 4 People Convicted of Drug Crimes”
  36. Journal Star, 29 Juli 2016, “Indonesia Executes 4 People Convicted Drug Crimes”
  37. The Kathmandu Post, 29 Juli 2016, “Indonesian and Three Nigerians Executed for Drug Crimes”
  38. BBC, 29 Juli 2016, “Indonesia and three Nigerian executed for drug crimes”
  39. CNN, 29 Juli 2016, “Indonesia executes four convicted drug offenders”
  40. China Daily Asia, 29 Juli 2016, “Indonesia executes 4 people convicted of drug crimes”
  41. The Daily Mail, 29 juli 2016, “Indonesia executes 4 people convicted of drug crimes”
  42. Echo Net Daily, 29 Juli 2016, “’Dark Days’ as Four Executed in Indonesia”
  43. 9news AU, 29 Juli 2016, “Four executed at ‘Alcatraz of Indonesia’”
  44. Fredonia Leader, 29 Juli 2016, “Indonesia Executes Drug Convicts Despite Protest”
  45. EFE, 29 July 2016, “Indonesia ejecuta la condena a muerte de cuatro presos por tráfico de droga”
  46. UOL Noticias, 29 July 2016, “Indonésia executa 4 presos por tráfico de droga”
  47. Sidney Morning Herald, 30 Juli 2016, “Indonesia death row 10: Last-minute reprieve, but for how long?”
  48. Taipei Times, 30 Juli 2016, “Indonesian executions a ‘mess,’ lawyer says”
  49. The Jakarta Post, 1 Agustus 2016, “Trail of Legal Violations up to Execution of Four Inmates”
  50. Rappler, 2 Agustus 2016, “What it was like waiting for death”
  51. The Daily Mail, 3 Agustus 2016, “Convicts in the dark for hours about Indonesia execution reprieve”
  52. The Jakarta Post, 3 Agustus 2016, “After escaping death, convicts fight for clemency”
  53. The Jakarta Post, 6 Agustus 2016, “Kontras vows to continue efforts to probe drugs mafia”
  54. The Jakarta Post, 12 Agustus 2016, “Govt should re-investigate old case in probing Freddy\’s claim”
  55. The New York Times, 13 Agustus 2016, “Indonesia’s Push to Execute Drug Convicts Underlines Flaws in Justice System”
  56. TODAYonline, 15 Agustus 2016, “Indonesia\’s justice system in question over push to execute drug convicts”
  57. Tempo, 22 Agustus 2016, “Dozens of Police Personnel Reported over Drug Cases”
  58. The Jakarta Post, 9 September 2016, “Jokowi urged not to trade Veloso for illegal Indonesian pilgrims”
  59. The Jakarta Post, 10 September 2016, \”Indonesian legal aid, activist call for new legal process for Mary Jane\”
  60. The Washington Post, 27 October 2016, “Indonesia’s top court weighs ban on sex outside marriage”
  61. Rappler, 5 December 2016, “Int\’l groups to Duterte gov\’t: Death penalty isn\’t effective”

Liputan: LIGHTS (Living The Human Rights) 2016

Living The Human Rights (LIGHTS) merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh LBH Masyarakat. Lights, yang awalnya bernama Summer Internship, merupakan kegiatan yang bertujuan membumikan konsep HAM sehingga mahasiswa/i dapat mengidentifikasi dan memecahkan problem hak asasi manusia (HAM) yang terjadi  disekitar mereka. Konsep membumikan HAM dilakukan dengan metode seperti pemberian materi, diskusi, sharing pengalaman, kunjungan ke berbagai komunitas, hingga pemutaran film. Sejak tahun 2007, Lights telah menghasilkan ratusan orang alumnus yang tersebar diseluruh Indonesia.

Naila Rizqi menjadi moderator penutupan LIGHTS 2016 yang menghadirkan 3 perempuan tangguh sebagai pembicara: Siti Aminah, Tunggal Pawestri, Prodita Sabarani
Naila Rizqi menjadi moderator penutupan LIGHTS 2016 yang menghadirkan 3 perempuan tangguh sebagai pembicara: Siti Aminah, Tunggal Pawestri, dan Prodita Sabarani

Tahun ini, kegiatan LIGHTS kembali diadakan oleh LBH Masyarakat pada 29 Juli – 12 Agustus 2016. Setelah melalui seleksi oleh panitia Lights, terpilihah 19 mahasiswa/i yang diterima sebagai peserta Lights 2016. Tercatat 13 orang berasal dari fakultas hukum dan 6 orang peserta dari fakultas Non-hukum.

Pelaksanaan LIGHTS tahun ini sedikit berbeda dengan pelaksanaan Lights sebelumnya. Pertama, Lights tahun ini memberikan kesempatan bagi mahasiswa/i multi disipliner untuk ikut serta. Alasan diberikannya kesempatan bagi mahasiwa/i multi-disipliner karena LBH Masyarakat meyakini bahwa konsep HAM itu harus dipahami dan dilakukan oleh semua mahasiswa apapun fakultasnya. Keterlibatan mahasiwa multi-disipliner diharapkan akan dapat membumikan konsep HAM dengan efektif dan masif. Kedua, materi Lights tahun ini fokus untuk mengenalkan isu-isu yang concern dilakukan oleh LBH Masyarakat. Isu-isu tersebut antara lain hak atas kesehatan, narkotika, LGBT rights, perempuan dan anak, hukuman mati dan lain sebagainya.

Berikut adalah pesan-kesan dari Diny Arista Risandy, peserta terbaik LIGHTS 2016:

Terpilih untuk menjadi peserta “Living The Human Rights 2016” (LIGHTS 2016) yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat selama dua minggu di bulan Agustus lalu, menjadi salah satu pengalaman berharga bagi diri saya secara pribadi. Jadi, jika kemudian harus menjawab pertanyaan seperti ‘hal-hal apa saja yang telah saya dapatkan setelah mengikuti program ini,’ nampaknya tidak mungkin dapat saya jawab hanya dengan satu dua kata saja — ‘cause I have totally gained lots of knowledge that surely broaden my horizons of thought.

Lain halnya ketika belajar di kampus, yang menitikberatkan pembelajaran mengenai Hukum dan HAM dari perspektif teoritis semata, melalui LIGHTS 2016 saya mendapatkan pengetahuan yang jauh lebih komprehensif mengenai teori-teori Hukum dan HAM, serta berbagai isu terkait penegakan Hukum dan HAM yang terjadi secara konkret di lapangan.

Usman Hamid datang sebagai pemateri dalam LIGHTS 2016 dan menjelaskan mengenai Kampanye HAM
Usman Hamid datang sebagai pemateri dalam LIGHTS 2016 dan menjelaskan mengenai Kampanye HAM

Beberapa isu tersebut, yang pertama di antaranya ialah terkait dengan fakta dan tantangan perlindungan serta pemenuhan HAM pada Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Indonesia. Skizofrenia sebagai salah satu bentuk bentuk gangguan jiwa yang dialami manusia, dibahas secara spesifik oleh Bagus Utomo, Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) saat saya dan peserta lainnnya mengunjungi KPSI. Skizofrenia singkatnya merupakan sebuah penyakit yang menyebabkan penderita tidak memilki kemampuan menilai mana yang bersifat realitas mana yang bersifat imajiner, sehingga si penderita ini seringkali merasakan adanya rangsangan pada panca inderanya tanpa ada sumber yang nyata atas rangsangan tersebut. Misalnya, si penderita seringkali mendengar bisikan-bisikan yang bersifat ‘mengolok-olok’ dirinya. Bisikan tersebut tidaklah nyata, akan tetapi terasa sangat konkret bagi si penderita sehingga dalam jangka waktu lama si penderita bisa menjadi stress dan kemudian phobia akan lingkungan sosial.

Isu perihal Skizofrenia ini masih belum membumi di Indonesia, sehingga para penderita Skizofrenia tidak mendapatkan penanganan layak untuk penyembuhan. Berdasarkan pernyataan Bagus Otomo sebagai narasumber, sekitar 40% penderita Skizofrenia melakukan upaya bunuh diri. Di Indonesia sendiri, 2-3 juta orang telah menderita Skizofrenia dan setiap harinya ada penderita yang meninggal dunia karena keterlantaran. Hal yang demikian kemudian bisa menjadi sebuah bentuk kejahatan pembiaran (crime by omission) oleh Negara, di mana Negara dalam hal ini tidak mengupayakan perawatan dan penyembuhan bagi penderita Skizofrenia pula telah mempersulit hak si penderita untuk menerima layanan kesehatan yang maksimal.

Selain terbatasnya akses atas kesehatan, tantangan-tantangan lain yang dihadapi ialah bahwa dengan memberi label kepada penderita Skizofrenia dengan istilah ‘gila,’ hal yang demikian menyebabkan sulitnya akses penderita atas pekerjaan demi menunjang penghidupan yang layak. Akibat dilabeli ‘gila,’ penderita Skizofrenia ditakuti oleh masyarakat, dan tidak jarang penderita Skizofrenia ini kemudian berusaha sekuat tenaga menolak kenyataan bahwa dirinya mengidap Skizofrenia. Padahal mereka juga berhak dan dimungkinkan produktif kembali dengan pengobatan yang sesuai dengan tingkatan gejala yang dihadapinya.

Peserta berkunjung ke Komunitas Kali Adem, komunitas nelayan dampingan LBH Masyarakat.
Peserta berkunjung ke Komunitas Kali Adem, komunitas nelayan dampingan LBH Masyarakat.

Selain itu, yang menarik perhatian saya secara khusus ialah pembahasan mengenai HIV/AIDS. Ayu Oktariani, seorang ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) yang telah cukup lama terjun ke masyarakat untuk membantu ODHA lainnya, menjadi narasumber dalam LIGHTS 2016 dan berbagi ilmu dan pengalaman, di antaranya soal stigma negatif masyarakat awam bahwa ODHA berawal dari hal-hal semacam free sex dan penggunaan obat-obatan terlarang secara illegal dan oleh sebab itu yang bersangkutan bukanlah pribadi yang ‘terhormat.’ Lahir pula pandangan keliru (dan dimiliki oleh banyak masyarakat) lainnya, yakni bahwa HIV/AIDS itu dapat menular dengan sangat mudah layaknya penyakit flu atau batuk, sehingga berdekatan dan berbincang dengan ODHA adalah hal yang berbahaya karena akan berpotensi besar tertular. Padahal hal demikian sama sekali tidak benar, sebab media penularan HIV/AIDS hanya melalui darah, cairan sperma/vagina, dan Air Susu Ibu (ASI).

Perlu kita sadari bersama bahwa stigma negatif serta pandangan yang keliru semacam ini membawa dampak yang sangat besar bagi kehidupan ODHA. ODHA seringkali termarjinalkan, sebab dengan stigma negatif dan pandangan yang keliru tersebut ODHA tidak dapat bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat, yang mana masyarakat senantiasa ingin menjaga jarak akibat ketakutan yang tidak berdasar. Hak untuk dapat berekspresi, menikah dan melanjutkan keturunan, serta hak atas pekerjaan sebagaimana dijamin oleh negara hanya menjadi harapan semu, sebab eksistensi ODHA itu sendiri dianggap sebagai bahaya bagi yang lainnya. Padahal mereka adalah pihak yang justru perlu mendapatkan perhatian lebih; mereka berhak atas informasi bahwa mereka juga tetap memiliki probabilitas untuk memiliki pasangan, mempunyai keturunan, dan hidup bahagia. Bayangkan saja bahwa pada kenyataannya terjadi fenomena seorang anak Sekolah Dasar yang terkena HIV/AIDS dipaksa keluar dari tempatnya menuntut ilmu karena desakan para orang tua siswa lain agar anak yang bersangkutan keluar dari sekolah tersebut; sang anak kemudian tidak ingin lagi menuntut ilmu dan memilih untuk terus berada di rumah — betapa sedihnya sang anak yang kemudian melabeli dirinya sendiri sebagai ‘sampah masyarakat,’ tanpa tahu apa yang salah atas dirinya. Selain itu, keluarga yang tidak suportif juga menjadi masalah besar bagi seorang ODHA sehingga tidak jarang mereka lebih memilih untuk hidup menyendiri tanpa menikmati indahnya kebersamaan keluarga.

Peserta berkunjung ke OPSI. Mempelajari mengenai aspek-aspek hak asasi manusia dalam kehidupan pekerja seks.
Peserta berkunjung ke OPSI. Mempelajari aspek-aspek hak asasi manusia dalam kehidupan pekerja seks.

Beberapa pembelajaran tersebut kemudian membuka cakrawala berpikir saya menjadi jauh lebih luas, yakni bahwa sudah seyogyanya saya tidak melihat fenomena sosial yang ada hanya berbasis satu sudut pandang yang sempit dan menolak untuk melihat perspektif lainnya; sebab ketika saya berkenan melihat keseluruhan aspek, saya menyadari banyak sekali pihak-pihak yang mengalami pelanggaran HAM dan oleh karenanya tidak dapat menjalani kehidupan yang layak. Pihak-pihak tersebut terkungkung dalam penilaian mengenai benar dan salah serta baik dan buruk oleh konstruksi sosial secara umum di masyarakat yang bersifat asumtif dan seringkali tidak tepat.

Oleh karena itu, program-program yang berkaitan dengan pembelajaran mengenai Hukum dan HAM harus terus digalakkan, agar masyarakat memiliki pemahaman yang lebih baik bahwa tiap-tiap individu memiliki hak-hak asasi yang sepatutnya terpenuhi; dimana ketika telah paham mengenai hak-hak asasi tersebut maka diharapkan menyadari bahwa tidak semua pihak terpenuhi hak-hak asasinya, dan oleh karenanya membutuhkan uluran tangan untuk membantu mewujudkan atau menegakkannya. Paham mengenai Hukum dan HAM juga berarti paham bahwa Negara pun memiliki kewajiban utama untuk menghormati (respect), memenuhi (fulfill), dan melindungi (protect) HAM warga negaranya, dan oleh karenanya sebagai warga negara diharapkan mampu memantau kinerja pemerintah dalam menjalankan kewajiban utamanya tersebut.

LIGHTS 2016, sebagai salah satu program yang memberikan pelatihan di bidang Hukum dan HAM, membawa dampak bagi diri saya pribadi untuk ke depannya bisa berpikir lebih analitis dan kritis terhadap berbagai isu-isu terkait dengan HAM dan penegakan hukum. Program ini juga berkontribusi siginifikan meningkatkan kepekaan dan kepedulian saya secara lebih besar untuk memperjuangkan HAM, membantu para korban pelanggaran HAM serta kaum minoritas membutuhkan bantuan hukum.

Dimoderatori Dominggus Christian Polhaupessy, peserta mendapat materi dari Raynov Gultom dan Muhammad Afif mengenai pendampingan terpidana mati di Indonesia.
Dimoderatori Dominggus Christian, peserta mendapat materi dari Raynov Gultom dan Muhammad Afif mengenai pendampingan terpidana mati di Indonesia.

Liputan acara ini ditulis oleh Dominggus Christian (Staf Penanganan Kasus LBH Masyarakat dan Penanggung Jawab Program LIGHTS 2016) dan Diny Arista (Peserta Terbaik LIGHTS 2016 dan Relawan LBH Masyarakat).

Lessons from Indonesia’s Recent Executions

This piece was written by Ricky Gunawan and was published in Rappler on 9 August 2016.

 

When Merri Utami walked into a McDonalds in Central Jakarta in 2001, she was exactly the type of person drug-trafficking cartels target. They are very well aware that poorly-educated, migrant workers and victims of domestic violence are easily manipulated.

There waiting for her was ‘Jerry’, a smooth Canadian national and business man. For a short 3 months after that ‘chance’ meeting, Merri felt she was living a dream. Far from abusing her, Jerry wanted to protect her. He wanted her to give up her migrant work in Taiwan. He invited her on vacation to Nepal. He even wanted to marry her. Merri thought she was in love.

Unfortunately, after 3 days in Nepal, Jerry was forced to leave ‘for business reasons.’ He insisted that Merri should stay, however, to enjoy the rest of the vacation as planned. Thoughtfully he even pointed out her suitcase was shabby and so arranged for her to get a good one.

A strong, high quality and rather heavy suitcase was duly delivered.

pic.twitter.com/VT1eta4MLx

— Ricky Gunawan (@erge17) July 26, 2016

When Merri arrived back in Jakarta, customs officers found 1.1 kg of heroin in the suitcase provided for her by the man Merri thought loved her. Jerry proved to be the most cruel of all the people Merri had encountered in her fraught life.

Justice?

My organization, LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute), recently took the case of Merri, shortly before she was taken to Nusakambangan – the execution island – where she was prepared for execution on July 29, 15 years after that fateful lunch in McDonalds. Jerry is still at large, presumably continuing to profit from young, vulnerable women like Merri. Had Merri’s bag not been routinely checked as she left Jakarta airport, Jerry would have recovered more than half a billion rupiah worth of heroin.

Merri would never have even known how she had enriched him.

Merri was slated to be executed last week. However, as the drama evolved, we found out that she was ‘reprieved’ at the last minute. Although she is now spared from execution, she may be executed in the future. Unless we stand firmly behind her, it is Merri that stands to die.

Is this justice? Is this even an effective way to tackle drug crime?

Indonesia still claims that by killing drug mules, it will stop this terrible crime. Is there any evidence of this? Definitely not, judging from past experience. Unsurprisingly, the number of prisoners incarcerated for drug-related crimes kept increasing after two rounds of executions in 2015.

In part, this is because many of those killed are not even aware they are committing a crime. This is not only because it can be easy for the unscrupulous to deceive; to blackmail; or to exploit the desperate. In some cases, we are even killing the innocent.

Racist court

I also represented Humphrey Jefferson Ejike who was executed on 29 July 2016 together with three other people.

Humphrey was a devout religious Nigerian who had set up a restaurant in Tanah Abang, Central Jakarta. On August 2, 2003, police officers came to search his restaurant because they had information that there were drugs inside his restaurant. He then voluntarily returned from a church in Bekasi (which is about 2 hours by car from Jakarta) to be present during the search.

After the search, the police found 1.7 kg of heroin inside a bedroom in the restaurant – a bedroom Humphrey had never used because he had an apartment in Kemayoran, Central Jakarta. He was then arrested and spent five months without access to adequate legal representation. This is in breach of both international conventions and Indonesia’s own criminal procedural code.

In that time he claims to have been beaten and threatened with shooting unless he ‘confessed’. No investigation was made into Humphrey’s allegations, despite the decision to sentence him to death on such flimsy evidence.

Humphrey may have been targeted simply because of his nationality. The trial judgment notes that ‘black skinned people from Nigeria’ are under police surveillance because they are suspected of drug trafficking in Indonesia.

In short, Humphrey was executed because he was convicted by a racist court for drug offenses on the basis of a ‘confession’ made under completely unacceptable circumstances. This is a shameful chapter for Indonesia’s human rights agenda.

Take a stand

Like a number of other ASEAN countries, Indonesia is amongst the minority of countries that still applies the death penalty. Of the 58 (out of 198) countries in the world that have not abolished the death penalty, just 25 carried out executions in 2015. Of those exceptions, four of them were ASEAN countries.

It is not only by practicing capital punishment that these countries are in violation of the international obligations, but also in the way they apply it – for it is primarily applied for drug-related offenses.

Yet, in accordance with Art 6 of the the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) to which Indonesia is a signatory, the death penalty should only be applicable in the case of the most serious crime, and drug offenses do not meet this threshold.

It is time to take a stand against this misguided, inept and cruel attempt to address the drug problem. And for this reason I encourage more people to join forces with organizations such as the recently established Coalition against the Death Penalty in ASEAN (CADPA) – a group of 55 organizations from ASEAN countries.

It is time for us to stand up and say that the death penalty is not justice.

For Women Swept Up in the Drug Trade, Legal Help That Starts Early

This piece was written by Muhammad Afif & Yosua Octavian and was published in Open Society Foundations\’ website on 22 June 2016.

 

Rani Andriani was just 23 when she was sentenced to death for trafficking three-and-a-half kilograms of heroin. From a family of modest means in West Java, she had been a bright high school student and a dedicated daughter. Young, naïve, and under the financial stress that affects so many village families, she was lured by the false promises of a drug syndicate and became a drug mule.

After serving 15 years in prison for drug trafficking, Rani was executed in January 2015, along with five other drug offenders.

Poor and marginalized women like Rani are vulnerable to being sucked into the drug trade, usually as mules. Yet in its eagerness to address the drug problem, the Indonesian government ignores the conditions that trigger the involvement of everyday people in drug trafficking.

LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute), a Jakarta-based human rights organization, seeks to challenge this injustice by providing free legal services to people who use drugs and people on death row for drug offenses.

This year, LBH Masyarakat went to court to defend three young women like Rani. By stepping in early, we succeeded in convincing the court not to impose the death penalty. The stories of Tara, Evie, and Siena (not their real names) are the stories of many vulnerable women in Indonesia.

Tara was a widow from a poor economic background. Her entry into the drug trade was through Kenny, a foreigner who claimed to be a rich businessman. After a few meetings, they started dating and Kenny promised to marry her. Madly in love, Tara would have done anything to maintain their relationship—even carry a kilogram of methamphetamine. After she delivered the narcotics, she was arrested. Kenny was never charged, despite the information Tara gave them about his involvement in the deal.

Evie’s experience was similar. After a few months of dating Jacky, a man who also purported to be a wealthy businessman, Evie was asked to hire a woman who would be willing to pick up a package from a courier service. Evie recruited Siena, who needed the money, at a beauty salon. After the two women picked up Jacky’s package, they were arrested and charged with trafficking four-and-a-half kilograms of methamphetamine. As in Tara’s case, Jacky was neither found nor arrested, even though Evie and Siena told the police of his whereabouts.

Tara, Evie, and Siena share a common problem: they are poor and vulnerable to drug syndicates. In some cases, a person charged with trafficking may be genuinely unaware they were ever in possession of drugs. In other cases, they may be paid, or under pressure in a relationship with a significant power imbalance.

In defending Tara, Evie, and Siena, we summoned expert witnesses to provide critical extra information about the use of women as mules in the drug trade, shedding new light on these cases for the prosecutors and judges. In the case of Tara, LBH Masyarakat also argued that she was a cooperating witness—or “justice collaborator”—as confirmed by the Witness and Victims Protection Agency. These arguments were effective—none of the women were sentenced to death. But, given sentences that ranged from 12 to 14 years, all three of them still lost their youth.

For over a decade, we have been deeply involved in the movement to abolish the death penalty in Indonesia, and have provided legal assistance to people facing it. We also work globally to end the death penalty, including through the United Nations, where in April our government was booed, and where a consensus on ending capital punishment was not reached.

We know that in a broken and corrupt system where capital punishment is on the table, poor women like Tara, Evie, and Siena can be easily and unfairly sentenced to death. We are also aware that judges and prosecutors have very little knowledge about the vulnerability of female drug mules.

These cases taught us the importance of early access to justice for vulnerable people. We have witnessed so many cases in which drug offenders were sentenced to death because they did not have adequate legal assistance. There are cases in which defense lawyers take money from their clients and disappear, and cases in which lawyers are connected with the police—a clear conflict of interest. There are also cases in which defense lawyers are present and attentive throughout the process, but do not have the necessary expertise in criminal defense, the death penalty, or drug offenses.

We call on the Indonesian government to support law enforcement agencies and actors in the justice system to understand the conditions that result in women acting as drug mules. The Indonesian government must address the roots of our drug problem, not just its symptoms.

Prison Infernos: Fire Defeated Drug Policy

This piece was written by Yohan Misero and was published in The Jakarta Post on 6 April 2016.

 

The riot at Malabero Prison in Bengkulu last week was not just about a burning prison. Rather, it symbolized a defeated public policy. It was a sign that accentuates the failed drug war stubbornly waged by Indonesia.

Similar riots have occurred in the prisons of Tanjung Gusta, Medan, in 2013 and in Kerobokan, Denpasar, in 2012.

One fundamental issue is overcrowding. The Law and Human Rights Ministry, since a few years ago, had planned to build more prisons, but as long as Indonesia is driven by the politics of over-criminalization, prisons will always be overcrowded.

Thus, inmates are more prone to tuberculosis and human immune deficiency virus (HIV) and security problems abound. It also breeds corruption because inmates bribe wardens for better facilities.

In the past years, Indonesia has been obsessed with criminalizing certain acts and sending offenders to prison. This must be changed and to change it, one must understand that such a problem is intertwined with Indonesia’s war on drugs.

In prison, drug offenders make up a large proportion of the population. In some prisons, drug offenders are more than half of the population. The 2009 Narcotics Law, which criminalizes drug use and drug possession, fueled this mass incarceration since thousands of drug users were imprisoned.

The criminalization of drug use is a threat to public health. People who use drugs are discouraged to access treatment if they are criminalized.

This further forces them to a hidden population. As a result, is difficult drug treatment and that creates risk.

In 2010, the Supreme Court endeavored to “decriminalize” drug use, by issuing a circular recommending judges impose rehabilitation sentences on drug users, instead of imprisonment.

If a drug user meets the prescribed criteria, the judges are supposed to send him or her to a treatment facility.

In 2014, several state institutions issued a joint regulation establishing the integrated assessment team. This team was tasked with assessing whether someone is a drug user. These measures, however, are not effective because the law still criminalizes drug use.

Despite Indonesia’s attempts to address its complicated drug problems and overcrowded prisons, such efforts have little positive results. Indonesia should consider an alternative: drug use and drug possession involving small quantities must be decriminalized.

This alternative should be seen from a pragmatic paradigm and an evidence-based approach.

By decriminalizing drug use, drug users will no longer be imprisoned and they will be more eager to access treatment. This would help solve the drug problem and the overcrowding prisons, as demonstrated in countries such as Portugal and the Czech Republic.

But is Indonesia willing to consider this alternative?

After the Malabero riot, the Law and Human Rights Ministry requested the National Narcotics Agency (BNN) take drug inmates into the BNN’s rehabilitation centers.

This request echoes the decriminalization message and it shows that there is an opportunity to honestly debate this notion within the government. However, the BNN rejected the request.

After taking office in October 2014, President Joko “Jokowi” Widodo declared, quoting Richard Nixon, a “war on drugs”.

Indonesia’s recent standing on the Commission on Narcotic Drugs session in Vienna showcases that Indonesia is still in favor of punitive drug laws and continues to implement compulsory treatment — leaving no room for alternatives.

It seems unlikely that Indonesia will shift its position at the UN General Assembly Special Session on the world drug problem, which will take place next month.

While Canada, Colombia, Guatamela and Mexico call for drug policy reform that will allow decriminalization of drug use, Indonesia is still implementing the same failed method while hoping for a different result.

Hence, the change that we desperately hope to see will not happen in the near future. We will continue to see a 19-year-old boy risk losing four to 12 years of his life for only possessing small marijuana joint.

Ketika Anak Pengguna Narkotika Tak Lagi Didengar

Anak seringkali rentan terlibat dalam penggunaan narkotika. Keterlibatan anak dalam penggunaan narkotika kerap dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti misalnya lingkungan keluarga, masyarakat dan pergaulan sehari-hari. Negara kemudian mengambil sikap keras, tetapi keliru, dalam mengatasi peredaran gelap narkotika dengan alasan untuk melindungi generasi muda dari penggunaan narkotika. Negara justru sering mengabaikan dan tidak menyediakan perlindungan penuh kepada anak yang menggunakan narkotika (selanjutnya disebut sebagai anak pengguna narkotika). Perlindungan yang setengah hati dan ketidakpedulian negara terhadap kepentingan terbaik anak pengguna narkotika justru mengancam masa depan mereka. Berangkat dari latar belakang ini, LBH Masyarakat berinisiatif untuk melihat hukum dan kebijakan nasional berkaitan dengan anak pengguna narkotika pada tiga aspek yaitu pencegahan dan perawatan (dalam konteks penggunaan narkotika), dan penegakan hukum terhadap anak pengguna narkotika yang berhadapan dengan hukum. Dalam menganalisis peraturan dan kebijakan nasional tersebut, LBH Masyarakat menggunakan standar hak asasi manusia internasional yang berkaitan dengan hak anak secara umum maupun pengguna narkotika, mengingat topik khusus hak anak pengguna narkotika juga belum tersedia secara spesifik di tataran hukum internasional.

Studi ini diawali dengan membedah standar hak asasi manusia internasional yang relevan dengan atau dapat diaplikasikan kepada anak pengguna narkotika di aspek pencegahan, perawatan dan penegakan hukum. Tim peneliti mengumpulkan dan mengelompokkan standar internasional yang berkaitan dengan hak anak pengguna narkotika ke dalam beberapa sub-bab yang untuk analisis lebih mendalam. Peneliti kemudian mengumpulkan, membaca dan mempelajari 41 (empat puluh satu) peraturan nasional mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Bersama, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri hingga peraturan internal lembaga negara seperti Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Jaksa Agung, Peraturan Kepala BNN, dan lain sebagainya. Metode pengumpulan peraturan tersebut adalah dengan meminta informasi atau peraturan terkait kepada instansi yang relevan dan mengunduh dari internet. Perlu diketahui bahwa, oleh karena itu, mungkin saja terdapat peraturan yang luput untuk tim peneliti pelajari. Berbagai peraturan tersebut juga dilihat dari tiga aspek yaitu aspek pencegahan, perawatan dan penegakan hukum. Dari standar internasional dan peraturan nasional yang sudah dikumpulkan, peneliti kemudian menganalisis gap atau kekosongan aturan berkenaan dengan anak pengguna narkotika baik pada tataran peraturan nasional.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, peneliti menemukan beberapa temuan terkait dengan anak pengguna narkotika. Pada aspek pencegahan, terdapat beberapa peraturan nasional yang mengatur kurikulum pada institusi pendidikan sebagai upaya pencegahan penggunaan narkotika. Pendidikan yang diajarkan pada anak, di Indonesia, menekankan bahaya narkotika semata dan harapan akan dunia yang bebas narkotika. Sistem dan materi pendidikan yang ada justru tidak mengedepankan diskusi interaktif dan inklusif mengenai narkotika, penjelasan hak atas kesehatan dan kesalahpahaman mengenai dunia bebas narkotika, yang konsekuensinya dapat menyuburkan stigma dan diskriminasi terhadap anak pengguna narkotika. Anak pengguna narkotika akan cenderung enggan mencari pertolongan ketika terlanjur menggunakan narkotika. Stigma dan diskriminasi akan menjauhkan anak pengguna narkotika untuk mengakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan.

Pada aspek perawatan, peraturan nasional pada umumnya mengatur layanan kesehatan untuk pengguna narkotika dewasa. Peraturan yang secara spesifik menyebutkan layanan kesehatan bagi anak pengguna narkotika sangat sedikit, atau kalaupun ada tidak menyediakan ketentuan yang komprehensif. Ketiadaan peraturan menunjukkan bahwa pemerintah cenderung abai dengan kondisi kesehatan anak yang menggunakan narkotika. Kekosongan hukum pada tataran implementasi juga berakibat pada ketiadaan jaminan hukum akan layanan kesehatan bagi anak yang menggunakan narkotika.

Sedangkan pada aspek penegakan hukum, negara masih melakukan kriminalisasi terhadap pengguna narkotika, dengan demikian termasuk pula anak pengguna narkotika. Anak pengguna narkotika harus berhadapan dengan ancaman pidana yang cukup berat yang akan menyulitkan anak pengguna narkotika untuk mendapatkan diversi, remisi ataupun hak anak yang sedang berhadapan dengan hukum lainnya. Anak pengguna narkotika juga rentan dipenjara daripada mendapatkan rehabilitasi. Anak pengguna narkotika tampaknya masih dipandang sebagai kelompok pelaku kejahatan paling serius dan tidak mendapat perlindungan dari negara.

Teman-teman dapat mengunduh buku ini selengkapnya pada tautan ini.

en_USEnglish